Lonceng bahaya gelombang ketiga Covid-19 di Indonesia sudah dibunyikan para ahli sejak November 2021. Tetapi euforia atas penurunan kasus dalam tiga bulan sebelumnya seolah menutup telinga kita.
Pemerintah yang diharap menjadi garda terdepan penanggulangan pun terlambat ‘menginjak rem’. Kini, situasi suram seperti yang pernah kita alami pada periode Juni-September 2021 sudah di depan mata.
TANGGAL 16 Desember 2021, pemerintah mengumumkan pasien Covid-19 varian Omicron pertama di Indonesia. Ia adalah N, seorang office boy di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, kepastian itu didapat usai pihaknya mengirim sejumlah sampel pasien Covid-19 ke GISAID.
GISAID merupakan lembaga internasional yang punya kemampuan mempelajari data genetika virus atau mikroba penyebab wabah dunia. Salah satunya SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan penyakit Covid-19, beserta variannya.
“Data-datanya sudah kita konfirmasikan ke GISAID, dan telah dikonfirmasi kembali dari GISAID bahwa memang data ini (sampel N), data sequencing (varian) Omicron,” kata Budi, Kamis (16/12/2021).
Namun, pemerintah tidak dapat mengetahui pasti dari mana N terpapar Omicron. Pasalnya, ia tak memiliki riwayat perjalanan ke luar negeri. N juga tak pernah berinteraksi dengan pelaku perjalanan luar negeri.
Kementerian Kesehatan kemudian melakukan pelacakan terhadap sejumlah orang yang memiliki riwayat perjalanan ke luar negeri dan terkonfirmasi positif Covid-19 setelah sampai di Indonesia.
Dari 196 warga negara Indonesia yang dilacak, ditemukan satu orang yang diduga kuat membawa varian Omicron ke Indonesia. Inisialnya TF, berusia 21 tahun.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Widyawati mengungkapkan, TF tiba dari Nigeria tanggal 27 November 2021. Setelah tiba di Indonesia, TF dinyatakan positif Covid-19.
Dia kemudian menjalani isolasi di Wisma Atlet Kemayoran dan dinyatakan sembuh tanggal 3 Desember 2021, sekitar dua pekan sebelum pemerintah mengumumkan kasus varian Omicron pertama.
Sampai pada titik ini, informasi yang tak boleh kita lewatkan adalah, status TF hanya ‘probable Omicron’.
Baca juga: Wagub DKI Benarkan Kasus Probable Omicron Ditemukan di Satu Sekolah di Jaktim
Ia diduga kuat membawa varian Omicron ke Indonesia. Hal itu didasarkan pada riwayat perjalanan ke negara dan perkembangan Omicron di negara tujuan.
Status ‘probable Omicron’ TF juga merujuk pada uji deteksi Single Nucleotide Polymorphism (SNP) berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil tes mengarah ke varian Omicron.
Hasil pelacakan ini otomatis menggugurkan label bahwa sang office boy adalah pasien Omicron pertama di Indonesia.
Itu artinya, sebagaimana prediksi para epidemiolog sebelumnya, varian Omicron sebenarnya telah masuk ke Indonesia sejak virus itu mewabah di sejumlah negara dunia, yakni sekitar November 2021.
Oleh sebab itu, pengumuman pemerintah selanjutnya pada 28 Desember 2021, semestinya tak mengagetkan publik lagi.
Ya, pada tanggal tersebut, Kemenkes melaporkan adanya transmisi lokal dari varian Omicron.
Orang yang disebut sebagai kasus pertama transmisi lokal Omicron di Indonesia itu adalah pria berusia 37 tahun yang berdomisili di Kota Medan, Sumatera Utara.
Ketika diketahui terpapar varian Omicron, pria tersebut sedang berada di Jakarta untuk mengunjungi sang istri. Ia diketahui rutin mengunjungi sang istri sebulan sekali.
Merujuk pada riwayat perjalanannya, Kementerian Kesehatan kembali kesulitan melacak dari mana pria itu terpapar Omicron. Sebab, ia tidak pernah keluar negeri dalam kurun waktu dekat. Perjalanan jauhnya pun hanya Medan-Jakarta.
Ia juga tidak pernah kontak erat dengan pelaku penerbangan internasional selama beberapa bulan terakhir.
Baca juga: Kemenkes: Mayoritas Temuan Kasus Omicron Transmisi Lokal Ada di Jakarta
Pelacakan kemudian dilakukan di sejumlah lokasi yang pernah disinggahi pria itu beserta sang istri. Salah satunya sebuah pusat perbelanjaan di SCBD, Jakarta.
Tracing contact juga dilakukan di apartemen tempat mereka menginap dan rumah sakit. Pokoknya, semua titik yang pernah dikunjungi pria beserta istrinya itu selama 14 hari terakhir.
Kemenkes tak melaporkan berapa banyak pasien Covid-19 yang terjaring dalam pelacakan itu. Tetapi, hal yang pasti dari serangkaian peristiwa di atas adalah varian Omicron telah menyebar begitu cepat di Indonesia pada hari-hari berikutnya.
Hal itu dibuktikan dari data penambahan kasus baru setelah diumumkannya transmisi lokal pertama tersebut. Setiap hari, kasus varian Omicron terus berlipat ganda, sebagaimana yang telah terjadi di negara-negara lain.
Dalam 30 hari, tepatnya sejak diumumkannya kasus Omicron pertama hingga 15 Januari 2022, tercatat ada 748 kasus Omicron di Indonesia. Sementara, jumlah kasus ‘probable Omicron’ tercatat sekitar 1.800 kasus.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, sebagian besar kasus Omicron berasal dari pelaku perjalanan luar negeri. Meski ada pula yang transmisi lokal.
Kasus Omicron yang berasal dari perjalanan internasional, paling banyak berasal dari Arab Saudi, Turki, Amerika Serikat, Malaysia, dan Uni Emirat Arab.
Perkembangan spesifik kasus Omicron di Indonesia dapat dilihat melalui grafik berikut ini:
Melihat lonjakan kasusnya di sejumlah negara, termasuk Indonesia, pertanyaan soal seberapa bahayanya varian Omicron dibandingkan varian Alpha dan Delta menjadi relevan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam konferensi persnya di Jenewa, 6 Januari 2022 mengungkapkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan dan Hong Kong, varian Omicron tidak menyebabkan keparahan pada kelompok usia muda dan dewasa.
“Tampaknya juga ada penurunan risiko keparahan pada orang yang lebih muda dan lebih tua,” kata pimpinan WHO untuk manajemen klinis, Janet Diaz.
Penelitian yang sama juga menemukan bahwa risiko keparahan menjadi lebih rendah apabila Omicron menginfeksi orang yang sudah disuntik vaksin lengkap.
Bahkan, profesor kedokteran dari Oxford, Inggris John Bell mengatakan, varian Omicron bukan virus yang sama seperti yang terlihat di awal pandemi Covid-19. Hal itu diketahui dari ringannya gejala yang muncul pada tubuh pasien sehingga cenderung tidak membutuhkan rawat inap atau ruang intensif (ICU).
"Lebih sedikit pasien yang membutuhkan oksigen aliran tinggi dan rata-rata lama rawat inap turun menjadi tiga hari," kata Bell dilansir dari The Guardian, Selasa (28/12/2021).
View this post on Instagram
Baca juga: PDPI: Gejala Omicron, Batuk, Hidung Tersumbat Hingga Sesak Napas
Di Indonesia, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan hal senada.
Tingkat perawatan pasien Omicron di rumah sakit selama Desember 2021 hingga 15 Januari 2022 hanya 30-40 persen dibandingkan saat musim varian Delta.
"Sampai sekarang, lebih dari 500 orang yang terkena Omicron dirawat di RS dan yang pulang sudah 300-an. Yang butuh oksigen hanya tiga. Dan itu masuk kategori ringan, tidak perlu sampai ventilator, hanya oksigen biasa yang dipasang di mulut, tidak dimasukkan ke dalam," lanjut dia.
Bahkan, dari tiga pasien yang harus menerima bantuan oksigen itu, dua di antaranya berhasil sembuh dan sudah dapat dipulangkan.
Walaupun disebut tidak lebih mematikan, tingkat penularan varian Omicron jauh lebih tinggi dibandingkan varian sebelumnya.
Sebagai gambaran, seorang penderita campak mampu menginfeksi 15 orang lain, sedangkan orang yang tertular Omicron bisa menginfeksi enam orang.
Namun, Omicron menular lebih cepat. Jika satu kasus campak menular ke 15 orang dalam 12 hari, maka kasus Omicron akan menular ke enam orang dalam empat hari. Artinya, ada 36 kasus Omicron dalam delapan hari dan menjadi 216 kasus dalam 12 hari.
”Omicron menyebar dengan laju yang belum pernah kita lihat pada galur sebelumnya,” kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengutip Kompas 10 Januari 2022.
Baca juga: 5 Cara Penyebaran Varian Omicron Menurut Ahli
Kasus pertama Omicron dilaporkan ke WHO pada 24 November 2021 dari Afrika Selatan. Sebulan kemudian, Omicron menyebar di 108 negara dengan 151.368 kasus dan 26 kematian.
Ada pula penelitian spesifik yang menyebutkan bahwa varian Omicron cenderung sulit menginfeksi paru-paru. Tidak seperti varian sebelumnya yang bereplikasi cepat di organ pernapasan itu.
Laporan penelitian yang belum ditinjau rekan sejawat dari tim peneliti Fakultas Kedokteran Li Ka Shing, Universitas Hong Kong, dipimpin Michael Chan Chi-wai, menunjukkan, Omicron menginfeksi dan bereplikasi 70 kali lebih cepat dibandingkan Delta dan SARS-CoV-2 asli di bronkus (saluran udara dari trakea ke paru-paru).
Tetapi, Omicron bereplikasi 10 kali lebih rendah di paru-paru daripada SARS-CoV-2 asli.
Brian J Willett dan kolega dari Universitas Glasgow, Inggris, menemukan, protein pada sel paru-paru, yakni TMPRSS2, yang biasanya memudahkan SARS-CoV-2 masuk ke sel paru-paru, kurang kuat terikat pada Omicron. Akibatnya, galur baru itu sulit menginfeksi sel paru-paru.
Di sisi lain, karena terkonsentrasi berjumlah tinggi di saluran udara bagian atas, Omicron lebih mudah ditularkan lewat batuk, bersin, atau percikan saat pasien berbicara.
Diduga, karakteristik inilah yang menyebabkan gejala Omicron lebih ringan secara umum dibandingkan varian sebelumnya.
Baca juga: Kemenkes: Total 1.626 Kasus Covid-19 Omicron di Indonesia
Hasil itu mendukung riset Wilfredo F Garcia-Beltran dari Departemen Patologi, Rumah Sakit Umum Massachusetts, Boston, Amerika Serikat, dan tim internasional yang diunggah di medRxiv, 14 Desember 2021.
Melalui metode pseudovirus, diketahui bahwa protein paku Omicron jauh lebih mudah masuk sel manusia daripada protein paku Delta ataupun SARS-CoV-2 asli.
Meski sulit menginfeksi paru-paru, Chan mengingatkan, tingkat keparahan penyakit pada manusia tidak hanya ditentukan replikasi virus, tetapi juga respons imun inang terhadap infeksi. Gangguan pada sistem imun bawaan juga dapat menyebabkan badai sitokin yang mematikan.
Sejumlah informasi yang merujuk pada ringannya gejala varian Omicron nampaknya ditangkap mentah-mentah oleh sebagian masyarakat.
Warga Kedoya, Jakarta Barat, Yavet Ola Masan (32) misalnya. Ia mengaku tidak terlalu khawatir dengan gelombang ketiga yang disebabkan oleh Omicron. Sebab, dari sejumlah media online, ia mengetahui efek sampingnya jauh lebih ringan dibandingkan varian sebelumnya.
“Yang saya tahu, Omicron memang lebih cepat menular dari Delta. Tapi efek sampingnya katanya lebih ringan. Kata media-media begitu,” ujar pria yang pada 2020 lalu sempat positif Covid-19 itu, Minggu 23 Januari 2022.
Baca juga: Kasus Omicron Makin Banyak, Menkes Perintahkan Percepat Deteksi Lewat PCR SGTF
Hal senada juga diungkapkan ibu rumah tangga di Cibubur, Pritha Bisara (31). Menurut dia, Omicron tidak lebih berbahaya dibandingkan varian sebelumnya.
“Katanya juga kalau sudah vaksin Pfizer, sudah kebal. Gejalanya ringan, ya sama kayak flu biasa,” ujar Pritha.
Edukator kesehatan publik dokter Adam Prabata mengungkapkan, apa yang ditangkap masyarakat bahwa Omicron lebih ringan tetapi lebih cepat menular dibandingkan varian sebelumnya benar adanya. Hanya saja kurang lengkap pemahamannya.
Adam menjelaskan, publik harus memahami bahwa penularan virus yang begitu cepat otomatis meningkatkan risiko rawat inap. Apabila risiko rawat inap naik, otomatis peluang untuk masuk ICU juga meningkat.
Artinya, apabila konfirmasi kasusnya melonjak tajam, jumlah yang dirawat pun juga bakal ikut naik.
“Meski risiko rawat inap pada pasien Omicron rendah, tapi yang dirawat bukan berarti nol kan? Tetap ada pasien yang dirawat inap dan masuk ICU, bahkan meninggal,” papar Adam saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu 23 Januari 2022.
“Jadi, karena kasusnya meroket, jumlah yang masuk rawat inap, ICU, bahkan meninggal juga akan tetap naik,” lanjut dia.
Ia mengambil contoh gelombang Omicron di Amerika Serikat. Berdasarkan penelitian di AS, varian Omicron 53 persen lebih rendah dalam hal risiko rawat inap. Varian itu juga 74 persen lebih rendah dalam hal risiko masuk ICU. Bahkan risiko kematiannya 91 persen lebih rendah.
Rangkuman hasil penelitian itu diunggah Adam ke media sosialnya.
View this post on Instagram
“Ini saya unggah 15 Januari. Tapi apa yang terjadi? Beberapa hari sebelum itu, rekor rawat inap di AS pecah. Sebelumnya tidak pernah sampai setinggi itu,” ujar Adam.
Data selengkapnya dapat dilihat dalam grafik berikut ini:
Merujuk data ourworldindata.org di atas, tingkat keterisian rumah sakit di AS pada 17 Januari 2022 (131,4 persen) jauh lebih tinggi dibandingkan puncak gelombang kedua yang disebabkan varian Delta pada 29 Agustus 2021 (74,2 persen).
Kasus kematian akibat gelombang Omicron juga nyaris menyamai kasus kematian pada gelombang Delta.
Adam tak ingin informasi yang salah kaprah itu justru membuat masyarakat abai terhadap protokol kesehatan dan bisa berakibat fatal bagi diri sendiri.
Indonesia sendiri sudah menunjukkan gejala tersebut. Pada 22 Januari 2022, dua orang pasien Omicron meninggal dunia.
Satu pasien diketahui transmisi lokal dan meninggal di Rumah Sakit (RS) Sari Asih Ciputat. Sementara, satu orang lagi pelaku perjalanan luar negeri, meninggal di RSPI Sulianto Saroso, Jakarta Utara.
Baca juga: Kemenkes Sebut Sesak Napas Sebagai Gejala Utama Pasien Omicron yang Meninggal Dunia
Adam menambahkan, gelombang Omicron di Indonesia diprediksi juga meroket apabila kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat tidak segera dilakukan.
Potensi lonjakan kasus akibat Omicron juga disebabkan karakteristik varian ini sendiri yang sering lolos dari sistem imun tubuh.
“Penelitiannya sudah banyak bahwa Omicron itu imune escape. Jadi dia bisa kabur atau lolos dari sistem imun. Makanya, peluang orang yang sudah pernah kena untuk reinfeksi itu bakal meningkat. Ada salah satu studi dari Afrika Selatan yang bilang seperti itu. Risikonya 2,39 kali lebih tinggi,” ujar Adam.
“Sampai di sini, ringannya virus ini jangan sampai disalahartikan orang lagi. Karena ternyata masih tetap ada yang meninggal dunia setelah dirawat inap,” lanjut dia.
Peringatan senada juga diungkapkan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers di Jenewa, 6 Januari 2022.
"Meskipun Omicron tampaknya tidak terlalu parah dibandingkan Delta, terutama pada mereka yang divaksinasi, tidak berarti dikategorikan ringan," ujar Tedros.
"Sama seperti varian sebelumnya, Omicron membuat orang dirawat di rumah sakit dan membunuh manusia," lanjut dia.
Kecemasan akibat gelombang Omicron memaksa berbagai negara menerapkan kembali pembatasan aktivitas. Ada kekhawatiran, penularan Omicron akan menjungkirbalikkan rencana pemulihan ekonomi pascapandemi yang titik terangnya diharapkan pada 2022.
Singapura contohnya. Dikutip dari Kompas 23 Desember 2021, pemerintah Singapura membekukan penjualan tiket baru untuk pesawat dan bus ke negaranya dalam skema perjalanan bebas karantina mulai Kamis 23 Desember 2021.
Tetapi, di bawah program jalur perjalanan bagi orang yang sudah divaksinasi (vaccinated travel lane/VTL), Singapura membolehkan warga yang sudah divaksin penuh dari negara tertentu dengan penerbangan atau angkutan bus yang telah ditetapkan untuk berkunjung ke negaranya tanpa harus menjalani karantina.
Lebih dari 20 negara masuk daftar program itu, termasuk Australia, India, Malaysia, Inggris, dan AS.
Di Hong Kong, maskapai Cathay Pacific mengumumkan pembatalan sebagian penerbangan penumpang pada periode Januari 2022.
Di AS, Carnival Corp, salah satu pengelola kapal pesiar terbesar, melaporkan lonjakan pembatalan pesanan sepanjang pekan ini. Hingga separuh pesanan ke berbagai restoran di Madrid, Spanyol, juga mendadak dibatalkan.
Pembatalan juga terlihat di berbagai restoran dan bioskop di London, Inggris. Bahkan, salah satu bioskop di London harus mengembalikan tiket senilai total 240.000 dollar AS.
Asosiasi agen perjalanan Inggris, Advantage Travel Group, melaporkan, pesanan paket perjalanan pada Desember ini anjlok 40 persen.
Baca juga: Waspada Omicron, PM Selandia Baru Batalkan Pernikahannya
Di Portugal, pemerintahnya mewajibkan kerja dari rumah, menutup diskotek dan kedai minum, menunjukkan hasil tes sebelum masuk arena olahraga, bioskop, atau menghadiri resepsi.
Bahkan di Belanda, pemerintahnya mengunci wilayah (lockdown) dari 20 Desember 2021 hingga 14 Januari 2022.
Saat pemerintah Indonesia mendeteksi kasus Omicron pertama, pintu masuk internasional langsung dibatasi ketat.
Sebanyak 14 negara tidak boleh masuk. Mereka adalah Afrika Selatan, Botswana, Norwegia, Perancis, Angola, Zambia, Zimbabwe, Malawi, Mozambique, Namibia, Eswatini, Lesotho, Inggris, dan Denmark.
Namun, khusus WNI yang datang dari 14 negara itu, masih tetap bisa masuk dengan syarat karantina 14 hari. Sementara, WNI dan WNA yang datang dari luar 14 negara itu mesti menjalani karantina 10 hari.
Tak lama berselang, aturan karantina dilonggarkan menjadi 10 hari dan tujuh hari karantina, tergantung asal kedatangannya.
Pada 12 Januari 2022, pemerintah mengumumkan kebijakan yang disesalkan banyak pihak.
Pemerintah malah mencabut larangan masuk dari 14 negara. Padahal, per hari yang sama, Omicron telah mewabah di 150 dari total 195 negara di dunia (76 persen negara).
Pada waktu yang sama, pemerintah menerapkan aturan karantina 7x24 jam untuk seluruh pelaku perjalanan dari seluruh negara, tanpa membedakan apakah angka penularan Omicron tinggi atau rendah.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjelaskan, membatasi Indonesia dari negara lain akan mempersulit lalu lintas negara demi pemulihan ekonomi.
“Jika pengaturan pembatasan daftar negara masih tetap ada, maka akan menyulitkan pergerakan lintas negara yang masih diperlukan untuk mempertahankan stabilitas negara. Termasuk pemulihan ekonomi nasional," kata Wiku dalam keterangan tertulis, Jumat 14 Januari 2022.
Baca juga: Kasus Omicron Terus Bertambah, Epidemiolog Sarankan Pemerintah Kaji Ulang PPKM di Jakarta
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, pembukaan Indonesia bagi negara lain tidak mencerminkan konsep ‘gas dan rem’ yang diusung pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin sejak awal pandemi.
Saat kasus melonjak, semestinya pemerintah mulai melakukan pembatasan aktivitas masyarakat. Tak jadi soal sektor ekonomi ditahan sementara, sementara membiarkan petugas medis bekerja merawat mereka yang sakit hingga sembuh.
"Ini kontraproduktif, ironi juga ya. Sesungguhnya (pemerintah) lebih menempatkan kepada kepentingan ekonomi. Jadi kebijakan itu tidak lagi memprioritaskan pada persoalan yang dihadapi. Padahal yang dihadapai ini kan persoalan Covid-19," kata Trubus.
Membuka lebar-lebar pintu Indonesia dari negara lain justru hanya akan memperparah penularan kasus di Indonesia dan ujung-ujungnya sektor perekonomian sulit bangkit kembali.
Dalam konferensi pers terkini, 24 Januari 2022, alih-alih menerapkan pembatasan ketat, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan malah menegaskan, sistem kesehatan di Tanah Air sudah cukup siap menghadapi gelombang Omicron.
“Persiapan kita jauh lebih baik menghadapi Omicron (dibandingkan) dengan Delta yang lalu,” ujar Luhut.
“Tapi balik lagi. Kalau masyarakat tidak disiplin, ini juga akan menjadi masalah. Itu sebabnya saya berkali-kali sampaikan agar disiplin kita semua menempatkan Omicron menjadi musuh bersama. Itu menjadi kunci,” lanjut dia.
Baca juga: Dua Pasien Omicron Meninggal Dunia, Pemerintah Belum Berencana Tarik Rem Darurat
Meskipun saat ini pangkal gelombang ketiga ini sudah terdeteksi dan alarm sudah banyak dibunyikan, Luhut juga mengatakan, pembatasan yang ketat belum akan diambil. Pembatasan ketat baru akan dilaksanakan apabila situasi sudah mengarah ke darurat.
Pernyataan ini sekaligus menjawab keresahan sejumlah pihak tentang pembelajaran tatap muka (PTM) yang sudah dilangsungkan.
Pemerintah akan terus mengevaluasi dinamika kasus setiap pekan untuk menentukan apakah kebijakan pembatasan ketat akan dilakukan atau tidak.
“Jadi jangan ada yang bilang kita (pemerintah) ini tidak konsisten. Karena keputusan kita akan sejalan dengan data-data yang terjadi. Semua ini sangat dinamis karena penyakit ini pun banyak yang kita tidak duga,” ujar Luhut.
Tidak adanya kebijakan pembatasan ketat sekalipun gelombang Omicron sudah terendus memaksa masyarakat untuk mau tak mau menjadi garda depan pencegahan penularan virus.
Pemerintah telah memprediksi puncak gelombang Omicron akan terjadi pada Februari 2022 dengan perkiraan total kasus sebanyak 40.000 hingga 60.000.
Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman juga memprediksi hal yang sama. Bahkan, puncaknya boleh jadi memanjang hingga Maret 2022, mengingat fakta masih ada orang yang abai terhadap protokol kesehatan.
Hanya saja, untuk prediksi lonjakan kasus, Dicky tak yakin dengan perkiraan pemerintah. Ia menilai, kemungkinan besar justru angka 60.000 adalah angka terkecil puncak gelombang tiga Covid-19 di Indonesia.
"Angka itu (60.000 kasus di Februari) sebenarnya angka minimum. Kalau bicara Omicron angka (penularannya) besar, yang terinfeksinya. Tapi mayoritas tak bergejala," ujar Dicky ketika dihubungi, Jumat 14 Januari 2022.
Baca juga: Kasus Omicron di Jakarta Kian Melonjak, Puncaknya Diprediksi Maret 2022
Ketua Perhimpunan Dokter Paru dokter Agus Dwi Susanto mengatakan, prediksi-prediksi itu mestinya sudah menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera melakukan pembatasan aktivitas.
Apalagi, data menunjukkan, lebih dari 20 persen kasus Omicron di Indonesia adalah transmisi lokal.
“Artinya, jika kasus terus meningkat dan tidak terkendali, maka ada kemungkinan sistem kesehatan Indonesia akan kewalahan,” ujar Agus dalam konferensi pers, Senin, 24 Januari 2022.
PDPI menyampaikan sejumlah langkah untuk dilakukan pemerintah dan masyarakat demi menghadapi gelombang Omicron.
Semoga belum terlambat...!