JEO - Tokoh

Profil Ridwan Kamil

Jumat, 30 Juli 2021 | 16:22 WIB

Kreativitas dibutuhkan untuk memecah kebuntuan. Tak hanya terpakai di industri atau jasa, sifat kreatif juga kadang perlu dimunculkan dalam dunia politik dan birokrasi di Indonesia. 

Ridwan Kamil menjadi sosok yang menjalankan hal itu. Mari simak penuturannya...


MOCHAMAD Ridwan Kamil merupakan sosok yang lentur. Bukan tentang prinsip. Melainkan tentang berkomunikasi. 

Tempat ia berpijak saat ini adalah orang nomor satu di Jawa Barat. Ya, Gubernur. 

Namun pria yang akrab disapa Kang Emil itu  memahami bahwa warganya sangat beragam.

Sadar tidak sadar, ia pun menampilkan  sisi yang paling disenangi semua orang, yakni sosok yang penuh canda. 

Tengok saja akun media sosialnya  yang jauh dari kesan seorang birokrat pada umumnya. Tidak kaku, tidak formal dan penuh guyon. 

Sekalipun informasi yang diunggah merupakan program pemerintah, tetapi Kang Emil pandai mengemasnya dengan angle jenaka. 

Salah satu contoh ketika ia mengajak  warga Bandung untuk menjaga kebersihan menjelang Piala Adipura.

Menghindari kalimat klise dan membosankan, Kang Emil malah menulis: 

"Warga Bandung, siap-siap. Jagalah kebersihan. Buanglah sampah pada tempatnya, buanglah mantan pada temannya."

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Ridwan Kamil (@ridwankamil)

Sulit menghindari hal-hal mengundang tawa di media sosial, bukan?

Kang Emil boleh dibilang merupakan salah satu pejabat yang cukup populer di media sosial.

Jumlah pengikutnya di Instagram ada 14,1 juta. Sementara di Twitter, ada 4,4 juta dan jumlah itu masih terus bertambah seiring waktu. 

Besarnya jumlah pengikut di media sosial mengundang banyak brand, baik UMKM maupun brand ternama, agar Emil meng-endorsment produk mereka. 

Untung Kang Emil tak sembrono. Sebagai kepala daerah yang memegang sumpah jabatan, ia tentu tidak mengambil tawaran itu.

Meski mungkin ingin, ya. Hehehehe. 

Bagi Kang Emil saat ini, akun media sosialnya diorientasikan pada edukasi masyarakat dan sarana komunikasi personal atau kedinasan. 

"Saya beruntung jadi pejabat yang punya followers banyak. Jadi, kalau ada isu-isu miring bisa langsung klarifikasi. Dalam hitungan jam isunya turun," ucap Emil saat jadi bintang tamu di "Beginu" Episode 12.

Selama sekitar satu jam, pemimpin redaksi Kompas.com Wisnu Nugroho membicarakan banyak hal dengan pria kelahiran Bandung, 7 Oktober 1971 itu.

Mulai dari keluh kesahnya saat memimpin Jawa Barat, hingga pandangannya tentang masa depan.

Wawancara lengkapnya dapat dilihat dalam video di bawah ini:

Saat arsitek memimpin

Kang Emil sebenarnya tidak memiliki latar belakang politik praktis. Ia lahir dari dunia yang sangat digemarinya, arsitek. 

Tetapi rupanya kerja-kerja politik pemerintahan juga dapat dijalankan oleh nilai dan filosofi seorang arsitek. 

Seorang arsitek dituntut tidak terpaku pada keadaan. Ia justru harus menciptakan keadaan. 

Semisal seseorang ingin membangun rumah luas di tanah yang terbatas. Atau membangun rumah pada bidang miring. Arsitek tak boleh menyerah menghadapi situasi itu. 

"Yang ideal kan budget tidak terbatas, lahan datar. Tapi kan tidak (selalu seperti itu)," ujar Emil.

Baca Juga: Begini Desain Masjid di Gaza Karya Ridwan Kamil

Emil menyebut, seorang arsitek  harus mencari solusi atas kondisi tidak ideal yang sedang dihadapi demi kepuasan klien. 

Masjid Al Irsyad, Kota Baru Parahyangan, Bandung, Jawa Barat.
simas.kemenag.go.id
Masjid Al Irsyad, Kota Baru Parahyangan, Bandung, Jawa Barat.

Ia harus terbiasa memecahkan persoalan. Bahkan terkadang persoalan yang dianggap orang-orang sebagai jalan buntu. 

Tak hanya tuntutan untuk mampu memecahkan persoalan, seorang arsitek bagi Emil adalah orang yang tabah akan kritik. 

Tentu, ini penting dipedomani oleh seorang pejabat pemerintahan di Indonesia. 

Sejak masih menempuh studi, Emil dan calon arsitek lain sudah terbiasa mendapatkan kritik dari sana sini tentang karya desainnya. 

Baca juga: 3 Bangunan Ikonik Karya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil

Ia langsung teringat salah satu momen saat kuliah. Usai menyerahkan sebuah tugas, sang dosen memberikan uang koin kepada Emil. 

"Sarkas istilahnya. (Dosen mengatakan) 'nih saya kasih koin'. (Emil bertanya) 'buat apa, Pak?' (Dosen menjawab) 'telepon ibu kamu, bilang kamu mundur dari arsitek'. Sampai segitunya," kenang Emil. 

Peristiwa-peristiwa semacam ini yang terjadi terus menerus  membuat mentalnya kuat dan problem solving akhirnya menjadi budaya bagi Emil. 

Maka, ketika Emil menjabat sebagai kepala daerah, nilai-nilai yang ia pupuk sebagai arsitek tidak lantas tercerabut. Sudah tertanam kuat. 

"Pas bergeser ke dunia pelayanan publik, sebagai wali kota, gubernur, kena semua. Yang datang ke otak saya, problem," ujar Emil. 

"Jadi, otak saya kalau dibedah isi memorinya, 'Pak mohon petunjuk', Pak, mohon keputusan', 'Pak, ada krisis', Pak, ada bencana, 'Pak, ini gimana' dan sebagainya," lanjut dia.  

 
Gubernur Jabar Ridwan Kamil saat menghadiri Rakor Percepatan Vaksinasi Provinsi Jabar via konferensi video dari Gedung Pakuan, Kota Bandung, Selasa (27/7/2021) malam.
Humas Pemprov Jabar
Gubernur Jabar Ridwan Kamil saat menghadiri Rakor Percepatan Vaksinasi Provinsi Jabar via konferensi video dari Gedung Pakuan, Kota Bandung, Selasa (27/7/2021) malam.

Emil melanjutkan, latar belakangnya sebagai arsitek juga membuat ia berpikir bahwa kepala daerah tidak bisa hanya membanggakan pencapaian non-fisik saja. 

Bagi Emil, pencapaian fisik juga aspek yang tidak kalah penting. Sebab, melalui aspek inilah masyarakat bisa menilai kinerja dari kepala daerah tersebut.

Pemahaman Emil itu sedikit banyak terilhami oleh proklamator, Ir. Soekarno. 

Sejarah mencatat, selain menggaungkan pemikiran tentang Trisakti serta berbagai konsep kebangsaan lainnya, Soekarno juga mencetuskan Politik Mercusuar.

Lewat Politik Mercusuar, Soekarno yang juga berlatar belakang arsitek ingin memperlihatkan kepada dunia pencapaian yang bisa dilakukan negara baru merdeka seperti Indonesia, yakni  melalui bangunan monumental.

Beberapa di antara, Tugu Monas, Tugu Selamat Datang, Masjid Istiqlal, hingga kompleks olahraga di Senayan.

Baca Juga: Dampak Demokrasi Terpimpin di Berbagai Bidang

"Rakyat itu mengingat apa yang dia lihat. Kalau ngomongin IPM (Indeks Pembangunan Manusia) saya harus nerangin dulu, kita harus seminar dulu. Ngomongin indeks stunting hanya di seminar. Rakyat biasa mah yang penting pasar jadi keren dan rapi, ruang publik jadi bagus, jalan jadi mulus," ucap Emil.

"Itu gaya saya dalam memimpin bahwa harus ada produk hasil yang terlihat," lanjut dia.

 

Rekam jejak

Emil sendiri terjun ke dunia politik pada 2013. Saat itu, ia memberanikan diri maju sebagai calon wali kota dalam Pilkada Kota Bandung. 

Pria lulusan ITB dan Berkeley itu maju bersama politikus asal PKS, Oded Muhammad Danial. Keduanya diusung oleh PKS dan Gerindra. 

Popularitas Emil melonjak saat menjabat orang nomor satu di Kota Bandung. 

Itu menjadi modal bagi dirinya untuk maju dalam Pilkada Jawa Barat, lima tahun berselang. 

Bersama mantan Bupati Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum, Emil maju dengan sokongan empat partai politiik, yakni PPP, PKB, Nasdem dan Hanura. 

Emil dan Uu yang mendapatkan nomor urut satu pun memenangkan Pilkada Jabar mengalahkan tiga pasangan lainnya, termasuk pasangan  unggulan Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi. 

Baca juga: Kata Ridwan Kamil, Terjun ke Dunia Politik Harus Mapan Finansial Dulu

Karier politik Emil yang cukup moncer itu sedikit banyak ditopang oleh perjalanan pendidikan yang mapan. 

Usai menamatkan sekolah dasar hingga atas di Bandung, putra pasangan Atje Misbach Muhijiddin dan Tjuju Sukaesih melanjutkan berkuliah di Teknik Arsitektur ITB dari tahun 1990 hingga 1995. 

Empat tahun berselang, Emil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di University of California, Berkeley hingga tamat tahun 2001. Emil mengambil program studi Master of Urban Design. 

Pada 2009, Dong-a University di Korea Selatan menganugerahi Emil gelar Doktor Honoris Causa di bidang administrasi publik. 

Profil Ridwan Kamil

Karier profesional sebagai arsitektur berawal dari usai ia menamatkan kuliah di Berkeley. Tepatnya tahun 2004. 

Emil beserta rekan-rekannya mendirikan Urbane, perusahaan yang bergerak di bidang jasa konsultan perencanaan, arsitektur dan desain. 

Perusahaannya lambat laun semakin memiliki reputasi. Bahkan hingga ke internasional. 

Mereka mengerjakan proyek-proyek desain arsitektur bangunan di Syria, China dan sejumlah negara lain. 

Baca Juga: Ridwan Kamil Kritik Desain Ibu Kota Baru

Atas kiprahnya, Urbane merengkuh beragam penghargaan dari media internasional. Salah satunya BCI Asia Awards pada 2008, 2009 dan 2019 serta BCI Green Awards pada 2009. 

Penghargaan tahun 2009 itu didapat atas proyek desain rumah yang terbuat dari botol bekas.

Kolaborasi jadi kunci

Ridwan Kamil adalah orang yang berasal dari industri kreatif. Baginya, kreativitas adalah sumber untuk menyelesaikan masalah.

Namun, ia menghadapi masalah saat mulai masuk ke dunia pemerintahan, yakni birokrasi yang tak siap merespon perubahan zaman.

Untuk mengatasi kendala yang dihadapi, Emil melakukan kolaborasi dengan kalangan akademisi, masyarakat sipil, maupun pelaku usaha.

Salah satunya lewat pembentukan sebuah tim penasehat yang diberi nama Tim Akselerasi Pembangunan (TAP).

Ia juga memerintahkan dinas-dinas di bawahnya untuk membentuk tim serupa.

Namun, keberadaan tim ini mendapat cibiran dari sebagian kalangan. Mereka menganggap TAP berisi orang-orang yang tadinya menjadi anggota tim sukses Emil.

Baca juga: Bentuk TAP Jabar, Ridwan Kamil Jamin Sesuai Aturan

Emil pun membantah. Menurutnya, tak semua anggota tim suksesnya ditarik masuk TAP. Sebab Emil juga memperhitungkan kapasitas.

Emil berujar, ia membutuhkan orang-orang yang memiliki chemistry agar bisa bekerja dengan baik.

Menurut Emil, banyak birokrat yang cerdas namun tak bisa bekerja karena tak punya chemistry dengan kepala daerahnya.

"Yang tidak paham menganggap ini ruang KKN. Padahal kalau KKN itu kan punya chemistry tapi tidak punya kapasitas," ucap Emil.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat meluncurkan tim Jabar Saber Hoaks di Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Jumat (7/12/2018).
KOMPAS.com/DENDI RAMDHANI
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat meluncurkan tim Jabar Saber Hoaks di Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Jumat (7/12/2018).

Selain TAP, Emil juga membentuk unit baru yang ia anggap relevan menghadapi tantangan zaman, salah satunya Jabar Saber Hoax.

Sadar ASN di lingkungan pemerintahannya belum banyak yang punya kompetensi terkait hal ini, Emil pun merekrut tenaga ahli dari kalangan milenial.

Baca Juga: Industri Kreatif di Mata Ridwan Kami

Ada pula Jabar Digital Service. Institusi yang konsepnya terinpirasi dari Inggris ini berisi belasan anak muda yang memiliki tugas mengelola data layanan publik berbasis teknologi.

Salah satu fungsi institusi ini selama pandemi adalah memberikan informasi bagi warga yang membutuhkan oksigen.

Institusi baru lain yang juga sudah dibentuk Emil adalah Jabar Future Leader.

Lewat program ini, Emil ingin mengajak anak muda untuk ikut merasakan aktivitas yang dilakukannya sehari-hari.

Setiap satu minggu, satu orang anggota tim Jabar Future Leader secara bergiliran menjadi ajudan Emil. Dengan cara ini, Emil ingin menunjukkan bahwa mengambil keputusan bukan hal yang sederhana.

Emil juga membentuk Jabar Innovation Fellowship dan Patriot Desa. Khusus yang terakhir, Emil sengaja membentuknya untuk memberdayakan ekonomi desa.

"Inilah investasi saya, kolaborasi. Jadi, kalau saya enggak ada, sistem ini tetap berjalan. Lahirlah orang-orang yang punya pemikiran kepemimpinan karena melihat saya langsung, berinovasi, tidak hanya komplain di luar, tapi masuk ke dalam dengan innovation leadership," ucap Emil.

 

Program Inovasi Ridwan Kamil

Kompromi dengan keadaan

Emil mengatakan, seorang pemimpin perlu memiliki imajinasi. Untuk mewujudkan pemikiran imajinatifnya, seorang pemimpin juga perlu keberanian mengambil risiko.

Menurut Emil, berpikir imajinatif dan berani mengambil risko menjadi rutinitas dalam kesehariannya.

Emil mengaku lebih merasa tenang saat sudah merealisasikan imajinasinya walaupun dengan risiko ketimbang tidak melakukan apapun.

"Seburuk-buruknya pemimpin adalah pemimpin yang tidak mengambil keputusan," ucap Emil.

Meski demikian, ia sadar penuh bahwa tidak seluruh imajinasinya terimpelentasi dengan baik. Pada titik inilah, ia tidak memaksakan kehendak. 

Langkah yang dilakukan Emil selanjutnya adalah berkompromi dengan keadaan dan tetap melakukan yang terbaik. 

Pengalaman ini hadir ketika ia masih menjabat Wali Kota Bandung. Emil mengadakan program pengadaan tempat sampah dari kantong plastik, hasil dari imajinasinya di dalam menyelesaikan persoalan sampah. 

Baca juga: Sering Dirusak, Ridwan Kamil Ganti Tempat Sampah Plastik Jadi Fiberglass

Namun, rupanya implementasi program itu tidak berjalan baik. Mental masyarakat belum siap dengan ide tersebut.

Kantong kresek yang menjadi tempat sampah sering sobek karena ditusuk-tusuk. Belum lagi penutup bagian atas tempat sampah yang rusak akibat diduduki. Sampah berceceran ke mana-mana. 

"Imajinasi-imajinasi seperti itu kadang belum siap kepada masyarakat yang belum matang," ucap Emil.

 

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil saat bersosialisasi dengan koordinator PKL se-Kota Bandung sampai tengah malam di rumah dinasnya (Pendopo), Jalan Dalem Kaum, Bandung, Jawa Barat, Rabu, (9/10/2013) malam
KOMPAS.com/Rio Kuswandi
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil saat bersosialisasi dengan koordinator PKL se-Kota Bandung sampai tengah malam di rumah dinasnya (Pendopo), Jalan Dalem Kaum, Bandung, Jawa Barat, Rabu, (9/10/2013) malam

Pengalaman berikutnya hadir beberapa waktu kemudian, masih ketika ia menjabat Wali Kota Bandung. 

Suatu ketika ia baper (terbawa perasaan) saat dituding terlalu one man show dalam menjalankan kebijakan.

Jengah dilabeli demikian, akhirnya dua tahun terakhir masa jabatannya, ia mendelegasikan kewenangan-kewenangannya pada dinas-dinas yang ia pimpin.

Namun, kenyataannya banyak program tak berhasil. Banyak birokrat yang pola pikirnya terjebak pada keruwetan birokrasi tanpa inovasi.

Baca Juga: Ridwan Kamil: Twitter Memperpendek Birokrasi

Mereka lebih banyak tidak terlalu peduli pada hasil yang didapat. Bahkan, target tidak mencapai sasaran pun tidak mengapa, asalkan proses pengerjaannya sudah sesuai aturan.

Emil merasa, kalau saja saat itu ia cuek dan tetap turun langsung, ia yakin program tersebut akan berhasil.

Penyesalan Emil makin bertambah karena saat itu masa jabatannya sudah habis sehingga tak ada lagi kesempatan baginya untuk memperbaiki.

Emil pun menyadari, mungkin dirinya terlalu ambisius dan terlalu berpikir progresif di lingkungan yang belum siap, baik masyarakat dan birokrasinya.

"Mobil cc besar yang harusnya bisa saya geber 200 kilometer per jam tapi karena penumpang tidak nyaman, onderdilnya KW, akhirnya kecepatan saya hanya bisa setengahnya," ucap Emil.