JEO - Insight

Jumat, 7 Februari 2020 | 20:25 WIB

SERBA-SERBI KANKER

DARI DINOSAURUS, FOSIL, HINGGA FAKTA TERKINI

Pada suatu masa, kanker pernah dianggap sebagai penyakit terkait ketidakseimbangan suasana hati dan kejiwaan. Ini serba-serbi kanker, dari catatan historis sampai fakta angka terkini di Indonesia, termasuk temuan jajak pendapat Litbang Kompas.

DIAGNOSIS kanker bagi banyak orang terasa bak vonis mati. Harapan sembuh kecil. Biaya pengobatan mahal. Lingkungan menyebut kanker sebagai karma, hukuman, bahkan kutukan.

Sudah begitu, pemicu kanker pun beragam. Tidak semata genetis. Tidak pula karena gaya hidup saja.

Terlebih lagi, era modern seperti sekarang adalah puncak produksi dan paparan karsinogen di segala tempat.

Kita yang secara genetis tak punya risiko kanker, bergaya hidup sehat dari ujung rambut sampai jempol kaki, dan berolahraga rutin, tidak serta-merta benar-benar terbebas dari risiko kanker.

Berapa banyak sisa pembakaran tak sempurna di udara yang kita hirup sehari-hari dari asap knalpot moda transportasi? Berapa banyak asap sampah basah yang dibakar sembarangan terhirup? 

Moral cerita, saat ada kerabat atau kolega kita didiagnosis kanker, tak usah pula kita menambah-nambahkan beban dengan komentar yang tak pas.

Baca juga: Jangan Tambah Sakiti Pasien Kanker dengan Kalimat Kepo Salah Alamat

YANG KITA TAHU
SOAL KANKER

TAK ada sebab pasti seseorang menderita kanker. Yang ada barulah hal-hal umum yang mungkin menjadi penyebab kanker, baik dari genetika maupun gaya hidup dan zat karsinogen di sekitar kita. 

Menurut American Cancer Society (ACS), kanker adalah penyakit yang punya karakter berupa pertumbuhan dan sebaran tak terkontrol sel abnormal. Karenanya, kanker punya karakter abnormal, tidak dapat dikontrol, dan dapat meluas.

Ilustrasi sel dan DNA kanker.
SHUTTERSTOCK/CI PHOTOS
Ilustrasi sel dan DNA kanker.

Meski pada umumnya kanker dianggap sebagai penyakit tunggal, sejatinya ia adalah sekumpulan penyakit, bahkan disebut lebih dari 100 jenis, dalam satu waktu.

Kanker dapat timbul di berbagai bagian tubuh, dengan perilaku beragam yang tergantung pada organ awal yang terserang.

Karenanya, perilaku kanker payudara akan sangat berbeda dengan kanker paru-paru, sebagai contoh.

Sekalipun sel kanker payudara dapat menyebar ke paru-paru, perilakunya tetap akan berkarakteristik kanker payudara, tidak lalu menjadi karakter kanker paru-paru.

Data Litbang Kompas

Sebelum kita membahas penyebab, data, dan tren pengobatan kanker, yuk kita tengok dulu hasil jajak pendapat Litbang Kompas tentang pengetahuan dan pemahaman publik atas kanker.

Jajak pendapat ini digelar pada 18-19 Januari 2020. Ada 567 responden berusia minimal 17 tahun, dari 17 kota se-Indonesia. 

Digelar pada 18-19 Januari 2020, jajak pendapat Litbang Kompas bertopik kanker ini melibatkan 567 responden berusia minimal 17 tahun, dari 17 kota se-Indonesia. 

"Yaitu (dari) Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Denpasar, Pontianak, Samarinda, Manado, Makassar, Ambon, dan Jayapura," sebut Dedy Afrianto dari Litbang Kompas, Jumat (31/1/2020).

Mereka dipilih secara acak bertingkat. Jumlah responden ditentukan proporsional di setiap kota. Tingkat kepercayaan jajak pendapat 95 persen dan nirpencuplikan ± 4,1 persen.

Seperti apa hasil jajak pendapat tersebut? Simak berdasarkan pengelompokan data.

Faktor risiko kanker

Dari seluruh responden, 74,1 persen berkeyakinan bahwa pola hidup yang tidak sehat merupakan faktor risiko penyebab kanker. Pola hidup ini termasuk merokok, mengonsumsi alkohol, serta makan dan tidur tidak teratur.

Lalu, 10,9 persen berpendapat faktor risiko kanker terkait dengan urusan keturuan alias genetik. Berikutnya, dalam persentase yang sama 5,3 persen adalah persoalan lingkungan dan stres. Faktor lingkungan mencakup polusi udara dan lingkungan yang tak bersih.

Selebihnya, 4,4 persen responden menyatakan tidak tahu faktor risiko kanker alias hal-hal yang dapat memicu dan atau menyebabkan kanker.

Yang bisa kena kanker

Sekitar 86,6 persen responden mengetahui bahwa anak juga dapat terkena kanker. Hanya 9,3 persen berpendapat kanker tidak dapat terjadi pada anak, sementara 4,1 persen menjawab tidak tahu.

Namun, 21,3 persen responden berkeyakinan bahwa kanker hanya menyerang orang tertentu terutama yang berusia di atas 40 tahun.

Adapun 77,4 persen tidak yakin kanker hanya menyasar orang-orang tertentu apalagi berbasis umur, sementara 1,3 persen responden menjawab tidak tahu.

Lagi-lagi, 21 persen responden masih yakin bahwa kanker tidak akan menyerang orang yang terlihat sehat.

Lalu, 77,4 persen responden kembali menyatakan tidak yakin bahwa orang yang terlihat sehat tidak akan terkena kanker. Justru responden yang menjawab tidak tahu bertambah menjadi 1,6 persen.

Informasi tentang kanker

Soal sumber informasi tentang kanker, 40 responden menyebut media sosial seperti Twitter, Instagram, Facebook, Whatsapp, dan Line.

Menyusul berikutnya, media massa menjadi sumber informasi bagi 36,5 persen responden.

Hanya 10,4 persen responden mengaku mendapatkan informasi kanker dari pemerintah daerah termasuk instansi teknis seperti dinas kesehatan. 

Bahkan, hanya 1,2 persen responden yang mengaku pernah mendapat informasi bersumber dari pemerintah pusat. Ini mencakup Kementerian Kesehatan dan Komite Penanggulangan Kanker Nasional.

Juga, 1,1 persen responden mengaku sama sekali belum pernah mendapatkan informasi soal kanker. Dua persen responden yang lain tidak menjawab pertanyaan terkait sumber informasi ini. 

Pencegahan kanker

Jangankan mencegah kanker, 79 responden jajak pendapat Litbang Kompas mengaku sama sekali tidak pernah melakukan medical checkup (MCU) alias pemeriksaan kesehatan menyeluruh, apalagi pemeriksaan kesehatan khusus kanker. 

Hanya 4,2 persen responden mengaku menjalani MCU setiap 6 bulan dan 3,2 persen rutin MCU setahun sekali. Ada juga 13,6 persen responden pernah menjalani MCU sekalipun tak rutin.

Alasan sebagian besar mereka yang tak merasa perlu melakukan pemeriksaan kesehatan tersebut masih merasa sehat. Itu menjadi jawaban dari hampir 60 persen responden. Lalu, 17 persen responden menyebut secara spesifik takut divonis kanker.

Berikutnya, 8,9 responden menyebut ketiadaan biaya sebagai alasan. Selebihnya, mulai dari tidak ada waktu, tidak tahu fasilitasn kesehatan untuk pemeriksaan tersebut, bahkan menyebut ketiadaan fasilitas pemeriksaan kesehatan itu.

Meski demikian, dalam jawaban yang boleh lebih dari satu, mayoritas responden mengaku tetap berupaya melakukan pencegahan kanker, antara lain dengan mengatur pola makan dan kandungan gizi seimbang, tidak merokok, tidur selama 8 jam per hari pada malam hari, dan olahraga teratur.

Bagi anak-anak, responden juga mengaku melakukan pencegahan kanker dengan mengatur pola makan sesuai usia, melarang orang merokok di dekat anak-anak, serta rutin memeriksakan kesehatan anak.

Pola Hidup Tinggi Risiko Kanker dan Prevalensi Kasus - (KOMPAS/TIURMA)


FAKTA ANGKA KANKER

KONON, diagnosis kanker sudah bak vonis mati. Namun, fakta angka memperlihatkan harapan kesembuhan tetap selalu ada, bahkan untuk kanker.

Kanker memang dapat berisiko kematian. Di dunia, pada 2008, ada 7,6 kematian untuk setiap satu juta kasus kanker. Angka ini naik menjadi 9,5 kematian per sejuta kasus pada 2018, serta diperkirakan naik menjadi 13 kematian per sejuta kasus pada 2030.

Lalu, pada 2018, terjadi 207.210 kematian karena kanker di Indonesia, merujuk data Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Internasional untuk Riset Kanker. Ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.

Angka Kematian karena Kanker - (KOMPAS/DICKY)

Berdasarkan jenis, kanker paru-paru masih menjadi penyebab kematian terbanyak, untuk semua kasus kanker.

Khusus perempuan, kanker payudara menjadi penyebab kematian terbanyak, disusul kanker serviks.

Baca juga: Kanker Serviks Penyebab Kematian Nomor 2 Wanita Indonesia, Kenapa?

Dalam infografik interaktif di bawah ini, dapat dilihat risiko kanker secara keseluruhan dan risiko berdasarkan jenis kelamin, setidaknya merujuk data hingga per 2018.S

 

 

Sayangnya, data upaya pencegahan kanker oleh para perempuan juga tak jauh berbeda dibandingkan dengan data secara umum. 

Perempuan dan Kanker - (KOMPAS/HANS)

 

SEJARAH KANKER

KANKER termasuk penyakit yang sudah lama dikenal peradaban manusia. Meskipun, manuskrip yang memuatnya baru muncul pada abad ke-19.

Dalam catatan National Cancer Institute, setidaknya ada dua papirus yang memuat praktik pengobatan kanker di zaman Mesir kuno.

Dikenal dengan sebutan papirus Edwin Smith dan George Ebers, keduanya memuat deskripsi kanker yang ditulis pada 1600 SM dan diyakini bersumber dari praktik sejak 2500 SM.

Papirus Edwin Smith, misalnya, menggambarkan tindakan operasi untuk kanker. Adapun papirus George Ebers merinci beragam perawatan kanker menggunakan obat, tindakan mekanis, dan magis.

Kedua manuskrip disebut memperlihatkan bahwa orang Mesir kuno sudah dapat membedakan tumor jinak dan tumor ganas alias kanker. Penanganan yang dilakukan pun sudah berbeda, termasuk tindakan operasi dan beragam metode pengobatan.

Nama karena bentuk

Pengetahuan tentang kanker berikutnya diketahui berasal dari era sekitar 1.500 tahun lalu, yaitu dari masa keemasan Yunani dan Romawi.

Penyebutan kanker (cancer) sebagai karkinoma (carcinoma), misalnya, dilekatkan pada sosok Hippocrates, dokter dari masa Yunani kuno.

Kark dalam bahasa Yunani berarti kepiting. Hipprocrates menyebut bentuk tumor menyerupai kepiting.

Ada pula sosok Galen di era yang sama. Mereka berdua mengawali masa yang memisahkan pengobatan medis dari cara-cara magis dan agama.

Metode pengobatan mereka berbasis observasi dan pengalaman. Mereka mendefinisikan bahwa penyakit merupakan bagian dari proses alami. 

Sesudah kejatuhan Romawi, terjemahan teks-teks kuno Romawi dan Yunani dalam bahasa Arab menyebar luas, termasuk ke Eropa. Metode Galen menginspirasi banyak ilmuwan pada masing-masing masa.

Menantang mantra dan mitos

Salah satunya, kanker dijelaskan sebagai efek kelebihan "empedu hitam" (black bile) dan dapat diobati selama masih di tahap awal. Penjelasan ini mencuat ketika pengobatan dengan mantra dan mitos masih menyelimuti dunia Barat.

Merujuk Encyclopedia Britannica, penyebutan lain untuk black bile dalam terminologi pengobatan kuno adalah melankolia (melancholy). 

Oxford Learner Dictionaries memberikan definisi melancholy sebagai perasaan sangat sedih dalam jangka waktu lama yang tak dapat dijelaskan.

Hingga abad ke-16, kanker masih diyakini sebagai efek kelebihan "empedu hitam".

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata melankolia sebagai kelainan jiwa yang ditandai oleh keadaan depresi dan ketidakatifan fisik.

Pengelompokan penyakit pada masa itu merujuk pada empat jenis "cairan" tubuh (humor atau humour, dari bahasa Latin fluid atau liquid) yang mempengaruhi temperamen dan kondisi tubuh seseorang.

Keempat "cairan" itu adalah darah (blood), lendir (phlegm), choler (yellow bile), dan black bile. Idealnya, seseorang memiliki keempat cairan itu secara proporsional.

Hingga abad ke-16, kanker masih diyakini sebagai efek kelebihan "empedu hitam" tersebut. Bedanya, mulai diyakini bahwa kanker tidak dapat diobati meski sejumlah racikan berbahan arsenik tetap diresepkan untuk pengobatan.

Keyakinan bahwa kanker dipicu oleh black bile baru mulai reda pada abad ke-17.

Adalah Gaspare Aselli menemukan sistem limfatik (lymphatic system) dan menyodorkan dugaan bahwa penyebab utama kanker adalah ketidaknormalan getah bening (lymph).

Pendapat dari abad ke-17 itu juga dimentahkan lagi pada abad ke-18, oleh dokter asal Perancis, Claude Gendron.

Claude Gendron menyimpulkan bahwa kanker muncul di satu lokasi tertentu di tubuh, berupa massa yang keras, tumbuh, tidak dapat diobati memakai obat, dan harus dihilangkan total sampai ke akar-akarnya.

Era modern

Lalu, dua ilmuwan Perancis, Jean Astruc dan Bernard Peyrilhe, memimpin eksperimen untuk menguji hipotesa Gendron. Ini mengawali era experimental oncology sekaligus perawatan khusus kanker di rumah sakit.

Penemuan mikroskop pada abad ke-19, mempercepat laju penelitian lebih lanjut untuk kanker.

Teknologi abad ke-20 mendorong sejumlah pemahaman dan temuan baru, mulai dari struktur, fungsi, dan komposisi kimiawi organisme hidup, yang juga memajukan riset kanker, termasuk untuk mendapatkan terobosan pencegahan dan pengobatannya.

Publikasi pertama di majalah umum tentang kanker juga muncul pada abad ke-20, demikian pula kehadiran lembaga di tingkat nasional di Amerika Serikat yang khusus membidangi kanker.

Inilah babak baru riset kanker yang sudah merambah wilayah molekul biologi dan genetika, yang itu masih terus berlangsung hingga sekarang....

 

 

 

DINOSAURUS PUN KENA KANKER

Foto jarak dekat dari salah satu fosil dinosaurus.
SHUTTERSTOCK/MARCIO JOSE BASTOS SILVA
Foto jarak dekat dari salah satu fosil dinosaurus.

KANKER ternyata tak hanya menyerang manusia. Hewan terutama dari kelompok mamalia—seperti halnya manusia—juga ternyata dapat terserang kanker.

Sepuluh ribu fosil dinosaurus dari 700 museum telah diteliti ulang dan didapat bukti bahwa mereka mengalami kanker. Temuan ini menggunakan bantuan alat pemindai sinar X, dilakukan oleh Bruce Rothschild dari Northeastern Ohio Universities College of Medicine.

Fosil dinosaurus yang didapati kanker diperkirakan berumur tujuh juta tahun. Artikel mengenai riset tersebut dapat dibaca di link ini

Bila tertarik mengkaji risiko kanker pada hewan, apalagi hewan peliharaan, ada banyak referensi bisa ditelusuri melalui mesin pencarian. Salah satunya bisa dilihat di sini.

Fosil tertua manusia
dengan kanker

Lalu, manusia tertua yang terkena kanker diperkirakan juga berasal dari era dinosaurus, yaitu di rentang waktu sekitar 1,7 juta tahun lalu. 

Gambar diambil pada 17 November 2019. Lukisan gua kuno (khoisan) di pegunungan Cockscomb di Eastern Cape, Afrika Selatan.
SHUTTERSTOCK/MD PHOTOGRAPHY
Gambar diambil pada 17 November 2019. Lukisan gua kuno (khoisan) di pegunungan Cockscomb di Eastern Cape, Afrika Selatan.

Riset yang tayang di South African Journal of Science memaparkan temuan tersebut, dalam artikel berjudul Earliest Hominim Cancer.

Ditulis oleh EJ Odes dkk pada 2006, artikel itu menyebut bahwa fosil manusia dengan kanker digali dari situs gua Swartkrans di kawasan Cradle of Human Kind World Heritage Site.

Lokasinya ada di Gauteng, provinsi yang berlokasi sekitar 50 kilometer dari Johannesburg, Afrika Selatan. Ini menjadi situs heritage dunia sejak 1999.

Kawasan ini merupakan salah satu lokasi yang diduga menjadi tempat pertama manusia di Bumi.