JEO - Insight

Sampah Menggunung, Siapa yang Menanggung?

Kamis, 20 Januari 2022 | 09:33 WIB

SETIAP pagi, Siti Hasibuan jengkel setengah mati. Buntelan-buntelan sampah selalu ‘nangkring’ di depan kios rokoknya di Jalan Lurah Disah, Ciputat Timur, Banten.

Isinya, mulai dari sisa makanan, popok bayi, pembalut, kasur dan bantal bekas, bangkai tikus atau bangkai kucing. Sangat menjijikan.

Dengan perasaan dongkol, ia terpaksa memusnahkan sampah itu dengan cara dibakar. Apabila ada bangkai hewan, ia menguburnya di tanah kosong.

“Capek setiap hari bersihin sampah yang dibuang orang. Tapi kalau tidak saya urus, baunya minta ampun,” kata Siti sebagaimana dikutip dari Kompas, Kamis 6 Januari 2022.

Peristiwa itu nyaris terjadi setiap hari selama setahun terakhir, sejak ia membuka kios rokok di sana.

Siti dan suami sempat melakukan ronda untuk menghalau pelaku pembuang sampah sembarangan. Sebab, warga setempat mengatakan, para pelaku beraksi pada tengah malam hingga dini hari.

“Mau saya maki-maki, tetapi enggak pernah berhasil,” kata dia.

Tak hilang akal, Siti memasang poster bertulis, “Dilarang Buang Sampah di Sini!”

Hasilnya justru semakin menjengkelkan. Orang-orang memang tidak membuang sampah di bawah poster itu, melainkan bergeser beberapa meter di sebelahnya.

Jumlahnya tetap sama, baunya tetap sama dan sama-sama menjijikan.

 “Coba abang pikir, mereka manusia macam apa?” kata Siti.

Dalam situasi marah tetapi tak berdaya menghadapi kelakuan para pembuang sampah itu, Siti akhirnya membuat spanduk berisi doa yang mengancam. Spanduk berwarna putih itu dipasang di seberang kiosnya.

Bunyinya, “Ya Allah, yang Buang Sampah Beri Azab, Miskinkan, Masukan ke Nerakah-Mu”.

Salah satu tulisan peringatan kepada pembuang sampah sembarangan di Jalan Lurah Disah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (6/1/2022).
KOMPAS/BUDI SUWARNA (BSW)
06-01-2022
BUDI SUWARNA
Salah satu tulisan peringatan kepada pembuang sampah sembarangan di Jalan Lurah Disah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (6/1/2022). KOMPAS/BUDI SUWARNA (BSW) 06-01-2022

Sebagian Besar Tak Terkelola

Perilaku membuang sampah dengan benar memang belum menjadi kebiasaan bagi sebagian besar warga Indonesia.

Tanpa melihat yang tinggal di desa atau kota, tak begitu sulit menemukan orang yang dengan cueknya menceploskan sampah di tepi jalan, tanah kosong, sungai, danau, dan sebagainya.

Fenomena ini pun tergambar di dalam Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sepanjang 2021, timbulan sampah di Indonesia mencapai 41.444.271 ton. Tetapi, hanya 34,71 persen atau 14.383.480 ton yang terkelola baik. Sementara, sisanya 65,29 persen atau 27.060.790 ton tidak terkelola.

Berikut ini data lengkapnya:

Seperti kita ketahui, data di atas hanyalah data setahun. Tentunya apabila digabung dengan data tahun-tahun sebelumnya, sampah yang tak terkelola raksasa jumlahnya.

Data yang diunggah Indonesia National Plastic Action Partnership jauh lebih besar angkanya.

Pada tahun 2020 sebelumnya  misalnya. Indonesia National Plastic Action Partnership mencatat, timbulan sampah di Indonesia mencapai 67,2 ton. Dari jumlah itu, sekitar 9 persennya masuk ke sungai, danau dan laut.

Perbedaan data yang signifikan ini diduga disebabkan karena SIPSN hanya mencatat sampah yang ada di fasilitas pengelolaan sampah. Sementara, Indonesia National Plastic Action Partnership  turut menghitung kemungkinan timbulan sampah di luar fasilitas.

Baca juga: Akibat Sampah Plastik, Sudah Berapa Banyak Plastik yang Kita Makan?

Minderoo Foundation pada Mei 2021 merilis data spesifik tentang konsumsi sampah plastik sekali pakai di Tanah Air sepanjang 2019. Isinya, setiap orang memproduksi sembilan kilogram sampah plastik sekali pakai per tahun.

Di sisi lain The National Plastic Action Partnership (NPAP) menyebutkan, ada sekitar 4,8 juta ton sampah plastik per tahun di Indonesia yang tidak dikelola dengan baik.

Dari cuplikan data di atas, pantas Indonesia tidak masuk ke 100 negara terbersih di dunia sebagaimana yang dirilis Universitas Yale dan Universitas Columbia yang bekerjasama dengan Forum Ekonomi Dunia, 2020 lalu.

Indonesia berada di posisi 116. Adapun, posisi pertama hingga kelima ditempati Denmark, Luxembourg, Swiss, Britania Raya dan Perancis.

Menggunungnya sampah di Indonesia itu juga mengundang ironi di sisi lain.

Akibat sampah yang tidak terkelola dengan baik, sejumlah fasilitas pengelolaan sampah khusus plastik malah impor sampah dari luar negeri.

Data Indonesian Olefin and Plastic Industry Association (Inaplas) menyebut, potensi kapasitas daur ulang sampah plastik di Indonesia sebesar dua juta ton per tahun.

Sementara, yang baru diutilisasi bari 1,2 juta ton hingga 1,4 juta ton per tahun. Masih ada potensi 600.000 ton yang ironisnya malah didatangkan dari luar negeri.

Baca juga: Indonesia Hasilkan 64 Juta Ton Sampah, Bisakah Kapasitas Pengelolaan Tercapai Tahun 2025?

Tim JEO Kompas.com telah merangkum sejumlah persoalan sampah sepanjang 2020-2021 di Indonesia.

Berikut ini kilasannya:

Mengancam Kehidupan Makhluk Hidup

Semua orang sudah sadar bahwa sampah bisa merusak ekologi dan akan berimbas pada keberlangsungan makhluk hidup di dalamnya. Termasuk kita manusia.

Tetapi, ketidakdisiplinan kita membuat informasi di atas seolah peristiwa yang masih jauh terjadi. Padahal, bencana sudah di depan mata.

Awal 2021, peneliti Kajian Ekologi dan Observasi Lahan Basah (Ecoton) menemukan fakta mengejutkan. Ikan yang hidup di tiga sungai besar Pulau Jawa terkontaminasi mikroplastik sehingga tak layak dikonsumsi manusia.

Peneliti menyebut, mikroplastik yang ditemukan  dalam ikan-ikan itu berjenis fragmen, fiber dan filamen. Tiga unsur itu sudah pasti berasal dari sampah yang dibuang sembarangan di sungai.

Diketahui, fragmen banyak ditemukan pada pecahan atau remahan plastik keras. Contohnya, kotak makan atau botol air minum sekali pakai.

Fiber berasal dari limbah rumah tangga. Sedangkan filamen merupakan bahan produksi plastik yang lebih tipis. Contohnya kantong kresek.

Baca juga: Ikan di 3 Sungai Besar di Pulau Jawa Terkontaminasi Mikroplastik

Tim peneliti kemudian bergerak  ke perairan utara DKI Jakarta. Hasilnya tidak jauh  berbeda. Ikan-ikan di sana juga mengandung mikroplastik. Bahkan, kadarnya jauh lebih banyak dibandingkan ikan di sungai. 

Temuan ini meneguhkan  hasil penelitian sebelumnya yang menyebut bahwa 80 persen  sampah di sungai akan bermuara ke laut.

Apabila ikan-ikan ini dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang, tentu menimbulkan efek negatif bagi kesehatan. Mulai dari kerusakan organ dalam, gangguan peredaran darah, gangguan reproduksi, hingga kanker. Mengerikan.

Hasil penelitian ini menambah daftar dampak negatif sampah bagi manusia selain kerusakan ekologis, menjadi salah satu penyebab banjir, bahkan sumber konflik horizontal. 

Baca juga: Banjir Bekasi, Ironi Rawa yang Jadi Kota Penuh Beton

Belajar dari Osaka

Mengelola sampah memang bukan perkara mudah. Entah apakah dimulai dari program pemerintah atau inisiatif warga terlebih dahulu, tetapi yang pasti sistem penanganannya harus komperhensif dan konsisten.

Sebuah kota berukuran 223 kilometer persegi di Jepang bernama Osaka patut menjadi contoh seperti apa pemerintah dan warganya berkolaborasi dalam penanganan sampah.

Penanganan sampah di Osaka diinisiasi oleh pemerintah. Melalui undang-undang yang diterbitkan pertama kali tahun 1900 dan mengalami pembaharuan, pemerintah setempat membangun sembilan pabrik pengelolaan sampah.

Namba merupakan daerah yang terkenal dengan wisata belajanya. Selain tempat belanja, Namba juga memiliki taman yang indah.
KOMPAS.com / NI PUTU DINANTY
Namba merupakan daerah yang terkenal dengan wisata belajanya. Selain tempat belanja, Namba juga memiliki taman yang indah.

Di sisi lain, warga kota terus dididik untuk memilah sampah rumah tangga mereka. Biro Manajemen Lingkungan Kota Osaka secara khusus membuat situs di internet untuk menginformasikan kepada warga bagaimana cara penanganan sampah mereka.

Warga juga diberi saran bagaimana mengurangi sampah, seperti berbelanja dengan tas milik sendiri atau mengurangi pembelian produk dalam kemasan.

Menggunakan 411 truk pres dan 187 truk ringan, sampah dari sekitar satu juta rumah tangga dikumpulkan petugas dua kali sepekan pada hari-hari tertentu. Sampah seberat hingga 10 kilogram bebas biaya pengumpulan.

Baca juga: 9 Aktivitas Wajib Saat Berlibur ke Osaka Jepang

Menurut situs Biro Manajemen Lingkungan Kota Osaka, sampah rumah tangga di kotanya mencapai 572.000 ton per tahun.

Sampah seperti furnitur dan barang elektronik (kecuali penyejuk udara, televisi, lemari es, dan mesin cuci) dipisahkan dan dikumpulkan tersendiri. Begitu pula dengan sampah yang bisa didaur ulang serta sampah plastik dan kemasan.

Sampah dari aktivitas bisnis juga dipisahkan dan ditangani tersendiri. Jumlahnya mencapai 927.000 ton per tahun.

Sampah dari tempat umum dan sampah yang dibuang sembarangan tak lepas dari perhatian pemerintah kota. Jalan-jalan dibersihkan oleh penyapu jalan pada malam hari. Sampah yang dibuang sembarangan segera diangkut dan petugas berpatroli untuk mencegah warga membuang sampah sembarangan.

Sebagian besar warga kota pun akhirnya sadar untuk memilah sampah rumah tangganya. Sampah dikumpulkan dalam plastik untuk kemudian dibuang ke tempat penampungan sampah.

Denden Town adalah surganya para pecinta anime dan manga. Disini wisatawan dapat menemukan berbagai macam produk yang berhubungan dengan anime dan manga.
KOMPAS.com / NI PUTU DINANTY
Denden Town adalah surganya para pecinta anime dan manga. Disini wisatawan dapat menemukan berbagai macam produk yang berhubungan dengan anime dan manga.

Tidak ada warga yang membuka kaca jendela mobil, lalu melemparkan tisu, kulit kacang, atau botol kemasan air minum ke luar. Tak ada pula warga yang membuang sampahnya di sungai, di pinggir jalan, atau di tanah kosong. Sampah juga tidak dibakar di sembarang tempat di permukiman warga.

Semua upaya itu terbukti bisa menyelesaikan persoalan sampah di Osaka.

Baca juga: Ini 7 Kota Paling Layak Huni di Dunia, Anda Pilih Mana? 

Tak hanya pemerintah yang berupaya dengan membangun tempat pengolahan sampah modern dan giat membersihkan sampah di tempat umum, warga pun sejak dini ditanamkan untuk memperlakukan sampah dengan benar.

Satu langkah awal yang bisa saja dilakukan di daerah manapun di Tanah Air.

Sederet Solusi

Pengelolaan sampah di Indonesia telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Beleid itu telah membagi tugas dan wewenang pengelolaan sampah mulai dari pemerintah pusat, provinsi, dan kota/kabupaten.

Selain itu, telah diatur pula hak, kewajiban dan larangan warga negara dalam pengelolaan sampah, spesifik tentang pengelolaan sampah plastik, hingga sanksi.

Di sisi lain, Indonesia sebenarnya telah memiliki konsep penanganan sampah. Namanya ekonomi sirkular.

Secara sederhana, konsep ekonomi sirkular, yakni memperpanjang waktu pakai produk dengan cara daur ulang sampah  (plastik) menjadi produk yang kembali bernilai. Cara ini dinilai ampuh dalam mengurangi sampah.

Sekjen Indonesian Plastics Recyclers (IPR) Wilson Pandhika menuturkan, mendaur ulang sampah plastik juga bisa menghasilkan produk yang sustainable yang memiliki nilai ekonomi.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat mengenakan celana jins berbahan daur ulang limbah botol plastik.
Dokumentasi Inilokal Inikolaborasi
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat mengenakan celana jins berbahan daur ulang limbah botol plastik.

Di Jakarta sendiri ada 25.000 jiwa yang menggantungkan hidup dari sampah. Berdasarkan data dari Ikatan Pemulung Indonesia, di Bantar Gebang ada sekitar 7.000  tenaga kerja yang mengantungkan hidup dari sampah.

Nilai perputaran ekonomi yang dihasilkan dari  sampah plastik bernilai sekitar Rp 6,5 miliar.

Baca juga: Daur Ulang Sampah Bisa Menghidupkan Perekonomian Warga

Selain itu, ada sekitar 50.000 orang yang mendapatkan penghasilan dari daur ulang sampah plastik.

Pemerintah juga menargetkan, pada 2025, kapasitas pengelolaan sampah terisi seratus persen.

Direktur Pengelolaan Sampah KLKH Novrizal Tahar mengatakan, hal itu bisa dicapai dengan sejumlah upaya.

Pertama, pengurangan sampah plastik ke laut hingga 70 persen. Kedua, menurunkan indeks ketidak pedulian terhadap persoalan sampah. Ketiga, meningkatkan kesadaran masyarakat memilah sampah sampai 50 persen. Saat ini angkanya masih 11 persen.

Keempat, recycling rate perlu ditingkatkan menjadi 50 persen. Kelima, pengelolaan sampah menjadi energi listrik (PSEL) juga harus ditingkatkan.

Tetapi, persoalan sampah yang tak kunjung usai menjadi tanda belum optimalnya implementasi Undang-Undang 18/2008 dan konsep ekonomi sirkular.

Sampah yang menumpuk jalanan di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
KOMPAS.com/JUNAEDI
Sampah yang menumpuk jalanan di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Meski demikian, beragam upaya telah dilakukan demi meningkatkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat dalam mengelola sampah.

"Ada upaya-upaya untuk mendorong eco living dan gaya hidup minim sampah, yang sudah mulai banyak dilakukan oleh kalangan milenial," ungkap Novrizal.

Selain itu, pihaknya juga telah melihat peningkatan respons dari para produsen untuk mengurangi sampah, baik produk maupun dari kemasan.

Menurut data Survei Kesadaran Manajemen Sampah Waste4Change 2019, saat ini baru 49 persen rumah tangga yang memilah sampah dan masih ada 50 persen rumah tangga yang tidak memilah sampah.

Bahkan, di antara 92,8 persen warga dari survei Waste4Change terhadap 429 responden di DKI Jakarta dan sekitarnya, menyatakan mereka mengharap adanya sistem manajemen sampah yang lebih baik di Indonesia.

Di sejumlah daerah, inisiatif warga ataupun kepala daerah untuk mengelola sampah sebenarnya sudah dimulai.

Berikut ini adalah contoh segelintir inisiatif dan inovasi yang sudah dilakukan dari ribuan yang ada dalam hal pengurangan dan pengelolaan sampah.

 

 

Rantai sampah sebenarnya sederhana saja. Sampah rumah tangga misalnya. Tinggal taruh di tong sampah depan rumah, kemudian petugas pemungut sampah akan mengambilnya setiap hari.

Sampah-sampah itu akan ditaruh di tempat penampungan sementara, sebelum diangkut ke tempat pembuangan akhir.

Dari situ, sampah tak sekadar ditimbun dan dibiarkan menggunung. Berbagai teknologi akan mengelola sampah-sampah itu menjadi sesuatu bernilai ekonomi. Listrik salah satunya.

Tetapi, kenyataannya jauh panggang dari api. Rantai sampah tak berjalan ideal.

Menyitir Kompas, 20 Januari 2019, pengelolaan sampah dan kebiasaan menyampah warga perlu segera dicari jalan keluar.

Kalau tidak, berbagai diskusi, seminar, dan debat mengenai sampah, termasuk tulisan ini, juga akan menjadi sampah. Tidak ada manfaatnya.

Tak perlu bertanya pula, kalau ada sampah menggunung, siapa yang menanggung.