JEO - Insight

Kamis, 27 Mei 2021 | 07:24 WIB

Polemik Perpres 7/2021, Warga Jadi Intel Bagi Warga Lainnya?

Wawancara khusus dengan Kepala BNPT Komjen (Pol) Boy Rafli Amar

Inspektur upacara, Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Komandan upacara, Pangkostrad Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi (kiri), memeriksa barisan saat Upacara Perayaan HUT ke-72 TNI di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten (5/10). Perayaan HUT ke-72 TNI mengusung tema Bersama Rakyat TNI Kuat.
ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A
Inspektur upacara, Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Komandan upacara, Pangkostrad Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi (kiri), memeriksa barisan saat Upacara Perayaan HUT ke-72 TNI di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten (5/10). Perayaan HUT ke-72 TNI mengusung tema Bersama Rakyat TNI Kuat.

Bertujuan memutus mata rantai terorisme di Indonesia, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme Tahun 2020-2024.

Perpres 7/2021 itu merupakan bagian dari strategi komprehensif pemerintah untuk memastikan upaya mengikis terorisme dikerjakan secara sistematis, terencana dan terpadu serta melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Sebab ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme dan mengancam hak atas rasa aman masyarakat dinilai semakin meningkat. 

Dalam Perpres itu, kementerian dan lembaga diamanatkan untuk membentuk sekretariat bersama RAN PE (Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme).

Sekretariat bersama RAN PE terdiri dari sejumlah unsur kementerian, antara lain kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan bidang politik, hukum dan keamanan; kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri hingga badan yang menyelenggarakan urusan penanggulangan terorisme.

Sekretariat bersama dapat menambah atau melakukan penyesuaian aksi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang ditetapkan melalui peraturan badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme.

File Perpres 7/2021 selengkapnya dapat diunduh di sini:

 

Meski demikian, niat baik pemerintah ini perlu ditelaah lebih jauh. Pertanyaan sederhananya, mampukah aturan baru ini benar-benar memangkas mata rantai terorisme di Tanah Air? Atau justru menimbulkan persoalan sosial yang baru?

Kekhawatiran akan munculnya persoalan sosial baru di masyarakat bukan tanpa alasan. Pemilihan kata ‘ekstremisme’ pada Perpres 7/2021 berpotensi menyasar wilayah keyakinan seseorang.

Pemilihan kata ‘ekstremisme’ pada Perpres 7/2021 berpotensi menyasar wilayah keyakinan seseorang.

Pertanyaan selanjutnya, apa paradigma dan parameter yang digunakan pemerintah untuk menilai sebuah keyakinan masuk ke dalam kategori ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme?

Kekhawatiran akan terjadinya konflik horizontal atas implementasi Perpres tersebut semakin menjadi, khususnya setelah diketahui bahwa masyarakat akan dibekali pelatihan pemolisian agar mendukung upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.

Pelatihan pemolisian itu tertuang dalam lampiran Perpres, tepatnya Nomor 2 Fokus 4 yang menjadi bagian dari Pilar I tentang rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.

Pilar I sendiri merupakan strategi pencegahan (kesiapsiagaan, kontra radikalisasi dan deradikalisasi).

Disebutkan dalam kolom aksi pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, "pelatihan pemolisian masyarakat yang mendukung upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme".

Adapun pada kolom tujuan dari strategi ini disebutkan adalah “meningkatnya pemahaman dan keterampilan polisi dan masyarakat dalam upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme”.

Kalimat ini tentu memicu pertanyaan selanjutnya. Apakah artinya negara melatih warganya untuk menjadi intel bagi warga lain? 

Tiga Pilar RAN PE

 

Ilustrasi penanganan terorisme - (KOMPAS/DIDIE SW)

Pengamat terorisme dari the Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya khawatir Perpres 7/2021 ini bakal tidak tepat sasaran.

"Akan mudah fitnah bertebaran di tengah masyarakat dan ini bukan menyatukan, tetapi makin membuat masyarakat terbelah".

Sebab, bukannya menyelesaikan persoalan hulu seperti perekonomian dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia, Perpres ini dinilai lebih menyasar ke persoalan hilir yang sedemikian erat kaitannya dengan keyakinan seseorang.

“Semestinya pemerintah fokus bersungguh-sungguh menyelesaikan persoalan hulu sebagai variabel pemicu terorisme sebagaimana tertuang dalam Perpres. Tingkatkan kehidupan ekonomi, tingkatkan kesejahteraan dan kualitas SDM rakyat dan tegakkan keadilan. Ciptakan iklim kepercayaan publik kepada pemerintah bahwa keadilan bisa tegak,” ujar Harits saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu, 20 Januari 2021.

Sebaliknya, Perpres ini justru dikhawatirkan akan melahirkan konstruksi sosial baru di masyarakat yang berujung pada keterbelahan.

“Masyarakat dibuatkan lahan pekerjaan baru. Jadi tukang lapor yang di-training BNPT atau lembaga terkait. Saya duga, akan mudah fitnah bertebaran di tengah masyarakat dan ini bukan menyatukan, tetapi makin membuat masyarakat terbelah,” lanjut dia.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen Pol Boy Rafli Amar mengucapkan sumpah jabatan saat acara pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (6/5/2020). Presiden secara resmi melantik Irjen Pol Boy Rafli Amar sebagai Kepala BNPT menggantikan Komjen Pol Suhardi Alius.
ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen Pol Boy Rafli Amar mengucapkan sumpah jabatan saat acara pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (6/5/2020). Presiden secara resmi melantik Irjen Pol Boy Rafli Amar sebagai Kepala BNPT menggantikan Komjen Pol Suhardi Alius.

Tim JEO Kompas.com, beberapa waktu lalu, berkesempatan mewawancarai secara khusus Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar.

Boy yang merupakan lulusan Akademi Kepolisian tahun 1988 itu memaparkan ide besar di balik diterbitkannya Perpres 7/2021.

Ia menegaskan bahwa prinsip Perpres itu yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Ia sekaligus menjawab apa urgensinya menjadikan masyarakat sebagai intel atau polisi bagi sesamanya demi pencegahan terorisme.

Berikut kutipan wawancara lengkapnya: 

Selamat siang, Pak Boy. Bisa Bapak ceritakan bagaimana Perpres 7/2021 ini akhirnya bisa diterbitkan?

Beberapa hasil survei dan penelitian menyebutkan bahwa perkembangan terorisme sebagai ancaman global, berbanding lurus dengan meningkatnya situasi yang mendukung munculnya ekstremisme berbasis kekerasan.

Kondisi ini didukung oleh mudahnya kelompok teroris dalam menyebarkan pahamnya, melalui berbagai sarana komunikasi, baik pertemuan di dunia nyata (offine) maupun online. 

Kondisi ini didukung oleh mudahnya kelompok teroris dalam menyebarkan pahamnya, melalui berbagai sarana komunikasi, baik pertemuan di dunia nyata (offine) maupun online. 

Sementara itu pada tingkat global, untuk merespon perkembangan ancaman terorisme global, pada tahun 2015 melalui Resolusi MU PBB No. A/70/674 24, Sekjen PBB telah mengeluarkan sebuah Rencana Aksi melalui UN Plan of Action to Prevent Violent Extremism (PVE), sebagai salah satu strategi menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan.

Selanjutnya, Majelis Umum PBB dalam Resolusi tahun 2016 Nomor A/RES/70/291 70/291 telah merekomendasikan negara-negara anggota untuk mempertimbangkan penerapan Rencana Aksi yang relevan untuk mencegah ekstremisme berbasis kekerasan, dalam konteks nasional.

Sementara di tingkat regional, Indonesia adalah Lead Shepherd pada isu penanggulangan terorisme di ASEAN. Indonesia yang menginisiasi dan memimpin disahkannya ASEAN Plan of Action to Prevent and Counter the Rise of Radicalisation and Violent Extremism (2018-2025) dan Bali PCRVE Work Plan 2019-2025 sebagai bentuk implementasinya.

Sejak tahun 2017, BNPT sendiri telah memulai proses penyusunan Peraturan Presiden  Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE).

Perpres tersebut merupakan inisiatif dan prakarsa BNPT sebagai salah satu upaya penanggulangan terorisme yang mengedepankan pendekatan lunak (soft approach) guna menanggulangi akar permasalahan (push and pull factor) secara komprehensif melalui pendekatan yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan (whole of government approach and whole of society approach).

 

Memang seperti apa wajah ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia, Pak?

Pada Pasal 1 Perpres 7 Tahun 2021, disebutkan bahwa Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme adalah keyakinan dan/atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme.

Dalam konteks ini, terorisme merupakan perbuatan akhir (di hilir), artinya seseorang tidak serta merta menjadi teroris, namun melalui proses yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagaimana disebutkan di atas.

Misalnya, ketika seseorang mendukung ideologi dan aksi kekerasan yang mengarah pada terorisme, meskipun tidak menjadi anggota kelompok teror.

Hal-hal seperti ini berkembang di sebagian masyarakat, termasuk juga di lingkungan universitas.

 

Lantas, apa yang disasar oleh Perpres ini?

Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, rencana aksi ini bertujuan untuk menangani pemacu (drivers) terjadinya ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, yaitu kondisi kondusif dan konteks struktural serta proses radikalisasi.

Kondisi kondusif dan konteks struktural sebagai faktor pendorong (push factors), antara lain kesenjangan ekonomi, marginalisasi dan diskriminasi, tata kelola pemerintahan yang buruk, pelanggaran HAM dan lemahnya penegakan hukum, konflik berkepanjangan serta radikalisasi di dalam lembaga pemasyarakatan.

Rencana aksi ini bertujuan untuk menangani pemacu (drivers) terjadinya ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, yaitu kondisi kondusif dan konteks struktural serta proses radikalisasi.

Sedangkan, proses radikalisasi dijabarkan menjadi beberapa faktor (pull factors), antara lain latar belakang dan motivasi individu, memosisikan diri sebagai korban (victimization), dan kekecewaan kolektif serta distorsi terhadap pemahaman tertentu (yang berakar dari kepercayaan, ideologi politik, etnis dan perbedaan budaya, jejaring sosial, serta kepemimpinan).

Di Indonesia, dapat diidentifikasi faktor kunci sebagai latar belakang tumbuh dan berkembangnya ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia.

Antara lain, satu, besarnya potensi konflik komunal berlatar belakang sentimen primordial dan keagamaan; dua, kesenjangan ekonomi; tiga, perbedaan pandangan politik; empat, perlakuan yang tidak adil; serta lima intoleransi dalam kehidupan beragama.

Mempertimbangkan luasnya spektrum drivers di atas, dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, memang diperlukan suatu strategi komprehensif, untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan.

RAN PE ini bertujuan untuk meningkatkan pelindungan hak atas rasa aman warga negara dari ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

 

Melalui Perpres ini, artinya wewenang pencegahan secara formal tidak hanya berada di pundak aparat penegak hukum, melainkan juga setiap warga negara/ elemen warga negara. Mengapa dirancang demikian? Apa tujuannya?

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, yang mengedepankan tidak saja pendekatan hard, tapi juga pendekatan soft dalam penanggulangan terorisme.

Dalam Bab Pencegahan, kesiapsiagaan nasional diartikan sebagai kondisi kesiapsiagaan untuk mengantisipasi aksi terorisme melalui proses yang terencana, terintegrasi, sistematis dan berkelanjutan.

Kesiapsiagaan nasional dilaksanakan salah satunya melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas aparatur, perlindungan dan peningkatan sarana dan prasarana, pengembangan kajian terorisme, dan pemetaan wilayah rawan terorisme radikal.

Oleh karena itu, implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 diwujudkan dalam respon kolaboratif melalui pemerintah dan masyarakat.

Dengan kata lain, pendekatan seluruh-pemerintah dan pendekatan seluruh-masyarakat adalah prinsip-prinsip yang secara serius dipertimbangkan dalam mengembangkan dan menerapkan strategi dan program penanggulangan terorisme.

Dalam hal ini, pada Pasal 8 dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa dalam melaksanakan RAN PE, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dapat bekerja  sama dan melibatkan peran serta masyarakat.

Ini dikenal dengan pendekatan whole of government and whole of society approach.

 

Sebenarnya inilah yang jadi kekhawatiran. Sebab, dalam implementasinya nanti, bukan tidak mungkin bakal terjadi konflik horizontal di antara masyarakat. Karena boleh dibilang, ini warga negara menjadi intel/ polisi untuk warga negara lainnya. Sejauh mana pemerintah mengantisipasi ekses negatifnya?

Penanggungjawab kegiatan pelatihan Pemolisian Masyarakat (Community Policing) dalam Matriks RAN PE adalah Polri. Hal ini merujuk ke Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat.

Pemolisian Masyarakat (Polmas) sendiri adalah suatu kegiatan mengajak masyarakat melalui kemitraan anggota Polri dan masyarakat, sehingga mampu mendeteksi dan mengidentifikasi permasalahan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di lingkungan serta menemukan pemecahan masalahnya.

Yakinlah bahwa proses dan pelaksanaan RAN PE ini memperhatikan prinsip-prinsip HAM, supremasi hukum dan keadilan, kesetaraan gender, keamanan dan keselamatan, tata kelola pemerintah yang baik (good governance), partisipasi pemangku kepentingan majemuk, serta kebinekaan dan kearifan lokal.

Mengenai kegiatan community policing yang dimaksudkan dalam RAN PE adalah kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan  profesionalitas Polri,  khususnya Bhabinkamtibmas selaku pemegang tugas dari pemolisian masyarakat.

Tujuannya, dapat mewujudkan kemitraan antara masyarakat dan polisi sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam RAN PE ini, yaitu HAM, supremasi hukum dan keadilan, kesetaraan gender, keamanan dan keselamatan, tata kelola pemerintah yang baik (Good Governance), partisipasi pemangku kepentingan majemuk, serta kebinekaan dan kearifan lokal.

Pelaksanaan RAN PE sudah barang tentu harus sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.

Pelaksanaan prinsip-prinsip itu menjadi prasyarat bagi efektifvitas keberhasilan pencegahan ektrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, karena pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut justru dapat menimbulkan berbagai elemen yang menjadi  push dan pull factor ektremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.

Implementasi community policing ini justru dapat menjadi momentum bagi pemangku kepentingan, khususnya aparat penegak hukum dalam penerapan prinsip-prinsip penegakan HAM dan demokrasi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.  

Dalam konteks ini, masyarakat sipil dapat turut memonitor implementasi prinsip-prinsip tersebut dalam implementasi RAN PE.

Selain itu, di tingkat regional, masyarakat ASEAN dalam berbagai dokumen-nya seperti misalnya di Manila Declaration dan ASEAN Plan of Action to Prevent and Counter the Rise of Radicalisation and Violent Extremism (ASEAN PoA PCRVE) 2018-2025 dalam rangka penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan juga mengakui pentingnya community policing sebagai strategi yang bagus untuk menangani permasalahan tersebut. Polri salah satu yang terdepan di ASEAN dalam memajukan community policing.

Yakinlah bahwa proses dan pelaksanaan RAN PE ini memperhatikan prinsip-prinsip HAM, supremasi hukum dan keadilan, kesetaraan gender, keamanan dan keselamatan, tata kelola pemerintah yang baik (good governance), partisipasi pemangku kepentingan majemuk, serta kebinekaan dan kearifan lokal.

Universitas Riau menggelar deklarasi antiterorisme dan intoleransi pasca-ditangkapnya tiga terduga teroris di kawasan kampus, Senin (4/6/2018).
KOMPAS.com/Idon Tanjung
Universitas Riau menggelar deklarasi antiterorisme dan intoleransi pasca-ditangkapnya tiga terduga teroris di kawasan kampus, Senin (4/6/2018).

Kira-kira, berdasarkan kalkulasi dan perencanaan pemerintah, apa saja tantangan dalam mengimplementasikan Perpres 7/2021 ini?

Merupakan suatu hal yang wajar apabila muncul respons yang beragam, pro dan kontra dalam setiap kebijakan yang baru dikeluarkan, mengingat belum semua pihak memiliki persepsi yang sama akan sesuatu yang baru dan masih diperlukan upaya sosialisasi secara komprehensif dan berkesinambungan.

Matriks RAN PE dalam lampiran Perpres ini bersifat living document, sehingga dalam pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika yang terjadi.

Tantangan yang dihadapi dalam implementasi Perpres ini tentunya terkait dengan membentuk persepsi yang sama dari para pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat sipil, termasuk pemangku kepentingan di tingkat daerah.

Sehingga dapat bersama-sama berkolaborasi mengimplementasikan Perpres tersebut.

Oleh karena itu, ke depan, diperlukan upaya sosialisasi secara komprehensif dan berkesinambungan kepada semua pihak.

Refocusing anggaran yang saat ini tengah dihadapi oleh kementerian/lembaga berpengaruh terhadap fokus dan prioritas serta permasalahan di setiap K/L, sehingga hal ini juga memberikan tantangan khususnya terkait dengan program-program K/L yang menjadi penanggungjawab rencana aksi.

Namun demikian, Matriks RAN PE dalam lampiran Perpres ini bersifat living document, sehingga dalam pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika yang terjadi.

 

Terakhir, Pak. Dalam Perpres, ada juga disebutkan tentang dana abadi korban terorisme. Bisa dijelaskan Pak apa yang dimaksud dengan dana abadi itu?

Ini merupakan catatan dari LPSK agar dibentuk semacam dana abadi.

Tujuannya mengingat bahwa kejahatan terorisme bukanlah victimless crime, justru aksi teror kerap menimbulkan banyak korban.

Oleh karena itu, dalam rangka melaksanakan kewajiban pemerintah untuk memberikan kompensasi kepada korban terorisme perlu dibuat dana abadi guna memberikan dukungan dan asistensi pada korban-korban terorisme. Itu saja sebenarnya ide di balik ini.

Polemik Perpres 7/2021