JEO - News

Pecah Kongsi
Bongkar Pasang Koalisi
Pemilu 2019

Kamis, 4 Juli 2019 | 15:35 WIB

JEO ini adalah catatan tentang akhir perjalanan Koalisi Adil Makmur, dari pernyataan para pelakunya. Bersamanya, peta politik nasional setelah koalisi ini membubarkan diri coba direka. Pun, harapan pemerintahan efektif dari hasil Pemilu 2019 disandarkan.

DALAM politik, dukungan tak selalu mencerminkan kedekatan hati. Bisa jadi, mereka yang bersahabat justru berbeda kubu.

Bukan hal luar biasa pula bila sekelompok orang menyatukan diri dalam sebuah kubu sekadar atas nama kepentingan yang sama pada suatu waktu.

Koalisi politik dalam kontestasi Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 bukan perkecualian.

Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (kiri) dan Joko Widodo-Maruf Amin saat acara pengambilan nomor urut di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (21/9/2018)
KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO
Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (kiri) dan Joko Widodo-Maruf Amin saat acara pengambilan nomor urut di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (21/9/2018)

Sesaat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan sengketa Pilpres 2019, Koalisi Adil Makmur sebagai pendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 dalam Pilpres 2019 pun dinyatakan bubar.

Baca juga: JEO-Setelah Putusan MK Menolak Seluruh Gugatan Sengketa Pilpres 2019...

Apakah berarti kepentingan praktis semata yang menyatukan koalisi tersebut?

Kadang kala ada kepentingan lebih besar di balik yang tampak di permukaan yang menjadi pertimbangan para lakon politik. 

Hanya waktu yang sejatinya bisa menjawab pertanyaan itu. Karena, koalisi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin pun tak bisa dibilang beda hanya karena memenangkan kontestasi kali ini.

Setidaknya, merujuk novel lawas Conspirata karya Robert Harris, kadang kala ada kepentingan lebih besar di balik yang tampak di permukaan yang menjadi pertimbangan para lakon politik. 

Cicero, tokoh utama novel Harris, bahkan harus memilih tak mendukung sahabatnya yang mencalonkan diri menjadi Konsul baru. Sosok ini adalah tokoh nyata di era Romawi sebelum Masehi, sekalipun alur cerita Harris dibumbui sejumlah fiksi. 

Dalam Conspirata, pilihan Cicero memang demi kepentingan rakyat dan keutuhan republik.

Pertanyaannya, apakah teguh dan bubarnya koalisi di Indonesia pada hari-hari ini juga punya pertimbangan semulia itu? Sekali lagi, cuma waktu yang bisa menjawab dan memberi bukti, sembari seluruh rakyat dan warga negara mengawalnya.

JEO ini adalah catatan tentang akhir perjalanan Koalisi Adil Makmur, dari pernyataan para pelakunya.

Bersamanya, peta politik nasional setelah koalisi ini membubarkan diri coba direka. Pun, harapan pemerintahan efektif dari hasil Pemilu 2019 disandarkan.

 AKHIR KOALISI 02

KAMIS (27/6/2019) siang, sejumlah elite partai politik Koalisi Indonesia Adil dan Makmur berdatangan ke kediaman calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan.

Calon wakil presiden Sandiaga Uno tiba sekitar pukul 12.30 WIB dan langsung masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani juga tiba. 

Setelah itu berturut-turut datang Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso, Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman, dan Sekjen PKS Mustafa Kamal.

Mereka memenuhi undangan "nonton bareng" sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas sengketa hasil Pilpres 2019 bersama Sang Tuan Rumah.

Seusai pembacaan putusan, Prabowo didampingi Sandiaga dan elite parpol koalisi pendukung, memberikan keterangan pers di halaman Rumah Kertanegara. 

Sekitar pukul 21.23 WIB, Prabowo mulai membacakan naskah pidato yang pada intinya menghormati dan menerima putusan MK.

Dalam putusannya, MK menolak seluruh dalil permohonan sengketa yang diajukan tim hukum pasangan Prabowo-Sandiaga, setelah sebelumnya menolak pula seluruh eksepsi dari termohon dan pihak terkait.

Baca juga: JEO-Hal-hal yang Kita Perlu Tahu soal Sengketa Hasil Pemilu 2019

Konferensi pers berakhir begitu Prabowo selesai membacakan pidatonya. Tak ada sesi tanya jawab. 

Padahal, wartawan yang meliput di situ ingin bertanya sejumlah hal, seperti rencana pertemuan Prabowo dengan Joko Widodo dan nasib keberlanjutan koalisi pendukung pasca-putusan MK.

Koalisi bubar

Rupanya, sebelum memberikan pidato, Prabowo sempat membicarakan nasib koalisi. Menurut Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan, malam itu Prabowo menyerahkan kembali mandat pencalonan presiden ke masing-masing partai.

Artinya, Koalisi Indonesia Adil Makmur bubar. Tiap parpol dapat menentukan sikap serta arah politik masing-masing. 

Hal itu diperkuat pernyataan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan melalui keterangan tertulis, Kamis malam. Zulkifli mengatakan, Koalisi Adil dan Makmur telah berakhir pasca-putusan MK. Pembubaran koalisi, ujar dia, disampaikan langsung oleh Prabowo. 

"Saya tadi lama di tempat Pak Prabowo, dari setengah dua sampai setengah lima. Pak Prabowo tadi menyampaikan ke saya, dengan berakhir putusan MK maka Koalisi (Adil dan Makmur) sudah berakhir," kata Zulkifli.

Seperti yang sudah diungkap Hinca, Zulkifli menyitir pula pernyataan Prabowo yang mempersilakan partai-partai di Koalisi Adil dan Makmur mengambil inisiatif sendiri terkait dengan langkah ke depan.

Meski begitu, pembahasan mengenai koalisi ternyata berlanjut keesokan harinya, Jumat (28/6/2019).

Lima sekjen parpol koalisi berkumpul di rumah Prabowo pada pukul 14.00 WIB. Hadir pula sejumlah elite parpol dan petinggi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga.

Dalam video yang diunggah Koordinator Juru Bicara BPN Dahnil Anzar Simanjuntak di akun Instagramnya, terlihat rapat pembahasan digelar di ruang tengah kediaman Prabowo. 

Duduk di sebelah kanan Prabowo tampak Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al Jufri dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rachmawati Soekarnoputri. Di sebelah kiri Prabowo terlihat Ketua BPN Djoko Santoso dan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais.

Video memperlihatkan pula kehadiran Presiden PKS Sohibul Iman, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, dan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya Titiek Soeharto. 

Sementara itu, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan tidak terlihat di situ. 

Rapat pembahasan berlangsung sekitar 3,5 jam dan berakhir jelang waktu shalat magrib. Di pertemuan itu, Prabowo disebut secara resmi menyatakan pembubaran Koalisi Indonesia Adil dan Makmur yang mendukungnya pada Pilpres 2019.

"Sebagai sebuah koalisi yang mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden di dalam Pemilihan Umum Presiden 17 april yang lalu, tugas Koalisi Adil dan Makmur dianggap selesai," ujar Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani saat memberikan keterangan seusai rapat.

"Oleh karena itu, sejak hari ini beliau (Prabowo) menyampaikan ucapan terima kasih dan Koalisi Adil Makmur selesai," lanjut Muzani.

Dalam rapat tersebut, kata Muzani, Prabowo mengembalikan mandat dukungan sebagai pasangan capres-cawapres ke masing-masing partai politik. Sebab, MK telah memutus perkara sengketa hasil Pilpres 2019.

Prabowo menyerahkan keputusan dan pertimbangan terkait langkah-langkah politik ke depan kepada partai masing-masing

"Oleh karena itu mandat yang diberikan partai kepada beliau sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden hari ini dikembalikan kepada partai masing-masing," kata Muzani.

Setelah dibubarkan, lanjut Muzani, Prabowo menyerahkan keputusan dan pertimbangan terkait langkah-langkah politik ke depan kepada partai masing-masing. Muzani menegaskan bahwa Prabowo tak akan mengintervensi apa pun yang menjadi keputusan partai ke depannya.

"Tentu saja semua partai memiliki pertimbangan dan cara berpikir yang tidak bisa kami intervensi," kata Muzani. "Oleh karena itu, Beliau (Prabowo) menghormati semua dan mempersilakan partai politik untuk mengambil keputusan dan langkah politiknya masing-masing."

Kendati demikian, lanjut Muzani, Prabowo berharap hubungan yang sudah terjalin dengan baik selama pilpres akan terus berlanjut dan menjadi sebuah komunikasi informal.

 

KAUKUS PARA SEKJEN

MESKI Koalisi Indonesia Adil Makmur dinyatakan bubar, sepertinya partai politik yang sebelumnya bergabung mengusung Prabowo dan Sandiaga Uno masih berhitung.

Setidaknya, dalam rapat tersebut disepakati juga pembentukan kaukus oleh lima sekjen. Tujuan pembentukannya, wadah komunikasi politik secara informal.

Melalui kaukus tersebut, kata Muzani, partai yang pernah mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga dapat membahas langkah-langkah kerja sama di berbagai forum. Misal, sebut dia, kerja sama antarpartai politik di dalam parlemen.

"Karena, kami merasa bahwa perjuangan dan langkah-langkah perjuangan akan terus dilakukan pada masa-masa mendatang," ujar Muzani.

Muzani pun mengutip pesan Prabowo terkait komunikasi yang diharapkan terus berlanjut selepas pembubaran koalisi.

"Beliau (Prabowo), misal, mengatakan bagaimana kerja sama di parlemen, dalam berbagai macam forum politik lainnya yang dimungkinkan, kita harus bersatu dalam sebuah kepentingan bersama," kutip Muzani.

Menunggu sikap akhir

Empat parpol dari Koalisi Indonesia Adil Makmur yang mendapatkan kursi di parlemen belum menyatakan sikap dan arah politiknya setelah koalisi ini dinyatakan bubar, apakah akan tetap menjadi oposan atau berbalik bergabung ke kubu calon terpilih. 

"Kami masih punya waktu cukup panjang sampai dengan pelantikan (presiden dan wakil presiden) sehingga proses ini akan terus berlangsung. Insya Allah perkembangan itu saudara-saudara (media) akan ikuti semua," ujar Muzani.

Menurut jadwal tahapan Pemilu 2019, pelantikan presiden dan wakil presiden hasil Pilpres 2019 akan digelar pada 20 Oktober 2019. 

Muzani menambahkan, Partai Gerindra akan terus berkomunikasi dengan empat partai lain mesti secara resmi tak lagi berada dalam satu koalisi.

"Yang pasti kami semua akan terus berkomunikasi dalam suasana kekeluargaan yang sudah terbentuk dengan baik dalam suasana keguyuban," kata Muzani.

Ilustrasi bongkar pasang koalisi - (DOK KOMPAS/RAHARDI HANDINING)

"Kita rasanya akan saling berbicara apa yang akan kami rasakan baik Demokrat, PKS, PAN, Berkarya, dan tentu saja Gerindra. Akan kami bicarakan," ujar dia.

Secara terpisah, Presiden PKS Sohibul Iman menuturkan bahwa partainya juga belum menentukan sikap.

"Kami lihat perkembangan yang ada secara politik dan (pertimbangan) yang kedua adalah bagimana sikap dari Majelis Syuro. Saya kan eksekutif (partai). saya tidak bisa (memutuskan) sendiri kecuali harus bedasarkan keputusan Majelis Syuro," ujar Sohibul.

Sidang Majelis Syuro PKS dijadwalkan digelar sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pilpres 2019.

Sohibul pun belum dapat memastikan saat ditanya apakah PKS akan tetap menjadi oposisi atau beralih mendukung pemerintah. Segala kemungkinan, ujar dia, masih terbuka. 

"Namanya politik semuanya ada ya dalam politik," kata Sohibul.

Sementara itu, Sekjen PKS Mustafa Kamal menuturkan bahwa partainya akan berkonsultasi ke konstituen lebih dulu sebelum menentukan sikap politik.

Kendati demikian ia memastikan PKS akan terus menjalin komunikasi dengan empat partai lainnya, yakni Gerindra, PAN, Demokrat dan Partai Berkarya.

"Kita masih punya waktu sampai pelantikan. Masing-masing partai akan konsultasi dengan konstituennya. Mudah-mudahan ada titik temu," kata Mustafa.

Hal senada diungkapkan Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan. Ia mengatakan hingga saat ini Demokrat belum menentukan apakah akan memilih menjadi oposisi atau mendukung pemerintah periode 2019-2024.

"Pembicaraan itu nanti berikutnya," ujar Hinca.

Menurut Hinca, sikap atau arah kebijakan politik Partai Demokrat nantinya akan diputuskan oleh Majelis Tinggi Partai Demokrat. Majelis ini diketuai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga menjabat sebagai ketua umum.

"Di Partai Demokrat, soal calon presiden dan wakil presiden itu adalah wilayahnya Majelis Tinggi partai," kata Hinca.

Yang jelas, imbuh Hinca, langkah partai dalam koalisi ini akan sesuai dengan kebijakan partai masing-masing. 

Senada, Sekjen PAN Eddy Soeparno mengatakan, partainya belum menentukan sikap politik pasca-pembubaran koalisi.

Menurut Eddy, arah dan sikap politik PAN akan ditentukan melalui Rapat Kerja Nasional (Rakernas) sekaligus evaluasi terhadap hasil Pemilu Legislatif 2019.

"Pasti ada evaluasi terhadap hasil pileg dan menyikapi agenda politik ke depan, salah satu yang penting pilkada serentak, lalu legislatif, dan arah politik PAN ke depan. Rakernas akhir Juli atau awal Agustus," ujar Eddy.

Eddy mengakui adanya berbagai opsi atau masukan terkait arah dan sikap politik PAN ke depannya.

Ada sejumlah kader yang mengusulkan PAN tetap menjadi oposisi dan menyarankan agar bergabung ke koalisi pendukung pemerintah. Ada pula yang mengusulkan PAN tetap menjadi partai penyeimbang.

"Intinya saya minta agar semua pendapat itu dihargai meski tidak sepakat antara para kader," kata Eddy.

Kendati demikian, Eddy menegaskan PAN akan tetap menjalin komunikasi dengan empat partai lainnya, yakni Gerindra, PKS, Demokrat, dan Partai Berkarya.

Apalagi, kelima sekjen parpol telah menyepakati pembentukan kaukus yang bertujuan sebagai wadah komunikasi politik secara informal.

Melalui kaukus tersebut, papar Edy, partai yang pernah mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga dapat membahas langkah-langkah kerja sama di berbagai forum.

"Kaukus ini akan menjadi forum informal diskusi tetapi efektif bagi kami untuk bekerja sama mengusung agenda-agenda politik ke depan yang sangat penting," ucap Eddy.

Misalnya, agenda pilkada serentak pada 2020 mendatang atau kerja sama di parlemen periode 2019-2024.

"Kita ada pilkada serentak, ada kerja sama parlemen yang akan datang, ini yang memang membutuhkan soliditas kerjasama dan persahabatan untuk memulai diskusi menghadapi agenda-agenda penting ke depannya," tutur dia.

MEREKA-REKA PETA POLITIK

WACANA beralihnya dukungan PAN dan Demokrat pasca-putusan MK ke koalisi pendukung pemerintah pun belakangan makin santer terdengar. Isu tersebut telah mencuat sejak sebelum Prabowo membubarkan koalisi pendukungnya.

Terlebih lagi, Presiden Jokowi yang juga adalah calon presiden terpilih hasil Pilpres 2019 menyatakan membuka lebar pintu pemerintahannya bagi siapa saja. 

Pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, PAN memiliki peluang paling besar untuk diterima dalam koalisi pendukung pemerintah.

"Dan kalau pertanyaannya apakah PAN akan diterima ke pemerintahan, hampir pasti (diterima) menurut saya," ujar Hendri saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (29/6/2019).

Jika melihat sejarah politik pasca-reformasi, kata Hendri, hanya ada dua partai yang selalu mendapat jabatan menteri, siapa pun pemerintah yang berkuasa, meski semula berada di koalisi yang berbeda. Kedua partai tersebut adalah PAN dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

"Pasca-reformasi itu ada dua partai politik yang sebetulnya dia tidak perlu melakukan hal-hal yang signifikan, dalam arti tidak perlu berada dalam satu koalisi, tetapi dapat kursi menteri," kata Hendri.

Penerimaan atas PAN, ungkap Hendri, bisa jadi karena dianggap partai ini memiliki kedekatan dengan organisasi keagamaan Muhammadiyah. Demikian pula alasan bagi PKB yang dinilai punya kedekatan dengan Nahdlatul Ulama (NU).

Hendri juga memprediksi Partai Demokrat akan bergabung ke koalisi pendukung Pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Ilustrasi Menunggu Sikap Partai Demokrat - (DOK KOMPAS/RAHARDI HANDINING)

Menurut Hendri, Partai Demokrat menyadari bahwa elektabilitasnya akan terus menurun jika tidak berada dalam lingkaran kekuasaan alias memilih menjadi oposisi.

"Jadi kalau bicara kansnya, saya yakin PAN dan Demokrat mau bergabung kepada Pak Jokowi walaupun belum diputuskan sikap politik masing-masing partai," ujar Hendri.

Pada Pemilu 2014, partai yang didirikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu memperoleh 12.728.913 suara atau 10,19 persen. Namun, pada Pemilu 2019, suara Partai Demokrat menyusut menjadi 10.876.507 atau 7,77 persen.

Oleh sebab itu, kata Hendri, kemungkinan Partai Demokrat akan bergabung dengan pemerintah agar dapat menaikkan elektabilitasnya pada Pemilu 2024.

"Kalau Demokrat ini, selama dia berada di luar pemerintahan elektabilitasnya menurun. Jadi dia harus masuk pemerintahan supaya menaikkan elektabilitasnya," kata Hendri.

Baca juga: JEO-Sekali Lagi, Jokowi vs Prabowo di Pemilu Presiden

Selain PAN dan Demokrat, lanjut Hendri, Partai Gerindra tak menutup kemungkinan akan memutuskan bergabung ke dalam pemerintahan setelah 10 tahun menjadi oposisi.

Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono periode 2009-2014, Partai Gerindra menempatkan posisinya sebagai oposisi pemerintah. Lalu, pada periode 2014-2019 semasa Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Gerindra kembali memilih menjadi oposisi.

"Gerindra apakah mungkin? itu mungkin saja terjadi. Memang tergantung Pak Prabowo, tapi 15 tahun menjadi oposisi itu tidaklah mudah. Pasti ada kader-kader ataupun simpatisannya Gerindra yang 'dahaga'," tutur dia.

Lantas, dari seluruh partai pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019, Hendri memprediksi hanya PKS yang akan tetap menjadi oposisi pemerintah.

"Sejarahnya PKS kalau ada di luar pemerintahan itu elektabilitasnya justru naik. Kalau dia di posisi oposisi elektabilitasnya pasti naik," kata Hendri.

Pada Pemilu 2009, PKS mendapat perolehan suara sebanyak 8.206.955 suara atau 7,88 persen. Saat itu PKS mendukung pasangan capres-cawapres terpilih Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Namun, perolehan suara PKS turun menjadi 8.480.204 atau 6,79 persen pada Pemilu 2014.

Selama Pemerintahan Presiden Joko Widodo, PKS mengambil posisi sebagai oposisi pemerintah. Pada Pemilu 2019, suara PKS meningkat tajam dengan perolehan 11.493.663 suara atau 8,21 persen.

Nir-oposisi

Jika "ramalan" Hendri terjadi, akan muncul persoalan baru, yaitu ketika sebagian besar partai politik di parlemen mendukung pemerintah. Persoalan itu, tidak ada peran oposisi.

Padahal, peran oposisi diperlukan untuk memberikan kritik sekaligus mengawasi kerja-kerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.

Oposisi juga harus memastikan seluruh program kerja pemerintah dapat berjalan selama lima tahun ke depan.

Hendri khawatir, tanpa adanya oposisi kritis di parlemen, akan timbul situasi seperti pada zaman Orde Baru. Para wakil rakyat hanya mampu mengucapkan kata setuju tanpa mampu mengkritik kebijakan pemerintah.

"Saya pribadi menginginkan tetap ada oposisi kritis di parlemen sehingga tidak ada lagi Orde Baru jilid 2 di mana semua menyanyikan lagu setuju," kata Hendri.

"Harusnya memang dibiarkan saja ada oposisi. Minimal, kritikan-kritikan yang membangun, kritikan pengawasan yang dilakukan oleh parlemen terhadap pemerintah, ini harus tetap ada. Kalau tidak, ini akan membuat kemunduran lagi buat bangsa ini," ucapnya.

Baca juga: Bagaimana Nasib Oposisi jika PAN dan Demokrat Beralih Dukung Pemerintah?

Sejauh ini, baru Gerindra dan PKS yang sudah melontarkan sinyal tetap bertahan menjadi oposan. 

Anggota Dewan Penasihat DPP Partai Gerindra Raden Muhammad Syafi'i mengatakan, mayoritas kader ingin Partai Gerindra tetap menjadi oposisi.

"Kecenderungan kader arahnya sama, memilih menjadi oposisi," ujar Syafi'i saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/7/2019).

Menurut Syafi'i, Partai Gerindra sudah terbiasa menjadi oposisi. Sehingga, perdebatan mengenai arah dan sikap partai sudah semakin berkurang.

Terpisah, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan, para pendukung Prabowo Subianto ingin seluruh partai yang mendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 02 bertransformasi menjadi oposisi.

"Saya pribadi mendapat banyak masukan dari pendukung PKS dan pendukung Pak Prabowo, hendaklah seluruh koalisi 02 bertransformasi menjadi kekuatan oposisi yang kritis dan konstruktif," ujar Mardani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/7/2019).

Menurut dia, keberadaan oposisi yang dapat mengimbangi pendukung pemerintah akan sehat bagi demokrasi.

"Akan menjadi sangat sehat bagi demokrasi kita ketika ada pemerintah yang efektif tapi dikontrol oleh oposisi yang kritis dan konstruktif. Menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif adalah pekerjaan yang mulia karena menjaga kepentingan publik," kata Mardani.

Dalam sistem tata negara Indonesia, istilah oposisi sejatinya tidak dikenal. Ini sekadar penyebutan jamak untuk partai politik yang personelnya tidak masuk dalam jajaran pemerintahan.

Pakar hukum tata negara dari IPDN, Juanda, menyebut peran oposisi adalah penyeimbang kekuatan pemerintah. Namun, bila benar hanya akan ada Gerindra dan PKS, peran oposisi ini dia nilai tak akan efektif.

"Ini ada gejala indikasi dua atau tiga (parpol) akan bergerak ke tempat yang lain (mendukung pemerintah). Sehingga kalau ini terjadi saya kira akan tinggal dua, Gerindra dan PKS. Kalau misalnya tinggal dua (parpol) saya kira ini akan sangat tidak balance," ujar Juanda, dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/7/2019).

Jika PAN dan Demokrat mengalihkan dukungan, maka ada tujuh parpol di parlemen yang akan mendukung pemerintah Joko Widodo-Ma'ruf Amin periode 2019-2024. 

Baca juga: Jika Hanya Gerindra dan PKS, Fungsi Oposisi Dinilai Tak Akan Efektif

Bila itu terjadi, kekuatan dukungan suara hasil Pemilu Legislatif 2019 untuk DPR bagi pendukung pemerintah menjadi 78 persen dan oposisi hanya 22 persen. Konversi suara menjadi kursi DPR diperkirakan tak akan jauh bergeser.

Juanda berpendapat, kekuataan suara oposisi sebesar 22 persen tidak akan berimbang dan efektif dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Padahal, oposisi dibutuhkan untuk mengontrol dan mengawasi seluruh kebijakan serta program pemerintah.

"Bisa jadi nanti ketika ini akan memutuskan tentang kebijakan pemerintah Pak Jokowi ke depan, mungkin ada yang kurang tepat, ini tidak efektif kalau 22 persen ini mengontrol atau melawan 78 persen, "kata Juanda.

Menurut Juanda, jika sebagian besar partai di parlemen mendukung pemerintah, pemerintahan akan rawan menjadi otoriter.

"Sebab, bagaimana pun (kebijakan pemerintah) akan berujung di DPR. Harus ada kontrol politik dari parlemen," tegas Juanda.

Harapan tersisa adalah pengawasan dan kontrol datang dari masyarakat, sekalipun ujung-ujungnya tetap harus melalui DPR juga.

ASA PEMERINTAHAN EFEKTIF

MESKI ketiadaan peran oposisi tetap menjadi perhatian, komposisi partai politik di parlemen yang mayoritas mendukung pemerintah juga dilihat sebagai kabar baik bagi pelaksanaan program kerja pemerintahan baru. 

Calon presiden no urut 01, Joko Widodo berfoto usai Rapat Pleno Terbuka Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Pemilu 2019 di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Minggu (30/6/2019). KPU menetapkan pasangan Joko Widodo dan Maruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
Calon presiden no urut 01, Joko Widodo berfoto usai Rapat Pleno Terbuka Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Pemilu 2019 di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Minggu (30/6/2019). KPU menetapkan pasangan Joko Widodo dan Maruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.

August Mellaz dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) melihat harapan pemerintahan efektif dari hasil Pemilu 2019. 

"Secara teoritis, (pemerintahan efektif) bisa diharapkan. Presiden terpilih popular vote, legitimated, punya legitimasi juga di parlemen," papar August dalam perbincangan dengan Kompas.com, tak lama setelah semua data quick count Pemilu 2019 muncul.

Baca juga: Sama-sama Hitung Cepat, Apa Beda Quick Count dan Exit Poll? 

Lima partai pengusung pasangan calon terpilih, lanjut August, juga sudah menguasai mayoritas kursi di parlemen. Itu belum membahas bongkar pasang dukungan yang dalam sejarah kerap terjadi di republik ini.

Dengan sistem perhitungan yang dipakai sekarang, ujar August, kursi lima partai pengusung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin diperkirakan sudah 56,2 persen. Hitungannya, satu persen suara partai politik akan terkonversi menjadi empat kursi parlemen.

Masih ada juga tambahan dari suara partai yang tak lolos ke parlemen, yang di masing-masing daerah pemilihan akan mengubah pula komposisi perolehan kursi partai yang suaranya melewati parliamentary treshold.

Kalau sudah begini, August menekankan pentingnya distribusi kekuasaan di antara partai politik di dalam koalisi pendukung pemerintah. Agenda bersama harus dikunci sejak awal.

"Indikator (pemerintahan efektif) bisa dilihat dari komposisi kursi kabinet, disiplin fraksi di DPR. Disiplin partai pemerintah. Sikap mulai dari proses sampai pengambilan keputusan yang melibatkan DPR dan pemerintah, seperti UU," ungkap August.

August bahkan berpendapat sebaiknya koalisi pengusung kandidat pada pilpres dipermanenkan. Langkah itu sampai ke penyusunan kabinet dan agenda pemerintahan.

"Sekarang momentumnya. Harapannya, pemerintah mayoritas maka tak boleh lagi ada alasan-alasan agenda pemerintah tak bisa dijalankan," tegas August. 

Dia menyandingkan situasi dengan hasil Pemilu 2014 yang partai pendukung pemerintah tidak meraup suara mayoritas di parlemen. 

"(Saat itu), tahun pertama hanya didukung 40 persen (kursi DPR). Baru mayoritas setelah ada pemindahan dukungan. Tahun pertama pemerintahan tidak bisa ngapa-ngapain," ungkap August.

Situasi pada pemerintahan periode 2014-2019, lanjut August, baru berubah setelah ada konsolidasi. Menurut dia, barulah pemerintah terlihat lebih percaya diri dan disiplin fraksi di DPR pun relatif lebih bagus.

 

Dalam catatan Kompas.com, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla melakukan empat kali perombakan (reshuffle) kabinet, yang sekaligus memperlihatkan perubahan komposisi partai politik pendukung pemerintah.

Baca juga: Melihat 4 "Reshuffle" Kabinet Pemerintahan Jokowi-JK...

"Kali ini, ada sejumlah sinyal untuk kita dapat mendesak tak ada lagi alasan dan pembenar bagi pemerintah untuk tak bisa merealisasikan komitmen," ujar August.  

Modal pemerintahan periode 2 Jokowi

August menyodorkan sejumlah data baru, Kamis (4/7/2019), terkait modal bagi pemerintahan jilid 2 Jokowi hasil Pemilu 2019. Menurut August, pemerintahan kali ini sebenarnya tak perlu lagi memikirkan bongkar pasang koalisi.

"Kalau kemenangan Pilpres 2019 untuk Jokowi-Ma'ruf Amin didapat dengan 55,33 persen suara, lalu lima partai koalisi pendukungnya secara teoritis mendapatkan 60,70 persen kursi DPR (dari 575 kursi yang ada dari Pemilu Legislatif 2019), pemerintahan efektif dengan koalisi awal sebelum Pemilu 2019 sudah bisa diharapkan," tegas August. 

Formasi koalisi yang relatif tidak berubah dari 2014 hingga Pemilu 2019, lanjut August, seharusnya juga dilihat sebagai modal pemerintahan Jokowi di periode kedua jabatannya. 

"Sebab, koalisi yang ada ini, di pemerintahan periode 1, tingkat disiplin fraksi (di DPR) sudah lebih baik," ujar August.

Sebagai data pembanding, August memaparkan data evaluasi kinerja partai-partai pendukung pemerintah di DPR dari era dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan periode pertama pemerintahan Jokowi. 

arrow-left
arrow-right
Disiplin Fraksi DPR Era Jokowi-JK

Disiplin Fraksi DPR Era Jokowi-JK

Tangkap layar evaluasi disiplin fraksi dari partai pendukung pemerintahan era Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla. (DOK SINDIKASI PEMILU DAN DEMOKRASI)

1/3
Disiplin Fraksi DPR Era SBY-Boediono

Disiplin Fraksi DPR Era SBY-Boediono

Tangkap layar evaluasi disiplin fraksi dari partai pendukung pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. (DOK SINDIKASI PEMILU DAN DEMOKRASI)

2/3
Disiplin Fraksi DPR Era SBY-JK

Disiplin Fraksi DPR Era SBY-JK

Tangkap layar evaluasi disiplin fraksi dari partai pendukung pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla. (DOK SINDIKASI PEMILU DAN DEMOKRASI)

3/3

Data itu diukur menggunakan Rice Index, salah satu metode untuk mengukur kesatuan sikap kelompok, dalam hal ini koalisi.

Hasilnya, dari indeks disiplin partai yang menyatakan "tidak ada disiplin partai", teramat rendah, dan rendah, berubah menjadi tinggi bahkan sangat tinggi pada masa pemerintahan Jokowi, terutama pada dua tahun terakhir. 

Modal berikutnya bagi pemerintahan periode kedua Jokowi, lanjut August, datang dari putusan MK terkait pemilu serentak. 

"Salah satu tujuan dari keserentakan adalah sistem kepartaian dan koalisi yang lebih ajeg dari awal sebelum pemilu," kutip August. 

Baca juga: Nasib Rakyat, Dipaksa Menonton Drama Kemalasan Partai Politik

Dengan semua modal yang ada itu, August berpendapat Jokowi tinggal melanjutkan langkah yang sudah dimulai sejak pemerintahan sekarang. 

"Jika sekarang modalitas itu besar, mengapa harus ada kebutuhan untuk kasih masuk anggota koalisi baru?" tanya dia.

Namun, seperti pembuka di awal tulisan ini, politik kerap kali punya logika berpikir sendiri. Tak ada yang mutlak benar apalagi mutlak salah. Tentu, pengujinya adalah waktu, terkait sebesar-besar kemaslahatan yang dihasilkannya.

Akankah pemerintahan baru dapat memenuhi harapan ini atau malah lagi-lagi sekadar panggung bagi-bagi kursi? Apakah pembubaran koalisi penantang hanya akan diikuti dengan bagi-bagi alokasi jatah kursi di kabinet demi meniadakan suara berseberangan?

Ya, pemilu sudah usai. Namun, pekerjaan rumah masih banyak. Siap mengawal?