Hanya melalui pendidikan sebagai capital symbolic kita bisa bertahan dan maju.
-Mochammad Fadjroel Rachman-
PUBLIK melekatkan sejumlah predikat pada sosok Mochammad Fadjroel Rachman. Itu mulai dari akademisi, aktivis, penulis, capres independen, relawan, hingga jabatannya saat ini, Juru Bicara Presiden Joko Widodo.
Namun, seperti apakah profil Fadjroel Rachman tanpa semua embel-embel predikat itu?
Lahir dari pasangan berdarah bangsawan dan pejuang kemerdekaan, Fadjroel dibesarkan dalam paduan pesan bahwa pendidikan merupakan capital symbolic untuk masa depan dan hidup adalah perjuangan.
Darah bangsawan lelaki kelahiran 17 Januari 1964 tersebut berasal dari garis ibu. Adapun darah pejuang datang dari jalur sang ayah.
Doktrin tentang pentingnya pendidikan merupakan pesan keluarga, terutama sang ibu, dari waktu ke waktu.
“Mereka mengatakan, hanya melalui pendidikan sebagai capital symbolic kita bisa bertahan dan maju,” kenang Fadjroel saat Kompas.com bertandang ke kantornya di Gedung Sekretariat Negara, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, medio Desember 2020.
Symbolic capital adalah konsep keempat dari tipe umum (specie) modal, bersama kebudayaan, ekonomi, dan modal sosial.
Merujuk Pierre Bourdieu (1987), modal simbolik ini tidak terlepas dari tiga kategori modal yang lain, dengan ujungnya adalah pengakuan atau persepsi berdasarkan skema tertentu.
Pembahasan tentang symbolic capital antara lain dapat dibaca di Encyclopedia of Quality of Life and Well Being Research seperti berikut ini:
Fadjroel menyebut, dulu gelar kebangsawanan bisa dibilang sebagai modal simbolis. Namun, seturut waktu, gelar kebangsawanan tak lagi diperhitungkan.
"Jadi kalau saya mengatakan, 'Datuk saya pangeran loh' (atau) 'Kami dari keluarga bangsawan', sudah enggak ada ngaruh-nya (sekarang)," ujar dia.
Dari kedua orangtuanya, lanjut Fadjroel, gagasan tentang pentingnya pendidikan sebagai cara untuk dapat masuk ke dunia baru melekat erat.
"Kami harus masuk ke universitas negeri. Kalau tidak, enggak usah sekolah," kenang Fadjroel.
Bengal tetapi pintar. Itu gambaran paling ringkas tentang masa kecil Fadjroel.
Anak kedua dari lima bersaudara ini lahir dan besar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Pendidikan dengan doktrin sedemikian lekat itulah yang kemudian mengantarkannya menyeberang ke Pulau Jawa dan menetap hingga kini.
Bengal tetapi pintar. Itu gambaran paling ringkas tentang masa kecil Fadjroel.
Salah satu yang sering dilakukan Fadjroel semasa kanak-kanak adalah mengejar-ngejar binatang di jalanan.
Namun, juara kelas adalah hal rutin Fadjroel selama sekolah dari SD hingga SMA. Gelar Pelajar Teladan seprovinsi pun pernah dia genggam.
“Padahal, saya lebih banyak main dibandingkan belajar,” ujar Fadjroel yang mengaku mengidolakan Tom Sawyer, sosok fiksi dari novel karangan Mark Twain yang kini sudah dibuat versi kartun juga.
Meski begitu, ada satu lagi prinsip yang juga terpahat sama dalamnya di diri Fadjroel, kali ini terutama dari jalur ayah.
"Keluarga (jalur ayah) saya pejuang.. juga banyak yang militer. Ada semacam sikap bahwa hidup itu perjuangan... DNA perjuangan muncul di dalam diri," ungkap Fadjroel.
Setiap halangan, hambatan, tantangan, tegas Fadjroel, itu semua hanyalah ladang perjuangan yang harus dilalui dengan teguh.
Dan, lanjut dia, semua tantangan hidup sebagai ladang perjuangan itu hanya dapat diselesaikan ketika kita memiliki pemahaman.
"(Yang pemahaman itu didapat) melalui pendidikan yang tinggi," tutur Fadjroel.
Bandung, Jawa Barat, adalah labuhan langkah pertama Fadjroel di Pulau Jawa. Pendidikan menjadi pintunya.
Selepas SMA, Fadjroel diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB). Ini adalah kampus yang sama yang ditapaki proklamator, Bung Karno.
"Kecintaan pada dunia perjuangan, itu yang menjadi dasar saya masuk ITB," aku Fadjroel.
Di ITB, Fadjroel mengambil jurusan Kimia. Namun, yang pertama dia sambangi di kampus itu bukan laboratorium penuh tabung reaksi.
“Yang pertama saya datangi ketika di ITB justru (kampus jurusan) Teknik Sipil, tempatnya Bung Karno," kenang Fadjroel.
Di situ, dia mengaku memasuki salah satu ruangan tua. Di benaknya saat itu terbersit, "Oh, di sini toh rupanya dulu Bung Karno menjadi mahasiswa dan berjuang.”
Pada hari-hari pertama di Bandung, Fadjroel mendatangi pula lokasi Soekarno disidang yang menghasilkan pledoi "Indonesia Menggugat". Lokasi sidang ini sekarang bernama Gedung Indonesia Menggugat.
Pledoi ini pula yang menginspirasinya ketika harus berhadapan dengan pengadilan sebagai konsekuensi pergerakan dan perlawanan terhadap rezim penguasa.
"Kalau (pledoi) Bung Karno (berjudul) Indonesia Menggugat, (pledoi) saya Menggugat Indonesia. Karena kecintaan. Saya merasa bahwa saya itu anak ideologis Bung Karno," ujar Fadjroel.
Membaca Pledoi "Menggugat Indonesia" (Melawan Jenderal Soeharto dan Orde Baru) #PengadilanMahasiswaITB5Agustus ~ FR pic.twitter.com/68tQJ1fTIU
— Fadjroel Rachman (@fadjroeL) July 12, 2015
Fadjroel menyebut dirinya bak monyet menemukan ladang kacang selama kuliah di Bandung. Kegirangan.
Tak hanya soal jejak Bung Karno yang dapat dia tapaki langsung dengan kakinya sendiri, tetapi juga dengan kuliah yang dia jalani dan dinamika pemikiran kritis kampus.
“Saya dibesarkan dalam suatu lingkungan keluarga yang percaya kepada pendidikan, yang percaya pada perjuangan, tiba-tiba masuk ke dalam kawah candradimuka bernama ITB dan bertemu dengan orang-orang hebat yang percaya melalui science dan teknologi kita bisa mengubah kehidupan kebudayaan, bukan sekadar politik,” ujar Fadjroel.
Bergabung dengan sejumlah forum diskusi, Fadjroel menggarisbawahi keterlibatannya di Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK). Ini, sebut dia, adalah tempat semua anak ITB berdiskusi.
"Setelah sibuk dalam dunia laboratorium, ujian segala macam, tiap sabtu dan minggu malam kami berdiskusi," kenang dia.
Fadjroel mengaku belajar tentang seni berdebat dan menulis dari aktivitasnya di PSIK. Hasil debat dia tulis dan dimuat di majalah mahasiswa ITB, Ganesha.
"Gerakan mahasiswa itu bukan gerakan politik. Gerakan mahasiswa adalah gerakan kebudayaan. Itu kamu harus ingat!"
Belum cukup, kapasitas debat dan menulis ini pun meluas untuk konsumsi bahasa Inggris, yaitu lewat Student English Forum.
Salah satu yang membekas kuat bagi Fadjroel dari aktivitasnya di PSIK adalah bimbingan dari Profesor Iskandar Alisjahbana dan Profesor MT Zen. Mereka adalah pembimbing PSIK sekaligus pelaku dalam gerakan mahasiswa 1978.
Ada satu pesan dari Alisjahbana yang jadi pedoman Fadjroel memaknai gerakan mahasiswa.
"Gerakan mahasiswa itu bukan gerakan politik. Gerakan mahasiswa adalah gerakan kebudayaan. Itu kamu harus ingat!" ujar Fadjroel menirukan pesan Iskandar Alisjahbana.
Gerakan kebudayaan, lanjut Fadjroel mengenang pesan Iskandar Alisjahbana, adalah upaya mengubah struktur masyarakat, baik pemikiran maupun struktur sosial.
"(Karenanya), jangan berpikir seperti politisi. Politisi itu hanya berpikir tentang lima tahun (jabatan) entah di DPRD atau DPR, berpikirnya pendek," lanjut pesan itu.
Adapun berpikir dalam kerangka kebudayaan akan menjadikan seseorang sebagai negarawan, berpikir tentang sesuatu bagi bangsa ini.
"Prof Alisjahbana itu termasuk guru saya di dalam gerakan mahasiswa," tegas Fadjroel.
Cerita Fadjroel tentang masa kuliahnya nyaris sepenuhnya berkutat dalam kisah pergerakan. Bukan berarti dia salah kuliah dengan mengambil jurusan Kimia di ITB.
"Dari (kuliah di jurusan) Kimia, (saya) dapat kemampuan berpikir analitis," ujar dia.
Era pergerakan mahasiswa yang dijalani Fadjroel adalah masa yang masih berhadapan dengan Orde Baru. Pembangunan dijalankan ugal-ugalan tanpa mempertimbangkan kemanusiaan.
Di kampus, suara mahasiswa pun dibungkam, terutama sejak pemberlakuan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) sejak 1978.
Kebijakan ini dilansir di era Mendikbud Daoed Joesoef lewat SK Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus disusul dengan SK Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan.
Dengan ini, kampus harus steril dari segala aktivitas politik. Yang terjadi, senat mahasiswa dan dewan mahasiswa dibubarkan. Terlebih lagi, sejatinya kebijakan ini buntut dari kronologi panjang, setidaknya sejak Pemilu 1971.
Baca juga: Daoed Joesoef, Kontroversi NKK/BKK, dan Beda Pendapatnya dengan Soeharto
Di luar kampus, atas nama pembangunan maka tanah rakyat diambil paksa. Kasus Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah adalah salah satu yang mencuat pada era itu.
Fadjroel dan kawan-kawan ada di barisan yang menentang beragam kebijakan Orde Baru ini. Mobilisasi pun jadi salah satu cara.
Fadjroel tercatat pernah menjadi komandan lapangan untuk long march 60 kilometer dari Cicalengka. Dia juga bersama mahasiswa yang berdemonstrasi menolak kedatangan Rudini ke ITB pada 5 Agustus 1989—dikenal sebagai "Peristiwa 5 Agustus".
Jadi tahanan politik di enam penjara berbeda selama tiga tahun pun dia enyam. Dia baru keluar dari penjara pada 1992, hijrah ke Jakarta, dan melanjutkan kiprah pergerakan lewat Forum Demokrasi (Fordem).
Penamaan organisasi Keluarga Mahasiswa ITB (KM ITB) adalah salah satu jejak pergerakan sekaligus perlawanan peninggalan Fadjroel beserta mahasiswa ITB di generasinya, meski "versi resmi" baru terjadi pada 1996.
Setelah Orde Baru tumbang, Fadjroel baru terlibat dalam kerja-kerja politik di pemerintahan ketika membantu Abdurrachman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri.
"Ketika Gus Dur menjadi Presiden, saya turut membantu tuh selama dua tahun... sampai beliau malam terakhir diturunkan," sebut Fadjroel.
Menurut Fadjroel, dalam rapat tiap Rabu dan Sabtu di Istana, dia ingin segala kebijakan yang diambil Gus Dur berbasis sains dan riset.
"Saya tidak pernah berhenti mendukung beliau. Saya ingin dikenang sebagai orang yang mendukung Gus Dur, sebagai orang yang terus-menerus memperjuangkan demokrasi dan HAM," tegas dia.
Dia melanjutkan kerja-kerja politik ini hingga era Megawati menjadi Presiden Indonesia.
"Setelah zamannya Ibu Mega, aku enggak pernah lagi ke sini (Istana)," ujar Fadjroel.
Pada dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Fadjroel tampil lagi sebagai pengkritik tajam. Dia beralasan, figur SBY tidak mewakili gerakan reformasi.
Salah satu bentuk kritik Fadrjoel adalah maju sebagai calon presiden dari jalur independen alias tidak lewat partai politik, untuk Pemilu Presiden 2009.
Lihat postingan ini di Instagram
Langkahnya memang kandas, tetapi "pesan politik" dari pencalonannya itu tetap jadi dialektika dan catatan penting di ranah tata negara Indonesia, dari waktu ke waktu.
Di luar kiprah-kiprahnya itu, dia memilih jalur profesional ada akademis untuk penghidupan. Sikap kritis ke pemerintah terus berlanjut. Pada kurun ini dia mendirikan lembaga Pedoman Riset Communication.
"Kalau enggak ada orang kritik, enggak ada orang berbeda pendapat, ya kayak kuburan dong. Sepi, sunyi, enggak ada kemajuan," kata dia tentang filosofinya bersikap kritis.
Terlebih lagi, meski juga tidak mutlak benar, kritik adalah upaya memberikan pilihan solusi untuk mengeliminasi kesalahan dalam setiap respons terhadap persoalan.
Meski upaya menghadirkan calon independen untuk pemilu presiden belum menuai hasil, sejumlah milestone sudah tertancap. Salah satunya, syarat dukungan bagi calon independen untuk pilkada bukan lagi persentase populasi melainkan persentase daftar pemilih tetap (DPT).
"Yang berasal dari partai politik (menggunakan basis dukungan) berdasarkan DPT, sementara perorangan kenapa atas dasar populasi?" ujar dia tentang dasar penentuan basis dukungan pencalonan itu.
Fadjroel pun menyebut sejumlah capaian lain di ranah demokrasi dan HAM, termasuk pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), dan Ombudsman.
Dia pun mengaku masih berupaya menghadirkan lagi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai sarana penyelesaian kasus HAM.
Kaki Fadjroel menapaki istana lagi barulah saat Joko Widodo memimpin pemerintahan. Dia berpendapat, Jokowi memenuhi kriteria sebagai produk reformasi dan tidak punya kaitan dengan Orde Baru.
Itu pun, tidak serta merta Fadjroel ada di pemerintahan. Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, dia memilih tetap berada di jalur profesional, sekalipun dia adalah salah satu pentolan Relawan Salam Dua Jari yang mengusung Jokowi pada Pemilu Presiden 2014.
Meski demikian, di periode pertama pemerintahan Jokowi, dia memilih tetap berada di jalur profesional sebagai wujud dukungannya. Dia pun menerima mandat menjadi Komisaris Adhi Karya dan berlanjut di Waskita Karya—dua BUMN di bidang konstruksi.
Sejumlah proyek konstruksi di kawasan Ibu Kota dan sekitarnya, menurut Fadjroel jadi tugas yang dititipkan Jokowi kepadanya untuk dijaga.
"Beliau datang tuh lima-enam kali. Beliau bilang, tolong Mas Fadjroel ini dijaga betul-betul," tutur dia.
Barulah di periode kedua pemerintahan Jokowi, Fadjroel masuk ke area ring satu. Dia ditunjuk menjadi juru bicara presiden. Itu pun dalam cerita dia terjadi tanpa dia sangka.
Bahkan, Fadjroel mengaku tidak ngeh bahwa pada hari dia datang ke Istana bertepatan dengan jadwal pemanggilan kandidat kabinet. Menurut dia, Jokowi menemuinya saat itu sembari makan siang.
Di meja makan, diskusi tetap tak terhindarkan, salah satunya membahas isi pidato Presiden Jokowi seusai dilantik untuk periode kedua jabatan.
Baca juga: Naskah Lengkap Pidato Presiden Joko Widodo dalam Pelantikan Periode 2019-2024
Usai diskusi, lanjut Fadjroel, Presiden Jokowi meminta dia membantunya. Namun, tak ada jabatan yang sudah disebut, dia juga tidak bertanya.
Tak dinyana, tugas itu bernama Juru Bicara Presiden. Tepatnya, jabatan ini merujuk pada Keprres RI Nomor 69/M Tahun 2019 tentang Pengangkatan Staf Khusus Presiden.
"Oh, ternyata Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi yang sekaligus Juru Bicara Presiden," ujar dia mengenang respons saat menerima penetapan tersebut.
Tugas pertama dia adalah mengumumkan ke publik deretan nama yang dipanggil Presiden Jokowi untuk penyusunan Kabinet Indonesia Maju.
Yang menarik, Fadjroel menggunakan spanduk sambutan saat dia tiba di ITB beberapa dekade silam untuk menyambut para menteri yang dilantik pada 23 Oktober 2019.
"(Waktu itu) di spanduk ITB tertulis 'Selamat datang putra/putri terbaik Indonesia. Senang (ketika) masuk, kan. Ya sudah pakai spanduk yang di ITB saja (untuk penyambutan menteri baru). Para menteri ini adalah putra/putri terbaik Indonesia," kata dia dengan berbinar.
Surat pengangkatan Fadjroel disebut sebagai surat pertama yang diketik di periode kedua pemerintahan Jokowi bersama Ma’ruf Amin.
Seperti apa lanjutan kisah Fadjroel si anak bengal yang jadi aktivis dan kini malah menempati posisi Juru Bicara Presiden? Apakah idealisme Fadjroel terkikis setelah duduk di Istana?
Bagaimana pandangan Fadjroel terhadap praktik pemerintahan yang tak jarang menempuh jalur konsesi politik? Apa pula pendapatnya soal pemerintahan Jokowi sejauh ini?
Simak selengkapnya profil Fadjroel Rachman dalam video berikut ini:
Beliau (Jokowi) tetap mempertahankan lembaga-lembaga demokrasi, bahkan memperluasnya, kemudian mempertahankan regulasi-regulasi demokrasi, bahkan memperluasnya, kemudian mendorong untuk terus-menerus tumbuhnya orang-orang atau habitus demokratis.
- Mochammad Fadjroel Rachman-