JEO - Insight

Senin, 27 Februari 2023 | 15:21 WIB

APA yang muncul di benak Anda bila mendengar kata ‘kelapa sawit’?

Mungkin sebagian besar akan menjawab minyak goreng. Atau boleh jadi ada yang
menjawab, kerusakan lingkungan.

Sepertinya, dibutuhkan data yang akurat untuk menjawab itu semua.

Minyak goreng memang bersumber dari olahan minyak kelapa sawit atau crude palm
oil (CPO). Tetapi, tak hanya itu. CPO juga menjadi bahan baku produk yang kita konsumsi
sehari-hari.

Misalnya, margarin yang kita oles ke atas roti saat sarapan, sabun yang kita gosok ke tubuh
saat mandi, hingga body lotion yang kita gunakan supaya kulit terlihat cerah.

Sementara tentang kerusakan lingkungan, tampaknya kita tak boleh terburu-buru mengambil
kesimpulan. Sebab, banyak fakta menarik yang bakal mencerahkan persepsi kita soal itu.

Makanya, simak ulasan ini selengkapnya ya…

Tumbuh subur di Indonesia

Ditelusuri dari riwayatnya, kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, melainkan Afrika.

Dalam perkembangannya, saat ini, Indonesia menjadi negeri penghasil kelapa sawit terbesar
di dunia.

Bibit sawit pertama kali diuji coba tanam di tanah Nusantara pada zaman kolonial. Hasilnya
sempat membuat penjajah geleng-geleng kepala karena tanaman ini justru tumbuh lebih
subur di tanah Indonesia.

Kini, siapa yang sangka kelapa sawit menjadi komoditas andalan Indonesia dan juga menjadi
salah satu penyumbang devisa terbesar negara. 

Buktinya, Indonesia menduduki rangking pertama sebagai eksportir terbesar CPO dunia
dengan menguasai 55 persen pangsa pasar global yang ada. Total ekspor komoditas tersebut mencapai 37,3 juta ton.

Ke mana saja minyak kelapa sawit Indonesia diekspor? Simak infografik berikut ini:

Gambar 1. Negara tujuan ekspor sawit.

 

Bahkan, permintaan akan minyak kelapa sawit beberapa tahun belakangan terus meningkat. Sebab, produk turunan dari bahan baku tersebut memang cukup beragam dan paling banyak dikonsumsi masyarakat. 

Dibandingkan dengan bahan baku serupa, minyak kelapa sawit memang dianggap sebagai yang paling murah dan efisien.

Sampai pada titik ini, keberadaan sawit menjadi bukti kejayaan perkebunan Nusantara. 

Berikut ini adalah infografik soal produk yang dihasilkan dari kelapa sawit:

Gambar 2. Produk Turunan Kelapa Sawit CPO.

Tulang punggung ekonomi nasional yang dibayangi mitos negatif

Sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia memiliki jutaan hektar
kebun sawit yang tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

Lihat saja sebarannya dalam infografik berikut ini:

Gambar 3. Peta luas areal.

Dari total luas kebun sawit produktif itu, hanya sebagian kecil yang dikuasai oleh negara. Selebihnya dimiliki rakyat dan swasta. Hal ini pun berpengaruh ke sektor produksi. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi minyak sawit dari lahan milik negara hanya sebesar 3,76 persen dari total produksi nasional. 

Adapun, sebagian besar lainnya merupakan produksi hasil perkebunan rakyat dan swasta.

Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini: 

Gambar 4. Asal produksi.

Produksi sawit nasional ini pun menyumbang devisa negara dengan angka yang signifikan bagi perekonomian negara. 

Lihat saja data BPS berikut ini. Sejak 2016, volume dan nilai ekspor komoditas sawit ke mancanegara terus naik hingga 2019.

Baru pada 2020, volume ekspor cenderung menurun karena harga yang melambung. Meski demikian, nilainya tetap lebih tinggi dibandingkan 2019. Nilai ekspor minyak kelapa sawit pun kembali meningkat pada 2021.

Menurut data BPS, nilai ekspor kelapa sawit mencapai 15,98 miliar dollar AS pada 2019, 18,69 miliar dollar AS pada 2020, dan 28,68 miliar dollar AS pada 2021.

Sebagai komoditas utama pembuat aneka pangan, peralatan penunjang aktivitas manusia, hingga bahan bakar, industri sawit juga tercatat kebal dari krisis. 

Buktinya, pada masa pandemi Covid-19. Di saat sektor industri lain porak-poranda, produksi serta penyerapan kelapa sawit cenderung stabil dan otomatis tetap berperan dalam stabilitas perekonomian nasional. 

Sayangnya, kisah kejayaan industri sawit ini selalu dibayang-bayangi narasi negatif.

Keberadaan perkebunan kelapa sawit kerap dikaitkan sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan, mulai dari banjir di musim hujan, kekeringan di musim kemarau, hingga penyebab kebakaran hutan.

Apakah benar demikian? 

Tim JEO Kompas.com telah menghimpun sejumlah mitos dan fakta terkait dampak negatif
dari kepala sawit. Berikut ini rangkumannya agar kita mampu memahami persoalan secara komprehensif:

Gambar 5. Mitos-fakta.

Konsep industri sawit berkelanjutan

Sulit untuk membawa informasi yang akurat di tengah narasi negatif yang kadung menyebar. Tetapi, justru itulah tantangan bagi pelaku industri kelapa sawit untuk membuktikan bahwa sawit punya dampak baik bagi bumi dan manusia.

Pemerintah telah membuat peraturan yang harus dipenuhi pelaku industri kelapa sawit dan hal ini dibuktikan melalui pemenuhan standar (sertifikasi) Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

ISPO adalah sertifikasi yang dikeluarkan Kementerian Pertanian kepada perusahaan yang dinilai telah memenuhi seluruh kewajiban terkait lisensi produksi minyak kelapa sawit pada seluruh rantai nilai, mulai dari pembebasan lahan, hingga penjualan produk.

Untuk dapat memiliki sertifikasi ISPO, pelaku industri kelapa sawit wajib menerapkan praktik perkebunan yang baik, melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang bertanggung jawab di wilayah kerja masing-masing, serta turut melestarikan keanekaragaman hayati.

Melalui ISPO pula, pemerintah mendorong pelaku industri kelapa sawit bertanggung jawab dalam aspek ketenagakerjaan, sosial, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, menerapkan prinsip transparansi, serta senantiasa melakukan peningkatan secara berkelanjutan. 

Hingga Juni 2021, pemerintah telah menerbitkan 760 sertifikat ISPO untuk 5,8 juta hektare (ha) lahan sawit. Jumlah ini meliputi 746 perusahaan, 10 koperasi swadaya, dan 4 koperasi unit desa (KUD) plasma. 

Sementara, untuk kebutuhan ekspor di pasar global, pelaku industri kelapa sawit perlu memiliki sertifikasi yang diakui pelaku pasar mancanegara, seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).

RSPO merupakan lembaga penyusun standar pengelolaan lahan kelapa sawit yang ramah sosial dan lingkungan di tingkat internasional. 

Lembaga tersebut beranggotakan perusahaan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), termasuk yang berada di Indonesia. 

Memiliki sertifikat RSPO, ISCC, dan ISPO merupakan bukti bahwa pelaku industri kelapa sawit, baik perusahaan maupun petani rakyat, memiliki komitmen penuh untuk menghasilkan serta mengonsumsi produk olahan kelapa sawit yang dalam operasionalnya mengedepankan keseimbangan antara aspek people (sosial atau masyarakat), planet (lingkungan), dan prosperity (kesejahteraan).

Dengan sertifikasi ISPO, ISCC, dan RSPO, wujud penerapan prinsip berkelanjutan pada industri kelapa sawit semakin nyata. Prinsip berkelanjutan juga merupakan salah satu upaya mitigasi perubahan iklim global.

Tak hanya mengurangi dampak kerusakan lingkungan, menurut kajian Orbitas—sebuah lembaga yang berfokus meneliti risiko transisi iklim—penerapan prinsip berkelanjutan juga membuat industri kelapa sawit berpeluang mendapat penambahan nilai sekitar Rp 130 triliun.

Hal itu sejalan dengan kajian berjudul "Climate Transition Risk Analyst Brief, Indonesia Palm Oil".

"Transisi iklim akan mengubah kebijakan dan hukum, inovasi dan teknologi, serta pasar industri kelapa sawit."

∼ CEO of Climate Advisers UK and the Managing Director of Orbitas Mark Kenber ∼

Potensi ekonomi tersebut menjadi salah satu pendorong bagi industri kelapa sawit untuk menjalankan kegiatan produksi sesuai ketentuan ISPO dan RSPO. Di antaranya dengan melakukan konservasi hutan serta fokus pada intensifikasi produktivitas lahan.

Upaya-upaya tersebut pada akhirnya akan membuka peluang perdagangan industri kelapa sawit yang lebih besar tanpa meninggalkan dampak buruk.

Contoh Baik

Dari sisi pelaku sendiri, praktik industri sawit yang berkelanjutan bukan sekadar rencana atau wacana, melainkan benar adanya.

Contoh nyata dapat dilihat pada pengaplikasian produksi sawit yang dijalankan Sinar Mas Agribusiness and Food. 

Sebagai salah satu perusahaan perkebunan sawit terbesar di dunia, Sinar Mas Agribusiness and Food secara konsisten menerapkan prinsip sustainability atau keberlanjutan berdasarkan Kebijakan Sosial dan Lingkungan GAR (KSLG) yang memiliki empat pilar. 

Secara umum, KSLG mengakomodasi kebijakan Nihil Deforestasi, Nihil Gambut, dan Nihil Eksploitasi atau No Deforestation, No Peat, and No Exploitation (NDPE).

"Keberlanjutan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Sinar Mas Agribusiness and Food. Dalam beroperasi, perusahaan berupaya secara etis untuk menjaga keseimbangan antara profit, people, dan planet."

∼ Chief Sustainability and Communications Officer Sinar Mas Agribusiness and Food Anita Neville ∼

Upaya yang dilakukan Sinar Mas Agribusiness and Food merupakan komitmen perusahaan untuk menghadirkan produk minyak kelapa sawit yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan dan persyaratan pasar, tetapi juga menjaga keseimbangan lingkungan dan sosial.

Berikut ini adalah empat pilar Kebijakan Sosial Dan Lingkungan GAR Sinar Mas Agribusiness and Food:

Gambar 6. Pilar GAR Sinarmas.

Langkah nyata

Dengan mengedepankan praktik berkelanjutan, sejumlah langkah nyata dilakukan Sinar Mas Agribusiness and Food melalui empat pilar KSLG untuk menepis isu dampak buruk lingkungan yang selama ini jadi narasi negatif bagi industri kelapa sawit. 

 

 Pertama, pencegahan pembukaan lahan baru serta upaya konservasi lahan   dengan HCV dan HCS 

Langkah pertama adalah menggunakan metode Nilai Konservasi Tinggi atau High Conservation Value (HCV) dan metode stok karbon tinggi atau High Carbon Stock (HCS) dalam pemilihan lahan yang akan dikembangkan sebagai lahan budi daya.

HCV atau High Conservation Value merupakan metode untuk memilah, memilih, dan melindungi kawasan dengan Nilai Konservasi Tinggi dari dampak perubahan tata guna lahan.

Metode tersebut dapat digunakan pada berbagai jenis kawasan dan lanskap, baik besar maupun kecil, serta berbagai jenis lahan dan tanaman di atasnya.  Perlindungan diberikan kepada kawasan dengan nilai biologi (termasuk keanekaragaman hayati), fungsi ekologi, serta aspek sosial atau budaya yang penting untuk dilestarikan, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.

Sementara itu, HCS Approach atau pendekatan Stok Krabon Tinggi adalah metode pemilihan lahan untuk dikembangkan sebagai lahan perkebunan. Metodologi ini membedakan kawasan hutan alami yang layak dilindungi dengan kawasan-kawasan terdegradasi yang dapat dikembangkan.

Lanskap HCV dan HCS terdiri atas campuran vegetasi, mulai padang rumput hingga semak belukar, yang meregenerasi hutan dengan kanopi tinggi.

Sejak awal 2011, Sinar Mas Agribusiness and Food berkomitmen melindungi hutan-hutan dengan HCV dan HCS. 

Hingga 2021, perusahaan mengelola 79.000 hektare kawasan konservasi yang mencakup kawasan HCV dan HCS. Luas daerah ini sedikit lebih besar dari wilayah Singapura.

Tak hanya itu, perusahaan juga mendorong masyarakat sekitar perkebunan untuk ikut serta dalam upaya konservasi 117.000 hektare kawasan hutan melalui Participatory Conservation Plan (PCP).

Melalui program itu, perusahaan berkolaborasi dengan masyarakat untuk mengidentifikasi, merencanakan, dan melakukan konservasi area hutan yang berada di sekitar masyarakat.

Inisiatif tersebut telah diluncurkan di 158 desa. Hasilnya, perusahaan mampu meyakinkan masyarakat untuk menyisihkan sekitar 43.000 hektar hutan HCS sebagai area konservasi. 

Berkat kolaborasi tersebut, sebanyak 127 orangutan berhasil dilepasliarkan.

 

 Kedua, penanganan kebakaran hutan 

Sejak 2016, Sinar Mas Agribusiness and Food menindaklanjuti arahan Pemerintah Indonesia untuk turut mencegah kebakaran lahan dan hutan melalui program Desa Makmur Peduli Api (DMPA).

Melalui program tersebut, para pemangku kepentingan berkolaborasi melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mulai dari perusahaan, pemerintah daerah, Manggala Agni, hingga masyarakat.

Sosialisasi dan edukasi ke masyarakat dilakukan bersama-sama agar praktik membakar lahan secara ilegal dapat dihentikan. 

Hingga akhir 2021, program DMPA telah berjalan di 90 desa serta melibatkan lebih dari 1.000 orang sebagai MSA di Jambi, Kalimantan Barat, Riau, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Bangka.

Berkat DMPA, jumlah hotspot (titik panas) dan kejadian kebakaran telah menurun secara signifikan sejak 2016-2018. Bahkan, pada 2021, sebanyak 99,97 persen area perkebunan Sinar Mas Agribusiness and Food tidak terdampak karhutla selama musim kemarau. 

Program DMPA mempunyai tiga pilar utama. Pilar pertama adalah pencegahan kebakaran.

Melalui pilar ini perusahaan bersama para pemangku kepentingan membentuk kelompok Masyarakat Siaga Api (MSA). Mereka dilatih untuk memantau area rawan terbakar di wilayah desa melalui patroli rutin.

Mereka juga bekerja sama dengan tim kesiapsiagaan tanggap darurat perusahaan apabila perlu bantuan pemadaman api.  

Pilar kedua adalah konservasi. Dalam pilar ini, perusahaan bersama pemangku kepentingan terkait melakukan upaya konservasi terhadap lahan yang terbakar, seperti konservasi lahan gambut di Kalimantan Barat.

Upaya konservasi ini bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat kebakaran pada 2015. 

Agar berjalan maksimal, upaya konservasi tersebut menggandeng sejumlah pihak, seperti L’Oreal, Nestle, dan South Pole Group.

Melalui kolaborasi tersebut, Sinar Mas Agribusiness and Food berhasil merehabilitasi lebih dari 2.600 hektar lahan gambut di area sekitar PT Agro Lestari Mandiri (PT AMNL)—anak perusahaan Sinar Mas Agribusiness and Food—di Kalimantan Barat.

Selain itu, lebih dari 1.100 hektar lahan telah direvegetasi. Lahan tersebut juga telah menerapkan tata kelola pengairan jangka panjang.

Sementara, dalam pilar ketiga, yakni ketahanan pangan, masyarakat setempat dibekali dengan program ketahanan pangan melalui Pertanian Ekologis Terpadu (PET). Masyarakat yang sebagian masih membuka lahan dengan cara menebas dan membakar diberikan pendampingan pertanian ramah lingkungan.

Hingga Agustus 2022, sebanyak 28 desa dengan total lebih dari 600 petani telah tergabung dalam PET. 

Gambar 7. Maria Mardiana sedang memanen cabai dan sayuran di pekarangan miliknya di Desa Tajok Kayong, Kecamatan Nanga Tayap, Ketapang, Kalimantan Bar

 Ketiga, mengupayakan pengolahan limbah 

Sebagai sektor yang berkontribusi paling besar terhadap perekonomian Indonesia, industri kelapa sawit berkomitmen menjalankan kegiatan operasionalnya sesuai peraturan yang berlaku, termasuk mengelola dampak kegiatannya dan menjaga kelestarian lingkungan.

Pengelolaan nihil limbah atau zero waste management menjadi salah satu konsep yang terus digalakkan demi mendorong para pelaku industri di tanah air menjalankan usaha secara lebih bertanggung jawab.

Sesuai Kebijakan Nihil Limbah (Zero Waste Policy), Sinar Mas Agribusiness and Food berupaya untuk memakai, memperoleh, dan mendaur ulang kembali (reuse, recover and recycle) limbah produksinya. 

Sejak 2015, perusahaan telah berhasil mewujudkan daur ulang limbah dari proses produksi CPO di unit operasional hulu hingga 100 persen.

Limbah tersebut mencakup limbah padat dan cair. Limbah padat terdiri atas janjang kosong kelapa sawit, serat, dan cangkang buah. Sementara itu, limbah cair kelapa sawit (LCKS) dihasilkan dari pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi CPO. 

Perusahaan kemudian memanfaatkan kedua jenis limbah ini sebagai pupuk organik, sumber energi listrik, dan bahan bakar.

Terkait pengolahan limbah milik Sinar Mas Agribusiness and Food, selengkapnya dapat dilihat di video berikut ini: 

 

 Keempat, memastikan rantai pasok yang bertanggung jawab 

Pohon kelapa sawit merupakan tanaman yang memiliki usia produktif panjang, yakni antara 25 sampai 30 tahun.

Untuk sampai ke tangan konsumen, buah kelapa sawit atau TBS sawit melewati pengolahan panjang, mulai pemanenan TBS di kebun sawit hingga pengangkutan dan pengolahan menjadi CPO di pabrik kelapa sawit (PKS).

CPO kemudian dibawa ke pabrik penyulingan di berbagai industri atau pabrik untuk menghasilkan belasan produk yang diolah lagi menjadi berbagai produk, seperti makanan, kebersihan, bahan dan bakar nabati.

Rangkaian kegiatan dari kebun sawit ke parbik penyulingan itu disebut sebagai sistem rantai pasok.

Perlu diketahui, sebagian pelaku industri kelapa sawit tidak mendapatkan pasokan buah kelapa sawit dari kebun perusahaan saja, tetapi bisa juga dipasok dari kebun perusahaan lain atau bahkan kebun milik perorangan yang sudah bermitra.

Dalam hal itu, perusahaan pembeli seperti Sinar Mas Agribusiness and Food wajib memastikan bahwa setiap buah kelapa sawit yang dipasok berasal dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

Artinya, mitra pemasok TBS wajib memahami dan menerapkan prinsip sustainability.

Untuk mengupayakan ketaatan pada prinsip keberlanjutan di rantai pasok, pihak perusahaan melakukan program Kemamputelusuran Hingga ke Perkebunan atau Traceability to the Plantation (TTP) sejak 2014.

Melalui program itu, perusahaan mengumpulkan informasi dan identifikasi asal-usul TBS sawit di keseluruhan rantai pasok.

Sebagai langkah pertama, perusahaan memetakan semua PKS yang masuk ke dalam rantai pasok. Seluruh PKS ini—lengkap dengan informasi detail PKS masing-masing dan koordinat lokasinya—berhasil ditelusuri pada akhir 2015.

Berbekal informasi tersebut, tim Kemamputelusuran melanjutkan pemetaan hingga ke kebun sawit yang TBS-nya diolah di PKS yang telah dipetakan.

Sebagai catatan, perusahaan hanya akan menerima TBS dari kebun yang telah menerapkan praktik sustainability sesuai dengan komitmen dan kebijakan keberlanjutan perusahaan, yakni KSLG.

Laporan keuangan Sinar Mas Agribusiness and Food 2021 mencatat bahwa tingkat keberhasilan TTP perusahaan selama 2021 mencapai 95 persen.

Nilainya tidak dapat mencapai 100 persen karena tiap tahun ada pergantian pemasok. Adapun pemasok yang baru bergabung membutuhkan waktu untuk menerapkan TTP yang disyaratkan perusahaan.

Perusahaan juga aktif bekerja sama dengan pemasok baru untuk merencanakan tindakan untuk mendukung mereka memenuhi TTP untuk proses pengadaan di masa mendatang.

Pada dasarnya, pendekatan pada pemasok dengan mensyaratkan prinsip keberlanjutan tidak hanya untuk kepentingan Sinar Mas Agribusiness and Food semata.

Perusahaan turut bertanggung jawab untuk memberi pemahaman kepada pemasok bahwa prinsip yang dijalankan tersebut merupakan upaya bagi ketahanan bisnis perusahaan, termasuk juga operasional yang dijalani pemasok.

Mereka perlu memahami bahwa penting untuk merawat serta melestarikan lingkungan yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati agar bisnis mereka dapat berjalan beriringan dan berumur panjang.

Guna mendukung petani dalam penerapan praktik good agriculture practices (GAP), Sinar Mas Agribusiness and Food juga menghadirkan Program Sawit Terampil (PST). Melalui program ini, perusahaan berkolaborasi bersama sejumlah pihak untuk memberikan dukungan kepada petani sawit swadaya yang memasok TBS melalui agen atau dealer ke PKS pemasok pihak ketiga.

Adapun dukungan PST yang dilakukan adalah pendataan kebun petani, pelatihan atau pengembangan kapasitas, serta pendampingan penuh selama dua tahun hingga para petani siap untuk mengikuti program sertifikasi keberlanjutan.

Saat ini, PST telah dilaksanakan di dua provinsi serta 8 kabupaten di sekitar ekosistem Leuser, yakni Langkat, Subulussalam, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Utara, Bireun, Aceh Singkil, dan Aceh Tamiang.

Sebanyak 4.000 petani menjadi sasaran dari program PST. Hingga Agustus 2022, petani yang sudah mendapatkan manfaat dari program tersebut berjumlah 2.290 orang.

Secara umum, program TTP dan PST membantu Sinar Mas Agribusiness and Food untuk mengetahui lokasi kebun petani pemasok serta mendorong kemunculan inisiatif dan kolaborasi multistakeholders dalam mendukung peningkatan kapasitas petani swadaya.

Dengan begitu, mereka mampu menjamin bahwa rantai pasok buah kelapa sawitnya berasal dari kebun-kebun yang dikelola dengan prinsip berkelanjutan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Mencapai pembangunan berkelanjutan (SDGs)

Jalan menuju industri kelapa sawit yang berkelanjutan kini telah terbuka lebar, meski tetap membutuhkan proses. 

Namun demikian, upaya baik itu masih memerlukan dukungan berbagai pihak terkait, mulai dari pelaku industri minyak kelapa sawit itu sendiri, pemerintah, hingga masyarakat. 

Seiring dengan jalan baik yang tengah ditapaki para pelaku industri minyak kelapa sawit, rasanya sudah saatnya narasi buruk tentang industri tersebut yang terlanjur mengakar, kita kikis bersama. 

Sebab, larut dalam kubangan informasi yang tak sepenuhnya benar berpotensi mematikan industri yang telah berjasa bagi pembangunan ekonomi nasional itu. 

Tiba saatnya bagi kita untuk berperan tidak hanya dengan mempertahankan keberlangsungan rantai pasok kelapa sawit, tetapi juga dengan meningkatkan konsumsi barang yang berasal dari kelapa sawit yang mengedepankan prinsip keberlanjutan dalam proses produksinya.

Industri sawit berkelanjutan tak sekadar berfokus pada mempertahankan kelangsungan bisnis dan lapangan kerja bagi belasan juta warga negara. Lebih dari itu, industri kelapa sawit juga menyumbang pendapatan yang secara langsung mendukung pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Prinsip berkelanjutan yang dipraktikkan industri kelapa sawit juga menjadi salah satu pionir dalam upaya menjaga lingkungan dan bumi.

Pada akhirnya, Indonesia akan mampu mencapai empat butir Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) berkat kontribusi jutaan orang yang bekerja di sektor kelapa sawit.

Empat poin yang dimaksud, yakni poin 2 tentang mengakhiri kelaparan. Kemudian poin 12, yakni tentang kepastian pola konsumsi dan produksi berkelanjutan. 

Poin 15, yakni melindungi, memulihkan, dan mendukung penggunaan produk yang berkelanjutan terhadap ekosistem daratan. 

Terakhir poin 17, yakni menguatkan ukuran implementasi dan merevitalisasi kemitraan global guna pembangunan berkelanjutan.

Gambar 8. SDGs.
Logo Sinarmas