SUATU siang di tahun 1997, dua orang pria berusia 20-an terlibat percakapan di dalam sebuah elevator.
Pria yang bertubuh lebih kurus berkata kepada seorang lainnya, ia tak tak punya cukup uang untuk membeli susu anak perempuannya yang baru berusia setahun.
Oleh sebab itu, ia meminjam uang sebesar Rp 3 juta untuk memenuhi kebutuhan sang buah hati.
Teman pria itu menjawab, ia pun tidak memiliki uang seperti yang diminta.
Ia kemudian mengeluarkan dompet dan mengambil selembar uang Rp 50.000, lalu menyerahkannya kepada pria kurus itu.
Tahun 1997 memang merupakan tahun yang sulit bagi Indonesia. Krisis moneter yang melanda Tanah Air kala itu membuat banyak perusahaan gulung tikar.
Karyawan pun terkena imbas. Banyak yang terpaksa diputus kontrak kerjanya. Salah satunya adalah pria kurus di dalam elevator itu.
Siapa sangka dua dekade kemudian pria kurus itu menjadi pengusaha sukses sekaligus masuk ke dalam 150 orang terkaya di dunia, Sandiaga Salahuddin Uno.
Kisah itu diceritakan Rosan Roeslani dalam buku otobiografi “Sandiaga Uno: Kerja Tuntas, Kerja Ikhlas: One Way Ticket to Success (2017)”.
Rosan adalah rekan Sandiaga yang meminjami uang.
Rosan memang sudah menjadi sahabat karib Sandi-panggilan Sandiaga-sejak zaman sekolah menengah atas. Hubungan keduanya kian erat setelah sama-sama menapaki jalan sebagai wirausaha.
Kisah jadi korban PHK tanpa pesangon itu merupakan lembar terkelam dari kehidupan seorang Sandiaga yang sebenarnya lahir dari kalangan keluarga berada.
Namun, setiap orang terikat dalam roda kehidupan, bukan?
Ketika berada pada posisi terpuruk, tentu tak ada perbedaan dalam hal cara mencari jalan keluar. Sandiaga selalu optimis dalam menghadapi tantangan hidupnya.
Ia sendiri mengibaratkan urat pesimistisnya sudah kadung putus.
Sandiaga menceritakan bagaimana ia menjalani kehidupannya dengan penuh rasa optimistis di dalam Beginu Session II: Episode 8.
Selengkapnya, dapat anda tonton di video berikut ini:
Sandi merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Razif Halik Uno dan Rachmini Rachman.
Ayahnya merupakan seorang engineer perminyakan, sementara sang ibu berlatar belakang sebagai seorang pengajar.
Sandi lahir di Rumbai, Riau, pada 28 Juni 1969. Namun, ia hanya numpang lahir di provinsi kaya minyak itu. Sang ayah kebetulan sedang ditugaskan Caltex di sana.
Sandi dan keluarganya pindah ke Jakarta pada 1973 saat usianya empat tahun. Ia beberapa kali berpindah tempat tinggal, namun tak jauh-jauh dari sekitaran Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Masa sekolah dari sejak SD hingga SMA Sandi dihabiskan di Jakarta Selatan.
"Pertama tinggal di Jalan Lamandau, terus ke Mendawai. Pas SMP pindah ke Jalan Wijaya, sekarang di Jalan Galuh. Jadi, kita ini anak Jaksel," ujar Sandi.
Selain tempat tinggal, masa-masa sekolah Sandi juga dihabiskan di Jaksel. Ia menempuh pendidikan dasarnya di SD PSKD (Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta) yang berlokasi di sekitaran Bulungan.
Setamat SD, Sandi melanjutkan sekolahnya di SMP Negeri 12 di Jalan Wijaya. Adapun pendidikan SMA-nya ditempuh di Pangudi Luhur yang beralamat di Jalan Brawijaya.
Kehidupan Sandi remaja bisa dibilang tak bisa jauh dari Jaksel. Tak cuma tempat tinggal dan sekolah, di Jaksel pula Sandi mengalami jatuh cinta pada seorang perempuan yang kini jadi pendamping hidupnya, Nur Asia.
Dikutip dari buku otobiografi Sandi, Nur adalah cicit dari pendiri Masjid At Taqwa, Kebayoran Baru. Masjid tersebut secara turun temurun diurus oleh keluarganya.
Saat ini, Sandi dikenal sebagai salah satu triliuner Indonesia. Siapa sangka di masa lalu ia pernah menjadi korban PHK tanpa pesangon. Bahkan saat di-PHK, Sandi mengaku sama sekali tak punya tabungan.
Cerita bermula setelah ia menamatkan pendidikan masternya di George Washington University, Amerika Serikat.
Usai lulus master dengan predikat Summa Cumlaude, Sandi merintis karier di Singapura. Perusahaan investasi Sea Power Asia menjadi tempat ia bekerja pertama kali pada 1993.
Karier Sandi cukup tokcer. Tiga tahun setelah menekuni dunia profesional, ia diangkat menjadi Vice President di NTI Resources di Calgary, Kanada. Perjalanan Kanada ke Singapura menjadi rutinitasnya setiap dua bulan sekali.
Namun, zona nyaman yang dirasakan Sandi berubah 180 derajat saat krisis moneter menempa Asia Tenggara pada 1997.
Baca juga: Sandiaga Ceritakan Masa Sulitnya Jadi Korban PHK Akibat Krismon 1998
Pada Juli di tahun tersebut Sandi sudah tak lagi menerima gaji dari perusahannya.
Ada satu masalah besar yang saat itu dihadapi Sandi. Akibat terlena karena posisinya sebagai karyawan bergaji besar dan rutin, Sandi nyaris tak memiliki tabungan karena seluruhnya sudah ia investasikan.
Demi menyambung hidup di Negeri Singa, sang istri pun mau tak mau harus mulai menjual perhiasan.
View this post on Instagram
Sadar cara tersebut hanya memperlambat datangnya masalah, Sandi akhirnya memutuskan memboyong keluarganya pulang ke Tanah Air.
Sekembalinya ke Jakarta sebagai pengangguran, Sandi mencoba mencari peruntungan dengan mengajukan surat lamaran kerja ke 25 perusahaan. Namun, tidak ada satupun yang menerimanya.
"Saya mengalami masa-masa ketika uang receh yang terselip di saku atau tercecer di lantai begitu berharga. Padahal dulu saya tidak perlu mengecek rekening untuk memastikan apakah gaji saya sudah masuk di akhir bulan," tulis Sandi.
Dalam posisi sebagai pengangguran, Sandi mulai memikirkan kembali gagasan di masa lalunya tentang rencana membangun perusahaan sendiri.
Baca juga: Pernah Galau Karena Kena PHK, Ini Resep Sandiaga Uno untuk Bangkit
Untungnya saat itu Rosan Roeslani, sahabat karibnya, sudah kembali ke Indonesia setelah sebelumnya sempat menimba pendidikan di Eropa.
Sandi dan Rosan kemudian mendirikan sebuah perusahaan yang bergerak dalam bisnis jasa konsultasi keuangan bernama PT Republik Indonesia Funding.
Enam bulan pertama, perusahaan tersebut sama sekali tak menghasilkan profit. Tetapi, Sandi dan Rosan tak menyerah.
Dengan gigih, keduanya terus mencari klien dan secara perlahan namun pasti PT Republik Indonesia Funding melebarkan sayap bisnisnya.
"Saat nama perusahaan berubah jadi PT Recapital Advisors pada 2002, bisnis kami telah berkembang pesat dari jasa penasihat keuangan berkembang ke bidang underwriting, sekuritas, manajemen aset, hingga memiliki bank," lanjut Sandi.
Kekecewaan pada dasarnya adalah bagian dari fitrah manusia. Hampir semua orang pasti pernah mengalaminya, tak terkecuali Sandi.
Satu hal yang mungkin membedakan adalah Sandi tak mau kekecewaan yang dialaminya terus berlangsung berlarut-larut.
Baginya, kekecewaan tidak boleh jadi beban, namun harus jadi pembelajaran.
Menurut pria yang pernah menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2017-2018 itu, ia memberi batas waktu bagi dirinya untuk larut dalam kekecewaan maksimal tiga hari.
"Kekecewaan itu saya batasi tidak boleh lebih dari tiga hari. Habis itu, harus bangkit lagi," ujar pria yang hobi bermain basket itu.
Baca juga: Antara Klaim Kemenangan Prabowo-Sandiaga dan Narasi Kecurangan Pilpres 2019
Sandi kemudian bercerita perihal kekecewaan selama tiga hari yang dialaminya usai Pemilihan Presiden 2019 silam.
Pada Pilpres 2019, Sandi maju menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Namun, keduanya kalah dari calon presiden petahana Joko Widodo yang maju didampingi Maruf Amin.
Menurut Sandi, kekalahan di Pilpres menjadi salah satu kekecewaan terbesar dalam hidupnya.
Mungkin karena tak terbiasa dengan sikap pesimistis, Sandi terlanjur percaya diri bahwa dirinya dan Prabowo lah yang saat itu memenangi pemilihan. Apalagi saat itu ia merasa sudah mendatangi banyak daerah di Indonesia.
"Yang paling berat memang Pilpres, saya sampai sakit. Tapi setelah dirawat alhamdulillah bisa pulih dan langsung cepat rebound-nya," ucap ayah tiga anak itu.
Baca juga: Usai Klaahkan Sandiaga, Susi Pudjiastuti Traktir Makan Para Nelayan
Pengalaman masa lalu Sandi yang pernah di-PHK serta jatuh bangunnya di dunia usaha diakui telah membentuk karakter tak gampang menyerah saat mengalami kegagalan.
Sandi bahkan mengibaratkan urat rasa pesimistis pada dirinya sudah putus.
"Urat pesimis saya sudah putus karena sudah terlatih untuk jatuh bangun. Setiap kita terjatuh jadikan kesempatan untuk bangun. Kegagalan adalah anak tangga untuk mencapai kesuksesan," ucap Sandi.
Dua tahun sebelum Pilpres 2019, konstelasi politik Tanah Air sudah memanas. Dinamika politik saat itu akhirnya mengerucut pada dua pasang nama, Joko Widodo-K.H Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Ya, Sandi yang belum genap dua tahun menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Anies Baswedan memutuskan melepaskan jabatannya mendampingi Prabowo.
Prabowo sendiri untuk kedua kalinya head to head melawan Jokowi dalam Pilpres setelah kalah dalam Pilpres 2014.
Setelah melewati berbagai peristiwa politik yang berintensi tinggi, akhirnya KPU memutuskan pasangan Jokowi-Ma’ruf menang Pilpres dengan perolehan suara 84.654.894 (55,32 persen). Sementara Prabowo-Sandiaga memperoleh suara 68.359.086 (44,68 persen).
Meskipun beberapa saat setelah diputuskan, kubu Prabowo sempat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), upaya itu tidak mengubah hasil.
Setelah itu, tanpa disangka kubu Jokowi yang disokong 10 partai politik memilih ‘merangkul’ kubu Prabowo.
Prabowo sendiri dipercaya menjabat Menteri Pertahanan menggantikan Ryamizard Ryacudu. Sementara, Sandiaga Uno dipercaya menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menggantikan Wishnutama.
Di balik transaksi politik itu, terselip cerita jenaka tentang Sandiaga yang dipercaya menjadi pembantu Kepala Negara.
Baca juga: Sandiaga Kurang Sreg Jika Semua Parpol Bergabung ke Koalisi Jokowi
Akhir November 2020, Sandiaga terpapar Covid-19. Dari mulai ia sakit banyak sekali orang yang mengirimkan pesan berisi doa kesembuhan bagi dirinya. Bahkan setelah sembuh, ia masih kebanjiran pesan doa tersebut.
Di antara pesan yang masuk setelah ia sembuh, terselip pesan dari Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang bertuliskan, “Bismillah, Mas”. Pesan itu masuk tepatnya pada Jumat, 18 Desember 2020.
“Saya pikir ini bismillah untuk kesembuhan saya. Saya jawab, bismillah, Pak” cerita Sandi usai dilantik sebagai menteri di Istana Negara, Jakarta, Rabu 23 Desember 2020.
Tak hanya Pratikno, sejumlah pembantu Presiden rupanya juga mengirimkan pesan serupa tetapi berbeda kalimat.
Maksudnya serupa adalah, sama-sama tidak jelas. Apakah pesan itu ditujukan untuk kesehatannya atau ada maksud lain.
Teka-teki ini baru menemui titik terang pada Senin 21 Desember 2020. Pratikno menghubungi Sandia. Kali ini melalui telepon.
"Pak Praktik mengabarkan bahwa kemungkinan akan dipanggil, kemungkinan akan diminta menghadap hari Senin sore atau Selasa," ujar Sandi.
Kemudian, pada Selasa 22 Desember 2020 pagi, Sandiaga diminta datang ke Istana Presiden pada pukul 15.00 WIB. Namun, tak ada penjelasan mengenai maksud dari pemanggilan tersebut.
"Hanya menggunakan baju putih," kata dia.
Baca juga: Prabowo Jadi Menteri, Ini Sikap Relawan dan Partai Koalisi Jokowi
Ternyata, pada Selasa sore, Sandiaga menjadi satu dari enam menteri baru yang ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk bergabung di Kabinet Indonesia Maju.
Meskipun masuknya Sandiaga ke pemerintahan Jokowi diwarnai narasi politik transaksional, namun sejumlah survei menyebut bahwa Sandiaga adalah salah satu pembantu Presiden yang baik kinerjanya.
Survei yang dirilis Puspoll Indonesia pada Mei 2021 misalnya. Dari 1.600 responden yang tersebar di 34 provinsi, 11 persen responden menilai kinerja Sandiaga sangat baik, 68 persen menilai cukup baik, 2,5 persen menilai buruk, 3,2 persen menilai sangat buruk dan 14,5 persen tidak tahu/tidak menjawab.
Meski, para peneliti mengakui, penilaian atas kinerja Sandiaga sedikit banyak dipengaruhi oleh tingkat popularitas dia di masyarakat.
Pada posisi kedua, ada nama Menteri Sosial Tri Rismaharini. Sebanyak 10,6 persen menyatakan kinerja Risma sangat baik, 66,8 persen menilai cukup baik, 3 persen menilai buruk, 3,3 persen sangat buruk dan 16,4 persen tidak tahu/tidak menjawab.
Posisi selanjutnya ada nama Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.