JEO - News




Pansel KPK Menjawab Polemik dan Kritik...

Senin, 1 Juli 2019 | 09:00 WIB

Ada sejumlah kritik menyambangi Pansel Capim KPK periode 2019-2019. Apa saja kritik itu dan seperti apa jawaban Ketua Pansel Capim KPK? Ini wawancaranya.

PENDAFTARAN calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 berakhir pada 4 Juli 2019. Harap-harap cemas menanti kandidat pimpinan KPK kembali mengemuka, demi visi pemberantasan korupsi.

Namun, sorotan juga tertuju pada tim yang bakal menyeleksi para capim KPK ini, yakni Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK.

Sejak pembentukannya, Pansel Capim KPK menerima banyak kritik, mulai dari komposisi anggota pansel hingga langkah jemput bola ke para penegak hukum untuk mendapatkan kandidat capim KPK.

Pada Selasa (25/6/2019), Kompas.com mewawancarai Yenti Garnasih, Ketua Pansel Capim KPK 2019-2023, terkait proses tahapan seleksi para calon pimpinan KPK ini.

Seperti apa juga jawabannya atas sejumlah kritik yang menyambut pansel pimpinannya ini, termasuk tudingan keberpihakan dirinya kepada kejaksaan? Apa pula yang menjadi pemikiran Yenti soal capim KPK yang mesti dia pilih bersama timnya?

Yenti adalah penyandang gelar doktor hukum pidana pencucian uang, sekaligus satu-satunya perempuan di Indonesia yang saat ini menyandang gelar tersebut. 

Dari penelusuran Kompas.com, dosen hukum pidana Universitas Trisakti ini menghabiskan tiga tahun mempelajari hampir 600 buku dan 300 putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, untuk menyusun disertasinya. Gelar doktor dia dapatkan dari Universitas Indonesia pada 2003. 

Yenti sering dipanggil menjadi ahli dalam persidangan korupsi, terutama yang berkaitan dengan pidana pencucian uang, bahkan sebelum kasus-kasus money laundering populer di pemberitaan media massa. Di antara kasus itu, sebut saja perkara Labora Sitorus dan Gayus Tambunan.

Pakar tindak pidana pencucian uang Yenti Garnasih di Gedung Rektorat Universitas Trisakti, Jakarta, Selasa (25/6/2019)
KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN
Pakar tindak pidana pencucian uang Yenti Garnasih di Gedung Rektorat Universitas Trisakti, Jakarta, Selasa (25/6/2019)

Dengan latar belakang keahliannya tersebut, salah satu pertanyaan yang sering Yenti terima adalah mengapa dia tak menolak menjadi Pansel Capim KPK, bukannya maju saja menjadi salah satu calon pimpinan KPK. 

Keikutsertaannya dalam Pansel Capim KPK adalah untuk kali kedua. Sebelum ini, dia juga telah menjadi anggota Pansel Capim KPK periode 2015-2019.

“Sejak pansel pertama itu selalu banyak yang menyebut saya untuk jadi komisioner gitu. Saya memutuskan, ah saya enggak usahlah di sana," ujar Yenti di ruang kerjanya, Gedung Rektorat Universitas Trisakti, Selasa (25/6/2018). 

Yenti berkeyakinan setiap orang punya passion tersendiri, tak terkecuali dirinya. Terlebih lagi, berbakti pada negara di dunia hukum tak melulu harus dengan menjadi eksekutor. Dari situ dia memutuskan memilih menjadi “orang luar” yang setia berpikir dan mengajar.

"Saya berpikir, saya ini kan pemikir ya, akademisi, lebih tatarannya kepada grand design-nya,” kata dia.

Dengan semua pemikirannya itu, Yenti menerima tawaran Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi Ketua Pansel Capim KPK periode 2019-2023. 

Berikut ini wawancara Kompas.com dengan Yenti dalam format tanya jawab, terkait lika-liku dan isu Pansel Capim KPK periode 2019-2023, dalam tiga pengelompokan topik pembahasan....

Polemik Capim KPK dari Penegak Hukum

 

Ada saran dari LSM bahwa Pimpinan KPK itu tidak wajib dari instansi penegak hukum. Bagaimana tanggapan Anda?

Memang tidak ada yang mengatakan wajib dari penegak hukum, tapi unsur pemerintah.

(Namun), logikanya, ini penegakan hukum. Kalau dia (polisi atau jaksa) bagus, ya lebih bagus (capim KPK) dari sana, dong, karena dia kan sudah pengalaman sekali menghadapi itu. 

Berkaitan dengan penyidik KPK saja, yang namanya penyidik dari polisi untuk menjadi penyidik korupsi itu tidak ujug-ujug menangani korupsi.

Penyidik KPK menunjukkan barang bukti terkait OTT Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram saat rilis di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (28/5/2019). Pada OTT tersebut KPK menangkap Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram Kurniadie, Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas I Mataram Yusriansyah Fazrin, dan pihak swasta Direktur PT Wisata Bahagia selaku pengelola Wyndham Sundancer Lombok Liliana Hidayat terkait dugaan suap penanganan perkara penyalahgunaan izin tinggal di lingkungan Kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat Tahun 2019 dengan nilai suap sebesar Rp1,2 miliar.
ANTARA FOTO/INDRIANTO EKO SUWARS
Penyidik KPK menunjukkan barang bukti terkait OTT Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram saat rilis di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (28/5/2019). Pada OTT tersebut KPK menangkap Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram Kurniadie, Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas I Mataram Yusriansyah Fazrin, dan pihak swasta Direktur PT Wisata Bahagia selaku pengelola Wyndham Sundancer Lombok Liliana Hidayat terkait dugaan suap penanganan perkara penyalahgunaan izin tinggal di lingkungan Kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat Tahun 2019 dengan nilai suap sebesar Rp1,2 miliar.

Penyidik (polisi) yang pertama kali direkrut paling-paling penyidik yang menangani pencurian jemuran, penganiayaan ringan. Gitu, kan? Enggak mungkin langsung (jadi penyidik korupsi).

Coba lihat sejarahnya, KPK dulu kan penyidiknya dari polisi semua. KPK kan dulu bisa jalan pelan-pelan, 15 tahun sampai saat ini, kan awalnya juga penyidiknya dari polisi. 

Saya sebagai orang pidana saja, memikirkan bahwa bagaimana jadinya ya kalau yang di sana  (KPK) sama sekali tidak paham tentang penyidikan, penuntutan.

Jadi kalau ada (polisi atau jaksa) yang memang bagus, ya saya pikir lebih bagus (capim KPK) dari sana. Harus ada (dari polisi atau jaksa).

Kan lima (capim KPK yang dicari) ya. Kami kan juga tidak minta lima-limanya harus (dari polisi atau jaksa). Kalau bisa dua lah, satu jaksa, satu polisi. Kan bagus sekali, kalau memang mereka memenuhi syarat.

Kita tidak mungkin melarang polisi dan jaksa karena undang-undang tidak melarang. 

Daripada semuanya dosen, misalnya, kan belum tentu semuanya bisa. Karena kita (dosen atau akademisi) berbicaranya di ranah filosofi, di ranah akademis, belum tentu juga secara teknis menguasai.

Ini sekali lagi yang dihadapi koruptor, ada modus. Bahkan, orang di balik koruptor pun ada korporasi. Kan juga dihadapi. Musuhnya itu di situ.

Koruptor itu musuh bersama kita. Dan, kita punya satu tugas lain, upaya pemberantasan dan penindakan terhadap korupsi ini harus berkontribusi positif untuk pembangunan bangsa, kesejahteraan masyarakat.

Jadi berpikirnya harus secara grand design, secara komprehensif.

Gini, kita tidak mungkin melarang polisi dan jaksa (menjadi capim KPK) karena undang-undang tidak melarang. Tapi, kita juga tidak bisa memaksa polisi dan jaksa harus ada meskipun (sebenarnya yang bersangkutan) tidak memenuhi syarat.

Jadi, itu yang harus dipahami. 

Bagaimana dengan anggapan tidak ada latar belakang polisi atau jaksa adalah untuk mencegah konflik kepentingan?

Enggak lah. Mereka (polisi dan jaksa) juga mature ya, semakin dewasa juga kan. Mengevaluasi itu, nanti kita lihat. Kalau sudah di KPK ya tugas mereka di situ, jangan melihat yang lain.

Jangan melihat, aduh polisi enggak ada yang bener. Nyatanya Djoko Susilo juga masuk tuhBeberapa polisi juga diperiksa.

Ya namanya ada gejolak, di lembaga apa pun juga selalu ada yang baik, ada yang tidak baik. Justru kan ini kami seleksi. 

Soal konflik internal KPK, apa jalan keluar Pansel KPK melalui proses seleksi ini?

Kami ada pembagian tugas, untuk meminta ketua KPK menghadirkan perwakilan masing-masing pihak yang terlibat masalah di internal. Kami mau dengarkan.

Komisioner sudah pernah katakan kepada kami bahwa ya memang benar terjadi konflik internal tapi tidak seheboh yang diberitakan media. Tapi, bagaimana pun, ya memang benar terjadi (konflik).

 












Ya, Presiden beri pesan khusus. Pesannya adalah, "Silakan, semua saya serahkan pada pansel."

(ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)



Kita juga melihat sendiri yang suka membocorkan siapa? Ya KPK sendiri lah. Yang membocorkan Sprindik kan KPK, bukan di kepolisian atau di kejaksaan, iya kan? Ada pembocoran inilah, itulah. 

Jadi kita lihatlah, dengan segala macam kritik kepada polisi dan jaksa, ya jelas, polisi dan jaksa sudah sejak Indonesia merdeka sudah ada, pasti ada masalahnya. Tapi juga polisi dan jaksa pasti punya prestasinya dongNah, KPK sedikit (masalahnya) karena baru 15 tahun umurnya.

Janganlah pansel ini menimbulkan kontraproduktif sehingga polisi jaksa merasa disudutkan. Padahal, kita need polisi, walaupun enggak berkaitan sama korupsi. Negara yang baik itu saling menjaga lembaga-lembaganya. 

Untuk masalah keamanan kita, kita sangat butuh polisi. Jangan seolah-olah tidak ada polisi yang bersih. Seolah-olah polisi yang bagus di dalam saja. Ya itu kan urusan Kapolri. Siapa tahu Kapolri punya kajian mendalam.

Artinya kehadiran pimpinan KPK dari latar belakang penegak hukum bisa jadi salah satu pemecah masalah internal?

Kami harapkan seperti itu. Siapa pun komisionernya harus bisa. Itu harus selesai, enggak bisa tidak. Karena bagaimana kita mau bekerja melawan koruptor di luar kalau kita punya masalah di dalam? Menyedihkan sekali. 

Makanya nanti kami juga fokus pada calon yang memahami betul bagaimana menangani konflik internal, memahami manajerial internal itu. Menurut saya, media sebagai salah satu pilar harus kita dengar, walaupun masalah itu di-sounding oleh media.

KPK di Mata Yenti dan Harapannya Selaku Pansel

Jika harus memilih, di antara semua Pimpinan KPK periode sebelumnya, sosok seperti siapa yang seharusnya ada di kepemimpinan KPK selanjutnya?

Saya sebetulnya (mencari yang) seperti Pak Antasari (Antasari Azhar) ya. Waktu itu saya apresiasi (Antasari) karena kinerjanya terkait pemberantasan korupsi. Pak Ruki (Taufiequrachman Ruki) juga lumayan bagus. Dia dari polisi, begitu kan?

Ternyata itu dari polisi dan jaksa ya yang disebutkan. Chandra (Chandra Hamzah) juga bagus, ya kan. Amien Sunaryadi juga bagus.

Menurut Anda, ada atau tidak periode kepemimpinan atau perorangan yang membawa KPK pada periode keemasan atau dianggap berhasil?

Ya di awal-awal kan kita sudah berharap banyak ya kepada Pak Ruki (Taufieqqurahman Ruki) dan sebagainya. 

Kemudian ada Antasari, ya kan. Antasari bagaimana pun juga punya prestasi kan. Dia berani menyentuh waktu itu besan presiden, walaupun dia berakhir dengan hal-hal lain berkaitan hal itu. Tentu itu akan kami evaluasi.

logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK.
KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN
logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK.

Artinya begini, antara lain ya, mengevaluasi keadaannya Pak Antasari pada waktu itu misalnya kami kan minta track record (para capim KPK) kepada lembaga-lembaga penegak hukum yang tahu.

Kami juga minta (rekam jejak) antiradikalisme, tidak terpapar radikalisme, kepada BNPT (Badan Nasional Tindak Pidana Terorisme). Kan kami sendiri tidak bisa menilai. Nah kemudian, (rekam jejak) narkoba, jangan sampai terlibat misal saja sebagai pengguna apalagi terlibat dengan sindikat narkoba. Kita harus waspada semua. 

Saya terutama dan beberapa (anggota pansel) yang background-nya pidana sangat sensitif terhadap hal-hal seperti itu. (Terkait) TPPU (tindak pidana pencucian uang), apalagi. Terorisme juga kan berkaitan dengan TPPU. Pendanaan terorisme. Makanya kami ke BNPT. Kami enggak mau seperti itu terjadi.

Jadi hal seperti itu mungkin akan jadi bahan pemikiran ya. Seperti kenapa harus terjadi Cicak versus Buaya dan sebagainya, itu juga akan kami lihat, akan kami evaluasi.

Bagaimana pandangan Anda soal kinerja KPK sendiri hingga saat ini?

Ya begini, kan ada pandangan, pandangan juga kalau KPK banyak penindakan itu kan juga berarti bukan suatu pencapaian yang bagus. 

Jadi (dengan banyak penindakan) berarti ada satu kondisi bahwa negara ini masih banyak korupsinya. Karena banyak sekali korupsi tertangkap berarti banyak terjadi korupsi. Berarti masih ada kegagalan dalam upaya pemberantasan korupsi. Begitu, kan?

Penyidik KPK didampingi Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kanan) menunjukkan barang bukti sitaan saat konferensi pers terkait operasi tangkap tangan (OTT) terhadap anggota DPR Komisi XI Fraksi Demokrat Amin Santono dapil Jawa Barat X bersama delapan orang lainnya di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (5/5/2018). KPK juga menyita barang bukti berupa logam mulia (emas) seberat 1,9 kg dan uang Rp 1,8445 miliar (termasuk yang Rp 400 juta OTT), SGD 63.000 dan USD 12.500, diduga untuk pemulusan usulan transfer anggaran perimbangan pusat-daerah dalam APBN Perubahan 2018.
ANTARA FOTO/INDRIANTO EKO SUWARS
Penyidik KPK didampingi Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kanan) menunjukkan barang bukti sitaan saat konferensi pers terkait operasi tangkap tangan (OTT) terhadap anggota DPR Komisi XI Fraksi Demokrat Amin Santono dapil Jawa Barat X bersama delapan orang lainnya di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (5/5/2018). KPK juga menyita barang bukti berupa logam mulia (emas) seberat 1,9 kg dan uang Rp 1,8445 miliar (termasuk yang Rp 400 juta OTT), SGD 63.000 dan USD 12.500, diduga untuk pemulusan usulan transfer anggaran perimbangan pusat-daerah dalam APBN Perubahan 2018.

Kemudian pencegahan juga masih sangat lemah. Masih lemah. Walaupun sudah mulai dengan adanya KPK kemudian memengaruhi sistem eksekutif ya, misalnya e-recruitment, e-budgeting, perizinan, itu kan bentuk pencegahan korupsi. Kan sudah ada ya, tapi masih banyaklah tugasnya. 

Nah, kemudian yang terakhir ya itu tadi, bahwa melalui media ternyata (diketahui) ada masalah di dalam internalnya sendiri. Lah itu sangat menyedihkan. Gimana sih, dulu kan lembaga itu dibentuk juga bukan justru untuk menimbulkan masalah di dalam?

Ada kriteria khusus yang dibuat pansel kali ini?

Iya dong. Kami juga punya. Kami kan (menyeleksi itu) komponennya banyak. (Kriteria yang dilihat) secara kepemimpinan bagaimana, secara psikologi bagaimana, selain kinerja, (juga) profesionalitas dan integritasnya.

Lalu bagaimana dia punya personal yang bisa membangun hubungan dengan lembaga. Karena memang harus terbangun hubungan itu. Misal OTT (operasi tangkap tangan) tanpa bantuan lembaga lain itu enggak bisa. Lalu bagaimana nanti menyatakan kepada DPR, kepada presiden. Kami akan lihat secara mendalam. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kami kerja sama dengan pimred TV, jadi (proses seleksi tayang) live, itu suatu inovasi sesuatu yang berbeda dari pansel yang lalu. Tapi yang kami mau jaga, jangan sampai seolah kita sedang mencari Indonesian Idol.

(KOMPAS.com/DEVINA HALIM)


 Ada inovasi dalam proses seleksi?

Jadi nanti ada uji publik, tapi tetap selection, bukan election. Kami kerja sama dengan pimred TV, jadi (proses seleksi tayang) live, itu suatu inovasi sesuatu yang berbeda dari pansel yang lalu. Tapi yang kami mau jaga, jangan sampai seolah kita sedang mencari Indonesian Idol. Ide itu dari media, tapi kami beri rambu-rambu. 

Jangan sampai kami dapat orang yang dalam uji publik itu pintar ngomong tetapi enggak bisa bekerja. Nah, itu yang akan kami jaga betul. Tapi itu bagus juga untuk dilihat masyarakat dan publik bisa menilai.

(Namun), kami ingin KPK yang dinilai bukan dari sensasinya, bukan dari asumsinya. Kami ingin KPK dengan substansinya, dengan kinerjanya.

Setiap periode pasti ada istilah "orang titipan". Entah dari lembaga, partai, atau kepentingan tertentu. Tanggapan Anda?

Selalu ada. Ya mungkin selalu ada titipan. Tapi kita enggak usah hiraukan. Kita kan tidak bisa melarang orang yang menitip. Yang bisa kami larang adalah diri kami sendiri supaya jangan sampai terpengaruh dengan titipan. Itu saja. 

Bahkan, kami punya program menjemput. Calon yang bagus-bagus saya telepon, ayo daftar dong. Tapi semua ikuti seleksinya. Kami jemput bola juga, bahkan ke daerah-daerah. Kami tidak bisa mengatakan jangan menitip. Ya enggak bisa lah, apalagi dia dengan segala cara menitip. 

Tapi ya kami punya suatu prinsip, kami enggak akan mau dititipin. Kami enggak akan manut, enggak akan menurut, enggak akan terpengaruh. Insya Allah yang kami pilih sesuai kriteria kami.

Selain syarat-syarat administrasi, kami juga melihat masukan masyarakat dan hasil tracking yang kami dapatkan.

Ada pesan khusus dari presiden?

Ya presiden beri pesan khusus. Pesannya adalah, "Silakan, semua saya serahkan pada pansel." Hehehe....

Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Mensesneg Pratikno (kelima kanan) menerima Panitia Seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023., di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/6/19). Presiden berharap Pansel KPK menghasilkan calon pimpinan KPK dengan kemampuan managerial dan menguasai dinamika pemberantasan korupsi.
ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Mensesneg Pratikno (kelima kanan) menerima Panitia Seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023., di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/6/19). Presiden berharap Pansel KPK menghasilkan calon pimpinan KPK dengan kemampuan managerial dan menguasai dinamika pemberantasan korupsi.

Presiden saya lihat sangat bersemangat ya (soal) pemberantasan korupsi. Penindakan yang baik, pencegahan yang baik juga, sehingga pembangunan infrastruktur terus berjalan. Jaga supaya kita dapat komisioner yang bisa menjaga agar investasi asing bisa masuk, kita bisa sangat dipercaya. 

Presiden apresiasi kami, dan kami sebagai perpanjangan tangan, presiden katakan, "Saya sepenuhnya percayakan kepada pansel." Termasuk ketika pansel memikirkan salah satu persyaratan tidak terpapar terorisme, tidak terpapar bandar narkotika. 

Lah, kami juga ke polisi, ke jaksa, bukan juga mencari komisioner pencuri jemuran juga kok, jadi yang gagal paham siapa nih? 

Meskipun ada suara yang katakan pansel gagal paham (dengan mengatakan bahwa) kami ini mencari pemimpin KPK, bukan (pelaku kasus) terorisme.

Lah, kami juga ke polisi, ke jaksa, bukan juga mencari komisioner pencuri jemuran juga kok. Jadi yang gagal paham siapa nih? Persyaratan itu kan banyak. Pokoknya kami jalankan tugas.

Kami ingin jaga KPK harus bagus, jangan malah banyak kritik juga. Nanti kesenangan koruptornya. Kami ingin (penanganan) korupsinya bagus, (penuntasan) money laundry-nya bagus, kemudian asset recovery-nya bagus, sehingga uang rakyat yang dikorupsi itu kembali.

Misalnya, uang Hambalang mana nih, kok tidak selesai? BLBI mana nih kok belum selesai? E-KTP mana nih? Uang-uang (hasil korupsi) yang masih ada itu tarik dong pakai TPPU, sehingga tidak muncul uangnya masih ada jadi malah menyuap petugas lapas. Kalau ternyata menyuap pakai hasil korupsi kan bisa jadi pencucian uang juga.

Jadi banyak yang kami pikirkan. Kami berharap demi bangsa ini, hilang masalah korupsinya, dengan (begitu) pembangunan yang lebih besar itu dapat tercapai.

"Tak Benar Kami Tak Tahu Sama Sekali soal KPK..."

Anggota pansel ada dari latar belakang isu HAM dan terorisme. Output apa yang ditarget pansel dalam proses seleksi calon pimpinan KPK?

Ya diharapkan apa sebenarnya saya enggak tahu. Kan yang milih Presiden. Tetapi, begitu kami sudah kumpul, ada kontribusinya. Jadi ada kontribusinya juga. Misalnya, terhadap masalah HAM, dalam proses hukum beracara kan tidak boleh juga melanggar hak asasi manusia. 

Walau memang dalam penindakan hukum pidana dibolehkan ada hak-hak yang dirampas, itu secara filosofi hukum pidana. Tapi sedemikian rupa juga dijaga oleh hukum acara. Maka di satu sisi ada praperadilan kan gitu. Yang jelas itu bagus untuk kami. Ya sudah kami bersinergi dan so far bagus.

Saat menjawab pertanyaan soal kinerja KPK di segmen sebelumnya, Yenti mengeluarkan uneg-uneg atas kritik terhadap dirinya dan Pansel yang ia pimpin. Ini pengungkapannya.

Ya banyaklah kritikan-kritikan kepada pansel juga, (seperti) pansel tidak ada yang memahami betul organisasi KPK. Ya mereka (mengkritisi) kan dari sudut pandangnya sendiri.

Menurut saya, kadang-kadang mereka juga datanya kurang mendalam ya. Saya dengan salah satu anggota Pansel, ibu Diani, termasuk tim RAN (Rancangan Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi, atau RAN PK) KPK pada waktu itu, zamannya pertama kali tahun pertama Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) jadi Presiden. 

Kami adalah tim RAN Pemberantasan Korupsi, kita berbicara bagaimana undang-undangnya, bagaimana KPK-nya, bagaimana bentuk KPK. Jadi kita sudah memikirkan sejak awal itu sampai RAN KPK itu sampai 2025. Itu sudah bikin program, ada. 

Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/6/2019). Dari pertemuan tersebut, Presiden berharap Pansel KPK menghasilkan calon pimpinan KPK dengan kemampuan managerial dan menguasai dinamika pemberantasan korupsi.
KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO
Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/6/2019). Dari pertemuan tersebut, Presiden berharap Pansel KPK menghasilkan calon pimpinan KPK dengan kemampuan managerial dan menguasai dinamika pemberantasan korupsi.

Dan kemudian yang pada masa Pak Jokowi diganti menjadi Stranas (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, atau Stranas PK) ya. Tapi intinya sama. 

Artinya, (saya) hanya ingin menyampaikan kepada masyarakat, bahwa enggak bener kalau kami itu enggak tahu sama sekali tentang KPK. 

Mungkin model mereka melontarkan ya, bagaimana (memberikan) tanggapan. Tapi mereka tidak memikirkan bagaimana masyarakat yang mendengar lontaran saja dan langsung judge kepada saya, kepada pansel, panselnya buruk semua, ya kan. Anggapan pansel terburuk. 

Memangnya mereka yang terbaik? 

Bahkan, ada yang mengatakan keberatan saya di pansel karena sering menjadi ahlinya polisi dan kemudian jadi ahlinya jaksa. Ini kan edukasi yang salah kepada rakyat, kepada masyarakat.

Artinya hanya ingin menyampaikan kepada masyarakat, bahwa enggak bener kalau kami itu enggak tahu sama sekali tentang KPK. 

Jadi kadang-kadang saya berpikir, mau di-counter apa enggak ya? Tapi kalau enggak di-counter nanti lama-lama yang salah disangkanya yang benar, begitu kan?

Dan saya juga menyatakan kepada yang memberi kritikan, mungkin memang kritikan boleh, ini adalah freedom of expressionTetapi kritikan itu yang kontributif, konstruktif, kritikan itu jangan jatuhnya adalah fitnah, menghina. Kritik yang seperti itu kan menghina saya, Yenti tidak tahu apa-apa itu penghinaan. 

Bagaimana kalau reputasi saya langsung diambrukkan hanya gara-gara saya jadi pansel oleh mereka yang berbicara dengan tidak bertanggung jawab. Ya sebaiknya jangan gitu lah. Kan kalau dikatakan (dalam kritik) antara kendala dan bagaimana menjadi pansel, nah itu yang sudah saya pikirkan.

Nah ini nih yang akan muncul, yang akan saya hadapi, yang saya tahu tidak seluruhnya benar dan kadang-kadang tuduhannya gencar sekali, langsung masif. Sementara pembelaannya mungkin enggak didengar, bukan hanya saya, mungkin delapan (anggota) pansel yang lain juga begitu. 

Termasuk Presiden juga dinyatakan sebagai Presiden yang tidak menyeleksi Panselnya. Presiden diminta membongkar Pansel, mencabut Keppres. Memangnya dia (pengkritik itu) atasan Presiden? Hehehehe....