Coba bayangkan sepiring nasi hangat tersaji di hadapanmu.
Bayangkan juga, di piring lain ada sepotong ayam goreng diletakkan di antara daun kemangi segar, irisan mentimun, dan berbagai lalapan lain.
Lalu, sambal terasi segar yang baru saja selesai diracik dibubuhkan di atas ayam goreng berwarna keemasan itu....
MASAKAN bercita rasa pedas adalah menu yang banyak dijumpai dan digemari masyarakat Indonesia.
Sambal, sang racikan pedas pun menjadi barang jamak dalam menu masakan Nusantara.
Mungkin, kamu pun salah satu di antara banyak penyuka racikan berbahan dasar cabai ini.
Namun, tahukah kamu bahwa pada awalnya sambal di Nusantara tidak menggunakan cabai dalam racikannya?
Bagaimana pula riwayat sambal termasuk budaya meraciknya? Tahukah juga kamu, ada begitu banyak ragam sambal dapat ditemukan di Indonesia?
Ini riwayat sambal Nusantara, untuk kamu yang mengaku penikmat racikan pedas.
CABAI yang saat ini kita kenal berasal dari tanaman genus Capsicum. Namun, jauh sebelum Capsicum masuk ke nusantara, masyarakat lebih dulu mengenal cabya sebagai pencipta sensasi pedas penggugah selera.
Cabya punya nama latin Piper retrofractum vahl. Ini adalah jenis tanaman dari genus lada dan sirih-sirihan yang punya sifat sebagai rempah pemedas untuk mengolah makanan.
Sejarawan kuliner, Fadly Rahman, mengatakan, cabya telah disebut-sebut dalam beberapa prasasti dan naskah kuno di Jawa dari abad ke-10 masehi.
Data itu, sebut Fadly, merujuk Kamus Jawa Kuna-Indonesia dari Zoetmulder dan Robson (1997) serta riset arkeologis Timbul Haryono dalam Inventarisasi Makanan dan Minuman dalam Sumber-Sumber Arkeologi Tertulis (1997).
Mengingat pada masa kuno tanaman ini banyak tumbuh di wilayah Jawa, pada masa lalu orang-orang Jawa menyebutnya cabya, cabe jawa, atau lombok.
Namun, lambat laun pamor cabya makin meredup. Bahkan, cabya kini masuk kategori tanaman langka.
Pemanfaatan cabya di Jawa kini bergeser sebagai herbal atau sebagai bahan jamu saja.
Cabya si cabai jawa ini sekarang merupakan salah satu bahan jamu yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit seperti demam, beri-beri, anemia, dan sakit kepala.
Capsicum, genus cabai yang sekarang kita kenal, mulanya berasal dari benua Amerika.
Tanaman ini diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar abad ke-16. Bersama sekitar 2.000 tumbuhan lain, tanaman ini dibawa oleh para pelaut Portugis dan Spanyol ke kawasan Asia Tenggara.
Begitu masuk ke Indonesia, tanaman ini dibudidayakan masif atau memang gampang tumbuh. Popularitasnya mengalahkan cabai jawa.
Uniknya, penyebutan untuk si pedas ini tetap cabai, merujuk pada cabya si "bahan pemedas lama".
Jenis cabai yang kini dikenal di masyarakat Indonesia pun tak cuma satu, yaitu:
PENELUSURAN sejarah kuliner Nusantara mendapati, pada mulanya masyarakat kita mengonsumsi cabai begitu saja apa adanya.
Lalu, dari mana dan sejak kapan ada budaya meracik sambal?
"Kalau kita perhatikan, karakteristik bahan-bahan untuk membuat sambal seperti menggunakan bawang merah, bawang putih, kemudian terasi, garam, kencur, kadang ditambahkan gula, ini ada lapisan-lapisan waktu," ungkap Fadly.
Unsur bawang merah dan bawang putih, lanjut dia, menunjukkan pengaruh dari India dan China yang lalu melokal.
Menurut Fadly, hanya kencur, garam, dan terasi dalam berbagai jenis racikan sambal yang merupakan hasil bumi asli Nusantara.
Begitu cabai yang kita kenal sekarang masuk ke Indonesia, pengaruh cita rasa dari tanah asal tanaman itu pun ikut mewarnai racikan sambal Nusantara.
“Jadi kalau dilihat itu di dalamnya beberapa perpaduan yang dihasilkan dari hasil bumi Indonesia, kemudian terpengaruh bahan-bahan dari China dan India yang masuk. Lalu di abad ke-15 dan 16 muncul cabai dari benua Amerika yang diterima juga oleh kita,” tutur Fadly.
Meski Jawa menyumbang jenis sambal terbanyak menurut catatan saat ini, ternyata nama racikan pedas ini tidak berasal dari bahasa jawa.
Tidak pula asal penyebutan itu dari bahasa Bali, satu lagi wilayah yang juga punya banyak jenis racikan sambal.
“Kalau secara terminologi, dari linguistik, sambal ini sebenarnya tidak diadopsi dari bahasa Jawa atau Bali, tapi lebih ke bahasa Melayu," ujar Fadly.
Fadly menduga, penyebutan sambal itu meluas karena interaksi dagang antara orang Melayu dan suku-suku lain di Nusantara, tak terkecuali Jawa dan Bali.
PADA masa lalu, bahan pemedas utama sambal bukan cabai melainkan jahe.
Jauh sebelum genus Capsicium dikenal, bahan pemedas lain untuk sambal adalah cabya, andaliman, dan lada.
Namun, ungkap Fadly, jahe termasuk generasi pertama pemedas yang digunakan masyarakat nusantara.
“Karena, dalam prasasti kuno yang diteliti oleh para ahli arkeologi mereka menemukan kata sambel. Tapi, sambel ini bukan dibuat dari bahan seperti yang kita kenal sekarang. (Sambal itu) menggunakan jahe sebagai pemedasnya," papar Fadly.
Meski sekarang lebih dikenal sebagai obat herbal, obat, atau bumbu masak, lanjut Fadly, jahe sebenarnya juga punya efek pemedas.
Kembali ke temuan arkeologi, Fadly mengatakan para ahli mendapati pengolahan sambal yang dituturkan dalam prasasti tak berbeda seperti sekarang sekalipun bahan racikannya beda.
"Jahe itu ditumbuk dan dipenyet-penyet ya seperti halnya kita mengulek sambal kini," kata Fadly.
Sebagai catatan, sambal berbahan baku jahe saat ini masih dapat ditemukan di Bali.
Serat Centhini (1819-1923) mencatat ada sekitar 16 sambal. Pemuatan sambal pada naskah kuno ini menegaskan bahwa sambal memang sudah dikenal lama di Nusantara.
Selain Serat Centhini, ada juga buku Mustika Rasa yang diterbitkan pertama kali pada 1967 yang mencatat keragaman sambal. Buku yang ditulis Hartini, istri Presiden Soekarno, itu mencatat ada 63 jenis sambal.
Lalu, pada 2017, pemerhati kuliner Indonesia, peneliti pangan UGM, dan penulis buku kuliner, Prof Dr Murdijati Gardjito bersama rekan-rekannya meneliti sambal di Indonesia.
Hasilnya, ada 212 jenis sambal yang dapat ditelusuri dan jelas asal-usulnya. Kemudian, ada 45 jenis sambal lain yang tidak jelas asal usulnya.
Sambal paling banyak, yaitu 43 persen, ada di Jawa. Lalu, berturut-turut, 20 persen di Sumatera, delapan persen di Nusa Tenggara dan Bali, serta selebihnya di Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi.
Sambal di Indonesia terdiri dari dua kategori besar. Pertama, ada sambal masak. Kedua, sambal mentah.
Sambal masak berarti racikan itu mengalami proses pemasakan sehingga menciptakan cita rasa berbeda. Adapun sambal mentah tidak dimasak, tetapi dicampur dengan bahan lain dan langsung disantap.
"Sambal masak lebih dominan di Indonesia bagian Barat, tetapi di bagian Timur Indonesia sambal mentah lebih dominan," kata Murdijati.
Jika dirunut lagi, sambal di Indonesia juga termasuk sebagai toping. Contohnya, sambal pecel atau sambal yang menjadi lauk seperti sambal goreng ati dan sambal pencok.
KOMPOSISI sambal identik dengan keberadaan cabai sebagai unsur yang bikin pedas dan badan banjir keringat itu.
Ada sejumlah fakta mengiringi keberadaan sambal dalam menu kuliner Nusantara. Apa sajakah itu?
Rasa pedas yang ditimbulkan saat makan cabai memiliki level yang berbeda. Tak hanya jumlah yang dikonsumsi, jenis cabai juga sangat memengaruhi tingkat kepedasan.
Di dunia ilmu pengetahuan, pedasnya cabai dapat diukur, bahkan memiliki satuan tersendiri, yaitu Skala Scoville.
"Sebenarnya ada dua cara untuk mengukur kepedasan cabai, yaitu kuantitatif dan subyektif, " kata Bapak Teknologi Pangan Indonesia, FG Winarno, saat ditemui KompasTravel, Rabu (1/3/2017).
Skala Scoville merupakan cara subyektif mengukur tingkat kepedasan cabai. Pengukuran dilakukan oleh ahli penyicip rasa yang sudah terlatih dan tingkat kepedasan menggunakan satuan Scoville Heat Unit (SHU).
Adapun cara kuantitatif membutuhkan alat khusus untuk mengukur gelombang maksimum cabai. Hasilnya berupa kadar capsaicin atau zat kimia yang menimbulkan rasa pedas pada cabai.
Satuan untuk mengukur kadar capsaicin ini adalah part per million (ppm) atau part per billion (ppb).
Bagi para pencinta pedas, tentunya tak afdhol jika menyantap makanan tanpa ditemani sambal. Namun, sambal terkadang bisa jadi terlalu pedas.
Alhasil kamu yang kepedasan, dengan gelagat mulai dari badan berkeringat, hidung "meler", kulit kepala gatal, hingga wajah berubah merah padam. Biasanya, hal-hal itu terjadi kepada orang yang level ketahanan terhadap rasa pedas tidak tinggi.
"Jika kepedasan, sebenarnya tak akan mempan (hilang pedasnya) jika minum terus. Ganti air dengan susu atau yoghurt," kata Winarno, berbagi tips menghilangkan sensasi pedas tersebut.
Capsaicin, zat aktif yang ditemukan pada cabai dapat berperan sebagai zat antimikroba yang memerangi bakteri dan virus dalam tubuh. Ini yang kemudian menjadi pangkal rekomendasi mengonsumsi cabai dapat membuat umur lebih panjang.
SAMBAL di Indonesia tak cuma punya riwayat panjang dan sejumlah cerita unik. Racikan pedas ini juga telah mengantarkan sejumlah orang meraup sukses dari usaha kuliner.
Di antara mereka yang menikmati sukses dari sensasi pedas ini adalah:
Lebih beken dengan panggilan Bu Rudy, perempuan ini punya nama asli Lany Siswandi. Semula, dia merantau dari Madiun ke Surabaya untuk mencari penghidupan lebih baik.
Setelah bisnis sepatu yang dirintis di Pasar Turi ludes terbakar, Bu Rudy bangkit dengan berjualan makanan di mobil pada 2000.
Hidangan andalannya tak lain nasi dan sambal udang. Dari cerita mulut ke mulut pelanggan, usaha Bu Rudy laris manis. Sambalnya yang bikin kangen.
Sekarang, ia memiliki enam cabang rumah makan. Sambal berlogo foto dirinya juga menjadi oleh-oleh terkenal khas Surabaya.
Setidaknya, saat ini Yoyok sudah mendirikan 83 rumah makan Waroeng Spesial Sambal (SS).
Waroeng SS pertama dirintis dari tenda kaki lima di Jalan Kaliurang, di kawasan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 2002.
Yoyok mengawali bisnis kulinernya dengan modal Rp 9 juta. Itu pun, Rp 6 juta Ia pinjam dari adik sepupu.
Yoyok belajar bisnis secara otodidak dan kini memiliki rumah makan di 43 kota Indonesia dan mempekerjakan 3.600 orang. Semua rumah makan itu adalah miliknya, bukan waralaba.
Bagi Yoyok, penting untuk mempertahankan kualitas rumah makan yang Ia bangun dengan jerih payah.
Ruminah adalah pendiri warung ayam geprek pertama di Indonesia. Namanya, Warung Ayam Geprek Bu Rum. Lokasi warung itu di Yogyakarta.
Ide membuat ayam geprek muncul pada 2003. Seorang pelanggan masakan Ruminah, mahasiswa asal Kudus, minta ayam goreng tepung yang dijual Ruminah diberi aneka sambal dan dihancurkan.
Nama ‘ayam geprek’ dicetuskan Ruminah agar pelangganya lebih mudah memesan. Kini, Ruminah punya enam cabang warung ayam geprek di Yogyakarta.
Hidangan ayam geprek pun belakangan menjadi fenomenal dan dijual banyak orang di berbagai kota di Indonesia.
SELAIN soal cabai, ada juga cerita unik yang punya kaitan dengan urusan pedas-pedas, alias sisi lain sambal. Ini beberapa di antaranya.
Pada masa kolonial, sambal juga digunakan untuk menghukum pekerja pertanian yang berusaha kabur atau melanggar peraturan.
Hukumannya, baik laki-laki maupun perempuan diikat di tiang, kemudian kemaluannya diolesi sambal. Hukuman itu pun dilakukan di depan umum.
Sebagai senjata perang, cabai ditumbuk layaknya sambal kemudian dilontarkan ke arah musuh dengan bantuan ketapel atau alat lontar lainnya.
Prinsip dasar teknik semacam ini masih digunakan hingga sekarang. Misal, penggunaan gas air mata untuk membubarkan massa.
Pada kondisi-kondisi darurat, para tentara akan memakan cabai begitu saja. Namun, yang lebih populer adalah konsumsi cabai dengan cara dihaluskan terlebih dahulu menjadi sambal.
Secara ilmiah, penggunaan cabai sebagai vitamin dan doping dapat dibenarkan. Karena, zat capsaicin dalam cabai memang bisa memancing gairah, tidak hanya makan tapi juga semangat.