JEO - Tokoh

Peta Jalan Jokowi Mengusung Capres Pengganti...

Kamis, 4 Agustus 2022 | 06:40 WIB


 Wawancara khusus bersama Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi 

MENGHADAPI Pilpres 2024, Joko Widodo kembali menggerakkan organisasi relawan pendukungnya yang militan.

Mereka diberi tugas merapatkan barisan dan menghimpun suara rakyat dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, untuk mencari siapa sosok yang laik diusung sebagai calon presiden beserta calon wakil presiden Republik Indonesia selanjutnya.

Proses berlabel partisipasi rakyat sejati itu diberi nama Musyawarah Rakyat alias Musra.

Strategi ini diklaim relawan sebagai inovasi politik pasca-Reformasi. Sebab, rekrutmen kepemimpinan nasional selama ini dinilai telah dikooptasi secara tertutup oleh partai politik.

Para relawan yang sudah mencicipi dua kali kemenangan bersama Jokowi berpendapat, rakyat Indonesia perlu disodorkan calon pemimpin nasional yang bukan berasal dari “rezim tiket” partai politik, melainkan dari pita suara rakyat sendiri.

Calon Presiden Joko Widodo (tengah) berorasi saat menghadiri deklarasi Alumni Jabar Ngahiji di Monumen Perjuangan Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (10/3/2019). Deklarasi untuk mendukung capres nomor urut 01 itu mengangkat tema ayo bung satu kembali.
ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Calon Presiden Joko Widodo (tengah) berorasi saat menghadiri deklarasi Alumni Jabar Ngahiji di Monumen Perjuangan Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (10/3/2019). Deklarasi untuk mendukung capres nomor urut 01 itu mengangkat tema ayo bung satu kembali.

Melihat upaya Jokowi dan pendukungnya yang ingin memotret suara rakyat secara murni di luar mekanisme partai politik, maka Musra perlu dikupas helai per helai. Memastikan proses itu bukanlah sengaja didesain untuk  mengusung sosok yang sudah disiapkan sejak awal.

Perlu diamati pula jangan sampai Musra menjadi arena transaksional politik baru di tengah permasalahan multidimensi Indonesia yang semakin menumpuk.

Sejumlah kekhawatiran itu pun membawa tim JEO Kompas.com bertemu Budi Arie Setiadi, Ketua Umum Projo yang didaulat menjadi penanggung jawab Musra.

Muni-sapaan akrabnya-membeberkan kisah soal bagaimana ide Musra tercetus, apa saja intrik di dalamnya, seperti apa peta jalannya ke depan, sejauh apa keterlibatan Jokowi, serta di mana kah hasil Musra bermuara.

 

 Permintaan Jokowi 

Pernyataan Jokowi pada Rapat Kerja Nasional V Projo di Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (21/5/2022) lalu, merupakan hulu dari aksi ini.

Tidak hanya berpesan “ojo kesusu” alias jangan terburu-buru dalam hal menentukan siapa yang akan didukung dalam Pilpres 2024, Jokowi juga meminta relawan turun ke masyarakat untuk menggali model pemimpin seperti apa yang menjadi keinginan mereka.

Baca juga: Jokowi Buka Rakernas Projo: Soal Politik Ojo Kesusu Meski yang Didukung Mungkin di Sini...

Dalam waktu kurang dari tiga bulan setelahnya, para pimpinan organisasi relawan Jokowi pun berembuk menentukan peta jalan untuk menentukan sosok yang dianggap ideal menggantikan Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia.

“Nah, Musra adalah terjemahan kami para relawan dalam  menyerap serta menggali aspirasi rakyat itu,” ujar Budi Arie saat berbincang dengan tim JEO Kompas.com di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (1/8/2022).

Peta jalan itu kemudian dilaporkan kepada Jokowi ketika pucuk pimpinan 17 kelompok relawan bertemu Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (29/7/2022).

Presiden Joko Widodo berfoto bersama pimpinan organisasi relawan pendukungnya di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (29/7/2022).
Istimewa
Presiden Joko Widodo berfoto bersama pimpinan organisasi relawan pendukungnya di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (29/7/2022).

Musra didesain terdiri dari dua perangkat. Pertama, panitia yang diambil dari pucuk-pucuk organisasi relawan Jokowi. Kedua, peserta yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat sipil, akademisi, kelompok masyarakat adat, buruh, petani, mahasiswa, pengusaha, dan sebagainya.

Musra akan diselenggarakan pertama kali di Bandung pada 27 Agustus 2022. Di dalamnya, terdapat tiga chapter kegiatan, yakni menghimpun agenda kebangsaan, penyusunan program harapan rakyat, serta kesepakatan soal karakteristik kepemimpinan nasional. Ketiganya digelar berdasarkan sudut pandang peserta di daerah tersebut.

Pada chapter terakhir, akan dihimpun nama-nama yang dianggap ideal sebagai capres-cawapres dalam Pilpres 2024 versi daerah itu.

Setelah Bandung, Musra akan digelar dengan format yang sama di 33 provinsi seluruh Indonesia secara marathon pada hari-hari berikutnya. Gelaran Musra yang terakhir atau penutup  direncanakan digelar di DKI Jakarta pada 11 Maret 2023.

“Jadi, setelah kita tahu Jabar usulannya apa, Jateng apa, Jatim apa, dan sebagainya, kami akan kompilasi lalu diserahkan ke Pak Jokowi secara tertutup untuk diputuskan siapa capres dan cawapres yang akan kita semua dukung,” ujar Budi.

Baca juga: Relawan Temui Jokowi di Istana Bogor, Laporkan Persiapan Musyawarah Rakyat

Merujuk pada serangkaian proses itu, tidak heran bila Musra mengambil slogan, “pilihan rakyat, pilihan Jokowi, pilihan kita.”

Budi enggan menyebut berapa biaya yang direncanakan relawan untuk menghelat sederet acara itu. Dia mengaku, Musra digelar berbiaya murah meriah.

Tetapi, saat kami bertanya, apakah biayanya di bawah Rp 10 miliar, Budi yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Desa, Pemberdayaan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi itu menganggukkan kepala.

Kepanitiaan Musra

 

 Bukan by desain 

Budi menyadari muncul anggapan  miring tentang Musra. Misalnya, ada anggapan bahwa Musra hanya menjadi wadah manipulatif untuk mendorong nama yang telah disiapkan sebelumnya menjadi paket capres-cawapres di Pilpres 2024.

Ada pula yang menyebutkan, Musra merupakan alat politik Jokowi untuk mendesak partai politik untuk mengusung calon yang sama.

Menurut Budi, hal itu dapat dibantah dengan mudah. Sebab, siapa pun dipersilakan untuk jadi peserta. Artinya, kelompok mana saja dapat bertarung secara terbuka memengaruhi hasil Musra yang digelar di 33 provinsi.

“Kami enggak menolak mau pendukung siapa saja datang, enggak masalah. Mekanisme yang ditetapkan menepis skeptisme di masyarakat bahwa Musra ini didesain untuk mendukung seseorang. Tidak. Justru kami mau tau siapa yang diinginkan rakyat. Jangan dibolak-balik,” ujar Budi.

Baca juga: Kala Relawan Jokowi Hendak Musyawarahkan Nama Capres Tapi Hasilnya Tak Akan Diungkap ke Publik

Pihaknya pun merasa tidak perlu mengerahkan massa agar hasil Musra sesuai keinginan. Budi yakin usai Musra pertama dan kedua berjalan, kelompok masyarakat akan menyadari betapa pentingnya forum Musra sehingga mereka datang demi memengaruhi hasilnya.

“Jangan kaget jangan heran bila nanti muncul  tokoh-tokoh lokal. Misal di Sulawesi muncul nama siapa, di Sumatera siapa, dan sebagainya. Musra ini murni bottom up. Kami mau sejujur mungkin dan sesahih mungkin merekam maunya rakyat,” lanjut dia.

Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT), Budi Arie Setiadi. Gambar diambil di kantor Kementerian Desa PDTT, Rabu (2/12/2020)
KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT), Budi Arie Setiadi. Gambar diambil di kantor Kementerian Desa PDTT, Rabu (2/12/2020)

Melihat format musyawarah yang begitu terbuka, Budi yakin pula tidak akan ada kekacauan. Relawan Jokowi disebut sebagai salah satu pihak yang optimistis bahwa setiap persoalan bisa dicarikan solusinya lewat dialog.

Demi mengurangi anggapan miring itu, panitia telah menetapkan bahwa Jokowi sendiri tidak perlu terlalu turut campur di dalam perjalanan Musra. Jokowi telah menyepakati hal tersebut.

Apabila Jokowi hadir di salah satu Musra, momen pidatonya akan ditempatkan setelah perhelatan agar tidak terkesan mendikte peserta. Jokowi hanya akan menerima hasilnya pada penghujung acara.

Meski demikian, Budi menekankan, bagaimanapun, pihaknya tidak akan bisa melepaskan diri dari status relawan Jokowi.

Baca juga: Relawan: Presiden Jokowi Berkeberatan Usulan Capres-Cawapres Disebut dalam Musra

Pemisahan proses Musra dengan Jokowi itu ditetapkan semata-mata untuk menghormati kedudukan Jokowi sebagai pemimpin negara yang dituntut untuk bersikap netral dan milik seluruh rakyat Indonesia.

“Tetapi pada intinya kami ingin mencari pelanjut yang tepat, yang bisa melanjutkan program-program pembangunan Pak Jokowi. Yang sudah dicapai Pak Jokowi, jangan sampai dihilangkan begitu saja,” lanjut Budi.

 

 Harmonis dengan hasil survei & parpol 

Saat ditanya apakah relawan memiliki prediksi tentang siapa sosok yang akan mendominasi hasil Musra di berbagai daerah, Budi mengaku, tak memikirkan sampai ke sana.

Tetapi, ia mengakui bahwa sejumlah lembaga survei sebenarnya telah memotret suara publik tentang siapa yang dijagokan di dalam Pilpres 2024 mendatang.

Berdasarkan pengamatannya, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan menempati tiga teratas sosok yang menurut survei memiliki elektabilitas tertinggi.

“Bukan tidak mungkin (hasil survei elektabilitas) akan tercermin di Musra. Kita lihat saja,” ujar Budi.

Potret elektabilitas dalam survei

Budi kemudian menyinggung sosok yang berdasarkan rekam jejak pernah menggunakan politik identitas secara nyata. Menurut dia, hal itu bisa sedikit “dimaafkan.”

Dia yakin seluruh nama yang berada dalam radar survei elektabilitas sudah menyadari bahwa untuk menjadi pemimpin bangsa diperlukan sikap merangkul tanpa pandang latar belakang.

Lagipula, dalam proses di Musra, para stakeholder justru dapat mendiskusikan hal itu secara lebih mendalam. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka mempertanyakan komitmen kebangsaan secara langsung ke sosok-sosok yang masuk radar capres-cawapres.

“Kita pasti sudah lebih dewasa dalam menilai seseorang yang punya catatan tentang penggunaan politik identitas. Justru kepada seseorang itu, perlu ditanyakan lebih serius tentang komitmen kebangsaannya di dalam Musra nantinya,” ujar Budi.

Baca juga: Survei Litbang Kompas: Loyalis Gerindra Diprediksi Turun Jika Prabowo Tak Jadi Capres

Ia menekankan, Musra tidak menitikberatkan pada nama, melainkan pada dialektika yang terbangun bersama-sama unsur-unsur di masyarakat.

Artinya, siapa pun yang akan dimunculkan nantinya, nama itu telah melalui proses perekrutan yang murni bersumber dari rakyat, bukan berdasarkan keputusan sepihak. Rakyat sendiri lah yang menentukan wajah kepemimpinan nasional di masa mendatang.

Jika nama yang muncul dari Musra diketahui sejalan dengan partai politik, relawan tidak akan mempermasalahkannya. Pasalnya, Musra juga akan melibatkan unsur partai politik di dalam prosesnya, meski partai politik bukanlah penentu hasil.

Begitu pula sebaliknya. Jika nama yang muncul dari Musra tidak sejalan dengan yang diusung partai politik, menurut Budi, maka di situlah akan terjadi harmonisasi yang baik antara keinginan masyarakat dengan partai politik.

Budi mengakui, rencana perhelatan Musra memang rentan bersinggungan dengan kepentingan partai politik. Dalam dimensi tertentu, bahkan menimbulkan saling curiga dan syak wasangka. Hal inilah yang mesti dikomunikasikan satu sama lain.

Presiden Joko Widodo bersama tujuh ketum parpol koalisi pemerintah saat berjalan bersama menuju Istana Negara, Rabu (15/6/2022).
Dok. Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo bersama tujuh ketum parpol koalisi pemerintah saat berjalan bersama menuju Istana Negara, Rabu (15/6/2022).

Sebab bagaimanapun, relawan menyadari bahwa undang-undang mengamanatkan partai politik sebagai pihak yang secara sah memberikan “tiket” bagi siapa saja yang ingin menjadi capres-cawapres. Pada titik tertentu, relawan pun sadar diri untuk bisa harmonis dengan partai politik.

“Saya yakin pasti akan ada titik temu pada waktunya. Enggak mungkin berbeda terus. Politik kan bukan mau-mauan sendiri, menang-menangan sendiri. Mungkin enggak menyenangkan semua. Tapi juga enggak jauh-jauh mengecewakan semua,” ujar Budi.

Baca juga: Utak-atik Pilpres 2024, Anies dan AHY Bakal jadi Capres-Cawapres?

Hal ini sekaligus menciptakan daya dorong agar partai politik tidak melakukan rekrutmen kepemimpinan nasional secara serampangan. Selain itu, eksistensi Musra diharapkan bisa mendorong partai politik menitikberatkan keputusannya berdasarkan keinginan arus besar rakyat.

Sekali lagi, Budi menegaskan, dorongan ini lebih ke arah mekanisme, bukan merujuk pada nama-nama tertentu. 

“Kami sebagai gerakan demokrasi juga tidak ingin partai menentukan sembarangan. Enggak akan dapat dukungan rakyat kalau begitu,” ujar Budi.

Melalui forum baru perekrutan kepemimpinan nasional di luar mekanisme partai politik ini, relawan pendukung Jokowi ingin meninggalkan warisan yang baik dalam demokrasi di Indonesia. Bukan bermaksud berhadap-hadapan dengan partai politik, melainkan untuk memberikan alternatif yang lebih terbuka bagi rakyat.