JEO - Insight

Siapa Influencer yang Paling Berpengaruh Bagi Gen Z?

Jumat, 8 April 2022 | 16:48 WIB

KEUNIKAN Generasi Z salah satunya terletak pada relasi mereka terhadap role model.

Penelitian Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Consulting beberapa waktu lalu menunjukkan, Gen Z memiliki ikatan erat terhadap seseorang tokoh yang memiliki nilai dan pandangan hidup sama. Mereka menempatkan role model sebagai perpanjangan diri.

Tetapi, Gen Z juga sangat kritis dan sensitif dalam hal bagaimana role model-nya menampilkan diri di hadapan publik.

Bila suatu waktu seseorang yang dijadikan panutan itu terbukti palsu, tidak autentik, atau melenceng dari nilai dan pandangan hidup semula, maka Gen Z tak ragu untuk berhenti mengikutinya.

Ilustrasi gen Z dan milenial
FREEPIK
Ilustrasi gen Z dan milenial

Dalam era teknologi informasi kini, wujud role model begitu beragam. Salah satunya adalah pemengaruh alias influencer.

Mereka dapat dengan mudah dijangkau di sejumlah platform media sosial, habitat utama Gen Z di dunia digital.

Meski berada di ladang yang sama, bukan berarti para influencer dengan mudah menyasar Gen Z.

Sebagaimana yang telah disinggung di awal, Gen Z memiliki standar sendiri soal siapa yang dijadikan role model. Untuk dapat menggaet mereka, influencer harus dapat memenuhi standar-standar itu.

Lantas pertanyaannya, siapa saja influencer di Indonesia yang memenuhi standar tersebut? Siapa influencer yang sukses menggaet hati Gen Z?

Simak selengkapnya…

Apa Definisi Influencer Menurut Gen Z?

Sebagai generasi yang kritis, Gen Z memiliki kriteria spesifik dalam memilih influencer untuk mereka ikuti.

Kecenderungannya, Gen Z akan mengikuti figur yang memiliki ideal dan value sama dengan mereka.

Di sisi lain, Gen Z juga memiliki pemahamannya sendiri tentang figur seperti apa yang pantas disebut influencer

Dalam penelitian Konsumsi dan Aktivitas Media Digital UMN Consulting, 1.177 responden menyatakan beberapa karakteristik yang mendefinisikan seseorang sebagai influencer.

Beberapa karakteristik itu adalah berpengaruh, terkenal, mempromosikan sesuatu, memiliki banyak pengikut, membuat konten, panutan, dan masih banyak lagi. 

Hal yang patut digarisbawahi dalam temuan ini adalah karakteristik influencer sebagai sosok yang mempromosikan sesuatu.

Hal ini mengindikasikan responden Gen Z UMN Consulting memiliki pemahaman bahwa Influencer adalah role model dalam konteks promosional.

Influencer menurut mereka (Gen Z) itu identik dengan mempromosikan sesuatu karena mereka punya social capital berupa followers dalam jumlah besar,” ujar peneliti UMN, Nona Evita.

Siapa Figur Influencer yang Paling Melekat di Hati Gen Z?

Berkembangnya media sosial beberapa tahun terakhir memunculkan sederet nama influencer.

Laporan SociaBuzz menunjukkan, angka pertumbuhan influencer per bulan dalam satu agensi naik tiga kali lipat sejak 2020.

Nah, mengacu pada riset UMN Consulting, terdapat 10 nama influencer yang paling nyangkut di hati Gen Z.

Kesepuluh nama itu, yakni Arief Muhammad, Awakarin, Titan Tyra, Maudy Ayunda, Jerome Polin, Rachel Vennya, Raffi Ahmad, Fadil Jaidi, Raditya Dika, dan Edho Zhell.

Meski memiliki karakteristik figur yang berbeda-beda, tetapi terdapat kesamaan yang dapat ditarik dari kesepuluh influencer ini.

Kesamaan terletak pada jumlah pengikut yang besar di media sosial, memiliki konten yang memadukan komedi, pendidikan, dan kehidupan sehari-hari (daily vlog).  Selain itu, mereka juga rutin terlibat dalam aktivitas promosi.

Peneliti UMN Consulting Nona Evita mengatakan, jenis konten yang diproduksi para influencer di atas cukup relevan dengan tujuan Gen Z mengakses media.

Diketahui, Gen Z mengakses media untuk mencari hiburan, mendapatkan referensi, dan mengisi waktu luang.

Oleh sebab itu, lanjut Evita, influencer atau agensi yang menyasar Gen Z sebagai pasar harus memahami fenomena tersebut agar dapat mengembangkan kontennya berdasarkan kebutuhan.

“Untuk mengincar Gen Z, influencer harus bersikap adaptif dan memahami tujuan Gen Z mengakses media,” ujar Evita.

“Selain itu, influencer juga bisa mulai mengembangkan konten yang bersifat edukasional, baik praktikal atau tidak. Karena itu pula yang dicari,” lanjut dia. 

Hal lain yang tak boleh dilewatkan bagi para influencer adalah, Gen Z juga tidak menutup diri terhadap ide-ide baru yang segar. Mereka mudah beradaptasi di dalamnya. 

Hal itu dapat dilihat dari setiap ada fenomena baru di media sosial.Gen Z menjadi generasi pertama yang paling cepat mengikuti. 

Fenomena ini pun menjadi peluang bagi para influencer untuk menyajikan hal baru di media sosialnya. 

"Gen Z sangat terbuka untuk hal baru. Enggak sebatas apa yang mereka butuhkan dan apa yang sesuai dengan tujuan mereka saja," ujar Evita. 

"Jadi, para influencer jangan takut untuk berimprovisasu dan mencoba hal baru," lanjut dia. 

Kenapa Gen Z Mengikuti Influencer?

Gen Z memiliki alasan spesifik tentang perlu tidaknya mengikuti seorang figur influencer.

Hasil riset UMN Consulting menunjukkan, Gen Z sangat selektif alias picky dalam memilih figur. Mereka menginginkan influencer yang memiliki kesamaan nilai ditambah hal-hal yang mereka butuhkan.

Survei menunjukkan, hal yang paling bisa membuat Gen Z mengikuti seorang figur adalah konten yang inspirasional (58 persen responden), dan pembawaan yang humoris dan menghibur (57,9 persen responden).

Selain itu, Gen Z juga bersedia mengikuti seorang influencer yang memiliki kemampuan tertentu (51,7 persen responden), mampu mengajarkan ilmu baru (50,5 persen responden), dan mengunggah konten yang menenangkan alias tidak memperkeruh suasana (36,7 persen responden).

Dalam survei ini, ditemukan pula fakta bahwa jumlah pengikut di media sosial tidak menjadi penentu Gen Z dalam memilih figur influencer yang dijadikan role model.

Buktinya, hanya 11,6 persen responden yang mengikuti influencer berdasarkan jumlah follower-nya di media sosial.

Sementara, jumlah responden yang mengikuti influencer hanya karena faktor tren, yakni sebesar 10,7 persen.

Temuan dua indikator terakhir itu sekaligus mengindikasikan bahwa Gen Z tidak memiliki mental FOMO (Fear of Missing Out) di mana jumlah pengikut dan tren menjadi elemen utamanya. 

Sebagai catatan, angka-angka ini didapat setelah responden Gen Z UMN Consulting diminta menentukan segala alasan yang bisa membuat mereka mengikuti seorang influencer. Satu responden diperbolehkan punya lebih dari satu pilihan.

Salah seorang responden Gen Z yang mengikuti survei, Sellia Oey (21) mengungkapkan, dirinya tak terlalu menyukai figur influencer yang memiliki pengikut banyak di media sosial, atau sedang tren. 

Bagi Sellia, figur yang sedang tren biasanya tidak memiliki ketertarikan khusus terhadap suatu hal. Oleh sebab itu, produk yang mereka endorse menjadi tidak spesifik. 

"Contohnya yang lagi trending tuh, Tante Lala. Dia dapat endorse enggak spesifik. Kadang baju, makanan, kosmetik. Jadi, kita ngikutin dia cuma karena lucunya aja, tetapi enggak terlalu merhatiin produknya apa," ujar Sellia. 

Ia lebih senang mengikuti influencer yang memiliki pengikut relatif sedikit di media sosial, tetapi mereka konsisten terhadap sesuatu yang juga disenanginya. 

"Misalnya influencer fashion yang follower-nya cuma 100k, tapi mereka konsisten, selalu berhubungan dengan fashion. Atau kalau yang soal properti, bagaimana cara dia menata rumah, perabotan. Itu yang lebih aku suka," lanjut Sellia. 

Kata Gen Z soal Influencer yang Menonjolkan Promosi

Melihat cara pandang Gen Z tentang influencer, mayoritas dari mereka memahami bahwa influnecer berkaitan erat dengan kegiatan promosi.

Walau begitu, Gen Z juga menegaskan bahwa mereka adalah pembeli yang bijak. Mereka tidak mudah tergoda oleh promosi influencer.

Berdasarkan hasil riset UMN Consulting, 40,4 persen Gen Z mempelajari dulu produk/ jasa yang dipromosikan sebelum membeli. Angka itu kontras dengan mereka yang langsung membeli produk/ jasa yang dipromosikan, 0,9 persen.

Luasnya akses untuk mencari berbagai informasi memungkinkan Gen Z untuk tidak mudah terbuai oleh pernyataan pernyataan influencer.

Mereka bisa melihat percakapan, diskusi, testimoni, dan ulasan barang yang dipromosikan influencer terlebih dulu sebelum membelinya.

“Teknologi digital memudahkan kami (Gen Z) untuk mencari ulasan, karakteristik, dan harga standar dari barang yang hendak kami beli (dan dipromosikan influencer),” ujar salah satu Gen Z yang diwawancarai UMN Consulting, Elisa Christiana (22). 

Salah satu responden Gen Z Raihan Janitra (24) punya pandangan tersendiri soal influencer yang cenderung menonjolkan promosi. 

Ia lebih menyukai influencer yang tidak terlalu memperlihatkan sedang mempromosikan suatu produk. Salah satu influencer yang dianggap sukses dalam hal ini adalah penggiat otomotif Fitra Eri. 

"Aku suka bentuk endorsment yang enggak terlalu memperlihatkan bahwa dia sedang di-endorse. Contohnya Fitra Eri. Dia kan sering menerima endorse produk otomotif gitu. Tapi penyampaian dia smooth, enggak tiba-tiba memotong video lalu iklan," ujar Raihan.