JEO - Peristiwa




Jumat, 30 Oktober 2020 | 12:27 WIB

Pandemi
dan Cerita Mereka
yang Tak Terdaftar
Jaminan Ketenagakerjaan

Masih ada saja pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta yang tak mendapat bantuan subsidi upah. Pangkal masalah, mereka tak didaftarkan ke BPJS Ketenakerjaan oleh pemberi kerja. Butuh penguatan pengawasan dan penegakan aturan ketenagakerjaan di lapangan.

SUDAH jatuh tertimpa tangga. Peribahasa ini mendekati nasib sebagian buruh di tengah pandemi virus corona. Sudah tak mendapat jaminan sosial ketenagakerjaan, bantuan subsidi upah (BSU) pun tak kebagian.

Doni—bukan nama sebenarnya—baru saja menyelesaikan pekerjaan memperbaiki salah satu mobil pelanggan. Itu adalah mobil kelima yang dia servis.

Laki-laki berkacamata ini bersyukur, semakin banyak pelanggan yang mulai berdatangan kembali ke tempat kerjanya.

Pada hari-hari sebelum Maret 2020, pengguna jasanya selalu antre, tak ada habisnya, bisa lebih dari 10 pelanggan dalam sehari. Namun, pandemi Covid-19 membuat tempat kerjanya paling banyak didatangi tiga hingga lima pelanggan per hari.

Sudah sekitar lima tahun laki-laki berbadan kurus tinggi ini bekerja di salah satu bengkel kendaraan bermotor di Karanganyar, Jawa Tengah. Selama itu juga dia tidak terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan.

Mulanya Doni abai. Buruh berusia 32 tahun ini tak merasa jaminan sosial ketenagakerjaan itu penting baginya. Tapi siapa sangka, ketidakpastian ekonomi akibat pandemi membuat kondisi kian sukar.

Andai terdaftar untuk mendapat jaminan ketenagakerjaa dan iurannya dibayarkan, setidaknya sedikit keruwetan akan terurai. Sudah jaminan sosial ketenagakerjaan tak jelas, bantuan subsidi upah pun dia jadi tak dapat.

"Yang jelas, sedih ketika tahu saya tak akan dapat bantuan subsidi upah," ungkap DK saat diwawancara Kompas.com setelah pulang bekerja, Sabtu (26/9/2020).

BSU merupakan bagian dari program pemerintah bagi pekerja swasta dengan upah di bawah Rp 5 juta yang terdampak Covid-19. Program ini memberikan bantuan Rp 600.000 per bulan selama empat bulan dalam setiap termin.

Baca juga: Jokowi Luncurkan Bantuan Upah Hari Ini, Langsung Ditransfer ke Rekening

Selain memenuhi syarat dari kriteria gaji, pekerja yang bisa mendapatkan BSU juga harus terdaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan di BPJS Ketenagakerjaan hingga Juni 2020.

Bantuan Subsidi Upah - (DOK KOMPAS/ANDRI)

Doni bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan. Namun, dia tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, buat dia nominal BSU cukup berarti.

Ada kebutuhan istri dan dua anak balita yang harus dia cukupi. Terlebih lagi, upahnya sempat dipotong beberapa bulan lantaran jumlah pelanggan yang berkurang akibat wabah.

Cerita hampir mirip dialami pula oleh Joko, bukan nama sebenarnya juga. Karyawan berusia 20 tahun di PT Pelita Tomang Mas ini pun belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Ujung-ujugnya, dia juga tak mendapatkan bantuan subsidi upah.

Padahal, Joko sudah bekerja selama kurang lebih 10 bulan. Artinya, jika dari awal bekerja dia sudah terdaftar BPJS Ketenagakerjaan, terbuka kesempatan baginya untuk bisa mendapatkan BSU.

Laki-laki berbadan tinggi tegap ini tidak mengetahui secara pasti alasan manajemen pabrik belum juga mendaftarkan dia dalam program BPJS Ketenagakerjaan.

Baca juga: Upah Minimum Tak Naik, Tahun Depan Subsidi Upah Berlanjut?

Joko tidak berani bertanya langsung ke perusahaan karena khawatir dianggap banyak menuntut yang berujung pada black list sebagai pekerja.

Dia beranggapan, sudah menjadi kekhawatiran bersama bahwa pabrik, bukan hanya PT Peltita Tomang Mas, bisa saja dengan mudah memecat karyawan yang mungkin dianggap banyak minta atau merugikan.

Sejumlah pekerja keluar dari pabrik PT Pelita Tomang Mas, di Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (14/10/2020) sore. Para pekerja di Karanganyar berharap pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki pengawasan dan penegakan aturan ketenagakerjaan agar tidak merugikan buruh.
KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI
Sejumlah pekerja keluar dari pabrik PT Pelita Tomang Mas, di Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (14/10/2020) sore. Para pekerja di Karanganyar berharap pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki pengawasan dan penegakan aturan ketenagakerjaan agar tidak merugikan buruh.

Sementara di luar sana, Joko yakin, ada banyak orang yang siap mengganti posisi pekerja sekarang dan bersedia dipekerjakan tanpa dibekali BPJS Ketenagakerjaan.

"Jadi ya saya enggak berani 'macam-macam' sampai sekarang, termasuk minta kartu BPJS Ketenagakerjaan itu," kata dia.

Joko hanya menerima informasi dari karyawan lain bahwa pabrik memang tidak pernah memberi kepastian waktu soal kapan para pekerja akan didaftarkan program BPJS Ketenagakerjaan.

"Ada yang bilang harus tunggu dulu sampai setengah tahun baru dikasih BPJS Ketenagakerjaan, ada yang bilang setahun, ada juga yang bilang dua tahun atau setelah diangkat jadi pegawai tetap," tutur dia.

Kesimpangsiuran informasi ini membuat Joko semakin bingung dan akhirnya membuat pemuda ini bersikap pasrah.

Ilustrasi banyak pekerja yang masih tak didaftarkan perusahaan ke BPJS Ketenagakerjaan - (DOK KOMPAS/DIDIE SW) 

Dalih perusahaan dan asosiasi

Saat dimintai konfirmasi, staf HRD PT Pelita Tomang Mas, Dwi Rahayu, tak menampik jika kemungkinan memang masih ada pekerja di perusahaannya yang belum terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan meski sudah bekerja sekian lama.

Namun, dia mengklaim, pekerja yang seperti itu jumlahnya tidak banyak. Hanya, Dwi tak bisa merinci perkiraan maupun jumlah pastinya.

Dwi menuturkan, ada beberapa alasan yang bisa membuat hal ini terjadi. Alasan itu antara lain kelalaian petugas personalia karena ada banyak pekerja yang harus ditangani, ketidakaktifan pekerja untuk melapor, atau penilaian terhadap pekerja yang memang dianggap belum memenuhi standar.

Baca juga: Update Bantuan Subsidi Gaji: Ini 5 Hal yang Perlu Pekerja Ketahui

Dia pun mempersilakan para karyawan yang merasa belum terdaftar program BPJS Ketenagakerjaan untuk bisa melapor ke bagian personalia.

Saat dimintai komitmen, Dwi berjanji perusahaan tak akan "membuang" karyawan yang mengadu.

"Pekerja takut bilang ke kami? Ini kan pikiran mereka saja. Kalau memang belum terdaftar BPJS Ketenagakerjaan, silakan datang.Ini kan untuk kebaikan bersama," ujar Dwi saat ditemui pada Rabu (14/10/2020).

Dwi mengakui, selama ini PT Pelita Tomang Mas memang tak langsung mendaftarkan para pekerja ke dalam program BPJS Ketenagakerjaan setelah proses rekrutmen rampung.

Pabrik melakukan itu untuk mengantisipasi kerepotan atau kerugian finansial yang dapat muncul akibat pekerja lebih memilih resign tidak lama setelah bekerja dan didaftarkan BPJS Ketenagakerjaan.

Pasalnya, dia menuturkan, selama ini yang terjadi di lapangan adalah arus keluar masuk (resign-rekrutmen) karyawan di PT Pelita Tomang Mas terbilang tinggi karena berbagai alasan. Dwi yakin persoalan ini juga terjadi di banyak perusahaan atau pabrik lain.

"Istilahnya tunggu sebulan dulu lah, sampai mereka kelihatan betah. Karena, kadang baru 3-7 hari bekerja ada saja pekerja yang sudah enggak betah lalu pindah (meski) beberapa pekerja ada yang balik lagi ke sini," jelas dia.

Baca juga: Kemenaker Sediakan Layanan Fasilitas Aduan Program Bantuan Subsidi Gaji

Ilustrasi tantangan BPJS - (DOK KOMPAS/JITET)

Dwi mengklaim, PT Pelita Tomang Mas sebenarnya juga tidak mau berlama-lama membiarkan para pekerja tanpa jaminan BPJS Ketenagakerjaan. Pasalnya, hal itu dapat juga merugikan perusahaan.

Misalnya, ketika pekerja yang belum terdaftar BPJS Ketenagakerjaan ini tiba-tiba mengalami kecelakaan kerja. Biaya pengobatan karyawan alhasil harus ditanggung oleh perusahaan.

"Kira-kira tiga bulan-lah paling lama (karyawan baru didaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan). Kalau sudah lebih dari enam bulan atau setahun, kami anggap sudah betah, sudah sreg dengan pekerjaannya, jadi nanti kami daftarkan," tutur Dwi.

Merespons kondisi tersebut, Sekretaris Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jateng, Wahyu Cahyo Wibowo, turut memberikan pembelaan. Dia mengklaim, banyak perusahaan kini sudah melek akan pentingnya BPJS Ketenagakerjaan dan karenanya mendaftarkan para pekerjanya.

Kendati, Wahyu tidak menampik pula, terbuka kemungkinan masih ada perusahaan yang belum mendaftarkan sebagian pekerjanya dengan pelbagai alasan, termasuk efisiensi. Namun, kata Wahyu, perusahaan yang seperti ini hanya sedikit meski dia tak dapat menyebut kisaran jumlahnya.

Baca juga: Kemenaker Kembalikan 150.000 Rekening Calon Penerima Subsidi Gaji ke BPJS, Kenapa?

Terkait hal ini, API Jateng hanya bisa mengimbau kepada anggota untuk sebisa mungkin mendaftarkan setiap pekerjanya ke dalam program BPJS Ketenagakerjaan yang punya manfaat luas.

Menurut Wahyu, API Jateng telah beberapa kali membuat semacam surat anjuran resmi kepada para anggota agar melakukan hal tersebut.

"Pak Ketua API Jateng juga sering bilang, 'Ayo BPJS Ketenagakerjaan ini program pemerintah yang menjanjikan untuk kita semua, baik sebagai pengusaha atau pelaku dan karyawan kita.' Tapi ya praktik di lapangan, kami hanya bisa kembalikan lagi ke teman-teman," kata dia.

Wahyu menyarankan, pekerja yang merasa belum didaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan bisa berkomunikasi dengan baik ke perusahaan. Dia yakin, perusahaan akan terbuka dengan masukan tersebut.

Saling lempar

Kepala Dinas Perdagangan Tenaga Kerja, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disdagnakerkop UKM) Karanganyar, Martadi, tak menutup mata kemungkinan besar memang masih ada pekerja di Karanganyar yang belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan padahal sudah sekian lama bekerja.

Namun, menurut dia, jumlahnya tidak banyak, tak sampai 100.000 pekerja.

Terkait persoalan ini, Martadi hanya bisa mengimbau para pengusaha untuk semestinya taat aturan dengan mendaftarkan setiap pekerjanya ke dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.

Dia menegaskan, BPJS Ketenagakerjaan jelas tak hanya sangat bermanfaat bagi pekerja, tapi juga perusahaan.

Baca juga: Mengapa BLT Subsidi Gaji Rp 600.000 Tahap 1-3 Ada yang Belum Cair?

Adapun bagi para pekerja yang merasa belum juga didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, Martadi menyarankan mereka membangun komunikasi baik dengan pihak perusahaan.

Menurut Martadi, Pemkab Karanganyar tidak punya kewenangan lebih jauh lagi untuk melakukan pengawasan ketenagakerjaan di lapangan.

Apabila setelah upaya komunikasi itu pekerja tetap mengalami kendala, Martadi mempersilakan mereka melapor ke Disdagnakerkop UKM Karanganyar. Disdagnakerkop UKM, kata dia, siap memfasilitasi sesuai kewenangan.

"Misalnya ada permasalahan di perusahan, pekerja bisa kirim laporan tertulis ke kami. Setelah ada laporan, pihak pelapor maupun perusahaan akan kami panggil. Kami mediasi. Kalau mediasi bisa menyelesaikan masalah, ya sudah selesai. Tapi kalau tidak, ya bisa naik ke PHI (Peradilan Hubungan Industrial)," jelas dia.

Disinggung soal anggapan serikat pekerja bahwa mediasi bukanlah solusi ampuh untuk mengatasi persoalan karyawan ini, Martadi hanya menanggapi bahwa Disdagnakerkop UKM tidak punya kewenangan di luar itu.

Menurut Martadi, Pemkab Karanganyar tidak punya kewenangan lebih jauh lagi untuk melakukan pengawasan ketenagakerjaan di lapangan.

Disdagnakerkop UKM bisa dibilang sekarang hanya bisa bersikap pasif menunggu laporan dari pekerja yang mungkin mengeluh belum juga terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.

Hal itu karena tugas pengawasan ketenagakerjaan sudah dilimpahkan ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng.

"Tugas pengawasan ketenagakerjaan sekarang sudah ditarik ke Pemprov. Jadi, tugas kami tinggal hubungan industrial saja, menjadi mediator," ungkap Martadi.

Ketika diwawancara, Pengawas Ketenagakerjaan Satwasker Wilayah Surakarta Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Jateng, Darsi, memastikan selama ini pihaknya telah sering melakukan monitoring ke lapangan.

Baca juga: Jutaan Pekerja Batal Terima Subsidi Gaji Rp 600.000, Ini Penyebabnya

Saat melakukan pengawasan tersebut, ujar Darsi, pihaknya memang masih menemukan beberapa perusahaan di kawasan Soloraya, termasuk Karangayar, yang belum mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.

Namun, Darsi tidak bisa menyebut secara pasti jumlah perusahaan yang kedapatan melakukan pelanggaran tersebut.

Ketika mendapati pelanggaran, ujar Darsi, Pengawas Ketenagakerjaan yang jelas bakal melakukan pembinaan dan memberikan surat teguran. Barulah jika tidak ada perbaikan, perusahaan diancam dengan sanksi dari denda hingga tidak mendapat pelayanan publik tertentu.

Selama ini, kata Darsi, kebanyakan perusahaan yang terpantau dalam kasus ketenagakerjaan ini melakukan perbaikan setelah diberikan surat teguran.

Meski begitu, Darsi bercerita realita temuan di lapangan bahwa memang beberapa perusahaan terkadang menyampaikan keterangan palsu terkait jumlah karyawan mereka.

Jumlah pekerja yang dilaporkan biasanya hanya yang sudah terdaftar BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Perusahaan melakukan ini dengan maksud mengelabui pengawas agar dianggap telah memenuhi hak seluruh karyawan.

Padahal, jumlah karyawan yang dipekerjakan lebih dari itu atau masih ada sebagian karyawan sengaja belum didaftarkan ke dalam program BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.

"Ketika kami tanya, jumlah karyawanmu berapa? Dijawab 100 orang, padahal sebenarnya 150 orang. Jadi, perusahaan ngumpetke (menyembunyikan) sebagian pekerja. Mereka enggak jujur. Tahunya ya setelah ada karyawan yang mengadu ke kami," tutur Darsi.

Maka dari itu, Darsi menyampaikan, Pengawas Ketenagakerjaan juga membutuhkan peran aktif dari para pekerja. Mereka yang merasa belum mendapatkan haknya dari perusahaan dipersilakan melapor ke Dinas Ketenagakerjaan setempat atau ke Pengawas Ketenagakerjaan agar bisa ditindaklanjuti.

Baca juga: Cerita Buruh Manfaatkan Subsidi Gaji, dari Bayar Kontrakan hingga Biaya RS

Dalam kasus lain, Darsi bercerita Pengawasan Ketenagakerjaan juga pernah menemukan perusahaan yang menyampaikan fakta belum mendaftarkan sebagian karyawannya ke BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.

Alasan yang sering kali disampaikan perusahaan ketika melakukan itu, sebut Darsi, adalah karyawan masih berstatus kontrak, dalam masa percobaan, atau outsourcing.

Ketika mendapati hal itu, Darsi memastikan bahwa Pengawas Ketenagakerjaan akan mengedukasi perusahaan bahwa setiap pekerja—baik itu masih kontrak maupun outsourcing—berhak juga diikutsertakan dalam program BPJS Ketenagakerjaan.

“Kami berharap BPJS Ketenagakerjaan ini janganlah hanya dianggap sebagai kewajiban atau malah beban, tapi sebuah kebutuhan karena pada dasarnya sangat bermanfaat bagi pekerja maupun para pemberi kerja," ujar Darsi.

Sementara itu, Kasat Pengawasan Ketenagakerjaan Satwasker Wilayah Surakarta, Widiatmo, menyebut tinggal sedikit pekerja di Soloraya yang belum terdaftar program BPJS Ketenagakerjaan. Lagi-lagi, dia tak bisa menunjukkan data untuk membuktikan pernyataannya tersebut.

“Saya yakin 90 persen pekerja sudah terdaftar BPJS Ketenagakerjaan. Jadi yang belum (terdaftar), tinggal sedikit," kilah Widiatmo.

Saat dimintai tanggapan, Pejabat Humas Kantor BPJamsostek Cabang Surakarta, Bonni Sonjani, menegaskan bahwa pada dasarnya sesuai peraturan, setiap badan usaha yang mempekerjakan karyawan sebanyak 10 orang atau lebih atau membayar total upah bulanan sebesar Rp 1 juta per bulan memiliki kewajiban untuk mengikutsertakan setiap tenaga kerja dalam program BPJS Ketenagakerjaan.

"Terkait kepesertaan, sejauh ini yang bisa kami sampaikan berupa imbauan saja. Sebenarnya kan mau ada atau tidak ada BSU, perusahaan tetap wajib mendaftarkan setiap pekerjanya untuk dilindungi program BPJS Ketenagakerjaan," ujar Bonni.

Jika ada pekerja yang saat ini merasa dirugikan karena belum didaftarkan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan oleh pemberi kerja, Bonni menyarankan mereka melapor ke Dinas Ketenagakerjaan setempat agar ditindaklanjuti.

Dia mengatakan, idealnya perusahaan bisa mendaftarkan para pekerjanya ke dalam program BPJS Ketenagakerjaan pada hari pertama masuk kerja. Hal ini berkaitan dengan berbagai risiko kerja yang mungkin dialami oleh para pekerja.

"Karena risiko, misalnya, seperti—nyuwun sewu—kecelakaan kerja kan bisa terjadi kapan saja. Jadi sebaiknya sesegera mungkin karyawan bisa didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan," ungkap Bonni.

Melapor bukan perkara mudah

Sayangnya, melaporkan diri bahwa belum didaftarkan BPJS Ketenagakerjaan oleh perusahaan bukanlah perkara mudah.

Yang ada malahan, jika melapor, rasa takut akan di-PHK lebih kuat membayangi ketimbang tekad memperjuangkan hak-hak sebagai pekerja.

Ilustrasi pekerja - (DOK KOMPAS/SUPRIYANTO)

Itu yang dialami dan rasakan oleh Doni dan Joko. Mereka pun bukan kasus khusus. Bukan hanya mereka yang mengalami situasi tersebut.

Ketua DPD Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Karanganyar, Haryanto, memperkirakan ada lebih dari 100.000 buruh dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan yang mengalami nasib serupa Doni dan Joko.

Itu baru angka di Karanganyar, belum di seluruh daerah di Soloraya.

“Pemerintah mohon lebih sering pantau di lapangan. Lihat yang terjadi sebenarnya bahwa kami yakin masih ada banyak perusahaan yang belum mendaftarkan para pekerjanya ke dalam BPJS Ketenagakerjaan," terang Haryanto.

Disdagnakerkop UKM Karanganyar mencatat hanya ada sekitar 46.000 nomor rekening pekerja di Karanganyar yang diajukan sebagai penerima BSU tahap pertama.

Menurut Haryanto, alasan perusahaan belum juga mendaftarkan seluruh karyawan ke dalam BPJS Ketenagakerjaan lebih karena pertimbangan efisiensi anggaran.

"Kasihan banyak teman-teman yang bekerjanya sudah berbulan-bulan atau bahkan tahunan tapi belum diikutkan BPJS Ketenagakerjaan.Otomatis mereka kan jadi tidak bisa dapat BSU," lanjut Haryanto.

Haryanto menduga, masih ada banyak karyawan yang belum terdaftar BPJS Ketenagakerjaan bukan lagi karena minimnya sosialiasi. Terlebih lagi, sosialisasi terkait pentingnya BPJS Ketenagakerjaan bagi karyawan dan perusahaan sudah sering dilakukan pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan.

Menurut Haryanto, alasan perusahaan belum juga mendaftarkan seluruh karyawan ke dalam BPJS Ketenagakerjaan lebih karena pertimbangan efisiensi anggaran. Dengan tak mendaftarkan pekerja, pengusaha menjadi tidak perlu membayarkan sebagian iuran pekerja yang menjadi peserta.

Padahal, perusahaan wajib mendaftarkan setiap pekerjanya ke dalam program ini.  Keikutsertaan perusahaan dan seluruh pekerja perusahaan baik swasta maupun Badan Usaha Nasional (BUMN) dalam program BPJS Ketenakerjaan merupakan amanat UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Pasal 14 UU BPJS menyatakan, setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program jaminan sosial.

Pasal 15 dalam UU yang sama, ayat (1) menyatakan, pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti.

"Ada banyak alasan yang bisa dipakai perusahaan untuk tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan, mulai dari masih status kontrak, outsourcing, termasuk soal dalih karyawan dinilai belum bekerja sesuai standar," ungkap Haryanto.

Kondisi tak jauh beda diperlihatkan di Kota Solo. Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Solo, Solihudin, memperkirakan ada lebih 5.000 buruh bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan yang belum tercakup BPJS Ketenagakerjaan dan akhirnya tak bisa mendapatkan BSU.

Karena tak punya BPJS Ketenagakerjaan, beberapa buruh bahkan harus menerima kenyataan tak bisa menerima Jaminan Hari Tua (JHT) ketika terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) saat pandemi ini.

Baca juga: Pak Jokowi, Saatnya Berpihak kepada Wong Cilik...

Padahal, berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian (Disnakerperin) Solo, hingga Agustus 2020 ada 2.569 pekerja di Kota Bengawan terkena PHK selama pandemi Covid-19.

"Saya yakin di antara para pekerja yang terkena PHK itu ada juga yang belum terdaftar BPJS Ketenagakerjaan dan pada akhirnya tidak menerima JHT," ungkap Solihudin.

Baik Solihudin maupun Haryanto sama-sama berharap ada solusi dari pemerintah terhadap nasib para pekerja ini.

Haryanto menilai, lemahnya pengawasan ketenagakerjaan oleh pemerintah juga turut menjadi penyebab buruh tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Menurut dia, pemerintah sudah sepatutnya menindak perusahaan yang tidak mengikutsertakan buruhnya dalam jaminan sosial ketenagakerjaan.

Seperti diketahui, terdapat sanksi administratif bagi perusahaan yang kedapatan tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan. Ketentuan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tak mendaftarkan pekerja diatur dalam Pasal 17 UU 24 Tahun 2011.

Pasal 17

  1. Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.
  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    1. teguran tertulis;
    2. denda; dan/atau
    3. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
  3. Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan oleh BPJS.
  4. Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan
    Peraturan Pemerintah.

Penjelasan UU 24 Tahun 2011 atas ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf c mengurai:

Yang dimaksud dengan “pelayanan publik tertentu” antara lain pemrosesan izin usaha, izin
mendirikan bangunan, bukti kepemilikan hak tanah dan bangunan.

Adapun unsur pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) UU BPJS dalam penjelasan: 

Yang dimaksud dengan “Pemerintah atau pemerintah daerah” adalah unit pelayanan publik yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah.

Haryanto berpendapat, solusi dari pemerintah yang sering ditawarkan dengan mempersilakan pekerja melapor ke dinas terkait jika mengalami pemsasalahan dengan pemberi kerja tidaklah cukup.

Pandemi Covid-19 ini bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki pengawasan dan penegakan aturan ketenagakerjaan. 

Ketika pekerja mengadu, dikhawatirkan mereka malah bisa kena sanksi dari perusahaan karena dianggap merugikan tempat kerja.

"Kalau sampai karyawan mengadu ke dinas atau pengawas ketenagakerjaan, bisa-bisa besoknya dia malah kena PHK," jelas dia.

Haryanto berharap, jangan sampai karena kesalahan perusahan dan lemahnya pengawasan serta penegakan aturan ketenagakerjaan oleh pemerintah malah buruh yang "dihukum" dengan tidak mendapatkan jaminan ketenagakerjaan.

KSPN Karanganyar dan SPN Solo meminta pandemi Covid-19 ini bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki pengawasan dan penegakan aturan ketenagakerjaan agar jangan sampai merugikan para pekerja.

Mereka pun menuntut komitmen dari pemerintah dan pengusaha untuk mendukung hal itu.

Ilustrasi pekerja yang tak bisa bersuara menanti solusi dari pemerintah dan pengusaha - (DOK KOMPAS/JITET)

Haryanto menyampaikan, jumlah buruh di Karanganyar yang sudah tergabung dalam sejumlah serikat pekerja baru di kisaran 40.000 sampai 50.000 orang.

Perhitungan kasar para pengurus serikat pekerja memperkirakan ada 400.000 sampai 500.000 buruh di Kabupaten Karanganyar.

Di Karanganyar saat ini ada tujuh serikat buruh, yaitu FKSPN, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 92, SPN, Serikat Pekerja Kimia Energi Pertambangan (SP KEP), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Serikat Pekera Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP RTMM-SPSI), dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI).

Dengan angka-angka ini, lanjut Haryanto, ada sekitar 90 persen atau sekitar 360.000-450.000 buruh di Karanganyar yang diperkirakan belum tergabung dalam serikat pekerja dan berpotensi tidak terupayakan kesejahteraannya, termasuk belum terdaftar dalam program BPJS Ketenagakerjaan.

Untuk itu, Haryanto juga menyarankan para pekerja bisa bergabung atau membentuk serikat pekerja di perusahaan masing-masing. Serikat pekerja bisa menjadi tempat pekerja memikirkan bersama persoalan yang dihadapi di tempat kerja baik persoalan perseorangan maupun persoalan bersama. 

Butuh solusi dari banyak arah dan jalan bagi pekerja, biar tak selalu pekerja yang jatuh saat situasi tak menguntungkan dan masih harus pula bak tertimpa tangga....