Presiden ketiga Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, meninggal dunia pada Rabu (11/9/2019) petang. Mr Crack adalah salah satu sebutan penghormatan internasional untuk dirinya.
PRESISI adalah nama lain dari sosok Bacharuddin Jusuf Habibie. Soal sederhana terkait diksi—pilihan kata—pun bisa jadi topik serius buat beliau.
Dalam sebuah perjumpaan, Kompas.com pernah bertanya kepada Habibie soal mimpinya tentang teknologi di Indonesia. Bukannya jawaban yang didapat, teguran keras justru didapat.
"Bukan mimpi. Visi! Kalau mimpi itu hanya bunga tidur. Kosong. Bicara soal cita-cita dan harapan, pakai kata visi!" tegur Habibie yang kala itu dijumpai di salah satu rumah di Kota Bandung, Jawa Barat.
Tidak heran bila dalam bidang yang ditekuninya bertahun-tahun—bahkan menempatkannya sebagai sosok yang dihormati di internasional—presisi itu menjadi hal pasti.
Mr Crack, adalah julukan yang didapat Habibie karena kontribusi besarnya bagi teknologi pesawat terbang global. Namanya pun melekat menjadi nama teorema di bidang termodinamika.
Temuan ini juga yang menegaskan julukan Habibie sebagai Mr Crack. Di industri pembuatan pesawat terbang, teori Habibie dikenal sebagai Crack Propagation Theory.
Namun, Habibie bukan hanya sosok jenius di bidang teknologi. Figur ini tak disangka menjadi kunci masa transisi Indonesia dari rezim Orde Baru ke masa Reformasi.
Di tengah situasi politik dan ekonomi yang kacau balau, Habibie menjadi Presiden Indonesia selama 16 bulan. Meski singkat, masa pemerintahannya krusial.
Tak hanya meletakkan banyak fondasi bagi sistem pemerintahan yang berjalan sampai sekarang, Habibie juga sosok yang memastikan jaminan kebebasan pers serta independensi bank sentral.
Walau demikian, Habibie tetap juga adalah manusia biasa. Tak sempurna. Kritik terbesar untuk lelaki kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936 ini adalah lepasnya Timor Timur dari Indonesia.
JEO ini didedikasikan untuk mengenang kontribusi besar Habibie bagi Indonesia. Pakar kedirgantaraan internasional ini mangkat pada Rabu (11/9/2019) petang di Jakarta.
Untuk memudahkan navigasi—yang dapat pula diklik untuk melompat ke bagian yang diinginkan—, JEO ini disusun dengan pembagian:
MASA transisi di era reformasi ditandai dengan perpindahan tongkat kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada wakilnya, Bacharuddin Jusuf Habibie pada 21 Mei 1998.
Namun, naiknya Habibie ke tampuk kekuasaan tak lepas dari kritik lantaran dia dianggap sebagai bagian dari rezim Orde Baru. Demonstrasi mahasiswa pun tak selesai, yang kali ini menuntut Habibie turun dari kursi presiden.
Salah satu alasan mahasiswa menuntut Habibie mundur adalah karena dia dianggap tidak dapat menjalankan amanah reformasi, terutama pengadilan untuk Soeharto.
Salah satu kebijakannya adalah membebaskan tahanan politik yang ditahan di era Soeharto.
Meski demikian, Habibie dapat dianggap ikut meletakkan fondasi awal dalam sistem demokrasi pada era reformasi. Salah satu kebijakannya adalah membebaskan tahanan politik yang ditahan di era Soeharto, seperti Sri Bintang Pamungkas dan Mochtar Pakpahan.
Habibie juga dinilai berjasa dalam menghadirkan kebebasan pers di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang juga mengatur mekanisme pengaduan terkait pemberitaan media melalui Dewan Pers.
Di bidang ekonomi, Habibie ikut memprakarsai Bank Indonesia (BI) yang independen dan lepas dari pengaruh pemerintah, mengeluarkannya dari struktur kekuasaan eksekutif. Independensi memberi keleluasaan kepada BI untuk mengelola sektor moneter.
Selain itu, Habibie juga mengeluarkan paket restrukturasi perbankan untuk membangun kembali perbankan yang sehat. Lewat kebijakan ini beberapa bank di-merger untuk menjadi bank baru yang kuat dari sisi pendanaan, salah satu hasilnya adalah Bank Mandiri.
Pada masa pemerintahan Habibie, penguatan rupiah yang nilai tukarnya sempat menyentuh Rp 16.800 per dollar AS terjadi sesudah krisis moneter. Nilai tukar tertinggi rupiah pada masa Habibie adalah Rp 6.500 per dollar AS.
Terkait politik elektoral, Habibie menghasilkan tiga undang-undang demokratis, yaitu UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan Kedudukan DPR/MPR.
Dengan tiga undang-undang itu, Habibie berperan mempersiapkan Pemilu 1999, sebagai pemilu demokratis pertama pasca-Orde Baru. Sistem yang digunakan pun benar-benar baru.
Selama 16 bulan masa pemerintahannya, Habibie menerbitkan 67 UU dan 1 Perppu terkait politik dan HAM.
Pemilu 1999 ditandai dengan berbondong-bondongnya partai politik ikut berkontestasi, yaitu 48 partai politik. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara diisi oleh perwakilan pemerintah dan partai. Pencoblosan berlangsung pada 7 Juni 1999.
Beberapa bulan setelah Pemilu 1999, Habibie membacakan pidato pertanggungjawaban di Sidang Istimewa MPR 1999, yaitu pada 13 November 1999.
Sebenarnya, Golkar saat itu hendak mencalonkan kembali Habibie sebagai presiden. Namun, pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak MPR. Habibie pun batal dicalonkan.
Pemilihan presiden yang dilakukan oleh anggota MPR hasil Pemilu 1999 menempatkan Ketua Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sebagai presiden dan wakil presiden.
Berakhirlah Pemerintahan Habibie dan masa transisi reformasi. Selama 16 bulan masa pemerintahannya, Habibie menerbitkan 67 undang-undang dan satu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait politik dan hak asasi manusia.
Produk peraturan-perundang-undangan itu belum pula mencakup sejumlah aturan di tingkat di bawah undang-undang, seperti Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
HABIBIE dan pesawat adalah kisah teramat panjang setiap kali diceritakan. Bagaimana tidak, bila itu harus memutar balik waktu hingga ke era Orde Lama?
Inilah si jenius dari Parepare, Sulawesi Selatan, yang lalu sekolah dan bekerja puluhan tahun di Jerman dengan meninggalkan jejak berupa teorema.
Teorema Habibie—dikenal sebagai Crack Propagation Theory—menyelesaikan persoalan yang sebelumnya memicu banyak kecelakaan pesawat terbang.
Teori ini memberikan formulasi perhitungan matematis untuk menemukan potensi rekahan pada kerangka badan pesawat. Istilah teknis untuk rekahan ini adalah crack.
Jangan dibayangkan bila titik pemicu rekahan itu kasat mata apalagi menganga lebar. Ukuran awalnya bisa jadi hanya 0,005 milimeter tetapi dapat memicu terlepasnya sayap dari badan pesawat.
Namun, sebelum Habibie ternyata juga ada upaya perumusan cara hitung semua, menggunakan sebutan crack progression.
Karenanya, belakangan semua cara perhitungan rekahan ini disatukan dalam terminologi mekanika keretakan (fracture mechanics).
Sebutan Mr Crack tak hanya untuk persoalan yang Habibie selesaikan saat dia berusia 32 tahun itu, tetapi sekaligus juga pengakuan atas kemampuannya memecahkan permasalahan semacam itu.
Formulasi Habibie mendapat apresiasi global terutama karena pada saat itu bersamaan dengan momentum mulai digunakannya mesin jet untuk penggerak pesawat, menggenapi teknologi baling-baling.
BJ Habibie adalah salah satu pelajar Indonesia yang dikirim Presiden Soekarno ke luar negeri untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) masa depan Indonesia.
Namun, banyak pelajar ini akhirnya malah tak bisa pulang ke Indonesia menyusul peristiwa 30 September 1965.
Habibie adalah salah satu yang bisa pulang ke Indonesia setelah dipanggil Presiden Soeharto pada 1973. Tugasnya, tak jauh-jauh dari teknologi dirgantara.
Cita-cita Habibie adalah membuat industri pesawat, bukan sekadar pesawat. Setahap demi setahap, cita-cita Habibie ini sempat mengentak dunia.
Berawal dari lisensi dari CASA pada 1976, Indonesia mampu merakit NC-212. Berlanjut, pada 1983, Indonesia melompat lagi dengan membuat—tidak lagi hanya merakit—CN-235.
Lompatan lebih tinggi sejatinya sudah di depan mata saat krisis moneter menghantam pada akhir Orde Baru.
Saat itu, prototipe N-250 sudah rampung di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)—kepanjangan baru dari sebelumnya Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Pesawat ini bahkan sudah sempat uji terbang pada 1995.
Soeharto jatuh dari kekuasaan, IPTN yang kembali berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (PT DI) kolaps, Habibie jadi presiden selama 16 bulan.
“Dengan pesawat ini, buatan mereka sendiri, seluruh pulau di Indonesia bisa terhubung. Bayangkan infrastruktur yang berkembang, kemajuan ekonomi di pulau-pulau itu. Mereka bisa mandiri. Tapi ternyata bangsa ini tidak mau.”
Kutipan di atas muncul dalam salah satu adegan film Habibie dan Ainun yang tayang pada 2012.
Diperankan Reza Rahardian, Habibie terlihat mendatangi IPTN. Momentum dalam adegan tersebut terjadi setelah pertanggungjawaban Habibie sebagai Presiden Indonesia ditolak MPR pada 20 Oktober 1999.
Kompas.com sempat bertemu lagi dengan Habibie pada 2013, khusus membahas soal bidang yang benar-benar dia kuasai ini.
Menurut Habibie, momentum N-250 seharusnya sangat tepat untuk titik tolak kejayaan industri dirgantara Indonesia, andai proyek pesawat itu berjalan sesuai rencana.
Visi, tegas Habibie, yang semestinya menuntun arah langkah bangsa ini. Dia menolak menggunakan kata “mimpi”, karena buat dia diksi itu identik dengan angan-angan.
Namun, nasi telah menjadi bubur. Pesawat N-250, ujar dia, sudah kehilangan momentum. Pasar pesawat berpenumpang sampai 60-an orang sudah banyak pesaing dan atau tak lagi ekonomis.
Bila hendak kembali berjaya di industri dirgantara, kata dia, Indonesia harus membangun pesawat berkapasitas 80-90 orang.
Habibie sempat bertolak lagi ke Jerman selepas tak lagi menjadi Presiden Indonesia. Pulang kembali ke Indonesia, cita-citanya soal industri penerbangan bersemi lagi. Kali ini lewat R80.
Ide yang dipakai pun unik, yaitu patungan. Namun, untuk urusan pesawat, ini tidak unik. Karena, pesawat pertama yang pernah dimiliki Indonesia pun didapat dari hasil patungan rakyat, yaitu Dakota RI-001.
Meski begitu, R80 kemudian masuk pula ke daftar proyek strategis pemerintah per 15 Juli 2017, lewat Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017.
Dengan begitu, pembuatan pesawat ini pun seharusnya ikut menjadi tanggung jawab pemerintah, setidaknya soal pencarian investor.
Dalam banyak pembicaraan, bahkan dalam pertemuan pada 2013 dengan Kompas.com, Habibie mewanti-wanti untuk memastikan generasi dirgantara Indonesia harus terus berlanjut.
Apa itu generasi dirgantara? Mereka putra-putri terbaik Indonesia yang menjalani dan mewarisi proses pembuatan bahkan industri pesawat di dalam negeri.
Inilah generasi yang bersama Habibie menjahit visi kedirgantaraan sejak era lisensi CASA pada 1976 hingga pembuatan N-250.
SATU lagi yang mempesona dalam kisah hidup Habibie adalah cerita cintanya dengan Hasri Ainun Besari.
Beragam buku dan sejumlah film telah menukil penggalan-penggalan cerita cinta Habibie dan Ainun dalam berbagai versi. Monumennya pun ada di kota kelahiran Habibie, Parepare.
Lagi-lagi saat Kompas.com bertemu Habibie pada 2013, janji berbincang setengah jam akhirnya jadi satu jam demi Habibie bisa menonton tayangan wawancaranya soal mendiang sang istri.
Saat Habibie menyaksikan tayangan itu, tak bisa dimungkiri bahwa sorot mata rindu, cinta, sekaligus kehilangannya untuk Ainun sedemikian pekat.
Ainun sudah lebih dahulu berpulang pada 2010 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Sekali lagi Habibie akan berdampingan dengan Ainun. Kali ini, di sini.
Untuk Habibie, yang berpulang pada Rabu (11/9/2019) petang, allahummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa'fu'anhu... aamiin...
Ikuti juga liputan khusus BJ Habibie Meninggal Dunia di Kompas.com terkait berpulangnya Habibie.