DPR bersama pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Setelahnya, lembaga antirasuah ini terancam tak bergigi lagi. Dikebiri dan tak sakti lagi. Apa yang mungkin masih bisa dilakukan untuk memastikan lembaga superbodi ini tak pelan-pelan mati?
"YANG...
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.
Yang hancur lebur akan terobati.
Yang sia-sia akan jadi makna.
Yang terus berulang suatu saat henti.
Yang pernah jatuh 'kan berdiri lagi.
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti...."
LAGU "Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti" milik Banda Neira mengalun syahdu di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada Selasa, 17 September 2019, malam.
Seiring syahdunya alunan lagu itu, puluhan pegawai KPK dan para aktivis antikorupsi keluar dari Gedung Merah Putih. Mulut mereka ditutupi masker, tangannya menggenggam bendera kuning, simbol kematian.
Malam itu, Gedung Merah Putih KPK tak ubahnya rumah duka. Sebuah replika pusara makam diletakkan di depan pintu masuk. Karangan bunga didirikan di sampingnya.
Lilin-lilin juga berjejer di sekitar replika pusara itu. Satu demi satu, para pembawa bendera kuning mendekat ke pusara. Tangan mereka mengepal.
Mereka baru membuka kepalan tangan dan menjatuhkan potongan mahkota tepat di atas replika pusara.
Sejumlah orang meneteskan air mata. Mereka berduka, layaknya sedang mendatangi pemakaman keluarga atau kerabat.
Malam itu, haru dan duka begitu terasa di KPK. Mereka merasakan bahwa KPK sedang dikerdilkan. Bisa jadi malah perlahan dimatikan.
"Ini adalah simbolisasi dimatikannya KPK oleh DPR bersama Presiden setelah KPK menjalankan tugasnya dari tahun 2002," kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati.
Aksi di KPK sebenarnya telah berlangsung sejak lama digelar sebelum malam "pemakaman" itu. Tujuannya sama, menentang revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK serta menghadang calon pimpinan KPK bermasalah.
Pada 6 September 2019, misalnya, para pegawai KPK dan aktivisi antikorupsi mengadakan aksi bergandengan tangan membentuk rantai manusia. Mereka memagari gedung 16 lantai itu.
Dua hari kemudian, mereka menutup logo KPK di Gedung Merah Putih. Kedua aksi itu adalah simbol perlawanan atas revisi UU KPK dan adanya calon pimpinan KPK ynang bermasalah.
Puncaknya terjadi pada Jumat, 13 September 2019. Tiga pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo, Saut Situmorang, dan Laode M Syarif mengembalikan mandat kepada Presiden Joko Widodo.
"Kami sangat prihatin kondisi pemberantasan korupsi semakin mencemaskan. Kemudian KPK rasanya seperti dikepung dari berbagai macam sisi," kata Agus membuka pidato sesudah penyerahan itu.
Ada kegentingan apa sih? Ada kepentingan apa sehingga (revisi UU KPK) harus buru-buru disahkan?
Pernyataan Agus terkait dengan dikebutnya proses revisi UU KPK. Saat itu, ia mengaku pasrah begitu mendengar revisi UU KPK akan segera diketok pengesahannya.
"Kita betul-betul bertanya-tanya, sebetulnya, seperti yang disampaikan Pak Laode, ada kegentingan apa sih? Ada kepentingan apa sehingga (revisi UU KPK) harus buru-buru disahkan?" ujar Agus.
Kamis pekan sebelumnya, Agus juga menggelar konferensi pers menanggapi paripurna DPR yang menyetujui revisi UU KPK sebagai usulan DPR.
Kala itu, Agus menyebut KPK sedang berada di ujung tanduk seiring revisi UU KPK yang tiba-tiba menyeruak dan proses seleksi calon pimpinan KPK yang mengundang kontroversi.
Agus mengatakan, revisi UU KPK berpotensi melemahkan lembaga yang berdiri di era Presiden Megawati Soekarnoputri itu. Ia menyebut, ada beberapa kewenangan KPK yang akan dipangkas bila revisi UU itu gol.
Seperti para pegawainya, pimpinan KPK juga sudah berupaya menghadang revisi UU KPK. Agus mengaku sudah berkomunikasi dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk dilibatkan dalam pembahasan revisi UU KPK.
"Kemarin kami menghadap ke Menkumham sebenarnya ingin mendapatkan draf UU resmi itu seperti apa. Nah kemudian pak menteri menyatakan nanti akan diundang," kata Agus.
Undangan itu nyatanya tak kunjung diterima Agus dan kawan-kawan. Malahan, dalam waktu 12 hari sejak disetujui sebagai usulan DPR, revisi UU KPK disahkan dalam sidang paripurna pada Selasa (17/9/2019).
"Jika dokumen yang kami terima via ‘hamba Allah’, (karena KPK tidak diikutkan dalam pembahasan dan belum dikirimi secara resmi oleh DPR/Pemerintah), banyak sekali norma-norma pasal yang melemahkan penindakan di KPK," kata Laode.
PEMBAHASAN superkilat dan tanpa melibatkan KPK ini menjadi sorotan publik. Tudingan pun mengarah ke Gedung DPR dan Istana Kepresidenan.
Aktivis antikorupsi dan akademisi pun bersuara. Mereka tak hanya mengkritik revisi UU KPK yang terkesan secepat kilat. Beberapa poin dalam revisi dinilai berisiko melumpuhkan kinerja lembaga antirasuah negeri ini.
Apa saja pasal yang membuat KPK terasa bagai dikebiri dan tak lagi sakti?
Rincian dan penjelasan dari masing-masing poin tersebut dijabarkan dalam sub-sub judul tersendiri berikut ini.
Setelah direvisi, status kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif, meski tetap melaksanakan tugas dan kewenangan secara independen. Hal itu tercantum pada Pasal 1 Ayat 3 dan Pasal 3.
Pada UU KPK sebelumnya, KPK hanya disebut sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Terkait para pegawai KPK, revisi UU KPK akan membuat mereka menyandang status aparatur sipil negara (ASN). Sehingga, mereka harus tunduk pada ketentuan Undang-Undang ASN.
Dengan revisi ini, mekanisme pengangkatan pegawai KPK nantinya juga menyesuaikan ketentuan UU ASN. Ini merujuk Pasal 1 Ayat (6), Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C dalam revisi UU KPK.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko memandang, aturan tersebut tak sesuai semangat United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Konvensi tersebut mengamanatkan lembaga antikorupsi harus dilengkapi dengan independensi yang kuat, bebas dari pengaruh, serta memiliki sumber daya dan pelatihan yang memadai.
"Syarat ini seharusnya dilaksanakan, mengingat Indonesia telah menjadi negara pihak pada UNCAC sejak ratifikasi pada 18 Desember 2003," kata Danang, Jumat (6/9/2019).
Menurut Danang, rendahnya komitmen Indonesia terhadap UNCAC juga diperlihatkan dari buruknya kepatuhan pelaksanaan rekomendasi UNCAC.
"Hingga saat ini Indonesia baru menyelesaikan 8 dari 32 rekomendasi yang disarankan (UNCAC)," sebut Danang.
Poin revisi UU KPK Danan nilai juga tak sejalan dengan Prinsip-Prinsip Jakarta tentang Lembaga Antikorupsi atau The Jakarta Principles 2012 yang mendorong negara berani melindungi independensi lembaga antikorupsi.
Adapun Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai, pegawai KPK rentan dikendalikan dan disusupi kepentingan pihak tertentu jika nantinya mereka menjadi ASN.
Status ASN juga berpotensi mengurangi gaji dan tunjangan pegawai KPK sehingga akhirnya rentan disuap. Feri menegaskan, sudah seharusnya pegawai KPK mendapat gaji dan tunjangan yang memadai.
"Bayangkan, pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara seperti saya. Menangani perkara ratusan miliar dan triliunan, (tetapi) gajinya sedikit. Itu kan sama menyuruh orang yang kelaparan disuruh menjaga warung Nasi Padang tapi dilarang makan," kata Feri, Kamis (19/9/2019).
UU KPK hasil revisi menghapus keberadaan tim penasihat KPK dan menggantinya dengan Dewan Pengawas KPK. Dewan ini terdiri dari satu ketua dan empat anggota, yang dipilih oleh Presiden.
Dewan pengawas memiliki kewenangan terkait tugas dan wewenang KPK. Misalnya, memberi atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan; menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai; memeriksa dugaan pelanggaran kode etik; serta mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK setahun sekali.
Selain itu, Dewan Pengawas KPK wajib melaporkan kinerja ke Presiden dan DPR setahun sekali. Ketentuan ini diatur secara spesifik pada Pasal 37 (A-G).
Mantan Ketua KPK Abraham Samad sudah mengkritik ketiadaan urgensi unsur dewan pengawas tersebut saat revisi bergulir.
Dalam UU KPK sebelumnya, sama sekali tidak ada ketentuan soal dewan pengawas. Sebaliknya, unsur dewan pengawas diatur dalam sejumlah pasal di hasil revisi UU KPK.
"Apa urgensi membentuk badan pengawas saat KPK sudah memiliki dewan penasihat? Jika alasannya untuk mengawasi KPK dari potensi penyalahgunaan kewenangan, siapa yang bisa menjamin jika dewan pengawas nantinya bebas kepentingan?" kata Abraham Samad, Jumat (6/9/2019).
Abraham menegaskan, KPK sudah memiliki sistem pengawasan internal melalui Direktorat Pengawasan Internal (PI). Direktorat ini memiliki sistem prosedur untuk mendeteksi dan menindak dugaan pelanggaran di internal KPK.
"Pengawas Internal (PI) menerapkan standar prosedur operasional (SOP) zero tolerance kepada semua terperiksa, tidak terkecuali pimpinan.
Sistem kolektif kolegial lima Pimpinan KPK juga adalah bagian dari saling mengawasi. Ditambah, jika ada pelanggaran berat yang dilakukan Pimpinan, bisa dibentuk majelis kode etik untuk memprosesnya," kata Abraham.
Ia juga menilai keberadaan Dewan Pengawas KPK justru bisa melumpuhkan sistem kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan.
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai dewan pengawas bisa sewaktu-waktu mengintervensi kinerja KPK.
"Dewan pengawas ini adalah representasi dari pemerintah dan DPR yang ingin campur tangan dalam kelembagaan KPK. Sebab, mekanisme pembentukan Dewan Pengawas bermula dari usul Presiden dengan membentuk Panitia Seleksi, lalu kemudian meminta persetujuan dari DPR," kata Kurnia, Kamis (5/9/2019)
Senada dengan Abraham Samad, Kurnia melihat Dewan Pengawas KPK sebenarnya tidak dibutuhkan. Sebab, kinerja pengawasan internal di KPK dinilainya sudah cukup baik.
"Di belahan dunia mana pun tidak mengenal lembaga antikorupsi yang independen harus ada dewan pengawas. Karena titik fokusnya bukan pada kelembagaan, akan tetapi membangun sistem pengawasan internal. Dan itu kan sudah berjalan ketika ada Kedeputian Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat," kata dia.
Pada UU hasil revisi, KPK diwajibkan meminta izin tertulis dari dewan pengawas sebelum menyadap. Dewan pengawas memberikan izin penyadapan dalam waktu 1×24 jam.
UU KPK mengatur jangka waktu penyadapan selama 6 bulan dan dapat diperpanjang satu kali dalam jangka waktu yang sama.
KPK juga wajib memusnahkan hasil penyadapan yang tidak terkait dengan kasus korupsi yang sedang ditangani KPK. Pihak yang menyimpan hasil penyadapan dijatuhi hukuman pidana.
Ketentuan ini diatur antara lain dalam Pasal 12B, Pasal 12C, dan Pasal 12D.
Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, pemerintah dan DPR sebaiknya tidak hanya mengutak-atik kewenangan penyadapan oleh KPK.
"Jangan hanya KPK yang diobok-obok kewenangannya, sementara lembaga lain didiamkan saja," kata Fickar, Senin (16/9/2019).
Menurut dia, kewenangan penyadapan yang dimiliki jugs oleh Polri dan Kejaksaan tidak diatur dalam undang-undang.
Padahal, pada 2011 Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengharuskan pemerintah dan DPR membentuk UU yang mengatur prosedur penyadapan. Kendati demikian, hingga kini Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyadapan belum disahkan di DPR.
Fickar berpandangan, kewenangan penyadapan setiap instansi akan lebih jelas dengan adanya UU tersebut.
"Jadi ada kesamaan perlakuan pada instansi-instansi yang memiliki kewenangan menyadap, kecuali UU menentukan lain," ujar dia.
Sementara itu, Feri Amsari menyebutkan, pasal penyadapan hasil revisi berisiko menggagalkan penindakan KPK, khususnya operasi tangkap tangan (OTT).
"Jangankan 1x24 jam, 20 detik saja bocor, selesai itu operasi, kan. Jadi ini menyebabkan aksi-aksi KPK dengan OTT dan penyadapan akan gagal. Padahal, pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan cara-cara yang cepat dan khusus kan," ujar dia, Selasa (17/9/2019).
Selain penyadapan, saat akan melakukan penggeledahan dan penyitaan, KPK lagi-lagi mesti meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas KPK.
Dewan pengawas bisa memberi atau tidak memberi izin dalam waktu 1x24 jam sejak permintaan diajukan. Ketentuan itu diatur Pasal 47 Ayat (1) dan Ayat (2).
Keberadaan dewan pengawas justru berpotensi menggagalkan penyelidikan kasus korupsi.
Pada UU KPK sebelumnya, KPK tidak perlu meminta izin kepada siapa pun untuk menggeledah dan menyita, selama ada dugaan kuat serta bukti permulaan yang cukup.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, keberadaan dewan pengawas justru berpotensi menggagalkan penyelidikan kasus korupsi.
Sebab, bukan tidak mungkin dewan pengawas membocorkan proses penyelidikan maupun penyidikan ke pihak yang menjadi target operasi.
"Ketika lembaga independen ada dewan pengawas, sangat besar potensi nanti dia bocor. Bahkan mungkin anggota dewan pengawas yang akan bilang ke orang yang digeledah untuk menyembunyikan terlebih dahulu kejahatannya," katanya, Rabu (18/9/2019).
Terlebih lagi, kata Bivitri, dewan pengawas ditunjuk langsung oleh Presiden. Bukan tidak mungkin mereka bakal diintervensi pihak tertentu.
Keberadaan dewan pengawas beserta kewenangannya dinilai tidak bisa dibenarkan secara hukum pidana.
"Saya dalam posisi tidak setuju adanya dewan pengawas itu. Selain dia benar-benar mempreteli kewenangan KPK, dia juga secara pidana benar-benar salah paham. Untuk mengobrak abrik KPK kita buat anomali dalam hukum pidana," ujarnya.
Berdasarkan hasil revisi, KPK pun berwenang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap perkara yang tidak selesai dalam jangka waktu maksimal dua tahun. Itu tercatat pada Pasal 40.
Lagi-lagi, SP3 ini juga harus dilaporkan ke dewan pengawas, paling lambat satu minggu sejak diterbitkan. Buat catatan, ada perbedaan terkait kewenangan SP3 ini di antara KPK, Polri, dan Kejaksaan.
Di Polri dan Kejaksaan, kewenangan SP3 tidak dibatasi waktu. Pembatasan hanya berdasarkan kedaluwarsa perkara sesuai ancaman hukuman.
Berdasarkan putusan MK, ketiadaan kewenangan SP3 di KPK tidak melanggar HAM. Justru, kata MK, KPK lebih dituntut berhati-hati dalam menetapkan tersangka. Ini juga bisa menutup celah makelar kasus.
Penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan yang saat ini tengah ditangani pun berpotensi terhenti lantaran ketentuan penghentian perkara yang harus dilaksanakan KPK.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril menilai, kepemimpinan KPK saat ini dan yang akan datang bakal mengalami sejumlah kendala setelah UU KPK direvisi.
Salah satunya, sebut Oce, menyangkut kewenangan SP3 tersebut. Menurut Oce, penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan yang saat ini tengah ditangani pun berpotensi terhenti lantaran ketentuan penghentian perkara yang harus dilaksanakan KPK.
"Dengan adanya pasal (pengaturan SP3) itu, kemungkinan pimpinan baru akan me-review perkara yang ada dan banyak sekali perkara yang masuk kategori diberikan SP3, karena ketentuan (pemberian SP3) dalam UU baru itu sangat longgar," kata Oce, Jumat (20/9/2019).
Adapun peneliti ICW Donal Fariz memandang, waktu pengusutan kasus yang dibatasi ini akan membuat KPK tidak dapat menangani perkara korupsi yang kompleks.
"Hanya bisa menangani kasus kecil," tutur dia, Selasa (17/9/2019).
Hal itu dinilainya berisiko membuat kinerja penegakan hukum oleh KPK menjadi turun drastis.
Pada Pasal 6 dan Pasal 12 A UU hasil revisi, KPK wajib berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dalam hal pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Meskipun, KPK tetap dapat mengambil alih perkara dalam tahap penyidikan dan penuntutan.
Menurut Feri Amsari, hal ini tak sesuai dengan gagasan awal pembentukan KPK.
"KPK yang awal diberikan tugas sebagai komando pemberantasan korupsi, salah satunya melalui supervisi dan pengambilalihan perkara. Dengan revisi UU KPK, lembaga antirasuah itu dipaksa koordinasi dengan aparat penegak hukum lain," kata Feri, Selasa (17/9/2019).
DPR dan pemerintah sama-sama membantah tudingan bahwa revisi UU KPK dikebut. Mereka juga menepis revisi itu diniatkan untuk melemahkan KPK.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut, usulan revisi UU KPK justru berasal dari pimpinan KPK periode sebelumnya.
“Permintaan revisi itu datang dari banyak pihak termasuk dan terutama dari pimpinan KPK. Orang-orang KPK merasa ada masalah di UU KPK itu,” kata Fahri, Jumat (6/9/2019).
Bantahan serupa juga disampaikan anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan, Arteria Dahlan. Arteria yang getol mendukung revisi UU KPK mengklaim, revisi itu menjawab permintaan KPK sekaligus demi memperkuat KPK.
"Revisi ini kami lakukan untuk merespons keinginan KPK itu sendiri. Jadi Komisi III itu tanya, dukungan seperti apa yang KPK minta. Ini kami lakukan karena memang ingin mendukung KPK," kata Arteria, Sabtu (7/9/2019).
Dari pemerintah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengklaim revisi UU KPK sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Yasonna mengatakan draf revisi Undang-undang KPK sejatinya sudah disiapkan sejak 2012 dan dibahas berkala pada 2015 dan 2017 di DPR, tetapi selalu ditolak publik.
Kader PDI-P itu juga menangkis tudingan-tudingan yang menyebut Pemerintah dan DPR terburu-buru memproses revisi UU KPK hingga mengesampingkan naskah akademik.
"Dibilang tidak ada naskah akademik. Yang benar saja! Apa kami orang tolol semua?" ujar Yasonna dengan nada meninggi, Selasa (17/9/2019).
Yasonna mengatakan draf revisi Undang-undang KPK sejatinya sudah disiapkan sejak 2012 dan dibahas berkala pada 2015 dan 2017 di DPR, tetapi selalu ditolak publik.
Dalam draf yang sudah dibahas tersebut, Yasonna mengatakan tak ada perubahan yang substansial sehingga isinya relatif sama.
Presiden Joko Widodo juga angkat bicara terkait kilatnya proses revisi UU KPK. Jokowi hanya butuh waktu enam hari untuk menyetujui pembahasan revisi UU KPK itu.
"DIM-nya kan hanya 4-5 isu. Cepat kok," kata Jokowi dalam jumpa pers, Jumat (13/9/2019).
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu pun meminta publik tidak berprasangka buruk dalam menyikapi rencana Pemerintah dan DPR merevisi UU KPK.
"Saya harap semua pihak bisa membicarakan isu ini dengan jernih, obyektif tanpa prasangka berlebihan," kata Jokowi.
UPAYA revisi UU KPK yang supercepat tidak hanya mendapat penolakan dari aktivis atau pegawai KPK yang melakukan aksi teatrikal di Gedung KPK.
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ikut bersuara menolak revisi terhadap UU KPK dan pembonsaian lembaga antirasuah itu.
Tidak hanya menolak revisi UU KPK, para mahasiswa yang turun ke jalan di berbagai kota ini juga menolak sejumlah pembahasan undang-undang yang mencurigakan.
Penolakan disuarakan mahasiswa terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dianggap mengekang demokrasi dan terlalu jauh masuk ke ranah privasi.
Mahasiswa juga menolak RUU Pemasyarakatan yang dianggap memberi keuntungan bagi koruptor dalam remisi, serta RUU Pertanahan yang dinilai terlalu menguntungkan korporasi.
Presiden Jokowi secara tegas menolak pembatalan revisi UU KPK dengan cara mengeluarkan perppu.
Secara khusus, untuk memenuhi tuntutan pihak yang menolak revisi UU KPK, Presiden Jokowi sebenarnya bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Namun, Presiden Jokowi secara tegas menolak pembatalan revisi UU KPK dengan cara mengeluarkan perppu.
"Enggak ada (penerbitan Perppu untuk UU KPK)," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/9/219).
Padahal, terkait tuntutan mahasiswa atas sejumlah RUU lain yang belum disahkan, Jokowi menindaklanjutinya dengan meminta DPR menunda pengesahan RUU tersebut.
Jokowi meminta pengesahan RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan tak dilakukan oleh DPR periode ini yang masa jabatannya berakhir sampai 30 September 2019.
"Untuk kita bisa mendapatkan masukan-masukan, mendapatkan substansi-substansi yang lebih baik, sesuai dengan keinginan masyarakat. Sehingga rancangan UU tersebut saya sampaikan, agar sebaiknya masuk ke nanti, DPR RI (periode) berikutnya," kata dia.
Saat ditanya apa yang membuatnya berbeda sikap antara RUU KPK dan RUU lainnya, Jokowi hanya menjawab singkat:
"Yang satu itu (UU KPK) inisiatif DPR. Ini (RUU lainnya) pemerintah aktif, karena memang disiapkan oleh pemerintah," ujar Jokowi.
Sebetulnya, masih ada jalan lain agar UU KPK dikembalikan seperti sebelum revisi atau direvisi kembali. Jalan itu adalah judicial review atau menguji materi UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Mohammad Novrizal Bahar menyebut, revisi UU KPK bisa digugat ke MK.
Gugatan di MK bisa berupa uji materil dan uji formil. Menurut dia, jika menggunakan prosedur uji materil, pemohon harus betul-betul mampu menjelaskan poin-poin mana saja dalam undang-undang hasil revisi yang dianggap merugikan.
Harus dipastikan pula, pihak yang mengajukan gugatan ke MK adalah yang memiliki kekuatan hukum atau legal standing.
Sementara itu, jika memilih mekanisme uji formil, pemohon harus benar-benar memastikan bahwa memang ada prosedur yang dilanggar selama proses revisi UU KPK.
"Atau kalau tidak sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan aturan perundangan," katanya, Selasa (17/9/2019).
Sejauh ini, kata Novrizal, MK belum pernah mengabulkan permohonan gugatan uji formil.
Diketahui, setidaknya ada dua pihak yang mempertimbangkan uji materi UU KPK hasil revisi. Salah satunya, ICW.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menuturkan, tak menutup kemungkinan ICW bersama Koalisi Masyarakat Sipil Kawal KPK akan menggugat revisi UU KPK ke MK.
"Iya, produk undang-undang begitu jadi undang-undang, dia akan jadi subyek untuk digugat dalam judicial review ke Mahkamah Konstitusi, itu pasti. Dan memang ada arah ke sana kami mau melakukan judicial review itu," kata Adnan, Selasa (17/9/2019).
Meski demikian, Adnan belum bisa menyampaikan secara pasti kapan pengajuan uji materi itu akan dilakukan. Sebab, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan permohonan ke MK.
Yang terbaru, 18 mahasiswa dari sejumlah universitas sudah mengajukan gugatan atas revisi UU KPK tersebut ke MK.
"Iya sudah diterima. Yang pasti MK akan menindaklanjuti dan memproses permohonan tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara," ujar Kepala Bagian Humas dan Pemberitaan MK, Fajar Laksono, Kamis (19/9/2019).
Dari salah satu salinan gugatan yang diterima Kompas.com, kuasa pemohon, Zico Leonard, mengatakan, terdapat dua gugatan yang diajukan yakni gugatan formil dan materiil.
Pada gugatan formil, para penggugat mempersoalkan proses pembentukan UU KPK baru yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
Rapat-rapat pembahasan revisi UU KPK yang dilakukan tertutup dinilai tidak memenuhi azas keterbukaan yang diatur dalam UU Nomor 11 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, mereka juga menyoal rapat paripurna DPR yang hanya dihadiri 80 anggota DPR, meski pimpinan sidang DPR, Fahri Hamzah menyatakan ada 289 yang tercatat hadir dan izin dari total 560 anggota dewan.
"Pembentukan UU a quo sebagai proses pembentukan UU yang baik tidak dipenuhi sehingga timbul kerugian yang sebenarnya dapat dicegah jika azas-azas pembentukan UU yang baik dipenuhi," ucap penggugat.
Adapun gugatan materil diajukan untuk menyoal syarat pimpinan KPK yang diatur dalam Pasal 29 UU KPK.
Sejumlah syarat yang dinilai tak terpenuhi di antaranya tidak pernah melakukan perbuatan tercela, memiliki reputasi yang baik, dan melepaskan jabatan struktural atau jabatan lain selama menjadi bagian KPK.
Selain itu, mereka juga meminta MK mengeluarkan putusan pendahuluan uji formiil dan materil sebelum putusan akhir mengingat pimpinan KPK yang baru akan segera dilantik Desember 2019.
"Pemohon meminta ke MK untuk memerintahkan DPR dan Presiden menghentikan pelantikan anggota KPK," demikian tertulis dalam permohonan tersebut.
Polemik revisi UU KPK sudah dan masih menghabiskan banyak energi. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah revisi itu akan memperkuat atau justru mengerdilkan KPK, lembaga antikorupsi yang menjadi harapan rakyat.
Apakah KPK yang adalah salah satu simbol penting dari reformasi—sebagai wajah upaya paling serius sejauh ini memberantas korupsi—akan segera mati? Kalaupun KPK tetap ada, akankah keberadaannya hanya sebats lembaga biasa karena terkebiri?