Berdasarkan data Riset Dasar Kesehatan 2018 yang dilansir Kementerian Kesehatan, masih ada ratusan ribu rumah tangga di Indonesia yang memiliki anggota rumah tangga menderita skizoprenia, sebagaimana infografik interaktif berikut ini:
Sebagai pembanding, Global Health Exchange pada 2017 melansir data prevalensi penderita gangguan mental dan gangguan jiwa per negara, termasuk Indonesia. Datanya seperti terlihat pada grafik berikut ini:
Bersamaan, kisah-kisah tentang praktik pemasungan juga masih terus bermunculan. Berdasarkan pemberitaan Kompas.com setidaknya dalam kurun lima tahun terakhir, kasus-kasus ini masih saja terjadi bahkan dalam kurun sebulan terakhir.
Salah satunya, bocah 12 tahun dipaksa hidup di kandang ayam bahkan pernah dikubur dengan dalih upaya pengobatan karena berkelakuan "beda" di Pamekasan, Jawa Timur.
Dari Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, dua penderita skizofrenia pun mengalami pemasungan oleh warga setempat.
Praktik pemasungan ini pun menjadi temuan dari Riset Dasar Kesehatan 2018 Kementerian Kesehatan. Meskipun, lagi-lagi data pada riset ini merujuk kepada rumah tangga dengan anggota keluarga menderita skizofrenia, bukan data orang per orang penderita.
Masih terus adanya kasus pemasungan terasa kontradiktif ketika survei Litbang Kompas mendapati 59,8 persen dari 535 responden menyatakan mau menerima penderita gangguan jiwa di lingkungan mereka.
KETIDAKPAHAMAN. Dalam banyak persoalan, ini adalah akar masalahnya. Lalu, terbitlah mitos. Menyusul kemudian, salah kaprah, pembiaran, bahkan kesengajaan menyikapi.
Ini juga yang dihadapi skizofrenia dan para penderitanya. Bukan hal aneh ketika penderita skizofrenia dianggap terkena guna-guna, misalnya.
Anggapan tersebut muncul karena halusinasi dan isi pikiran yang tak sesuai kenyataan (waham) merupakan bagian dari gejala skizofrenia.
Sederhananya, penderita skizofrenia ibarat hidup di dalam dinding ilusi. Penderita terpisah dengan realita.
Padahal, skizofrenia sejatinya bisa diobati. Peran keluarga penting dalam pengobatan dan penanganan penderita skizofrenia.
Karena, tak boleh dimungkiri pula, skizofrenia memang bisa kambuh dan sejumlah gejala tidak sepenuhnya hilang seperti dalam kasus penerima Nobel Ekonomi 1994, John Nash.
Salah satu faktor penyebab kekambuhan skizofrenia juga adalah kurangnya dukungan keluarga. Terlebih lagi, di luar faktor genetik ada juga masalah trauma dan hal-hal lain seperti tekanan hidup yang dapat menjadi pemicu skizofrenia.
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang bisa terjadi pada siapa pun. Pasien skizofrenia mengalami gangguan otak yang kronis, sehingga kesulitan memroses pikirannya.
Gejala skizofrenia mulai dari berhalusinasi, waham atau keyakinan yang salah, suka marah-marah, kehilangan minat dan motivasi, hingga menarik diri dari lingkungan.
Nah, gejala skizofrenia itu dapat dikendalikan dengan pemberian obat dan terapi yang tepat. Namun, gejala bisa saja kambuh karena berbagai faktor.
Semakin cepat terdeteksi dan tertangani, efek dari gejala-gejala skizofrenia bisa diminiminalkan sehingga penderita tetap dapat berdaya bahkan membuat karya.
Penelitian yang dilansir di Science edisi 8 Februari 2018 mendapati, pola ekspresi gen di otak penderita skizofrenia dan bipolar ternyata punya kemiripan dengan penyandang autis.
Di antara kesamaan yang ditemui adalah pengaktifan astrosit dan penekanan gen yang ada pada sinaps, percabangan di antara neuron.
Individu dengan kondisi seperti itu cenderung punya gangguan dalam kemampuan bahasa, mudah tersinggung, dan agresif. Pengidap tiga kelainan tersebut juga menunjukkan adanya variasi genetik tertentu.
JOHN Nash jelas bukan satu-satunya penyintas skizofrenia yang pernah ada. Para penyintas ini juga datang dari segala kalangan, seperti halnya risiko gangguan kesehatan jiwa yang bisa terjadi pada siapa saja pula, termasuk kita.
Dari Kota Bandung, Jawa Barat, misalnya, ada Widya (42 tahun, nama samaran). Jejak skizofrenia yang masih tampak di dirinya sekarang adalah gerak kaki yang terlihat berat.
Namun, bukan berkurangnya fungsi motorik yang paling menyusahkan Widya.
“(Dulu), saya tidak bisa tidur. Orang-orang bilang saya seperti zombie. Tapi saya tidak sadar. Malah, dalam pandangan saya, orang-orang yang terlihat seperti mayat hidup. Matanya cekung hitam,” tutur dia sembari tertawa.
Sekarang, Widya bisa menceritakan itu dengan tertawa. Namun, saat menjalaninya dulu, kekhawatiran dan delusi adalah temannya sehari-hari. Tidak ada ketenangan.
Menurut Widya, gejala skizofrenia menyeruak setelah ayahnya meninggal pada 2012. Kehilangan sang ayah dia akui membuatnya sangat terpukul.
Peran ayah begitu besar dalam hidupnya dari kecil. Setiap ada masalah, ayahnya menjadi tempat bercerita dan berkeluh kesah.
“Saat papa meninggal, saya merasa ingin mati. Saya ingin ikut bersama papa. Bahkan, dalam shalat saya, saya berdoa untuk pergi bersama beliau. Dalam kondisi itu, saya merasa hilang,” tutur Widya.
Sejak itu, dia mulai merasakan delusi atau waham. Setiap saat Widya selalu merasa diawasi dan digunjingkan oleh rekan-rekan kerjanya. Padahal, teman-temannya itu tidak sedang memperbincangkannya.
“Saya bahkan dibilang jauh dari agama. Padahal, saat saya dalam kondisi itu, saya selalu istighfar.”
Bisikan-bisikan yang mendorong dia untuk bunuh diri kian nyata dan menghantui. Saat itu, dia bekerja sebagai staf di salah satu sekolah di Bandung.
Bisikan waham yang datang tidak boleh dihindari. Seharusnya, bisikian tersebut dilawan dengan logika berpikir.
Saat itu, Ardi merasa diintimidasi dan dihina karena belum mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah pada 2010.
Pernah merasakan pekatnya hidup dalam dilusi, para penyintas tidak ingin hilang dalam keberadaan.
Tulisan JEO ini adalah bagian dari rangkaian tulisan kerja bareng Kompas.com, harian Kompas, Kompas TV, dan Kontan, bertajuk Voice for Voiceless. Analisis dari Litbang Kompas juga dapat dibaca di Kompas.id.
Ikuti rangkaian pemberitaan terkait topik orang dengan gangguan jiwa di Kompas.com lewat liputan khusus Peduli Kesehatan Jiwa.
Artikel terkait tips menjaga kesehatan jiwa, pengenalan gelagat awal gangguan kesehatan jiwa, kasus-kasus terkini yang terkait dengan gangguan kesehatan jiwa, serta beragam mitos terkait kesehatan jiwa dapat dikulik dalam lipsus ini.
Liputan dengan topik yang sama tayang di harian Kompas dan Kontan sejak Senin (7/9/2019). Adapun Kompas TV menayangkan hasil liputan Jangan Pasung Saya di Berkas Kompas edisi Selasa (8/9/2019).