JEO - Insight

Penyakit Tertua di Dunia dengan Gejala seperti Panu, Itulah Kusta

Selasa, 10 September 2019 | 20:59 WIB

Penyakit terbesar hari ini bukanlah kusta atau TBC, melainkan perasaan tidak diinginkan, tidak diperhatikan, dan ditinggalkan oleh semua orang.

~Bunda Teresa~

MITOS. Seperti banyak hal yang tak dipahami dengan baik oleh kebanyakan orang, penyakit kusta dilingkupi banyak mitos.

Bila hari ini tiga besar jumlah penderita kusta dunia berada di India, Brasil, dan Indonesia, sejarah membuktikan bahwa kasus kusta tertua ditemukan di Eropa. Rantai penyebarannya pun terlacak dari sana.

Tak sedikit orang dari kelas menengah bahkan atas yang sebenarnya juga menderita kusta.

Jika lepra—sebutan lama untuk kusta—dianggap sebagai penyakit orang miskin, para dokter yang menangani penyakit ini menyatakan bakteri tak pilih kasta. Tak sedikit orang dari kelas menengah bahkan atas yang sebenarnya juga menderita kusta.

Jijik, takut, dan enggan, tak dimungkiri menjadi reaksi spontan yang umum ketika sesiapa saja berserobok dengan penderita atau mantan penderita kusta. Yang lebih menjadi masalah adalah, penyebaran penyakit ini tak banyak dipahami. Jadilah stigma.

Bahkan mereka yang sudah dinyatakan sembuh dari penyakit ini pun masih menanggung banyak beban dari mitos salah kaprah hingga stigma karena ketidakpahaman atas kusta.

Namun, selalu ada orang-orang yang membuktikan diri tak patah diterpa cobaan sakit yang bahkan meninggalkan penanda kasat mata berupa kecacatan seperti kusta.

Sebaliknya, selalu ada juga orang-orang tanpa penyakit ini yang mau bersuara bahkan menciptakan jembatan-jembatan kesempatan bagi para penderita dan mantan penderita kusta.

JEO ini bertutur tentang semua hal di atas. Untuk memudahkan navigasi—yang bila diklik akan mengantar juga ke bagian tulisan yang dikehendaki—berikut ini urutan penulisannya:

 

Simak juga liputan khusus Ada Kusta di Antara Kita di Kompas.com. Ini merupakan inisiatif bersama Kompas.com, harian Kompas, Kompas TV, dan Kontan.

Tayangan Kompas TV dapat disimak di program Berkas Kompas Stigma Kusta Tak Berkesudahan, yang tayang pada Selasa (10/9/2019).

SEJARAH KUSTA

PURBA. Selawas itu usia keberadaan penyakit kusta menghinggapi manusia. Saking misteriusnya, kusta banyak dilekati mitos.

Namun, saking lawasnya juga penyakit ini, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada saat ini menempelkan label penyakit tropis yang terabaikan. Ada, tetapi tak lagi jadi perhatian.

Yang lalu tersisa adalah stigma. Masyarakat yang sebenarnya tak banyak tahu soal penyakit ini cenderung jijik, berjarak, dan menjauhi. Termasuk, kepada penderita dan mantan penderita kusta.

Baca juga: Ada Kusta di Antara Kita

Kerangka Tertua Penderita Kusta - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Bahkan sampai sekarang, konsepsi populer soal kusta masih banyak dipengaruhi oleh gambaran dalam Alkitab dan abad pertengahan. 

Kerangka tertua yang diduga kuat milik penderita kusta, sejauh ini ditemukan di kawasan Balathal, India. Tepatnya 40 kilometer di timur laut Udaipur, negara bagian Rajasthan. 

Berdasarkan riset Gwen Robbins dan kawan-kawan, uji karbon atas termuan dari penggalian pada kurun 1994-1997 tersebut mendapati perkiraan asal kerangka adalah masa 2000-2500 SM. Artinya, usia kerangka setidaknya 4.000 tahun.

Uji genetika memperkirakan penyakit ini sudah diderita manusia sejak 100.000 tahun yang lalu.

Namun, uji genetika memperkirakan penyakit ini sudah diderita manusia sejak 100.000 tahun yang lalu. Sebarannya pun tak terbatas di benua atau ras tertentu.

Vektor penyebaran yang pernah disebutkan untuk penyebaran kusta mulai dari rubah merah untuk kasus di Inggris hingga buaya di Afrika. Adapun penyebaran antarbenua juga dikaitkan dengan sejarah invasi antarbangsa.

Misal, penyebaran kusta dari Asia ke Eropa diperkirakan bersamaan era dengan ekspansi kekuasaan Alexander Agung di kisaran 400 SM. 

Referensi tertulis tertua untuk kusta diduga ada dalam Atharva Veda, teks suci Hindu yang disusun sebelum milenium pertama SM. 

Seperti dikutip dari Live Science edisi 26 Mei 2009, di dalam Atharva Veda terdapat satu set nyanyian dalam bahasa Sanskerta yang menggambarkan masalah kesehatan, penyebab, dan perawatan yang tersedia pada masa India kuno.

Sebelum ada temuan kerangka dari Balathal, kerangka sebelumnya dengan ciri penderita kusta ditemukan di Mesir dan Thailand dengan perkiraan asal waktu 300-400 SM.

 

... Δ⇑ Kembali ke Awal

PENYEBAB
DAN PERKEMBANGAN KUSTA

RIBUAN tahun menjangkiti manusia, penyebab kusta secara sains baru ditemukan pada 1873. Ternyata, kusta adalah penyakit akibat infeksi dari bakteri Mycobacterium leprae.

Bakteri ini ditemukan oleh ilmuwan Norwegia, Gerhard Henrik Armanuer Hansen. Untuk penghormatan untuk dia pula, sekaligus mengeliminasi stigma penggunaan nama lepra atau kusta, penyakit ini belakangan disebut pula dengan nama Morbus Hansen.

Riset terbaru pada 2008, kusta dengan tipe yang berbeda disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium lepromatosis. Sejumlah deskripsi evolusi bakteri dan jenis kusta yang ditimbulkannya diurai lengkap dalam riset tersebut.

Penyakit kusta pada dasarnya dapat diobati. Namun, perkembangan penyakit ini sulit diukur secara in vitro. Ini adalah teknik pengembangbiakan kultur jaringan dalam istilah biologi.

Karenanya, masih banyak sisi penyakit kusta masih tidak dipahami, termasuk asal, rute penularan awal, dan waktu untuk penyebarannya. Tak terkecuali di Indonesia.

Data Penyebaran Kusta di Indonesia pada Masa Lalu - (KOMPAS/HANS)

Di Indonesia, kasus kusta tak lagi sebanyak pada pengujung era 1970-an seperti pada grafik di atas.

Data Global Leprosy Update WHO 2017 menyebut, jumlah kasus baru kusta di Indonesia tertinggi ketiga di dunia (15.910 kasus) setelah India (126.164 kasus) dan Brasil (26.875 kasus).

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan mencatat, pada 2017, ada 10 provinsi belum mencapai eliminasi.

Kesepuluh provinsi itu adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. 

Hingga akhir 2018, tercatat masih terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang belum eliminasi kusta. Belum eliminasi artinya angka kejadian kusta di wilayah tersebut masih lebih dari 1 per 10.000 penduduk.

"Kalau secara nasional kita sudah mengeliminasi kusta. Penyebaran eliminasi kusta ini tidak merata," kata Ketua Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), Dr dr Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, SpKK(K), Selasa (3/9/2019).

Ilustrasi informasi terkait kusta
KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Ilustrasi informasi terkait kusta

Tipe kusta

WHO mengklasifikasikan kusta atau lepra menjadi dua tipe yaitu pausibasiler (PB) dan multibasiler (MB). 

Tipe PB

Kusta tipe PB disebut juga dengan kusta kering. Kulit penderita menunjukkan gejala kusta kering dan bersisik. Ini akibat penderita tidak berkeringat. 

Penyebutan lain untuk tipe ini adalah kusta tuberkoloid. Jumlah bakteri Mycobacterium leprae pada kusta tipe PB sangat sedikit atau bahkan tidak ditemukan.

Jumlah bakteri terpantau sedikit bahkan tak ditemukan karena langsung dapat dikalahkan oleh daya tahan tubuh penderita yang relatif bagus. Karenanya, kusta tipe PB dianggap tidak menular.

Kelainan kulit pada kusta tipe tuberkuloid ini hampir mirip atau menyerupai gejala penyakit lain, seperti panu, biduran, eksim ataupun vitiligo, yang bahkan tidak terasa gatal dan sakit.

"Tetapi, kelainan masih tetap bisa muncul, karena bakteri itu utamanya di saraf," ujar dr Dini, nama panggilan Dr dr Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, SpKK(K).

Bentuk kelainan yang muncul biasanya berupa mati rasa pada kulit. Pengobatan untuk tipe ini umumnya berlangsung selama enam bulan. 

Tipe MB

Kusta tipe MB disebut pula dengan kusta basah. Penyebabnya, bentuk kelainan berupa kulit tampak merah mengkilat seperti basah.

Pada jenis ini, ada banyak bakteri Mycobacterium leprae pada kulit. Karenanya, tipe ini disebut sangat mudah menular.

Kelainan kulit yang dialami penderita kusta tipe MB akan lebih luas. Misal, kulit simetris bentuk berupa bercak menebal atau benjolan hampir di seluruh tubuh.

Kadang didapatkan pula pembengkakan selaput lendir hidung yang menyebabkan penyumbatan, dapat disertai mimisan (epistaksis). Pada tipe ini sering kali gangguan saraf terlambat dideteksi.

Pengobatan kusta tipe MB butuh waktu minimal 12 bulan, kerap lebih lama lagi. Lamanya waktu pengobatan ini karena bakteri penular kusta butuh waktu 2-3 pekan untuk membelah diri.

"Jadi, waktu diberikan obat itu, bakterinya bisa saja mati hingga 90 persen, namun 10 persen sisanya itu tidur," kata dr Dini.

Masalahnya, obat tidak berfungsi efektif untuk membunuhnya ketika posisi bakteri tidur. Obat hanya dapat mematikan ketika bakteri tersebut sedang membelah diri. 

"Itulah yang membuat pengobatannya lama (untuk memastikan semua bakteri benar-benar mati)," tegas dr Dini.

Campuran

Di luar kedua tipe kusta di atas, ada pembagian lain yang membagi kusta dalam tiga tipe campuran, yaitu kusta borderline tuberkuloid, mid-borderline, dan borderline lepromatosa.

Namun, tipe campuran hanya digunakan untuk tujuan penelitian. Adapun untuk tujuan pengobatan, WHO menganjurkan penggunaan pembagian tipe PB dan MB.

Kusta tipe campuran tidak stabil dan dapat berkembang menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta tuberkuloid.

Penyembuhan kusta campuran bisa berlangsung selama 9-12 bulan.

Pengobatan

Selama wawancara, dr Dini pun menegaskan bahwa kusta bisa disembuhkan dengan pengobatan yang tepat. Namun, fisik pasien mungkin tidak bisa pulih seutuhnya karena ada cacat akibat kerusakan saraf.

Banyak orang mengira kusta tidak dapat diobati. Padahal, kusta bisa diobati total, dan obatnya pun sudah disediakan gratis oleh pemerintah Indonesia. Obat ini dipasok WHO.

Bahkan, penderita kusta dapat terhindar dari kecacatan. Asalkan, penyakit ini terdeteksi sedini mungkin. 

Pengobatan kusta menggunakan kombinasi antibiotik (multi drug treatment), seperti Rifampicin, Dapsone, dan Clofazimine.

Pengobatan ini tentu saja harus tuntas dan sesuai dengan resep dokter untuk menghindari bakteri kusta menjadi kebal atau resisten.

Obat-obatan ini tersedia gratis di beberapa puskesmas dan rumah sakit pemerintah dan swasta. Namun, jumlah obat yang tersedia terbatas sesuai jumlah penderita yang terdata, berdasarkan laporan Pemerintah Indonesia ke WHO.

Pasien dapat menggunakan obat selain yang ditentukan oleh WHO, jika dia alergi obat-obatan tersebut atau ada komplikasi lain.

Tata laksana pengobatan kusta, kata dr. Dini, tidak terbatas pada kulit saja, tetapi juga harus bersama dengan disiplin ilmu lain, termasuk saraf, mata, bedah ortopedi, dan rehabilitasi medik.

Bahkan, tata laksana juga dapat melibatkan praktisi psikologi, ilmu budaya, kesehatan masyarakat, ekonomi, dan lain-lain.

"Kalau kusta sudah tipe MB, biasanya terjadi juga komplikasi ke bagian organ lain. Jadinya, pengobatannya itu harus dilakukan berkolaborasi atau berkoordinasi antar disiplin ilmu kedokteran yang terkait," ujar dr. Dini.

Misal, seorang penderita kusta yang mengalami gangguan saraf karena penyakitnya, dokter kulit akan bekerja sama dengan dokter saraf untuk proses penyembuhannya. Begitu juga bila yang terdampak adalah organ mata, dokter mata akan dilibatkan.

Dari semua proses penanganan kusta, lanjut dr Dini, yang paling diupayakan pencegahanya adalah kecacatan permanen.

Sekali lagi, ujar dia, pendeteksian sedini mungkin dan pengobatan teratur sampai tuntas adalah cara untuk memastikan kecacatan itu dapat dicegah. Bila tidak, kecacatan tak bisa dipulihkan meski penderita kusta telah dinyatakan sembuh. 

Untuk penderita kusta yang telah dinyatakan sembuh—apa pun kondisinya—, bakteri pembawa penyakit ini dipastikan telah mati. Kekambuhan hanya terjadi bila paparan bakteri yang sama terjadi lagi, saat kondisi tubuh pun rapuh.

Baca juga: Stigma Kusta Sepanjang Masa

 

... Δ⇑ Kembali ke Awal

 

MITOS-MITOS KUSTA

MESKI manusia telah berkutat dengan penyakit lepra sepanjang sejarahnya, rupanya masih banyak mitos mengenai penyakit ini yang salah kaprah.

Mitos-mitos ini meninggalkan stigma mendalam bagi para penderita kusta sehingga membuat banyak kasus kusta terlambat didiagnosis dan diobati.

Sudah begitu, penderita dan mantan penderita kusta pun harus menelan stigma dan perlakuan diskriminatif karena sejumlah mitos yang salah kaprah ini.

Ketua Kelompok Studi Morbus Hansen (Kusta), Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), Dr dr Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, SpKK(K) mengurai sejumlah mitos yang seharusnya tak lagi diikuti.

Penyakit kutukan

Kusta bukan disebabkan oleh kutukan, guna-guna, makanan atau penyakit keturunan seperti yang masih banyak dipercaya oleh masyarakat.

"Kusta ini penyebabnya jelas, pengobatannya juga ada, cuma mereka (penderitanya) saja yang kadang tidak tahu kalau mereka kena gejala kusta dan terlambat mengobatinya," ujar dr Dini—nama panggilannya—saat ditemui Kompas.com, Selasa (3/9/2019).

Penularan kusta dapat terjadi karena kontak lama—kurun sekitar 3-5 tahun atau lebih lama—, antara penderita kusta yang tidak diobati kepada orang yang sehat melalui pernapasan.

Itulah sebabnya, tidak semua orang serta merta tertular kusta begitu berkontak dengan penderita. 

Secara statistik, hanya lima persen peluang terjadi penularan kusta. Bahkan, kata dia, kusta adalah salah satu penyakit menular yang paling rendah tingkat penularannya.

Anggota keluarga—sebagai yang paling rentan tertular kusta—dapat tertulari jika tak ikut meminum obat selama penderita kusta menjalani pengobatan.

Penyakit orang miskin

Banyak orang menganggap kusta sebagai penyakit orang miskin saja. Padahal, penyakit ini bisa menyerang semua golongan sosial dan ekonomi masyarakat.

"Di Jakarta ini, bahkan banyak golongan masyarakat menengah ke atas terkena kusta," ungkap dr Dini.

Bakteri—penyebab kusta maupun penyakit lain—sangat mudah menyerang bila daya tahan tubuh seseorang tidak baik.

"Ya kayak orang kebanyakan di Jakarta yang lelah kerja, lelah macet, timbul stres dan lainnya, jadi imunitasnya berkurang. Itu bisa sekali memicu siapa saja terinfeksi bakteri apa pun," imbuh dr Dini.

Penyakit orang dewasa dan manula

Dr Dini menyatakan, kusta dapat dialami siapa saja, berapa pun usianya. Orang tua atau anak-anak, peluangnya sama. 

Meski begitu, ujar dia, golongan usia dewasa 20-40 tahun adalah yang paling banyak terkena penyakit kusta, khususnya di Indonesia.

Baca juga: Perjuangan Hidup Abdul Wahab, Tak Patah karena Kusta

Lalu, jika melihat perbandingan antara wanita dan pria, kasus kusta pada pria lebih banyak dibandingkan kasus kusta yang terjadi pada wanita.

Penderita perlu dikucilkan

Hal yang paling dibutuhkan penderita kusta, tegas dr Dini, adalah dukungan dan motivasi dari keluarga agar patuh menjalani pengobatan.

Sayangnya, kusta masih saja kerap dianggap sebagai penyakit kutukan. Karenanya, pengucilan dan perlakuan diskriminatif sering terjadi.

Kalaupun masyarakat tidak meyakini soal kutukan tersebut, kusta diperlakukan sebagai penyakit yang luar biasa menular. Ini yang lalu membuat ekspresi jijik dan sikap menghindar ketika bertemu penderita atau mantan penderita kusta.

"Makanya masih banyak masyarakat di kita (Indonesia) sendiri yang malu kalau ketahuan kusta. Itu (alasan) mereka rela berobat keluar daerah karena malu dikucilkan dan dijauhi oleh teman ataupun tetangga dan kerabatnya," kata dr Dini.

Perlakuan yang Kerap Dialami Penderita dan Mantan Penderita Kusta - (KOMPAS/ARIE)

 

... Δ⇑ Kembali ke Awal

MEREKA YANG TAK PATAH
KARENA KUSTA

STIGMA menjadi tantangan tersendiri bagi para penderita dan mantan penderita kusta. Apalagi ketika urusannya untuk tetap berdaya. 

Jijik, takut, dan khawatir tertular, adalah di antara reaksi umum saat orang kebanyakan dipertemukan dengan penderita kusta.

Baca juga: Ada Kusta di Antara Kita...

Tak heran bila mitos tentang kusta dan kemiskinan makin menguat. Dari mana mereka mendapatkan penghidupan?

Namun, tak semua orang begitu saja berpasrah diri menghadapi segala stigma dan tantangan kehidupan ini. Tak semua orang di luar lingkungan penderita dan mantan penderita kusta juga abai. 

Penderita dan mantan penderita

Abdul Wahab adalah salah satu mantan penderita kusta yang tak mau patah karena jejak penyakit ini di tubuhnya.

Mengidap kusta sejak berusia 8 tahun, Wahab bertarung menghadapi kehidupan dengan berdagang buah segar dan makanan rebusan.

Wahab, eks penderita penyakit kusta berjualan makanan dan buah-buahan di Kampung Sitanala, Kelurahan Karangsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten, Selasa (20/8/2019). Di kampung yang berada di belakang RS dr Sitanala ini dihuni sekitar 1.000 eks penderita kusta dan keluarganya.
KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
Wahab, eks penderita penyakit kusta berjualan makanan dan buah-buahan di Kampung Sitanala, Kelurahan Karangsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten, Selasa (20/8/2019). Di kampung yang berada di belakang RS dr Sitanala ini dihuni sekitar 1.000 eks penderita kusta dan keluarganya.

Sebelumnya, kakek berusia 71 tahun ini pernah juga bekerja sebagai tenaga jahit konveksi selama 20 tahun.

Itu juga tak mudah. Dia mengalami sendiri bagaimana reaksi orang dengan dagangan buah dan makanan rebusannya. 

Terkadang, tutur Wahab, masyarakat umum masih enggan membeli kentang dan umbi-umbian rebusnya. Mungkin, kata dia, orang-orang masih berpikir bahwa makanan rebusan itu dimasak langsung menggunakan tangan eks penderita kusta.

Kalau ada orang umum yang membeli dagangannya, lanjjut Wahab, kebanyakan yang dibeli adalah buah. Makanan rebusan lebih banyak dibeli oleh sesama penderita atau mantan penderita kusta di kampung itu.

"Kalau makanan ini sekitar sini saja (Kampung Kusta). Kalau buah-buahan, musim duku, sampai keluar (kampung), sepedaan. Kalau kayak begini kan kadang-kadang masyarakat luar agak bagaimana. Enggak beli," ucap Wahab, Selasa (20/8/2019).

Setiap hari Ia mulai berjualan dari pukul 09.00 hingga 16.00 WIB. Wahab akan berhenti sejenak ketika harus menunaikan shalat zuhur dan ashar.

Rutenya tak jauh, dari lorong ke lorong yang berada di Kampung Kusta. Jika merasa lelah, Ia akan beristirahat sejenak di rumahnya yang terletak di lorong 8 Kampung Kusta.

Simak kisahnya: Perjuangan Hidup Abdul Wahab, Tak Patah karena Kusta

Menjadi jembatan

Ada juga orang-orang baik yang berusaha menjadi jembatan rezeki bagi para penderita dan mantan penderita kusta. Memberi pekerjaan yang menghasilkan.

Salah satu yayasan yang pernah dijumpai Kompas.com, misalnya, menampung para mantan penderita kusta untuk menjadi tenaga jahit dan pendukung usaha konveksi.

Lembaga ini mendidik dari nol para penderita dan mantan penderita kusta. Dalam catatan mereka, tak kurang dari 60 mantan penderita kusta yang akhirnya bisa berusaha mandiri di rumah masing-masing sesudahnya.

Saat ini, masih ada puluhan mantan penderita kusta yang bekerja bersama orang-orang non-penderita kusta. 

"Dari 24 orang, empat orang sudah bisa mandiri kerja di rumah juga, jadi tinggal belasan saja," ujar pengelola lembaga tersebut. 

Pelatihan yang diberikan ketika masuk ke lembaga ini mulai pengenalan mesin, memotong bahan, hingga memasang lubang kancing pakaian.

Tak ada waktu yang pasti dalam menjalani proses latihan, tergantung kondisi fisik masing-masing.

"Sekarang mereka sudah bisa semua menjahit. Itu mungkin untuk orang yang itu cacat karena enggak mungkin kami tempatkan untuk menggunting dan menghitung pola dasar," lanjut dia.

Di sini, para eks penderita kusta bekerja selama 7 jam, sejak pukul 8.30 WIB hinga 14.30 WIB. Upah yang didapat sesuai dengan pekerjaan yang diselesaikan, dibayar per bulan. 

"Ada gaji, ada fasilitas kesehatan berupa poliklinik," lanjut dia.

Soal besaran gaji diakui tidak selalu sesuai ketentuan ketenagakerjaan. Karena, lembaga ini pun bersifat nirlaba.

Pesanan dari pihak terkait yang juga sama-sama berniat menjadi jembatan bagi para mantan penderita kusta jadi andalan utama pemasukan. 

Mereka yang berdaya 

Sebagian dari mereka yang sedikit banyak mampu berdaya dengan segala keterbatasan akibat dampak penyakit kusta, berbagi cerita pula kepada Kompas.com.

Salah satu dari mereka, perempuan berusia 50 tahun, mengaku tahu keberadaan lembaga yang mau membantu mereka dari sesama mantan penderita kusta. 

"(Di sini) sejak 2009. saat ini berarti sudah 10 tahun. awal masuk sini ya tau dari teman-teman aja," kata ibu berkacamata ini.

Perempuan yang kehilangan kaki kiri karena kusta itu mengakui usaha kerasnya untuk dapat belajar menjahit, pada awalnya. 

"Kalau enggak salah, saya tahun 1995 kursus di sini tapi baru tiga kali. Saya belum punya kaki palsu saat itu jadi sulit balik sana (ke rumah) ke sini," tutur dia.

Namun, kursus sesaat itu ternyata lekat di ingatannya. Saat bergabung kembali pada 2009, dia menjadi salah satu mantan penderita kusta yang tak butuh waktu lama mengikuti pelatihan awal untuk mulai menjahit. 

"(Di sini) memang harus rapi (hasil jahitan). karena kami juga harus buktikan kalau kami bisa memberikan hasil yang terbaik," ujar dia.

Perempuan lain sesama penderita kusta, berusia lebih muda sekitar 42 tahun, mendapat pekerjaan berupa membuat lubang kancing. Akibat kusta, dia kehilangan beberapa ruas jari. 

"Ini saya buat lubang kancing. Yang sulitnya di sini sih paling suka putus-putus saja benangnya," kata dia.

Pekerja di bagian lubang kancing ini mengakui proses belajarnya tak mudah. Sampai menemukan mesin yang tepat, dia menjalani pelatihan dengan menjajal satu mesin ke mesin yang lain.

Tidak semua mantan penderita kusta bekerja di bidang ini. Ada juga yang berpikir melompat lebih jauh, justru dari belajar dari penyakit yang pernah dia derita.

Membantu sesama mantan penderita kusta yang kerap terabaikan oleh masyarakat, jadi motivasi bagi mereka. Uang bukan lagi satu-satunya tujuan.

 

... Δ⇑ Kembali ke Awal

CIRI DAN GEJALA KUSTA SERTA CARA MENGUJINYA

KUSTA dapat disembuhkan. Syaratnya, deteksi dini dan pengobatan tuntas. Tantangannya, gejala kusta kerap menyaru alias tersamar dengan penampakan penyakit lain.

Simak beberapa ciri dan gejala untuk membantu pengenalan dini gejala kusta dalam motion picture berikut ini:

Kalau masih ragu, penampakan dan gejala itu kusta atau penyakit lain, ada tiga cara untuk mendeteksinya.

Dua cara pertama dapat dilakukan secara mandiri, sementara yang ketiga dapat dibantu petugas medis. 

"Karena banyak mirip atau menyerupai gejala penyakit lain, seringkali (kusta) luput dari diagnosis atau salah diagnosis di awal, dibuatlah panduan untuk pemeriksaannya," kata dr Dini.

Sebelum melakukan tes dengan tiga cara yang akan disampaikan, dr. Dini meminta kita melihat atau menentukan tanda-tanda awal kusta seperti dalam motion picture di atas.

Berikut ini tiga cara dimaksud:

Peka rasa dan suhu

Ambil kapas, pilin kapas tersebut, lalu sentuhkan pilinan tersebut ke bagian tubuh yang dicurigai sebagai gejala kusta.

Jika kita tidak merasakan apa pun, kemungkinan besar itu adalah gejala kusta. Namun, bila masih ragu, ada cara konfirmasi lanjutan.

Konfirmasi itu butuh dua wadah yang bisa diisi air hangat dan air dingin untuk pengujian. Botol, misalnya.

Maksud air hangat adalah kategori ruam kuku, di suhu sekitar 40 derajat celcius. Air dingin pun cukup bersuhu kamar, di kisaran 27-30 derajat celcius. 

"Ingat, suhu hangat bukan panas. Juga, dinginnya itu bukan dingin suhu AC ya tapi cukup dingin ruang kamar," tegas dr Dini.

Sentuhkan dua botol itu bergantian ke bagian tubuh yang diperiksa. Jika kita masih dapat membedakan mana botol berisi air hangat dan berisi air dingin, berarti bagian tubuh itu bukan gejala kusta. 

Sebaliknya, saat kita tak dapat membedakannya, sudah pasti ada gangguan saraf pada bagian tubuh tersebut. Namun, kata dr Dini, harus dipastikan lagi apakah gangguan saraf itu gejala kusta atau bukan. 

"Karena gangguan saraf itu banyak sekali," ujar dr Dini.

Raba bagian saraf tepi

Manusia punya banyak saraf tepi. Dr Dini memberikan contoh gampang, saraf ulnaris yang membentang dari siku hingga kelingking dan jari manis.

Raba saraf pada siku dan alirannya hingga ke kedua jemari. Meski tidak ada bercak apa pun, bila saat diraba ternyata saraf membesar dan area lengan bawah hingga jari kelingking dan jari manis mati rasa, maka itu sudah cukup untuk mendiagnosis adanya kusta.

"Apabila cara ini dan cara pertama menunjukkan gejala dimaksud, sudah cukup untuk mendiagnosis ada kusta di tubuh," tegas dr Dini.

Mencari bakterinya

Cara ini merupakan cara tambahan yang bisa dilakukan jika memungkinkan. Petugas medis yang berkaitan akan mengidentifikasi ada atau tidaknya bakteri kusta pada kerokan kulit yang terdapat kelainan.

Bila hasilnya positif, jelas bahwa bagian kulit yang mengalami kelainan adalah gejala kusta.

"Ya tapi cara ini dijadikan opsi terakhir karena tidak semua ketemu bakterinya, karena itu tergantung pada tipe apa kusta yang dialami pasien itu," terang dr Dini.

Jika tipe kusta tersebut adalah pausibasiler (PB) yang dikenal juga sebagai tuberkuloid atau kusta kering, sulit sekali untuk menemukan bakterinya. Sebab, pada tipe ini, bakteri bisa dimusnahkan oleh daya tahan tubuh yang baik.

Sementara itu, jika kusta tersebut sudah dalam tipe multibasiler (MB) yang dikenal juga sebagai lepromatosa atau kusta basah, bakteri yang dapat ditemukan banyak sekali.

Dokter umum pun, tegas dr Dini, dapat melakukan dan membantu menegakkan diagnosa kusta. Begitu juga petugas medis di rumah sakit dan puskesmas, termasuk layanan kesehatan swasta.

 

... Δ⇑ Kembali ke Awal