Rutin tapi tetap saja sering jadi perdebatan. Ini sejumlah informasi terkait sidang isbat, rukyat, dan hisab. Biar hilal tidak perlu jadi bahan pertengkaran.
HILAL. Satu kata ini di Indonesia setidaknya jadi terkenal dua kali dalam setahun. Yaitu, menjelang awal Ramadhan dan penentuan lebaran. Mengapa?
Prinsip pertama, penanggalan Islam menggunakan basis posisi bulan terhadap Bumi. Awal dan akhir bulan ditentukan berdasarkan posisi bulan terhadap lokasi pengamatan di Bumi.
Lalu mengapa sampai ada sidang isbat? Mengapa pula sering terdengar ada beda penetapan awal Ramadhan, lebaran, dan atau hari-hari besar umat Islam?
Isbat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti penyungguhan; penetapan; penentuan. Sebenarnya, penggunaan kata ini tak hanya untuk hari besar Islam.
Salah satu penggunaan lain kata isbat bisa ditemukan di pengadilan agama atau Kantor Urusan Agama (KUA). Tentu bukan soal awal puasa, melainkan soal pernikahan.
Terkait penentuan awal Ramadhan dan lebaran, sidang isbat digelar untuk mengumpulkan data pemantauan hilal dari sejumlah lokasi pengamatan di Indonesia, kemudian disandingkan dengan metode hisab, untuk kemudian diputuskan bersama.
"Kami melakukan pantauan ru'yatul hilal di 102 titik di Indonesia," ujar Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama, Muhammadiyah Amin, seperti dilaporkan Antara, Minggu (5/5/2019).
Sidang ini melibatkan unsur Kementerian Agama, DPR, MUI, ormas-ormas Islam, serta perwakilan negara sahabat. Pelaksanaan sidang berlangsung tertutup. Hasilnya yang akan diumumkan lewat konferensi pers.
Hasil sidang ini yang lalu ditetapkan pemerintah dan karenanya kerap disebut "versi pemerintah".
Bisakah versi pemerintah ini berbeda dengan praktik yang dijalankan umat Islam?
Cara penentuan awal bulan baru untuk kalender Islam tidak tunggal. Masing-masing punya dasar dan argumentasi baik sains maupun dalil.
Sidang isbat terkait awal dan akhir Ramadhan serta hari-hari besar Islam merupakan cara pemerintah sebagai bagian dari numenklatur ulil amri untuk memfasilitasi penetapan penanggalan itu, terutama untuk ritual-ritual utama menurut ajaran Islam.
Buat catatan, ada sejumlah dalil menyebut, ulil amri tidak hanya berunsur penguasa (umara) tetapi juga melibatkan orang berilmu (ulama).
Pertimbangan sains dimungkinkan menjadi dasar, karena dalil lain menyebutkan pula bahwa umat juga harus menyerahkan urusan kepada ahlinya, untuk urusan di luar keimanan meski terkait ritual.
Soal metode penentuan awal dan akhir penanggalan Islam, ada dua, yaitu rukyat dan hisab. Ini soal cara untuk memastikan posisi hilal.
Sebentar, apakah hilal itu?
Hilal adalah penyebutan untuk bulan sabit muda. Seturut perputaran bulan mengitari Bumi, penampakannya berubah tergantung waktu, dari tidak tampak, muncul sedikit dan berbentuk sabit tipis, bentuk sabit membesar, lingkaran penuh, kembali menjadi sabit yang makin mengecil, sampai hilang lagi.
Nah, sejumlah kalangan berketetapan, hilal harus secara harfiah terlihat mata sesuai kriteria tertentu pada petang hari sebelum tanggal 1 penanggalan baru.
Adapun sebagian kalangan yang lain berpendapat, bisa saja penanggalan baru telah dimulai sekalipun bulan tak bisa dilihat mata meski sudah memakai alat, selama perhitungan secara astronomi memastikan sudut ketinggian bulan di daerah tersebut sudah melewati garis ufuk sesuai kriteria tertentu.
Istilah untuk metode yang mengharuskan penglihatan secara harfiah itulah yang disebut rukyat. Adapun metode menggunakan perhitungan dikenal dengan istilah hisab.
Merujuk situs web planetarium.jakarta.go.id, penanggalan berbasis peredaran bulan disebut memasuki perhitungan baru bila memenuhi tiga kriteria. Ketiga kriteria itu merujuk pada hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dengan sebutan "kriteria 2-3-8", yaitu:
METODE rukyat kerap diidentikkan dengan cara Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah. Acuan yang dipakai adalah beragam hadist Nabi Muhammad SAW beserta fiqh dan tafsir fiqh para ulama.
Salah satu dalil yang kerap dirujuk terkait penentuan awal bulan baru adalah hadist:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
Terjemahannya kurang lebih, “Satu bulan itu 29 malam. Maka jangan berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah (penanggalan menjadi) 30 hari”, sebagaimana hadist riwayat Al Bukhari, dalam shahih-nya, kitab Ash Shiyam, nomor 1.907.
Aturan serupa dalam hadist lain juga dipakai untuk menentukan hari raya Idul Fitri. Bila mata tak bisa melihat wujud hilal maka Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari.
Adapun metode hisab, di Indonesia sering diidentikkan dengan cara yang dipakai Muhammadiyah. Meskipun, tak cuma organisasi itu yang memakainya.
Hisab merupakan penentuan awal bulan baru kalender Islam dengan lebih mengedepankan basis perhitungan astronomi.
--- Update 8 Maret 2020, Muhammadiyah telah mengumumkan awal Ramadhan untuk 2020 adalah 24 April 2020 dan 1 Syawal 1441 H bertepatan dengan 24 Mei 2020. Beritanya dapat dibaca di sini.
Yang tidak banyak diketahui khalayak, Muhammadiyah juga tidak semata menggunakan basis sains dalam penentuan awal bulan baru ini. Metode hisab di organisasi ini ternyata juga masih menempatkan rukyat pada posisi penting dalam penentuan keputusan awal penanggalan Islam.
Metode hisab erat berkaitan dengan kemampuan ilmu falak atau astronomi. Pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, antara lain tersohor sebagai tokoh pembaruan Islam di Indonesia.
Metode hisab untuk penentuan awal penanggalan kalender Islam tetap memasang sejumlah rambu yang harus dipatuhi.
Salah satu gebrakan besar Ahmad Dahlan yang jadi kontroversi pada masanya adalah saat dia memulai upaya dan melakukan koreksi arah kiblat Masjid Keraton Yogyakarta. Arah kiblat hasil koreksi inilah yang dipakai sampai sekarang.
Metode hisab untuk penentuan awal penanggalan kalender Islam tetap memasang sejumlah rambu yang harus dipatuhi.
Hasil Muktamar Tarjih Muhammadiyah pada 1932 di Makassar, Sulawesi Selatan, menyatakan, penentuan awal dan akhir Ramadhan pada dasarnya menggunakan empat metode, yaitu ru’yat al-hilâl (melihat wujud hilal), kesaksian orang yang adil, menggenapkan (istikmâl) bilangan bulan Syaban menjadi 30 hari, dan hisab.
Dalam kalender Islam, Syaban adalah penamaan bulan sebelum Ramadhan.
Cara pertama hingga ketiga yang dirujuk hasil muktamar itu pada dasarnya adalah substansi metode rukyat. Istikmal pun merupakan cara ketika perhitungan astronomi tidak memungkinkan penampakan hilal, sementara mata telanjang tak bisa pula melihat bulan sabit.
Namun, dalam hal hilal tidak mungkin di-rukyat karena tertutup awan atau posisinya masih berada pada ketinggian yang belum memungkinkan dapat dilihat, cara penentuan awal penanggalan baru yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab.
Metode hisab menghitung posisi hilal apakah sudah di atas ufuk (wujud) atau masih di bawah ufuk (belum wujud). Secara kasat mata, hilal disebut wujud bila dan hanya bila matahari lebih dulu tenggelam di ufuk daripada bulan.
PERTANYAAN yang sering bikin ragu juga, bagaimana bila hasil hisab berbeda dengan rukyat?
Muhammadiyah menyodorkan dua kemungkinan penyikapan bila hasil hisab dan rukyat berbeda karena satu dan lain hal.
Kabar baiknya, diperkirakan hasil rukyat dan hisab di Indonesia akan sama, setidaknya sampai 2021. Karena, posisi bulan hingga 2021 akan tegas berada di bawah ufuk atau sebaliknya lebih dari 2 derajat pada setiap awal penanggalan baru kalender Islam.
Namun, entah kenapa, perbedaan serasa senang sekali bermunculan dalam keseharian kita, bukan? Bagaimana menyikapinya?
Sebaik-baiknya keputusan bisa jadi adalah ketika memahami dasar argumentasi dan menguasai keilmuannya. Bukan asal "biasanya begitu" apalagi "katanya begitu".
Salah satu kajian akademis dari anak bangsa Indonesia terkait rukyat, hisab, dan ilmu astronomi adalah karya Thomas Djamaluddin. Sudah dibukukan, judulnya Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat. Buku tersebut dilansir pada 2011.
Thomas yang saat ini adalah Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pernah pula menjadi anggota tim pakar astronomi untuk penyusunan Naskah Akademik Usulan Kriteria Astronomis Penentuan Awal Bulan Hijriyah yang diinisiasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama, dan organisasi massa Islam.
Salah satu data dalam naskah akademik yang digarap pada 2015 itu menyatakan:
Dari hasil rukyat jangka panjang selama ratusan tahun, diketahui bahwa elongasi minimal agar hilal cukup tebal untuk bisa dirukyat adalah 6,4 derajat (Odeh, 2006). Data analisis hisab sekitar 180 tahun saat matahari terbenam di Banda Aceh dan Pelabuhan Ratu juga membuktikan bahwa elongasi 6,4 derajat juga menjadi prasyarat agar saat maghrib bulan sudah berada di atas ufuk (lihat dua grafik berikut ini). Pada grafik terlihat bahwa pada elongasi 6,4 derajat, posisi bulan semuanya positif, sedangkan dengan elongasi kurang dari 6,4 derajat ada kemungkinan bulan berada di bawah ufuk atau ketinggian negatif.
Naskah akademik itu merujuk juga tren data internasional, yang dinyatakan sebagai berikut:
Dari data rukyat global, diketahui bahwa tidak ada kesaksian hilal yang dipercaya secara astronomis yang beda tinggi bulan-matahari kurang dari 4 derajat atau tinggi bulan saat matahari terbenam tidak ada yang kurang dari 3 derajat (lihat 2 grafik berikut ini).
Thomas dan kawan-kawan merujuk juga analisis lain berdasarkan kriteria hipotetik yang dikenal sebagai "kriteria 29", terhadap data posisi bulan selama sekitar 180 tahun.
Dengan asumsi bila ijtimak sebelum maghrib sebagai tanggal 29, maka 28 hari sebelumnya adalah tanggal 1. Jika ada jeda hari antara tanggal 29 dengan tanggal 1 bulan berikutnya maka ada penambahan hari (tanggal 30) atau istikmal.
Data ketinggian bulan dengan kemungkinan adanya istikmal atau tanpa istikmal ditunjukkan pada grafik berikut:
Dari sejumlah data tersebut, Thomas dan kawan-kawan mengusulkan revisi kriteria 2-3-8 ala MABIMS. Yang diajukan, kriteria wujudul hilal adalah elongasi bulan minimal 6,4 derajat dan tinggi bulan minimal 3 derajat.
Masuknya awal bulan—tak hanya Ramadhan—, diusulkan dalam naskah itu bisa ditentukan dengan menggunakan garis tanggal berdasarkan kriteria tersebut atau menggunakan posisi uji dengan area (markaz) Pelabuhan Ratu, Banda Aceh, dan Makkah. Markaz Makkah dihisab untuk memperkirakan potensi perbedaan hari Arafah dan Idul Adha.
Namun, bagaimana bila tidak punya atau menguasai keilmuannya? Ada dalil umum yang bisa dipakai, yaitu mengikuti ulil amri alias pemimpin.
Bagi awam dan bahkan bukan awam, sah saja mengikuti apa kata pemimpin. Kalau sampai keputusan itu salah padahal sudah diikuti, tanggung jawab ada pada para pemimpin itu.
Itu kenapa, memilih pemimpin jadi penting. Bukan satu pemimpin tertinggi saja konteksnya. Perlu dilihat juga orang-orang di sekitarnya, sebelum dan saat memimpin.
Kalaupun pemimpin dinilai tak punya kemampuan soal ini, harapannya ada orang-orang dengan keilmuan yang ada di bawah komando kepemimpinannya untuk memberikan saran.
Di sini pula posisi sidang isbat menjadi krusial. Itu pun, pada tahun-tahun lalu terbukti sidang ini belum dapat menyatukan awal Ramadhan, serta penentuan Idul Fitri dan Idul Adha.
Namun, terlepas dari cara yang mana yang mau dituruti atau diikuti, pada akhirnya ukhuwah Islamiyah semestinya juga tetap jadi pegangan utama. Terlebih lagi, katanya manusia adalah wakil Tuhan di Bumi.
Karena sifat yang paling dikedepankan Allah SWT adalah rahman dan rahim, alias pengasih dan penyayang, manusia sebagai representasinya pun mustinya juga begitu, bukan?
Terkait Ramadhan, ini adalah bulan belajar. Dalam beragam dalil dan riwayat ditegaskan, manusia diberi satu bulan penuh kesempatan untuk belajar di sini. Sampai-sampai, setan penggoda pun konon dibelenggu. Tujuan akhir justru adalah pada 11 bulan yang lain hasil belajar sebulan penuh itu akan terus diterapkan.
Sisipannya, kalau orang selama Ramadhan lalu bermalas-malasan dengan alasan sedang berpuasa, sepertinya itu juga perlu ada koreksi bersama. Dalam bahasa gaul, bolehlah dibilang, "Latihan itu keras, kawan. Demi ujian atau pertandingan sesungguhnya sesudah latihan."
Marhaban yaa Ramadhan....