JEO - Insight




Mimpi
Vaksin Covid-19
Segera

Jumat, 10 Juli 2020 | 20:10 WIB

Bikin vaksin itu gampang atau enggak ya? Cara bikinnya seperti apa sih? Kalau bisa bikin, langsung segera dipakai? Seperti apa ya cerita di balik kebutuhan mendesak vaksin Covid-19? 

DALAM sebulan terakhir, vaksin Covid-19 menjadi salah satu isu dominan. Perkembangan kabar soal pengembangan vaksin Covid-19 ini mewarnai media massa, grup WhatsApp, dan bahkan mungkin percakapan di ruang keluarga.

Sebut saja, kabar kerja sama Kalbe Farma dengan Genexine. Lalu, komitmen Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Biofarma untuk memproduksi vaksin mandiri dalam jangka panjang. Ada juga perkembangan riset vaksin AstraZeneca dan Oxford. 

Sel dengan virus Covid-19 di dalamnya terlihat melalui mikroskop di Laboratorium Stabilitech di Burgest Hill, Inggris. Gambar diambil pada 15 Mei 2020.
AFP/BEN STANSALL
Sel dengan virus Covid-19 di dalamnya terlihat melalui mikroskop di Laboratorium Stabilitech di Burgest Hill, Inggris. Gambar diambil pada 15 Mei 2020.

Kemajuan riset vaksin, berpadu dengan pelonggaran aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), membuat banyak orang berpikir bahwa Covid-19 akan segera berakhir.

Padahal, kenyataannya, pandemi ini masih jauh dari berlalu. Media Australia menyatakan bahwa Indonesia adalah hotspot Covid-19 selanjutnya.

Dari dalam negeri, lonjakan kasus baru memang terjadi. Pada Kamis (9/7/2020), kasus baru positif Covid-19 bahkan melonjak sampai lebih dari 2.000.

Baca update rinci harian: Pergerakan Data Harian Covid-19 per Provinsi di Indonesia

Vaksin digadang bisa menyelesaikan persoalan. Nyatanya, pengembangan vaksin penuh tantangan.

"Saya kerap ditanya bagaimana kemajuan penelitian vaksin. Kadang pertanyaan yang sama diajukan hanya jeda seminggu," kata Herawati Sudoyo, peneliti biologi molekuler dari Lembaga Eijkman, Kamis (25/6/2020). "Padahal, lihat dengue, sampai sekarang belum ada vaksinnya."

Kompleksitas riset dan pengadaan vaksin adalah musababnya. Penentuan platform vaksin—entah itu mau memakai virus seutuhnya, bagian dari virus, atau materi genetik—tidak bisa hanya memperhitungkan pilihan teknologi yang paling maju.

Ketika telah tersedia, pengaturan agar vaksin bisa tersebar merata dan tanpa pengecualian pun sulit.

Bagaimana sebenarnya cerita seputar vaksin ini? Lanjut scroll....

 

MENU:

 

 

KOMPLEKSITAS
PLATFORM VAKSIN

DALAM enam bulan sejak awal pandemi Covid-19, peneliti telah mengungkap banyak rahasia SARS-CoV2. Di antaranya, ada riset Markus Hoffman dan Stefan Pohlmann dari Leibniz Institute of Primate Research di Jerman.

Dipublikasikan di jurnal Cell pada 16 April 2020, riset tersebut mengungkap bahwa jenis baru virus corona (SARS-CoV-2) itu bisa menginfeksi karena punya protein spike untuk menempel dan adanya molekul ACE2 pada permukaan sel manusia yang menyambut si virus.

Baca: VIK - Cerita Virus Corona buat yang Malas Serius

Pengetahuan itu berguna untuk mengembangkan vaksin. Kalau ilmuwan berhasil menemukan cara tepat dan aman agar virus gagal menempel dan memasukkan materi genetiknya ke sel manusia maka Covid-19 akan teratasi.

"Makanya kita lihat sekarang pengembangan vaksin targetnya adalah protein spike," kata Ahmad Utomo, peneliti biologi molekuler independen, Rabu (24/6/2020).

Petugas laboratorium memperlihatkan model virus Covid-19 di Quality Control Laboratory Sinovac Biotech, Beijing, China. Gambar diambil pada 29 April 2020.
AFP/NICOLAS ASFOURI
Petugas laboratorium memperlihatkan model virus Covid-19 di Quality Control Laboratory Sinovac Biotech, Beijing, China. Gambar diambil pada 29 April 2020.

Pendekatan pengembangan

Sejauh ini, ada sejumlah cara untuk membuat vaksin.

Cara pertama, menyuntikkan virus hidup yang telah dilemahkan. Ini adalah pendekatan paling kuno dan telah terbukti manjur. Vaksin campak dan rubella menjadi contoh jenis vaksin ini.

Strategi lain, mengirim virus mati. Salah satu contohnya, vaksin polio inaktivasi (IPV).

Penelitian membuktikan, virus mati ketika dikirim ke tubuh masih bisa memicu kekebalan. Namun, respons kekebalan kita akan lebih rendah dibanding menyuntikkan virus hidup yang telah dilemahkan.

"Jadi vaksin jenis ini kemungkinan besar perlu disuntikkan lebih dari sekali," kata Ahmad.

Cara paling mutakhir adalah vaksin yang berbasis materi genetik. Ada tiga pendekatan, bisa DNA, RNA, atau RNA/DNA dengan virus vektor.

Pekerja di Laboratorium Beijing Applied Biological Technologies (XABT), Beijing, China, berada di antara peralatan reagen untuk virus Covid-19. Gambar diambil pada 14 Mei 2020.
AFP/NICOLAS ASFOURI
Pekerja di Laboratorium Beijing Applied Biological Technologies (XABT), Beijing, China, berada di antara peralatan reagen untuk virus Covid-19. Gambar diambil pada 14 Mei 2020.

Hingga Selasa (7/7/2020), 8 dari 21 kandidat vaksin Covid-19 yang masuk uji klinis memakai pendekatan berbasis materi genetik ini.

Baca juga: Begini Bunyi Virus Corona saat Jadi Musik...

Secara teori, pendekatan genetik adalah yang paling ideal untuk mengupayakan vaksin dalam jumlah besar dan cepat.

"Untuk RNA misalnya, kita tidak perlu menumbuhkan virus. Cukup sintesis RNA dan perbanyak. Cepat," kata vaksinolog dan dokter Rumah sakit Omni Pulomas, Dirga Sakti Rambe, Jumat (26/6/2020).

Meski begitu, vaksin berbasis materi genetik masih diragukan keampuhannya. Hingga saat ini belum ada vaksin berbasis materi genetik yang benar-benar efektif.

"Sebenarnya, kami di Eijkman juga pernah mengembangkan vaksin DNA untuk malaria, tetapi hasilnya tidak menggembirakan," ungkap Herawati Sudoyo, peneliti biologi molekuler dari Lembaga Eijkman, Kamis (25/6/2020).

Di samping itu, materi genetik seperti RNA mudah rusak dalam pengirimannya ke sel target. Ada pula kekhawatiran materi genetik virus menyatu dengan yang kita miliki, walaupun kemungkinannya kecil.

Ragam Platform Vaksin - (KOMPAS.com/YUNANTO WIJI UTOMO/PALUPI ANNISA AULIANI)

Vaksin dari AstraZeneca dan Oxford merupakan salah satu yang memakai pendekatan materi genetik.

Hanya saja, bukannya membiarkan RNA jalan sendiri ke sel target, alih-alih peneliti memakai kendaraan berupa virus lain yang dinilai aman, adenovirus. 

RNA SARS-CoV2 disisipkan pada adenovirus lebih dulu barulah virus yang telah bisa dikendalikan itu dikirim sebagai vaksin.

Inilah yang dinamakan pendekatan memakai virus vector.

Lalu, pendekatan pengembangan vaksin yang juga umum diterapkan adalah dengan mengirim bagian virus saja. Misalnya, menggunakan protein yang dimiliki virus.

Cara itu disebut sebagai pendekatan protein subunit atau protein rekombinan.

Peneliti di INTA (National Agricultural Technology Institute) dan CONICET (National Scientific and Technical Research Council) Argentina memperlihatkan pemurnian limfosit dan sampel darah untuk pembuatan vaksin Covid-19. Gambar diambil pada 2 Juni 2020.
AFP/JUAN MABROMATA
Peneliti di INTA (National Agricultural Technology Institute) dan CONICET (National Scientific and Technical Research Council) Argentina memperlihatkan pemurnian limfosit dan sampel darah untuk pembuatan vaksin Covid-19. Gambar diambil pada 2 Juni 2020.

Pendekatan protein subunit tersebut dipilih oleh Lembaga Eijkman dan Biofarma dalam proyek pengembangan vaksin mandiri untuk Indonesia. Prototipe-nya ditargetkan tersedia pada 2021.

"Ini pilihan yang bagus dan Indonesia sudah punya kapasitas untuk menghasilkannya," ungkap Ines Atmosukarto, CEO startup vaksin Lipotek, di Australia, Minggu (28/6/2020).

Bukan cuma soal sains

Dengan begitu banyaknya strategi, penentuan cara pengembangan vaksin pun penuh perhitungan kelebihan dan kekurangannya. Bukan hanya secara sains, melainkan juga ongkos.

"Kami tidak bisa memilih (pendekatan) RNA hanya karena itu yang paling canggih. Sebab, pada dasarnya kami akan mencari yang efektif, tidak peduli apakah itu yang kuno atau yang paling advance," ujar Ines.

Apakah tantangan pengembangan vaksin tuntas dengan pilihan penentuan pendekatan itu? Belum.

Masih ada tantangan berikutnya....

 

MENU:

 

RUMITNYA
UJI KLINIS

BEGITU terbukti efektif secara laboratorium, kandidat vaksin harus menjalani tiga tahap uji klinis sebelum bisa diedarkan.

Petugas medis memperlihatkan vaksin uji coba klinis pertama yang dibuat South African Oxford sebelum menyuntikkannya ke relawan di RS Baragwanath di Soweto, Afrika Selatan. Gambar diambil pada 24 Jni 2020.
AFP/SIPHIWE SIBEKO
Petugas medis memperlihatkan vaksin uji coba klinis pertama yang dibuat South African Oxford sebelum menyuntikkannya ke relawan di RS Baragwanath di Soweto, Afrika Selatan. Gambar diambil pada 24 Jni 2020.

Dalam uji klinis tahap pertama, vaksin diberikan ke orang sehat. Tujuannya, melihat apakah vaksin menimbulkan dampak yang tak diinginkan.

Pada uji klinis kedua, kandidat vaksin disuntikkan ke orang rentan seperti lansia untuk melihat keamanan, efektivitas, sekaligus dosis yang tepat.

Dalam uji terakhir, kandidat vaksin diberi ke ribuan orang. Tujuannya, mendapatkan data yang lebih banyak dan luas, sebelum benar-benar digunakan secara massal.

Tahap Pengujian Vaksin - (KOMPAS.com/YUNANTO WIJI UTOMO/PALUPI ANNISA AULIANI)

Dari sekian banyak kandidat vaksin Covid-19, dua jenis di antaranya telah masuk ke uji klinis terakhir, yaitu milik Oxford dan Sinovac.

Namun, bukan berarti pasti dijamin dua kandidat vaksin tersebut akan menjadi vaksin pertama bagi Covid-19.

Masih mungkin gagal

Ines mengatakan, walaupun sudah masuk fase ketiga, tetap ada potensi dua kandidat vaksin itu gagal.

Sejarah mengungkap, sejumlah vaksin atau obat terapi untuk meningkatkan kekebalan gagal saat uji klinis akhir.

Epacadostat yang digadang sebagai terapi target untuk kanker melanoma, misalnya, gagal pada uji fase ketiga pada 2018.

Dengan teknologi vaksin berbasis materi genetik yang belum terbukti keefektifannya, vaksin Oxford punya potensi lebih besar untuk gagal juga walaupun kini memimpin barisan riset vaksin Covid-19.

Selain potensi gagal, isu keamanan dalam uji klinis juga jadi masalah.

Lumrahnya, uji klinis vaksin bisa berlangsung hingga 10 tahun. Namun, pandemi Covid-19 menuntut perusahaan vaksin atau lembaga riset bergerak lebih cepat.

Tuntutannya, vaksin Covid-19 sudah tersedia dalam 12-18 bulan. Akhirnya, ada kompromi dalam uji klinisnya. Misal, uji I dan II, atau II dan III, bisa dilakukan secara bersamaan.

Sudah? Begitu saja? Belum selesai....

 

MENU:

 

TANTANGAN
DISTRIBUSI VAKSIN

KARENA terdiri atas virus, protein, ataupun materi genetik, vaksin berpotensi rusak dalam suhu tinggi. Karenanya, untuk menjaga efektivitas, pengiriman vaksin harus dalam cold chain.

Artinya, sejak dari pabrik, dalam perjalanan, penyimpanan di rumah sakit, hingga sesaat sebelum disuntikkan ke pasien, vaksin harus berada di kulkas atau pendingin.

Cara ini mungkin mudah bagi negara maju. Namun, kasus-kasus selama program vaksinasi campak dan rubella, BCG, serta polio, menunjukkan, distribusi vaksin di Indonesia penuh tantangan.

Ada kasus puskesmas yang kulkasnya rusak. Belum lagi distribusi ke wilayah terpencil yang pastinya tidak murah jika harus dalam cold chain.

Tantangan Distribusi Vaksin di Indonesia - (KOMPAS.com/YUNANTO WIJI UTOMO)

Dari tantangan itu, berkembang vaksin oral. Contoh yang sudah berhasil adalah vaksin tetes untuk polio, dikenal sebagai Oral Poliovirus Vaccine (OPV) yang berupa virus lemah.

Vaksin ini dikembangkan dengan basis kekebalan mukosa. Mukosa adalah membran pelindung organ dalam yang berinteraksi langsung dengan bagian luar atau rongga tubuh. Lapisan ini bisa merespon virus, mikroba, dan protein yang diproduksi virus atau bakteri.

Perusahaan vaksin yang berbasis di Inggris, Immunitor, tengah menjajaki kerja sama dengan Institute of Tropical Disease (ITD) di Universitas Airlangga untuk uji klinis vaksin oral Covid-19 produksinya.

Satria Arief Prabowo, research fellow di London School of Hygiene and Tropical Medicine yang berperan sebagai konsultan dalam kerja sama itu mengatakan, "Vaksin ini bisa menjawab tantangan mendistribusikan vaksin di negara berkembang."

Kandidat vaksin itu kini tengah menjalani uji klinis fase pertama di Rusia. Rencananya, vaksin ini juga akan diujikan di Inggris, China, Rusia, dan Mongolia.

Jika vaksin ini terbukti efektif, masalah distribusi bisa lebih mudah diatasi. Jika tidak, Indonesia harus meyiapkan infrastruktur distribusi vaksin untuk mengatasi Covid-19.

Etika dan pemerataan

Kompleksitas distribusi bertambah karena masalahnya bukan cuma teknis pengiriman, melainkan juga soal etika dan pemerataan.

"Selalu ada pertanyaan, siapa yang berhak mendapatkan vaksin lebih dahulu. Apakah orang di mana perusahaan vaksin itu berada? Warga di negara yang berinvestasi membiayai vaksin? Atau warga negara yang paling terdampak?" ungkap Ines Atmosukarto, CEO startup vaksin Lipotek, Minggu (28/6/2020).

Contoh, jika vaksin Oxford terbukti berhasil, akankah Indonesia yang kini infeksinya tembus 70.000 akan mendapat prioritas?

Bisa jadi, karena Eropa dan Amerika-lah yang berinvestasi, warga negara di dua wilayah tersebut yang bakal mendapatkannya lebih dahulu.

Jika Indonesia terlibat kerja sama uji klinis, masih jadi pertanyaan pula apakah nanti akan diprioritaskan untuk penggunaannya.

 

MENU:

 

JADI, KAPAN
VAKSIN COVID-19
TERSEDIA? 

INI pertanyaan yang sulit dijawab. Mungkin saja vaksin ada tahun depan, tetapi Indonesia bisa jadi baru mendapatkan tahun depannya lagi karena bukan prioritas.

Pastinya, Indonesia bisa berusaha menghasilkan sendiri. Namun, upaya ini pun bukan tanpa kendala.

Satu paket vaksin eksperimental untuk Covid-19 di Quality Control Laboratory di the Sinovac Biotech, Beijing, China. Gambar diambil pada 29 April 2020.
AFP/NICOLAS ASFOURI
Satu paket vaksin eksperimental untuk Covid-19 di Quality Control Laboratory di the Sinovac Biotech, Beijing, China. Gambar diambil pada 29 April 2020.

Dana awal pengembangan vaksin yang disediakan, sesuai pernyataan Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro pada Mei 2020, hanya Rp 5 miliar, jumlah yang bahkan tak cukup untuk membeli rumah di Pondok Indah.

Padahal, dana riset vaksin Covid-19 di AstraZeneca dan Oxford mencapai Rp 1,2 triliun, sementara di Imerial College London Rp 740 miliar.

Dengan semua kompleksitas ini, vaksin segera bagi Herawati "tidak real." Karenanya, menjaga diri agar tidak tertular saat ini menjadi langkah yang paling penting.

Kompas.com tengah berupaya memperbaiki format dan pengiriman konten sehingga lebih sesuai dengan Anda. Mohon kesediaan untuk turut berkontribusi dengan memberikan tanggapan tentang artikel ini dengan mengklik dan mengisi survei di link ini


 

MENU: