Di Pontianak, Kalimantan Barat, pemadam kebakaran tak hanya punya urusan dengan memadamkan kebakaran. Lebih penting lagi, mereka pun menjadi salah satu jalan mediasi rekonsiliasi pascakonflik antarsuku. Ini kisah mereka.
MADIN segera beranjak dari duduknya ketika mendengar suara dari radio panggil. Saat itu pukul 18.20 WIB, satu hari pada 2018.
Hujan sedang turun dengan deras. Namun, dari seberang datang informasi kebakaran di kawasan Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Hanya beberapa kilometer jauhnya dari posko.
Rompi pemadam segera Madin pakai. Bersama lelaki berdarah Madura ini, anggota lain telah berkumpul.
Sebagian lalu bersiap-siap di mobil, yang lain memilih menunggang motor masing-masing. Motor digas. Sirene bersahutan.
Mereka tiba bersamaan dengan rombongan pemadam kebakaran lain. Berasal dari sejumlah pemadam kebakaran, seragam mereka semua warna-warni.
Selang mulai diulur. Sumber air dicari. Pemadaman api segera dimulai.
Walau hujan, api tak kalah arang. Permukiman yang padat membuat gerak jadi lebih terbatas.
Madin berkoordinasi dengan pemadam kebakaran lain. Mencari sumber api dan air.
Satu jam berjalan, api padam. Rumah yang terbakar milik seorang Melayu. Lima penghuni rumah berhasil selamat.
Pemandangan ini berbeda dengan era 1990-an. Kala itu, perjumpaan Melayu dan Madura lebih sering di arena konflik.
Bahkan, pemicu konflik sebenarnya acap kali sepele. Misal, ada yang menyabit rumput di tanah orang, perkelahian kecil, persenggolan, perebutan perempuan, atau penagihan utang.
Persoalan sepele itu kemudian meluas ke topik rawan. Timbul kejengkelan. Itu bisa terjadi antara etnis Dayak dan Madura, juga antara etnis Melayu dan Madura.
Sejarah mencatat, konflik besar antara etnis Melayu dan Madura di sini terakhir kali terjadi pada Februari-April 1999 dan Oktober 2000.
Di komunitas pemadam kebakaran terjadi harmonisasi melalui perkenalan dan interaksi antarrelawan.
Korban jiwa berjatuhan di kedua belah pihak. Kerugian benda juga banyak.
Kini, pemadam kebakaran swasta mulai menjamur di Kalimantan Barat. Beranggotakan relawan dari berbagai etnis, usaha pemadam kebakaran ini menjadi salah satu wadah rekonsiliasi alami pascakonflik antarsuku di Kalimantan Barat.
Sebab, di komunitas pemadam kebakaran terjadi harmonisasi melalui perkenalan dan interaksi antarrelawan. Akhirnya, stigma dan stereotip terhadap etnis tertentu pun perlahan patah.
Madin, pria paruh baya etnis Madura itu, adalah koordinator lapangan Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Tritura di Tanjung Hilir, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
Menurut Madin, stigma sebagian masyarakat bahwa orang Madura eksklusif, keras, dan sulit bersosialisasi, memang masih ada. Namun, anggapan itu perlahan coba dihilangkan. Salah satunya, dengan cara membuat badan pemadam kebakaran swasta.
"Dengan adanya pemadam ini jadi lebih terasa, ternyata kami bisa bersosialisasi."
“Terbukti, dengan adanya pemadam ini jadi lebih terasa, ternyata kami bisa bersosialisasi, termasuk dengan pemadam lain saat terjadi kebakaran,” kata Madin, saat ditemui di poskonya, Minggu (30/8/2020) malam.
Madin mengatakan, tak jarang dia mendengar relawan dari pemadam lain mengatakan bahwa dulu orang Madura keras dan memiliki ego tinggi tetapi sekarang bisa membaur dengan masyarakat lain.
“Kami memang merasakan sendiri, Madura ini ego. Tapi kan sudah belajar dan sekolah. Sedikit demi sedikit kami ubah itu,” ucap Madin.
Kendati demikian, dalam setiap kesempatan, seperti saat digelar apel besar antarpemadam, mereka tetap menonjolkan kekhasan etnis Madura. Kekhasan itu yakni memakai peci hitam tinggi atau duwur. Tujuannya saja yang berbeda.
“Seperti acara di Polda Kalbar kemarin, kami tetap pakai kopiah. (Kali ini) sengaja menampakkan bahwa orang Madura juga bisa bersosialisasi,” tegas Madin.
Bagi pemadam kebakaran, menjinakkan si jago merah di kawasan padat penduduk menjadi tantangan tersendiri. Armada pemadam kebakaran kerap sulit menjangkaui lokasi titik api.
Selain gang sempit atau banyaknya armada pemadam yang datang, masyarakat pun sering kali berjubel dan mengganggu proses pemadaman.
Karenanya, kerja sama dan kekompakan sesama pemadam dalam menjalankan peran masing-masing akan sangat dibutuhkan.
“Yang jelas, di lapangan, kalau ada kebakaran, apalagi di Siantan, yang dicari itu kami, untuk membantu mengamankan pemadaman,” ujar Madin.
Mengamankan pemadaman api itu seperti memastikan selang air yang digunakan untuk menyemprot api tidak terinjak ban mobil atau warga yang berjubel.
“Orang-orang kalau (ada) kebakaran biasanya lebih banyak yang menonton. Itu menyulitkan pemadam. Kami yang disuruh maju untuk mengamankan selang air agar tak terinjak,” ungkap Madin.
Kristianus, dalam jurnal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) edisi Masyarakat Indonesia, berjudul Nasionalisme Etnik di Kalimantan Barat mengatakan, konflik yang bernuansa suku, agama, dan ras, bukan hal baru di provinsi tersebut.
Jejaknya bisa dirunut jauh ke belakang. Pada 1967, misalnya, terjadi konflik anti-Tionghoa di kawasan ini. Lebih jauh lagi, pada 1770-1854, ada konflik antarwarga Tionghoa, Melayu, dan Dayak.
Jika dicemati, sejak saat itu, di wilayah ini secara historis diwarnai aksi dan konflik rasial dan tampak menjadi gejala yang selalu berulang dengan interval waktu lebih pendek.
Pemicu setiap konflik sebenarnya acap kali sepele. Pada 1997, konflik dipicu kejadian ada yang menyabit rumput di tanah orang lain. Lalu, konflik pada 1982 gara-gara perkelahian kecil.
Pemicu setiap konflik sebenarnya acap kali sepele.
Lalu, konflik pada 1992 bermula dari ada yang mengganggu istri orang. Berturut-turut, pada 1994 pemicu konflik adalah persenggolan, pada 1996 karena perebutan perempuan, dan pada 1999 disebabkan penagihan utang.
Namun, persoalan sepele itu kemudian meluas ke wilayah rawan hingga menimbulkan kejengkelan, khususnya antara etnis Dayak dan Madura, dan ada juga antara etnis Melayu dan etnis Madura.
Konflik besar terakhir antara suku Melayu dan Madura terjadi pada Februari-April 1999 dan Oktober 2000.
Peristiwa itu tidak sedikit menimbulkan korban jiwa dan benda di kedua belah pihak. Dampaknya, sampai hari ini orang Madura belum bisa kembali ke Kabupaten Sambas.
Sebagian besar pendapat menyebutkan, dua konflik besar tersebut bermula di Kabupaten Sambas, yang lalu merembet ke sejumlah daerah lain, tak terkecuali Kota Pontianak.
Waktu itu, orang Madura di Sambas mengungsi ke kota-kota lain. Bahkan, sebagian orang Madura sampai pulang kampung.
“Waktu itu kan terjadi konflik di Sambas. Sebagian pengungsi dibawa ke gedung olahraga dan sejumlah wilayah di Kota Pontianak,” ucap Edi Effendi, mantan komandan Pemadam Kebakaran Panca Bhakti Pontianak, Kamis (27/8/2020).
Edi Effendi adalah orang Tionghoa yang beragama Islam. Dia mulai bergabung ke Pemadam Panca Bhakti sejak awal 1980 atau saat itu dia masih duduk di bangku sekolah.
Hingga kini, Edi masih berkiprah di salah satu pemadam kebakaran swasta terbesar di Kota Pontianak tersebut.
Selama hampir 40 tahun menjadi penjinak api, Edi mengaku, salah satu yang paling membekas dalam ingatannya adalah ketika dilibatkan dalam tim antihuru-hara untuk meredam konflik etnis di Kota Pontianak.
Edi menceritakan, suatu malam pada 1999, sekitar pukul 20.00 WIB, dia mendapat laporan dari masyarakat bawa sejumlah rumah terbakar di kawasan Siantan, Kecamatan Pontianak Utara.
Saat itu, dia tak ingin buru-buru menuju lokasi kebakaran. Kondisi keamanan tidak kondusif.
“Saya tidak tahu apakah rumah itu terbakar atau dibakar. Ketika aparat keamanan memerintahkan turun, kami segera turun memadamkan api,” kenang Edi.
Namun, masalah lain muncul. Armada pemadam kesulitan mencapai rumah yang terbakar karena kawasan cukup padat dan malam hari. Selain itu, rumah yang terbakar berada di tengah kelompok masyarakat yang berkonflik.
“Kami diarahkan oleh pihak keamanan. Posisinya juga ditentukan aparat. Kami ikut saja. Karena diamankan itu, kami sudah yakin, perusuh tidak akan mengacau kami,” cerita Edi.
Relawan pemadam kebakaran Panca Bhakti saat itu sudah beragam. Ada orang Tionghoa, Dayak, Melayu, dan Madura.
“Tidak ada istilah kamu suku apa. Semuanya kami kerja sama, bersiaga, dan memadamkan api,” ujar Edi.
Bagi Edi, menjadi pemadam kebakaran adalah panggilan jiwa. Tidak ada paksaan, hanya ajakan kemanusiaan.
Saat terjadi kebakaran, tidak ada lagi sekat di antara mereka. Semua latar belakang suku dan agama melebur, berjibaku memadamkan api.
“Komitmen kami tetap sebagai pemadam. Jika terjadi kebakaran atau pembakaran, kami bergerak,” ucap Edi.
Selain bersama-sama memadamkan api, pertemuan dan interaksi antarrelawan pemadam kebakaran juga terjadi saat hari-hari perayaan keagamaan. Misalnya, malam takbiran, Cap Go Meh dan tahun baru.
Di momen-momen tersebut, mereka saling berkolaborasi melakukan parade keliling kota dengan menghias armada pemadam kebakaran.
“Kami merasa senang ikut meramaikan acara-acara seperti malam Lebaran, tahun baru. Mau acara apa pun itu, jika kami dapat panggilan, dapat undangan, berangkat,” kata koordinator lapangan Badan Pemadam Api Siantan (BPAS) Hadrianus Aldho Diliano, Kamis (27/8/2020).
Dalam setiap keterlibatan, mereka juga tak pernah memikirkan akan mendapat sesuatu. Bahkan, tak jarang, mereka malah kudu merogoh kocek sendiri untuk keperluasan menghias kendaraan, bahan bakar kendaraan, dan konsumsi relawan yang terlibat.
"Jadi pemadam itu panggilan jiwa. Bukan dibuat tapi terbentuk dari diri sendirinya."
“Yang penting, kawan-kawan bisa senang, membaur, dan merajut kebersamaan. Kita tidak ada batasan dengan etnis dan agama. Semua membaur jadi satu di bawah bendera damkar,” ujar pria yang akrab disapa Aldho ini.
Aldho, 29 tahun, merupakan generasi ketiga di BPAS. Bermula dari kakeknya yang menjadi relawan di awal pembentukan tahun 1949, ayahnya melanjutkan profesi ini dan bahkan pernah menjadi ketua di pemadam kebakaran tertua di Pontianak itu.
“Jadi pemadam itu panggilan jiwa. Bukan dibuat tapi terbentuk dari diri sendirinya. Makanya, jika ada yang mau masuk jadi relawan, yang pertama ditanya adalah kamu mau enggak kerja sosial dan dipanggil 24 jam,” ucap Aldho.
Ada satu peristiwa kebakaran yang sulit dilupakan Aldho. Di hari pertama Imlek 2011, dalam satu hari terjadi kebakaran hebat di tiga lokasi berbeda di Kota Pontianak.
Bagi Aldho, hari raya Imlek sangat penting untuk bisa kumpul bersama keluarga. Namun, karena ada panggilan, semua itu ditinggalkan.
“Kejadian saat itu yang memang masih membekas di saya. Karena itu hari Imlek pertama,” kenang Aldho.
Menurut dia, memang ada pilihan saat itu untuk tidak turun ke lokasi kebakaran. Namun, dia kembali berpikir, jika bukan dia yang turun lalu siapa lagi.
“Kalau kebakaran di hari raya, jadi kepikiran, ada enggak anggota yang turun. Karena kita tidak terikat kontrak. Masing-masing panggilan hati,” ujar Aldho.
Barulah dalam beberapa tahun terakhir ini, karena jumlah pemadam swasta bertambah cukup pesat, ada kesepakatan tidak tertulis untuk saling membantu.
Saat Imlek, yang bersiaga adalah para relawan Muslim. Sebaliknya, pada Idul Fitri, yang bersiaga adalah pemadam kebakaran dari etnis Tionghoa.
“Tapi (itu juga) jarang (terjadi). Pengalaman saya, mau Imlek atau Lebaran, mereka turun semua. Kalau saya, anak sendiri ditinggal saat terjadi kebakaran,” ungkap Aldho.
Keberadaan pemadam kebakaran swasta di Pontianak dimulai oleh komunitas Tionghoa pada 1948. Lokasinya di Siantan, Pontianak Utara.
Wilayah itu merupakan permukiman buruh sekitar pabrik karet, kopra, dan tengkawang—komoditas ekspor andalan yang rawan kebakaran.
Setidaknya, ada dua kebakaran besar pada 1947 yang meningkatkan kesadaran warga. Dua peristiwa itu adalah terbakarnya gudang dan rumah pengasapan karet NV Djung Nyan Sung.
Dua kebakaran itu nyaris menghanguskan satu kampung di Parit Pekong, tepi Sungai Kapuas Pontianak.
Dari sekadar mempersiapkan ember, pasir dan racun api di titik tertentu, sejumlah tokoh seperti Sung Jie Hien, Liaw Thiam Sen, dan Cong Thien Fo berinisiatif membentuk Badan Pemadam Api Siantan (BPAS), pada 13 Februari 1949.
Sejatinya, saat itu pun memang sudah ada dinas pemadam kebakaran milik pemerintah. Namun, geografis Kota Pontianak yang dibelah Sungai Kapuas menyulitkan pergerakan pemadam kebakaran pemerintah pada saat itu.
Di satu sisi Sungai Kapuas ada Kecamatan Pontianak Kota, Pontianak Barat, Pontianak Tenggara. dan Pontianak Selatan. Di sisi lain, ada Kecamatan Pontianak Timur dan Pontianak Utara.
Kantor pemadam kebakaran milik pemerintah berada di Kabupaten Pontianak Kota. Adapun lokasi BPAS ada di Kecamatan Pontianak Utara. Sungai ada di antara dua lokasi ini.
Ketua BPAS, Chin Bu Jung atau akrab dipanggil Auh mengatakan, saat pertama kali dibentuk, mereka memiliki uang Rp 20.000 dan 50 relawan pemadam kebakaran.
Pada tahun itu, setiap dollar AS bernilai Rp 3,8 rupiah. Memakai nilai tukar hari ini merujuk kurs tengah Bank Indonesia, uang yang BPAS miliki saat pertama kali berdiri itu setara dengan lebih kurang Rp 78 juta.
Saat pertama kali dibentuk, mereka memiliki uang Rp 20.000 dan 50 relawan.
Dari uang tersebut, terbeli dua unit mesin pompa air merek Fa Gerbs Kronenburg Culemborg 3.000 RPM bikinan Belanda.
“Kedua mesin itu sampai sekarang masih ada dan tetap berfungsi,” kata Auh.
Sampai 1957, BPAS memiliki tiga unit pemadam kebakaran yang tersebar di Kelurahan Siantan Hulu, Siantan Tengah, dan Siantan Hilir.
Lalu, pada 25 Juli 1976, Pemadam Kebakaran Panca Bhakti berdiri di Pontianak Barat. Seperti halnya BPAS, pemadam ini juga sama-sama bernaung di bawah yayasan Tionghoa.
Namun relawan dari etnis lain yang juga terancam musibah kebakaran mulai bergabung, meski jumlahnya belum banyak.
“Awal beridiri, (anggota) semuanya dari etnis Tionghoa. Namun, lambat laun, banyak dari etnis Madura, Jawa, Melayu, banyak yang masuk,” ucap Auh.
Kepala Bidang Kepemudaan Ikatan Keluarga Besar Madura (IKBM) Kalbar, David Maryansyah berpendapat, sejarah panjang konflik antaretnis yang pernah terjadi harus dijadikan sebuah kenangan masa lalu dan diharapkan tak pernah terjadi lagi.
“Konflik di masa lalu cukup jadikan sejarah. Kita juga tidak perlu berpikir itu terus. Jangan cari siapa salah, siapa benar. Itu tragedi kemanusiaan,” kata David saat ditemui di sebuah kedai kopi di bilangan Jalan Gajahmada, Pontianak, Senin (31/8/2020).
Seiring berjalannya waktu, trauma pascakonflik sekarang dianggap sudah mulai memudar. Hal itu, dipengaruhi banyak faktor, termasuk mulai muncul organisasi-organisasi yang bisa menjadi wadah bagi seluruh masyarakat lintas etnis.
“Sekarang ini kan sudah banyak muncul organisasi. Itu sebenarnya saya anggap bagus untuk menciptakan rekonsiliasi. Jadi, ketika ada persoalan apa pun bisa cepat diselesaikan,” ujar David.
Salah satu yang paling menonjol, diakui David, adalah organisasi pemadam kebakaran. Menurut dia, komunitas pemadam kebakaran selalu menonjolkan rasa solidaritas yang tinggi.
Bahkan, kata dia, sudah jelas prinsip dasarnya bahwa di mana pun ada kebakaran maka tidak peduli itu orang apa, mau miskin atau kaya, pasti ditolong.
“Hal-hal seperti ini yang menyebabkan rekonsiliasi atas konflik-konflik di masa lalu terjadi secara alami,” ucap David.
David menceritakan, pada tahun-tahun sebelum era reformasi, konflik antaretnis memang sangat rentan terjadi. Jika terjadi sebuah keributan, yang ditanya lebih dulu adalah dia orang apa dan suku apa.
“Ini kan sebenarnya lucu. Kalau kita sebagai manusia ini masih menganggap orang itu berdasarkan suku dan agama, saya pikir dia tak lulus sebagai makhluk Tuhan,” ujar David.
Pola perilaku masyarakat dalam melihat suatu peristiwa sudah mulai berubah ke arah yang lebih baik.
Di era sekarang, pola perilaku masyarakat dalam melihat suatu peristiwa sudah mulai berubah ke arah yang lebih baik. Potensi terjadinya konflik antaretnis pun karenanya menurut dia sudah tidak begitu besar.
Selain itu, saat ini sudah banyak organisasi yang langsung turun untuk meredam jika terjadi peristiwa yang dapat menimbulkan konflik.
“Proses rekonsiliasi sekarang lebih terasa. Jika ada percikan-percikan konflik, langsung cepat diredam. Saya pikir, masyarakat sekarang sudah tidak ada yang mau itu terulang kembali,” terang David.
Tantangan di era serba digital dewasa ini, lanjut David, justru lebih kepada mudahnya beredar kabar bohong atau hoaks melalui media sosial.
Sekretaris Forum Komunikasi Kebakaran (FKK) Kalimantan Barat, Eddy Zulkarnain mengatakan, saat ini sudah terdapat 82 pemadam kebakaran di seluruh Kalimantan Barat.
Relawan yang bergabung ke puluhan pemadam kebakaran itu tercatat lebih dari 3.000 orang.
Dari jumlah itu, 62 di antaranya berada di Kota Pontianak, Kabupaten Mempawah, dan Kabupaten Kubu Raya.
Relawan yang bergabung ke puluhan pemadam kebakaran itu tercatat lebih dari 3.000 orang. Mereka berasal dari semua etnis yang ada di Kalimantan Barat dengan beragam latar belakang profesi pula.
“Pilar kebangsaan ada di pemadam kebakaran. Karena semua etnis dan agama ada di situ. Untuk menjaganya, memang silaturahmi yang dikedepankan,” kata Eddy.
Eddy mengakui, peran pemadam kebakaran sekarang ini tidak hanya untuk memadamkan api tapi juga menjaga agar bara konflik antaretnis tidak lagi terjadi.
Karena itu, setiap ada peristiwa yang dianggap dapat memicu terjadi pergesekan antaretnis, mereka pun langsung turun tangan.
“Kalau ada sesuatu, kamilah yang meredamnya. Misalnya ada keributan, demo, dan lain sebagainya. Semuanya utamakan kebersamaan,” ujar Eddy.
Maka, Eddy berharap, pemerintah daerah meningkatkan dukungan untuk pemadam kebakaran swasta. Terlebih lagi, pemadam kebarakan juga adalah ujung tombak dalam menanggulangi setiap kebakaran di rumah, gedung, serta hutan dan lahan.
“Saya kira, perhatian pemerintah daerah harus lebih ditingkatkan, agar damkar swastar bisa lebih mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki,” ujar Eddy.
Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono berjanji akan memperhatikan kesejahteraan para petugas pemadam kebakaran (damkar) swasta.
Selama ini, kata dia, pemerintah kota juga sudah banyak menggelontorkan bantuan bagi pemadam kebakaran. Wujudnya, mulai dari selang pemadam, mesin pompa, hingga bantuan dana bagi yayasan yang membutuhkan.
"Kemudian (ada juga bantuan) keahlian dan bantuan langsung kepada anggota damkar tersebut," kata Edi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (28/8/2020).
Dia memastikan akan terus mendorong pemadam kebakaran untuk terus berkembang menjadi institusi yang hebat dan berguna bagi masyarakat. Selain itu, petugas damkar juga telah diikutsertakan dalam kepesertaan BPJS Kesehatan.
Pembagian BPJS Kesehatan kepada petugas pemadam kebakaran, ungkap Edi, merupakan program Pemerintah Kota Pontianak dalam rangka meringankan anggota beserta keluarganya.
“Mudah-mudahan dengan keikutsertaan mereka di BPJS ini bisa meringankan dan memberi semangat hidup bagi petugas pemadam kebakaran se-Kota Pontianak, yang ikut berjasa menjaga terhadap bencana kebakaran,” tutup Edi.
Semakin banyaknya pemadam swasta di Kota Pontianak menunjukkan berkembangnya jiwa sosial masyarakat.
Jauh hari sebelumnya, Edi yang pernah pula menjabat Wakil Wali Kota Pontianak selama satu periode, telah mengakui kiprah para relawan pemadam kebakaran ini.
Menurut Edi, semakin banyaknya pemadam swasta di Kota Pontianak menunjukkan berkembangnya jiwa sosial masyarakat. Tak hanya musibah yang dapat menimpa siapa pun, dia berpendapat bahwa penanggulangan musibah juga dapat melibatkan siapa pun .
“Tingkat kebakaran bangunan di Kota Pontianak terbilang cukup tinggi. Jadi dengan banyaknya pemadam swasta, tentunya (para relawan ini) memiliki peranan penting,” kata Edi saat memimpin Apel Hari Ulang Tahun Pemadam Kebakaran ke-100, di Halaman Kantor Wali Kota Pontianak, Senin (8/4/2019).
Deri Herlino, koordinator lapangan pemadam kebakaran Swadesi Borneo menambahkan, praktik bertukar keterlibatan relawan sesuai agama dan hari besar terjadi juga di kelompoknya.
Jika pemadam kebakaran yang mayoritas relawannya adalah etnis Tionghoa ini melibatkan pemadam Muslim dalam Hari Raya Imlek dan Cap Go Meh, mereka juga melakukan hal sebaliknya melibatkan relawan Tionghoa saat Hari Raya Idul Fitri atau hari besar keagamaan lain.
“Kami (seluruh pemadam kebakaran di Kota Pontianak juga) memeriahkan malam takbiran setidaknya sudah sejak lima tahun yang lalu. Tahun ini saja absen karena pandemik Covid-19,” kata Deri saat ditemui di salah satu warung kopi, Jumat (21/8/2020).
Menurut Deri, harmonisasi antarrelawan pemadam harus terus dipupuk agar semakin terwujud rasa kebersamaan dan kekeluargaan.
Terlebih lagi, kata Deri, menjadi relawan pemadam kebakaran sejatinya harus datang dari hati nurani.
“Dari hati nurani untuk membantu sesama manusia dan masyarakat," tegas dia.
Seorang pemadam, ujar Deri, tidak mendapat bayaran walau bertaruh nyawa saat memadamkan api.
Bahkan, tak jarang relawan pemadam kebakaran jadi sasaran amarah ketika datang terlambat di lokasi kebakaran.
"Tidak ada bayaran. Selesai kebakaran langsung pulang,” kata Deri.
Maka dari itu, penting sekali saat ini setiap pemadam kebakaran diperlengkapi alat-alat pelindung diri. Mereka juga harus punya bekal pengetahuan dan kemampuan dasar memadamkan api.
Paling tidak, perlengkapan perlindungan diri tersebut bisa mengantisipasi kecelakaan saat menjalankan tugas.
“Menggunakan alat pelindung diri serta memiliki kemampuan standar dalam memadamkan api harus dimiliki setiap relawan,” ujar Deri.
Sepatutnya, imbuh dia, pemenuhan kelengkapan alat pelindung diri dan peningkatan kemampuan relawan itu didukung penuh oleh pemerintah daerah.
Anggota DPRD Kota Pontianak Yandi mengungkapkan, mengingat pentingnya keberadaan pemadam kebakaran swasta, pemerintah daerah harusnya memberi perhatian lebih.
Sependapat dengan Deri, perhatian itu dapat berupa alat pelindung diri relawan yang sesuai standar dan peningkatan kemampuan relawan, selain sarana penunjang seperti kendaraan dan mesin pompa air.
“Saya rasa sekarang ini pemerintah masih belum cukup memberi perhatian kepada pemadam swasta,” kata Yandi saat dihubungi melalui telepon, Kamis (17/9/2020).
Yandi mengaku cukup mengikuti perkembangan pemadam kebakaran swasta di Kota Pontianak.
Teman-teman relawan pemadam hanya butuh diberi semangat.
“Relawan sudah melakukan tugasnya atas dasar kemanusiaan. Tidak ada batasan etnis. Jika terjadi kebakaran, semua turun dan terlibat memadamkan api,” ujar Yandi.
Menurut dia, teman-teman relawan pemadam hanya butuh diberi semangat, baik itu dari pemerintah maupun dari kalangan swasta.
Beretnis Tionghoa, Yandi saat ini menjadi penasihat di tiga yayasan pemadam kebakaran. Ketiga yayasan itu adalah Badan Pemadam Api Siantan (BPAS); Pemadam Vois dan Yayasan Pemadam Kebakaran Khatulistiwa (YPKK).
Tumbuhnya pemadam kebakaran, menurut Yandi karena ada ikatan keluarga di antara relawan.
“Ikatan yang terjadi di pemadam kebakaran menjadi pola yang baik untuk mencegah terjadinya gesekan yang mengarah konflik antaretnis,” ucap Yandi.
Yandi berpendapat, pemerintah semestinya telah menyadari potensi baik ini. Dengan lebih menjaga harmoninasi di pemadam kebakaran berlangsung, otomatis keamanan dan ketertiban di suatu wilayah juga tetap terawat.
“Kalau kondisi suatu wilayah itu tenteram dan aman, tentunya pembangunan-pembangunan akan lebih mudah dilakukan,” imbuh Yandi.