Seperti apa paparan analisis para psikolog mengenai fenomena pertanyaan "kapan nikah?" di Indonesia? Apa pula tips bila mendapat pertanyaan itu?
'KAPAN nikah?" Inilah barangkali salah satu pertanyaan yang paling sering terdengar di Indonesia, dari zaman ke zaman, terutama saat bertemu di kondangan atau mudik lebaran.
Masalahnya, pertanyaan ini sering bikin yang ditanya serba salah bahkan dongkol atau kesal.
Beberapa waktu lalu, Kompas.com melakukan survei mini di Jakarta untuk mengetahui pengalaman para anak-anak muda Jakarta terkait pertanyaan ini.
Hal pertama yang didapati, hampir semua responden survei mengaku pernah bersirobok dengan pertanyaan, "Kapan nikah?" itu.
Salah satu responden, Dina Fahrani, mengaku sering mendapat pertanyaan itu dari waktu ke waktu. Padahal, dia dan pasangannya masih kuliah.
Sebaliknya, responden lain, Putri, justru mengaku yang suka bertanya. “(Bertanya) kaya bercanda aja, ‘Kapan sih nikah?’,” ujar dia.
Selain iseng, rupanya ada banyak alasan untuk menanyakan “Kapan nikah?” ini. Faktor usia yang dianggap sudah waktu menikah, ada di antaranya, seperti diungkap Firman dalam survei.
Respons atas pertanyaan tersebut pun beragam. Kresna Yudistira, misalnya, yang akan bertanya balik kepada si penanya. Atau, Tiffany Justine yang berpendapat, pertanyaan itu sebaiknya tak usah diajukan karena rentan mengusik bahkan menyakiti hati yang ditanya.
Berikut ini video dari survei mini dimaksud:
Bila survei mini ini ditujukan kepada mereka yang berada pada masa rawan ditanya atau bertanya soal kapan nikah, bagaimana pendapat para psikolog mengenai hal itu?
PERTANYAANNYA, mengapa orang Indonesia begitu suka menanyakan, “Kapan nikah?”. Padahal, banyak dari mereka juga tahu bahwa pertanyaan itu sering kali membuat orang yang ditanya merasa kesal.
Astrid Wen, psikolog anak dan keluarga, serta theraplay practitioner dari Pion Clinician, berkata kepada Kompas.com saat ditemui di Jakarta, Rabu (10/10/2018), bahwa ini ada hubungannya dengan budaya kekeluargaan orang Indonesia.
“Jadi, semua orang ikut ngurusin saat ada satu orang belum menikah di usia yang cocok untuk menikah,” ujarnya.
Meski demikian, Astrid juga tidak menampik bahwa pertanyaan ini sering kali digunakan sebagai bahan basa-basi. Pendapat yang ini juga disetujui oleh Rizqy Amelia Zein, asisten dosen Social and Personality Psychology dari Universitas Airlangga.
Amel—nama panggilan Rizqy Amelia Zein—menulis lewat surat elektronik kepada Kompas.com, Jumat (12/10/2018), fenomena ini dapat dianalisis dengan social comparison theory.
“Orang-orang yang suka menjelekkan orang lain dengan nanya rese atau kepo, sebenarnya melakukannya agar merasa nasib mereka lebih baik.”
Dalam psikologi sosial, dijelaskan bahwa pemahaman kita soal orang lain terbentuk lebih dulu dibanding pemahaman soal diri sendiri. Konsep diri baru akan terbentuk ketika kita membandingkan diri dengan orang lain.
Nah, social comparison theory juga menyebutkan bahwa harga diri (self-esteem) terbentuk dalam proses ketika kita membandingkan diri dengan orang lain ini.
Harga diri rendah terbentuk ketika kita membandingkan diri dengan orang yang kondisinya lebih baik (upward comparison), sedangkan harga diri tinggi terbentuk ketika kita membandingkan dengan orang yang dianggap lebih malang (downward comparison)
“Orang-orang yang suka menjelekkan orang lain dengan nanya rese atau kepo, sebenarnya melakukannya agar merasa nasib mereka lebih baik (sehingga harga diri mereka meningkat),” ujar Amel.
Psikolog ini melanjutkan, tentu saja pertanyaan-pertanyaan usil semacam itu kecil kemungkinannya kita tanyakan pada orang yang posisinya lebih beruntung dari kita.
Seandainya pertanyaan “kapan nikah?” diutarakan karena rasa empati dan bukan cuma rasa penasaran atau iseng, Amel meyakini sang penanya juga akan menawarkan bantuan setelah bertanya.
WALAU tampak sepele, pertanyaan yang bersifat sangat personal seperti “kapan nikah?” bisa menimbulkan dampak besar.
Pada orang yang keadaan mentalnya sehat, pertanyaan ini mungkin bisa dianggap angin lalu, meski tetap membuat tidak nyaman. Akan tetapi, pertanyaan ini menjadi berbahaya ketika diutarakan kepada orang yang mengalami depresi berat.
Amel mengatakan, pertanyaan-pertanyaan iseng itu bisa jadi bikin mereka yang tengah mengalami depresi bertambah buruk kondisinya. Bahkan, kondisinya bisa sampai pada kejadian serius, misalnya suicidal atau malah benar-benar bunuh diri.
Perlu untuk diketahui, sering kali orang-orang yang mengalami depresi tidak secara eksplisit menampakkannya. Oleh karena itu, Amel berpesan agar kita berjaga-jaga dengan tidak sembarangan menanyakan pertanyaan yang sifatnya terlalu personal seperti itu.
Selain itu, pertanyaan “kapan nikah?” yang berulang-ulang juga dapat membentuk pola pikir seseorang sehingga menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup.
Pertanyaan “Kapan nikah?” yang berulang-ulang juga dapat membentuk pola pikir seseorang sehingga menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup.
Terpapar berulang kali pertanyaan "kapan nikah", seseorang yang belum menikah bisa jadi merasa gagal atau belum lengkap. Mereka pun rentan terjerumus dalam pernikahan hanya karena tuntutan keluarga, padahal belum siap dan tak benar-benar mengenal orang yang dinikahinya.
“Padahal, menikah itu kan suatu perjalanan hidup dan pilihan, bukan tujuan. Pernikahan itu suatu proses yang kalau kita jalani seharusnya mendewasakan dan menambah kebahagiaan kita, dan membuat yakin satu sama lain. Justru habis nikahlah, kerja samanya harus dipertahankan,” papar Astrid.
Dampak besar dari pertanyaan berulang "kapan nikah?" yang sampai membuat orang mengubah tujuan hidup karenanya bisa dianggap terlalu ekstrem.
Namun, Amel menyebut bahwa hal tersebut bisa terjadi bila yang menanyakannya adalah orang yang penting dalam kehidupan, seperti orangtua.
"Saya pernah membaca suatu artikel bahwa perasaan berutang (indebted) yang dirasakan anak pada orangtua sangat khas terjadi dalam pola asuh orangtua-orangtua di Asia," kata Amel ketika dihubungi kembali lewat layanan pesan singkat pada Jumat (19/10/2018).
"Bisa jadi dengan permintaan anaknya menikah, anak menganggap keinginan orangtua tersebut sebagai mandat agar orangtuanya bahagia. Dalam kasus tersebut, mungkin juga pernikahan jadi tujuan hidup yang penting," lanjutnya.
MESKI demikian, Astrid pun mengakui bahwa pertanyaan “Kapan nikah?” juga memiliki nilai positif. Misalnya, menimbulkan keinginan membangun keluarga pada orang-orang lajang yang sudah terlalu asyik dengan kehidupannya sendiri, teritama bagi yang memang terpanggil untuk menikah.
Selain itu, pertanyaan tersebut juga bisa membuka komunikasi-komunikasi yang cukup penting di antara pasangan, seperti soal kesiapan nikah, sehingga dapat mempererat hubungan.
“Karena pernikahan pun sesuatu hal yang baik. Pernikahan adalah sebuah jaminan supaya anak-anak bisa tumbuh dalam lingkungan yang aman. Hubungan pasangan pun menjadi terjamin oleh negara sehingga sama-sama terlindungi,” ujarnya.
Berbagai penelitian, seperti yang dipublikasikan dalam Journal of Marriage and Family pada 1998 dan Journal of Happiness Study pada 2017, menunjukkan pula bahwa tingkat kepuasan hidup dan kebahagian orang yang menikah lebih tinggi daripada yang melajang atau tinggal bersama tetapi tidak menikah.
Akan tetapi, yang bertanya juga harus lebih peka. Ada banyak pertanyaan, selain “kapan nikah?” yang dapat digunakan untuk berbasa-basi.
“Tanya saja dulu kabarnya lalu ikuti ceritanya. Kalau orang itu tidak cerita soal relasinya, berarti orang itu tidak terbuka (untuk membicarakannya),” kata Astrid.
Baru ketika ada hubungan atau relasi yang cukup dekat, Anda boleh melontarkan pertanyaan sepersonal “kapan nikah?”.
Selain itu, pernikahan juga baru boleh dipertimbangkan ketika individu tersebut sudah memiliki kesiapan.
“Memang benar negara sudah memberikan usia yang baik untuk menikah itu kapan, tetapi perlu diberikan edukasi psikologis atau kampanye nasional mengenai usia menikah yang baik. Lalu, kalau bisa diadakan diskusi-diskusi dengan para pemuka agama untuk benar-benar menyiapkan para perempuan agar menikah dengan kesiapan rahim, kesiapan gizi, dan kesiapan mental,” papar Astrid.
Astrid juga menghimbau agar orangtua juga dibukakan pola pikirnya agar tidak buru-buru menikahkan anak. Setidaknya, sang anak dan pasangannya harus sudah konsisten menstruasinya, sama-sama minimal lulus SMA/SMK, dan bekerja.
“Yang membuat seorang dewasa muda sehat mentalnya bukanlah sudah menikah atau tidak, melainkan ketika dia bisa menemukan orang yang dia cintai dan dia bisa lekat dengan orang tersebut. Lalu, tidak hanya (lekat) pada orang tersebut, dia juga bisa berkontribusi pada lingkungannya,” katanya.
BAGI para jomblo dan pasangan yang sering mendapat pertanyaan "kapan nikah?", Astrid menyarankan untuk menanggapinya dengan santai saja. Namun, bila Anda merasa terganggu dan sampai marah, jangan terlalu memikirkannya hingga merasa bersalah.
Berdiam diri, seperti merenung, berdoa atau bermeditasi, juga bisa ditempuh untuk mencari tahu mengapa kita merasa begitu terganggu oleh pertanyaan tersebut.
Astrid mengatakan, dalam kondisi tenang, baru kita cek apa yang membuat kita terganggu oleh pertanyaan itu. Apakah benar-benar karena tidak ada pasangannya? Apakah karena orang itu cara bertanyanya menyebalkan? Atau, apakah karena kita sudah lelah mencari-cari, tetapi tidak menemukan pasangan?
"Kalau sudah begitu, keluarkan amarah Anda pada saat me-time, bisa dengan pukul-pukul samsak, ikut kelas bela diri, atau sekadar kumpul-kumpul dengan teman-teman yang tidak menanyakan hal itu," imbuhnya.
Terakhir, dia berpesan untuk mensyukuri kondisi yang belum menikah. Sebab, kondisi belum menikah juga memiliki keuntungannya sendiri, misalnya Anda bisa fokus pada hal lain atau memberi kontribusi yang lebih besar pada masyarakat.
"Jadi ya dinikmati aja. Sebab, ketika kita lebih nyaman dengan diri kita sendiri, kita jadi sadar dan bisa menerima pertanyaan-pertanyaan seperti ini" ujarnya.
Carpediem....