Dari sampah elektronik bekas peranti-peranti teknologi seperti ponsel dan komputer, sejumput logam mulia "ditambang" di pinggiran Ibu Kota. Nominal yang didapat pun konon menggiurkan. Namun, tambang emas dari perkotaan ini pun menyuguhkan sederet catatan yang butuh solusi. Bagaimana bisa begitu?
BANGKAI-bangkai telepon genggam menumpuk di tempat tinggal Shandra Setiawan, di kawasan Citayam, Depok, Jawa Barat, ketika Kompas.com menemui dia, pada satu siang di medio Juni 2018.
Bentuk bangkai-bangkai telepon genggam tersebut sudah tidak karuan, hancur di sana-sini. Lempengan besi berwarna hijau dari printed circut board (PCB) yang menjadi "jeroan" telepon genggam tampak berserakan di lantai.
Namun, lempengan-lempengan itulah yang menjadi sumber nafkah bagi Shandra. Sepuluh tahun terakhir, dia menjadi salah satu "penambang emas" dari limbah elektronika.
Dari serakan PCB dan komponen-komponen elektronik yang semula terangkai di atas papan hijau itulah Shandra mendulang emas murni. Iya, emas murni, logam mulia dengan nama unsur kimia Au itu.
Karenanya, sebutan penambang kota agaknya layak disematkan kepada Shandra jika menilik apa yang dia kerjakan. Ini kisah Shandra dan orang-orang yang mendulang emas dari serakan limbah elektronika yang kian hari makin menumpuk di sekitar kita.
Pada bagian akhir, perlu juga rasanya ditilik kembali soal sampah dan penanganannya di Indonesia, termasuk untuk sampah elektronik ini. Sekalipun bisa jadi sumber penghidupan bagi sejumlah orang, sampah elektronik pada dasarnya mengandung banyak bahan berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
PERKENALAN Shandra dengan profesi sebagai "penambang" emas limbah elektronik ini dimulai dari sebuah keinginan. Dia ingin punya pekerjaan yang santai tetapi menghasilkan banyak uang. Lewat calon mertuanya, dia kenal pekerjaan ini.
“Saya kan orangnya malas, kagak mau capek kayak orang lainlah. Enggak mau serabutan kerja di kebun atau kerja sama orang. Jadi, saya menekuni ini, kayaknya enak masa depannya, enggak monoton,” kata Shandra.
Bagi Shandra, uang juga bukan satu-satunya hal yang ia peroleh dari profesi ini. Dia mengaku punya banyak relasi dari pekerjaannya ini, tak hanya di dalam negeri, tetapi berjejaring hingga Korea dan China.
“Pengalaman lebih luas, bisa kenal sama orang-orang luar, Korea, Tiongkok, dari beginian. Dari rongsokan kadang orang menyepelekan, tapi enggak tahu saja duitnya bisa berapa,” kata Shandra.
Untuk menambang emas, Shandra membedah telepon-telepon genggam bekas dan mengambil bagian prosesor dan motherboard-nya.
Integrated circuit (IC) merupakan bagian yang paling banyak kandungan emas dari komponennya.
"Di bagian lempengannya ada serat-serat emas juga. Cara tahu kadarnya dari warna kuningnya. Kalau yang bagus, yang enggak kelihatan kusam, masih cerah," kata Shandra.
Setelah dipilah, lempengan-lempengan IC itu akan dilebur menggunakan timah panas. Dari situ, aneka zat logam akan muncul.
Logam yang muncul tidak hanya emas tetapi juga perak, tembaga, dan kuningan. Emas akan dipisahkan dari zat-zat itu pada proses berikutnya.
"Setelah itu, dicampur pakai netrit, sekali bakar lagi sudah jadi emas," ujar Shandra.
Netrit yang dia maksud adalah asam nitrat—nitrite acid, unsur kimia berkode NO2—, yaitu zat kimia yang digunakan memisahkan emas dari zat lain. Bila proses ini selesai, emas telah siap dijual.
Shandra menuturkan, proses pengolahan limbah elektronik menjadi emas itu tak memakan waktu lama. Bila semua bahan siap, limbah dapat disulap menjadi emas dalam hitungan jam.
"Kalau limbahnya prosesor, semalaman bisa (selesai). Kalau IC bisa dua-tiga hari, (tergantung) gimana banyaknya. Lebih lama IC," kata Shandra.
Hampir semua barang elektronik yang memiliki prosesor, lanjut Shandra, bisa diolah untuk menghasilkan emas, mulai dari telepon genggam, komputer, hingga modem internet.
"Bisa semuanya, cuma kandungan kadarnya berbeda-beda. Kadar yang paling bagus itu ya dari (telepon genggam) Nokia jadul," sebut Shandra.
Shandra mengatakan, emas-emas itu akan dijual ke toko-toko emas di beberapa tempat atau kepada para pengepul.
Ia mengklaim, emas hasil olahan dari limbah elektronik mempunyai kadar lebih bagus dari yang dijual di toko.
"Ini kadarnya kan 99 persen. Ya tergantung kita yang ngolahnya. Biasanya, emas dari barang elektronik ini hasilnya emas murni, jadi lebih bagus dari toko," kata Shandra.
Rupiah yang dihasilkan Shandra dari menambang emas limbah elektronik membuat orang penasaran. Maklum, ia enggan buka-bukaan soal angka yang pasti.
Namun, Shandra mengatakan, keuntungan yang diperolehnya bak ketiban lotere. Ketika ada proyek borongan, penghasilannya berlipat ganda. Sebaliknya, saat tidak ada borongan, Shandra harus bekerja keras mencari barang-barang rongsok yang bisa dilebur.
Sambil berseloroh, ia bilang penghasilannya bahkan bisa menyamai pendapatan presiden ketika ada borongan. Yang jelas, angkanya melebihi gaji bulanan pegawai.
“Kalau kerja sama orang ya tiap bulan gajinya segitu-gitu saja, tak ada tambahan. Coba di bidang kayak gini, (ketika) dapat borongan (maka) gaji presiden juga kalah. Saya saja kadang-kadang punya barang dari sehari punya untung Rp 800.000. Gaji siapa yang segitu?” kata dia.
Yang jelas, lanjut dia, keuntungannya yang bisa didapat akan tergantung kepada ukuran dan kualitas lempengan elektronik yang akan diolah.
"Ini saya beli satu lempengan bisa Rp 3.000-an. Untuk ukuran yang kecil, bisa dapat 170 miligram emas. Kalau ukurannya besar, ya lebih banyak lagi emasnya," kata dia.
Untuk menambang emas Shandra tentu perlu bahan, yang itu tentu saja adalah limbah elektronik. Tempat jual barang rongsok yang dikenal sebagai "Mal Rongsok" merupakan salah satu sumber limbah elektronik bagi Shandra.
"Mal Rongsok" ini berlokasi di Jalan Bungur Raya, Beji, Depok. Sudah bertahun-tahun, Shandra menjadi pelanggan tetap Nurcholis Agi, sang pemilik mal barang bekas tersebut.
Namun, "mal" ini bukan satu-satunya sumber limbah elektronik bagi Shandra. Dia bisa mendapatkannya dari banyak tempat bahkan wilayah.
"(Bisa) dari Cianjur, sering juga nerima kiriman dari luar kota, kayak dari Jayapura juga ada, macam-macam (daerah) jadinya," kata Shandra.
Bekerja sebagai "penambang" emas dari limbah elektronik tidak membuat Shandra lepas dari drama-drama dunia kerja. Keuntungan besar yang bisa didapat, kata dia, juga sering memunculkan perselisihan.
“Namanya duit tuh sensitif. Kadang ngasih duit buat beli barang, duitnya enggak ada, barangnya enggak ada. Saya berusaha jujur, tapi ya tetap di bawah saya kadang ada juga yang enggak jujur,” kata Shandra.
Lalu, ada pula risiko terkait proses pengolahan emas ini. Bekerja menggunakan zat-zat kimia, Shandra tak menampik ada juga efek buruknya bagi kesehatan.
“Itu kan (bahan) kimia baunya enggak kuat. Enggak sehari-hari sih, tapi kan tetap saja sedikit banyak terisap. Saya selama enam tahun saja kayaknya nafas buat lari, buat apa, sudah enggak kuat, sudah ngos-ngosan,” kata Shandra.
Setelah lama menjadi pelebur emas dari limbah elektronik, Shandra memutuskan untuk berhenti. Kini, Shandra hanya melakukan jual-beli limbah elektronik berupa telepon genggam atau komputer yang komponen-komponennya dapat dilebur untuk mendapatkan sisa-sisa emasnya.
Lalu, limbah elektronik yang tidak dapat diolah menjadi emas ia ekspor ke luar negeri. Ia mengatakan, aktivitas barunya itu sudah bisa menghidupi keluarga kecilnya.
“Alhamdulillah buat sebulan, sehari-hari, cukup. Soalnya, yang kerja beginian kan megang duit lah, enggak mungkin kekurangan,” kata Shandra.
PEKERJAAN yang pernah dilakoni Shandra selama bertahun-tahun ini bukanlah satu-satunya di dunia. Di Indonesia pun tidak.
Bila mengikuti kabar persiapan Olimpiade 2020 di Jepang dan Korea Selatan, misalnya, medali yang akan dipakai para juara kelak adalah hasil mendulang logam mulia dari limbah elektronik.
Di dalam negeri, ada juga pendulang logam mulia dari limbah elektronik yang sampai membangun usaha kecil dan menengah (UKM) untuk sumber penghidupan sekampungnya di Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Salah satu miliarder perempuan dari China juga meraup pundi-pundi dari kumpulan sampah, termasuk limbah elektronik.
Sudah begitu, cara pendaurulangan limbah elektronik ala Shandra dan sejumlah orang di Indonesia juga menyisakan masalah. Yang pertama, tentu saja risiko kesehatan dan keselamatan kerja, karena persinggungan berkelanjutan dengan bahan kimia keras.
Persoalan berikutnya, pendaurulangan seperti cara Shandra ini bisa dibilang kasuistis. Pelakunya adalah sejumput orang yang jeli melihat peluang dan mau kerja capek untuk hasil yang memang besar.
Secara keseluruhan, problem terkait berlimpahnya sampah elektronik belum menemukan solusi yang paling ideal di Indonesia. Ini berbeda dengan praktik yang dijalankan Jepang untuk mendapatkan logam mulia sebagai bahan medali, misalnya.
Di Jepang, upaya "penambangan" itu menggunakan teknologi tinggi. Tujuannya, tentu saja untuk memastikan keamanan dan keselamatan "penambang" dan lingkungan yang terpapar proses pemilahan.
Itu pun, Jepang dikenal sebagai negara yang sangat tertib memilah sampah, tak cuma sampah elektronik. Sistem persampahan sudah berjalan, dengan sanksi berat pula bila sampai dilanggar, baik sengaja maupun tidak, bahkan untuk "sekadar" kesalahan hari membuang sampah berdasarkan jenisnya.
Bagaimana dengan di Indonesia? Kalaupun sampah sudah dipilah, penanganan lanjutannya juga belum komprehensif. Bila sudah ada pengolahan komprehensif, sistem ini cenderung masih sporadis, tergantung kebijakan lokal. Ini pun baru sampah secara umum, belum spesifik lagi untuk sampah elektronik.
Akibat melonjaknya permintaan dan penggunaan gadget, antara 2010-2015 sampah elektronik yang juga biasa disebut e-waste melonjak 63 persen di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara.
Bobot sampah elektronik pada kurun waktu tersebut di kedua kawasan pun ditaksir mencapai 12,3 juta ton. Itu kira-kira 2,4 berat Piramida Agung Giza di Mesir. Angka-angka ini berasal dari laporan yang disusun United Nation University (UNU).
E-waste adalah istilah untuk barang listrik atau elektronik yang sudah tidak terpakai. Jika tidak didaur ulang atau dibuang dengan cermat, sampah ini kerap dibakar atau dicuci dalam asam untuk mengesktraksi tembaga dan logam lain di dalamnya.
Langkah itu ternyata dapat mencemari air dan udara. Bagi kesehatan, pencemaran ini berisiko memicu beragam masalah, mulai dari kanker, kelainan pertumbuhan anak, hingga ketidaksuburan pada pekerja yang terpapar asapnya.
Para peneliti untuk Regional E-Waste Monitor ini meneliti sampah elektronik di 12 negara di Asia Tenggara dan Asia Timur, termasuk Indonesia. Hasilnya, didapati bahwa volume sampah elektronik di 12 negara itu meningkat tajam dalam lima tahun itu. Mereka mencari faktor-faktor yang memicu peningkatan e-waste.
Sumber peningkatan sampah elektronik itu mencakup produk gadget yang terus bertambah, peningkatan populasi masyarakat kelas menengah yang mampu membeli lebih dari satu gadget, berkurangnya usia pakai gadget, serta percepatan perputaran gadget—baik baru maupun second hand—karena perkembangan pesat teknologi tinggi dan gaya hidup.
"Semakin banyak gadget dan mainan yang digerakkan plug atau baterai. Ini semua memberikan sumbangan besar bagi bertambah banyaknya e-waste," kata Ruediger Kuehr, co-author penelitian ini, dalam laman publikasinya.
Laporan Global E-waste Monitor 2017 yang juga dilansir UNU mendapati pula bahwa limbah elektronik meningkat secara signifikan pada kurun 2014 hingga 2016.
Sebanyak 44,7 juta metrik ton (Mt) limbah elektronik dihasilkan pada 2016. Ini 8 persen lebih tinggi daripada yang dihasilkan pada 2014, yaitu 41,4 juta Mt. Limbah yang dimaksud di sini termasuk televisi, smartphone, panel surya, kulkas, dan berbagai barang elektronik lain.
Jumlah tersebut diproyeksikan masih akan meningkat lagi sebesar 17 persen pada 2021. Pada tahun itu, limbah elektronik diperkirakan mencapai 52,2 juta Mt.
Sayangnya, pada 2016 hanya 20 persen limbah yang dikumpulkan dan didaur ulang, merujuk pada laporan tersebut. Disebutkan pula di situ, hanya 4 persen limbah elektronik dibuang ke tempat pembuangan akhir. Adapun 76 persen sampah elektronik dibakar, didaur ulang oleh organisasi pihak ketiga, atau disimpan di gudang.
Para peneliti UNU membandingkan berat limbah elektronik global pada 2016 setara dengan berat sembilan Piramida Agung Giza, 4.500 Menara Eiffel, atau 1,23 juta truk yang memiliki 18 roda berbobot 40 ton yang bila dibariskan akan cukup untuk membentuk garis dari New York ke Bangkok lalu kembali lagi.
Sumber lonjakan sampah elektronik ini semula ditengarai dari ponsel dan televisi yang cepat memunculkan model terbaru. Namun, belakangan disadari bahwa peralatan-peralatan elektronik harian—seperti pengatur suhu (AC), mesin cuci, vacuum cleaner, dan kulkas—justru bakal menjadi penyumbang besar limbah elektronik pada hari-hari ini dan masa mendatang.
Di balik banyak kemudahan baru di era teknologi pada hari ini, ada dilema tak terhindarkan dari barang-barang elektronik yang tak lagi dipakai. Kedua laporan tersebut mengidentifikasikan sejumlah tantangan dari lonjakan sampah elektronik ini, yaitu:
Pertanyaan berikutnya akan kembali kepada kita, apakah kita dan anak cucu kita hanya akan berdiam menanti tertimbun sampah elektronik yang jelas-jelas mengandung limbah berbahaya?
Akankah solusi dari limbah elektronik cukup bertumpu pada sosok-sosok seperti Shandra yang berkemauan dan jeli menambang logam mulia dari rongsokan barang elektronik bekas pakai?
Bila benar kita sudah dewasa berdemokrasi, hal-hal seperti ini yang patut dicari dan dimintakan solusi bersama pada para wakil rakyat dan penguasa. Karena, demokrasi tak cuma soal pengisian kursi kekuasaan.
Carpediem....