Usia muda dan penghasilan yang ada di awal masa kerja, bukan halangan buat mewujudkan rumah idaman. Apa rahasia dan tips-nya?
RUMAH. Topik ini tak sekali atau dua kali jadi isi utama percakapan Rinda Fahima (27) dan Tio (30), pasangan yang menikah tiga tahun lalu.
Target terdekat, mereka ingin punya rumah. Alasannya, bosan pindah-pindah karena masih mengontrak rumah.
Sebenarnya, kata Rinda, kontrak rumah juga tak identik harus sering pindah. Namun, godaan untuk terus mencari yang lebih baik selalu ada saja.
Soal urusan jarak rumah ke tempat kerja, kualitas bangunan yang belum tentu tahan cuaca, atau transportasi umum yang tak banya pilihan, sudah bisa jadi alasan buat pindah kontrakan.
Itu belum lagi kalau pemilik rumah punya rencana lain. Dalam tiga tahun pernikahan, mereka sudah empat kali pindah kontrakan dengan beragam sebab itu.
“Mungkin karena bukan rumah sendiri, jadi kalau ada kendala atau gangguan sedikit saja sudah langsung memilih pindah. Padahal berat di ongkos pindahan," ujar Rinda yang bekerja sebagai pegawai swasta.
Saat ini, lanjut Rinda, keinginan punya rumah makin kuat karena ia sedang hamil.
Terbayang kerepotan yang harus dihadapi kalau ada anak bayi tapi masih belum punya tempat pulang yang pasti.
Hampir sama dengan Rinda dan Tio, Fanny (23) yang belum berkeluarga juga tengah mencari rumah. Alasannya berbeda, tapi tujuannya sama. Fanny bilang, rumah bisa pula untuk investasi.
Soal lokasi, Rinda bilang akan memilih di pinggiran Jakarta. Fanny juga begitu. Hitungan rasional kemampuan finansial jadi pertimbangannya.
“Enggak kuat kalau di Jakarta, minggir saja yang penting dekat dengan akses kereta,” kata Rinda.
Daerah yang Rinda maksud adalah daerah penyangga Jakarta. Bisa Depok, Bekasi, Bogor, atau Tangerang. Tak masalah agak jauh, yang penting cicilannya tak memberatkan.
Saat ini, Rinda dan Tio punya penghasilan gabungan Rp 12 juta per bulan. Kebetulan tak ada tagihan cicilan lain.
Memakai simulasi hitungan Kredit Perumahan Rakyat (KPR), kemampuan beban cicilan maksimal mereka adalah 30 persen penghasilan. Artinya, maksimal cicilan bulanan Rp 3,6 juta.
“Kayaknya maksimal cari rumah yang harganya Rp 300 juta atau maksimal sekali Rp 400 juta,” sambungnya.
Tantangannya tinggal cukup atau tidak tabungan mereka untuk membayar uang muka KPR bagi rumah pertama idaman.
Untungnya, per 2 Desember 2019, berlaku aturan baru Bank Indonesia (BI) yang menambah kelonggaran tentang ini.
Merujuk aturan baru itu, besaran uang muka kredit atau pembiayaan rumah pertama dari bank terpilih, diserahkan kepada bank bersangkutan selama menerapkan prinsip kehati-hatian.
Cerita berbeda meski senada dituturkan Fanny. Sekalipun masih lajang, dia sudah memasukkan rumah sebagai kebutuhan yang perlu dipenuhi sejak muda, bahkan sebelum bersuami.
Seperti halnya pasangan Rinda dan Tio, Fanny pun sudah punya incaran lokasi rumah idaman. Buat Fanny, pilihan lokasinya antara Cibarusah, Bojong Gede, dan Cilejit.
Semua rumah yang dipilih adalah perumahan tipe subsidi. Maklum, penghasilannya hanya cukup untuk tipe rumah seperti itu.
“Cicilannya, saya cari yang Rp 1 juta. Rencananya, uang muka dibantu orangtua, kurang lebih Rp 20 juta,” ungkap Fanny.
Pilihan bagi milenial, atau mereka yang gajinya menengah adalah rumah dengan beban biaya menengah pula.
Dengan rentang penghasilan Rp 5 juta – Rp 15 juta per bulan, cicilan ideal bulanan berkisar Rp 1,5 juta – Rp 4,5 juta.
Pilihan rumah dengan rentang cicilan segitu mengerucut pada nominal harga Rp 200 juta – Rp 450 juta.
Nah, lokasi rumah dalam kisaran harga itu hampir pasti tidak di Ibu Kota. Terlebih lagi bila punya "syarat" soal luas lahan, kualitas bangunan, dan fasilitas permukiman.
Buat anak muda kelas menengah yang beraktivitas di Jakarta, yang masuk akal, lokasi pilihannya di kawasan penyangga Ibu Kota.
Contoh kawasan paling gampang untuk disebut ya daerah-daerah yang dibilang Fanny.
Pilihannya mungkin memang tak banyak. Untuk sampai kantor yang berada di Ibu Kota pun perlu upaya, seperti naik transportasi umum.
Akan tetapi, apa pun strateginya, yang terpenting masih ada harapan bagi generasi milenial untuk memiliki impian membeli rumah.
Kompas.com pernah membuat riset pada 7-11 April 2017 dengan 300 responden milenial yang tinggal di tujuh kota besar soal alokasi dana tabungan.
20 persen responden mengatakan bahwa tabungannya kelak dialokasikan untuk membeli rumah.
Hasilnya, 20 persen responden mengatakan bahwa tabungannya kelak dialokasikan untuk membeli rumah. Meski tak tinggi, hasil survei ini menunjukkan bahwa hunian masih jadi perhatian kalangan milenial, selain soal jalan-jalan dan eksplorasi tempat wisata.
Dari persentase itu, bahkan mereka rela memangkas pengeluaran konsumtif seperti jalan-jalan (68,3 persen), membeli gawai (59 persen), hingga nongkrong (38,1 persen). Yang penting, mereka bisa mencapai target untuk membeli rumah.
Adapun, 61 persen responden mengaku belum memiliki rumah dan masih mempertimbangkan beli rumah di rentang harga Rp 100 juta hingga Rp 300 juta.
Rentang harga itu, lagi-lagi cocok dengan perkiraan pasangan Rinda dan Tio, juga Fanny.
Kalau perhitungan uang muka dan cicilan bulanan yang akan dibayar kelak sudah aman, jangan lupa menghitung biaya operasional bila nanti menempati rumah yang dibeli.
Dengan kenyataan pendapatan dan harga rumah yang melangit, kawasan penyangga adalah pilihan lokasi masuk akal bagi pekerja di Jakarta. Tinggal, bagaimana hitungan biaya hariannya, seperti ongkos transportasi ke tempat kerja?
Jangan lupa menghitung biaya operasional bila nanti menempati rumah yang dibeli.
Bagi Rinda, ini yang membuat dia dan suaminya memilih rumah di dekat stasiun. Hitungan mereka, ongkos ke tempat kerja cuma tarif kereta komuter.
Misal, pilihan tinggal di kawasan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, ongkos kereta ke Jakarta paling mahal hanya Rp 4.000.
Tentu biaya operasional jadi beda lagi kalau pilihan moda transportasi adalah mobil pribadi. Sudah akan terasa jauhnya Parung Panjang, itu pun lama di perjalanan, berat pula di ongkos.
Dengan kisaran cicilan dan ongkos operasional segitu, harusnya kawasan penyangga Ibu Kota yang dilewati akses transportasi umum seperti kereta masih bisa dijadikan peluang tempat tinggal.
Sayangnya, rumah di kawasan yang dekat akses transportasi umum pun cenderung ikut naik harga. Lokasi pilihan sesuai kemampuan dana makin menepi lagi.
Tinggal dihitung total jenderal biaya operasional harian, baik menggunakan kendaraan pribadi maupun angkutan umum—termasuk biaya untuk menjangkau akses moda transportasi ini dari rumah.
Ilustrasi, ongkos kereta tidak berubah tetapi ada jarak tambahan yang butuh 20 menit untuk sampai ke stasiun. Mau pakai sepeda motor, mobil pribadi, atau angkutan umum, takar dan kalkulasi tiap pilihan itu, dari kenyamanan, keamanan, dan pengeluarannya.
Jangan sampai, rumah sudah didapat, cicilan bisa dibayar, tapi total biaya transportasi bulanan melebihi tagihan bulanan KPR, kontrak, atau kos.
Karenanya, beragam cara ditempuh milenial untuk mendapatkan lokasi rumah pilihan yang tepat. Mulai dari pameran, sampai informasi di internet dilahap habis.
Kalau perlu, segala aplikasi mengenai info rumah dijual pun diunduh untuk perbandingan.
Kalau perlu, segala aplikasi mengenai info rumah dijual pun diunduh untuk perbandingan. Contoh kekinian, ada pula aplikasi dari perbankan yang menyasar milenial pencari rumah, seperti aplikasi BTN Properti.
Dalam aplikasi semacam ini, informasi mulai dari pengajuan KPR, cari jasa profesional untuk kebutuhan rumah, daftar developer BTN, sampai konsultasi sudah lengkap.
Bahkan, informasi juga mencakup penawaran harga rumah yang ada pada fitur “Cari Properti”.
Rumah baru ataupun tangan kedua (second) ada banyak ditawarkan di situ. Cukup memasukkan lokasi yang diincar, daftar tawaran bertebaran.
Tampilannya pun lengkap. Selain gambar, ada pula informasi jumlah ketersediaan properti, harga, biaya perkiraan cicilan KPR dengan asumsi jumlah suku bunga tertentu, sampai simulasi KPR.
Dengan aplikasi seperti itu, mestinya milenial bisa leih mudah dalam pencariannya. Apalagi informasi mengenai luas tanah dan tipe rumah juga sudah ada.
Kalau strategi pencarian rumahnya sudah ada, kini tinggal menimbang dana untuk membelinya. Bagaimana agar rumah impian bisa terbeli dengan gaji rata-rata milenial saat ini?
Memakai simulasi gaji Rp 5 juta per bulan, misalnya, didapatlah maksimal cicilan Rp 1.500.000.
Yang sering terlupa adalah biaya akad kredit atau pembiayaan. Ini termasuk sejumlah biaya administrasi.
Ambil satu contoh, hunian di Babelan Bekasi senilai Rp 195 juta. Untuk memiliki rumah ini, kita harus menyiapkan uang sekitar 15 persen dari harga itu.
Buat apa? Buat uang muka dan biaya administrasi pengajuan kredit.
Beruntung kalau tidak harus membayar uang muka. Namun, uang muka juga pasti mengurangi pokok utang dan tentu saja akhirnya nominal angsuran bulanan sesuai tenor yang diajukan. Tidak ada ruginya.
Yang sering terlupa adalah biaya akad kredit atau pembiayaan. Ini termasuk sejumlah biaya administrasi seperti "balik nama" properti (BPHTB), survei, penilaian kelayakan kredit atau pembiayaan, dan provisi.
Kalau itu sudah, akad KPR pun disetujui, tinggal deh cicil bulanannya.
Dari contoh di atas, persiapan uang muka dan biaya administrasi sekitar Rp 29,25 juta. Cicilan bulanan kurang lebih Rp 1,4 juta untuk tenor pinjaman 25 tahun dan bunga di kisaran 9 persen per tahun.
Ngomong-ngomong, uang Rp 29,25 juta pun bukan angka sedikit ya. Kalau sebelum ini sudah rajin menabung atau ada bantuan orangtua seperti yang didapatkan Fanny, mungkin ini tak terlalu masalah.
Bagaimana dengan yang baru terpikir sekarang pengin punya rumah dan sebelum ini tak terpikir menabung uang muka?
Jangan panik dulu. Sembari mencari rumah yang tepat, ada waktu untuk menyiapkan kebutuhan dana awal demi rumah idaman.
Ini "cuma" soal niat, tekad, dan komitmen.
Percayalah, cari rumah yang tepat di kantong dan cocok di hati itu bisa lama, bahkan lama sekali. Manfaatkan saja waktu mencari sekalian untuk menyiapkan kebutuhan dana.
Pakai angka contoh di atas, kalau targetnya memulai proses KPR setahun lagi, tiap bulan harus menyisihkan dan menyimpan dana Rp 2,5 juta.
Gaya hidup milenial semacam ngopi cantik di kafe perlu dikalahkan sedikit sih, memang. Demi rumah impian....
Lagi pula, ada banyak pilihan cara mengakumulasi dana kalau zaman sekarang. Ini "cuma" soal niat, tekad, dan komitmen.
Kalau menabung sekaligus mengincar tambahan hasil, misalnya, ini waktu yang tepat untuk membuka rekening reksa dana dengan nominal top up bulanan senilai kebutuhan "simpanan" demi rumah idaman itu.
Menabung di bank juga masih bisa jadi pilihan. Bahkan, bank seperti BTN punya produk tabungan khusus bagi kita yang sedang ngebet punya rumah. Namanya, Tabungan BTN Perumahan.
Produk ini membantu kita menyiapkan tabungan yang memang ditujukan untuk pembelian rumah. Kelebihannya, mulai dari bebas biaya administrasi bulanan yang biasa ada di produk tabungan lain hingga hak istimewa KPR.
Jadi, usia muda dan penghasilan yang ada bukan alasan untuk tak menjadikan rumah milik sendiri sebagai kenyataan, bukan? Ayolah, justru mumpung masih muda, sebelum banyak tanggungan pula, milikilah rumah....