SEJAK ratusan tahun lalu, timah menjadi salah satu penunjang aktivitas manusia. Pada zaman kerajaan, timah digunakan sebagai bahan pembuat mata uang, prasasti, dan perhiasan. Kini, penggunaan timah kian berkembang, dari bahan untuk kemasan makanan, campuran amalgam penambal gigi, sampai peralatan rumah tangga.
Indonesia menjadi negara penghasil timah terbesar kedua sekaligus pemilik cadangan timah terbesar setelah China. Menurut U.S. Geological Survey dalam buku Mineral Commodity Summaries (2020), Indonesia memproduksi sebanyak 85.000 ton timah pada 2018 dan memproduksi 80.000 ton pada 2019 dengan total cadangan mencapai 800.000 ton.
Bangka Belitung adalah penghasil timah terbesar di tanah air, mencapai 90 persen dari total produksi timah di Indonesia. Selain Bangka Belitung, daerah yang memiliki hasil tambang timah adalah Kepulauan Riau, Riau, dan Kalimantan Barat.
Penggalian timah di Bangka Belitung sejak ratusan tahun lalu mengalami pasang surut. Namun, timah sudah melekat dan memengaruhi kehidupan sosial ekonomi, serta budaya masyarakat. Tentu saja ini juga menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan.
Sejarawan George Cœdès menyebutkan, banyak pelaut dari India datang ke Wangka, dalam bahasa Sanskerta berarti timah. Catatan ini diduga kuat menjadi bukti bahwa penggalian timah di Bangka sudah dilakukan sejak awal abad pertama.
Dikutip dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), sejarah penambangan timah dengan cara sederhana sudah dimulai sejak Kerajaan Palembang.
Ketika orang-orang Eropa datang ke Nusantara, perubahan penambangan mulai terjadi dan semakin masif. Hal ini ditandai dengan berdirinya beberapa perusahaan penambangan timah, yakni Bangka Tin Winning Bedrijft (BTW) di Bangka, Gemeenschaappelijke Mijnbouw Maatschaappij Billiton (GMB) di Belitung, dan Singkep TIN Exploitatie Maatschappij (SITEM) di Singkep.
Selain itu, pada abad ke-18, sekitar tahun 1724, pekerja tambang timah asal China mulai berdatangan ke Kepulauan Bangka Belitung. Tenaga kerja dari luar daerah terpaksa didatangkan karena Sultan Palembang harus memenuhi kuota timah yang disepakati dengan Belanda pada masa itu.
"Jumlah timah yang harus disediakan cukup banyak sehingga didatangkan pekerja dari China," kata sejarawan Bangka Belitung, Akhmad Elvian, saat kegiatan Kelakar Sejarah dan Budaya di Museum Timah Pangkalpinang, Sabtu (5/11/2022).
Akhmad mengatakan, kontrak penyediaan timah mulai dibuat pada tahun 1710. Kontrak tersebut selalu diperbarui sesuai permintan timah di pasaran. Dalam salah satu kontrak diketahui bahwa Sultan Palembang Mahmud Badaruddin I harus menyediakan timah sebanyak 30.000 pikul, dalam bentuk hasil peleburan sederhana yang ukurannya sebesar tempurung kelapa.
Sebelum kontrak dengan Belanda dibuat, kata Akhmad, pekerja asal China sudah ada di Bangka. Namun sifatnya belum resmi, dan jumlahnya masih sedikit. "Pekerja ini tidak langsung dari daratan China, tapi diambil dari semenanjung Malaya seperti dari Vietnam dan Thailand," ujar Akhmad, yang juga mantan kepala Dinas Pariwisata Pangkalpinang.
Selain menambah jumlah tenaga kerja di Bangka, kedatangan pekerja China juga untuk memperkenalkan teknologi penambangan. Pekerja China dinilai inovatif menciptakan berbagai peralatan penambangan dari bahan-bahan sederhana.
"Ada rantai untuk menggaruk tanah yang bukan dari besi, tapi terbuat dari kayu. Kincirnya disebut Chincia digerakkan air yang mengalir," ungkap Akhmad.
Di sisi lain, Akhmad mengungkapkan, kehadiran pekerja dari luar negeri karena kurangnya minat penduduk lokal untuk bekerja di sektor pertambangan pada masa itu.
"Penduduk lokal sudah ada kerja di kebun dan sebagai nelayan. Mereka tidak siap kemudian harus menambang. Memang ini tidak mudah butuh kerja keras," ujar penulis buku berjudul Kampoeng di Bangka itu.
Sejak masa kolonial inilah, eksplorasi penambangan timah mulai dilakukan secara besar-besaran. Pekerja tambang dari China pun menetap dan meneruskan keturunan di Bangka Belitung hingga saat ini. Ini mengapa banyak etnis keturunan Tionghoa di Bangka Belitung.
Pada 1953-1958, tiga perusahaan Belanda yakni Bangka Tin Winning Bedrijft (BTW), Gemeenschaappelijke Mijnbouw Maatschaappij Billiton (GMB), dan Singkep TIN Exploitatie Maatschappij (SITEM) diubah menjadi Perusahaan Negara (PN).
BTW menjadi PN Tambang Timah Bangka, GMB menjadi PN Tambang Timah Belitung, dan SITEM menjadi PN Tambang Timah Singkep.
Kemudian, pemerintah membentuk Badan Pimpinan Umum (BPU) untuk mengawasi dan mengoordinasikan kerja ketiga PN tersebut. BPU dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 1961 Tentang Pendirian Badan Pimpinan Umum Perusahaan-perusahaan Tambang Timah Negara yang disahkan 17 April 1961.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki cadangan timah terbesar kedua setelah China. Total cadangan timah tanah air mencapai 800.000 ton atau 17 persen dari total cadangan dunia sebesar 4,74 juta ton.
Berada di posisi pertama, China memiliki cadangan timah sebanyak 23 persen dari total cadangan dunia. Setelah Indonesia, ada Brazil yang memiliki cadangan timah 15 persen.
Berdasar data DESDM Provinsi Bangka Belitung 2017, tambang timah di Bangka Belitung tersebar di berbagai daerah, yakni di Bangka, Belitung, Bangka Barat, Bangka Tengah, Bangka Selatan, dan Pangkalpinang.
Haryadi, dalam Analisis Perkembangan Pengusahaan Mineral dan Batubara (2010) menyebutkan, kandungan logam timah didominasi oleh Provisinsi Kepulauan Bangka Belitung yang menguasai 90 persen total produksi timah Indonesia.
Sungai Liat adalah sebuah kecamatan di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Pertambangan timah dan dampaknya terhadap lingkungan sangat diawasi. Sungai Liat merupakan salah satu kota terbersih di Indonesia.
Muntok adalah kecamatan di Kepulauan Bangka Belitung, tepatnya Kabupaten Bangka Barat. Muntok merupakan salah satu daerah penghasil timah terbesar di Indonesia sejak masa kolonial. Timah Muntok berperan besar dalam perkembangan ekonomi masyarakatnya.
Penambangan timah dilakukan di darat dan laut. Kegiatan penambangan darat dilakukan perusahaan di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada di Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Riau, dan Provinsi Kepulauan Riau.
Sementara, timah nasional sebanyak 91 persen terdapat di Kepulauan Bangka Belitung dengan izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 482 IUP, meliputi lahan seluas 862.761 hektare.
Penambangan di darat
Dalam proses penambangan timah di darat, dibagi menjadi tiga kelas yakni kelas tambang besar, kelas tambang semprot, dan kelas tambang skala kecil. Berikut perbedaannya:
Kelas Tambang Besar:
Kelas Tambang Semprot
Kelas Tambang Skala Kecil
Penambangan di laut
Untuk penambangan lepas pantai, perusahaan mengoperasikan dengan kapal keruk dan kapal isap produksi.
Operasi penambangan kapal keruk menggunakan alat yang menyerupai mangkuk yang dapat beroperasi mulai dari kedalaman gali 15 sampai 50 meter di bawah permukaan laut dengan kemampuan gali mencapai lebih dari 3,5 juta meter kubik material setiap bulannya.
Sementara pada kapal isap produksi, sistemnya menyedot material lepas. Sama seperti kapal keruk, kedalaman gali juga mencapai 50 meter.
Kegiatan penambangan timah yang masif memberikan dampak besar untuk masyarakat, tak terkecuali dalam aspek kesehatan masyarakat dan lingkungan. Faktanya, penambangan tak hanya terjadi di darat dan laut juga, tetapi kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
Data Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2021) menunjukkan, luas lahan kritis pada tahun 2019 di pulau timah ini seluas 20.078,1 hektare. Jumlah itu masuk ke area pemukiman, zona pemerintah, dan kawasan perekonomian.
Di sisi lain, beroperasinya penambangan timah di Bangka Belitung yang sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu juga berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat.
Saat ini, ada sekitar 12.000 kolam bekas tambang timah di Kepulauan Bangka Belitung menunggu untuk direklamasi. Ancaman kematian membayangi masyarakat sekitar, termasuk adanya dugaan radiasi yang dapat membahayakan kesehatan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung Jessix Amundian mengatakan, ancaman bahaya membayangi lokasi-lokasi kolong atau bekas tambang yang belum dipulihkan.
"Peristiwa kematian warga saat beraktivitas di kolong sering kita dengar. Karena memang digunakan masyarakat, sementara kawasan itu belum aman," kata Jessix kepada Kompas.com di kantor Walhi, Senin (12/12/2022).
Kondisi saat ini, kata Jessix, kolong yang sudah berubah menjadi kolam penampungan air, kerap digunakan masyarakat untuk berbagai keperluan. Ironisnya, lokasi tersebut juga menjadi tempat bermain anak-anak.
"Belum ada plang setidaknya menyatakan ini belum direklamasi, artinya belum aman," ujar Jessix.
Kolong juga berpotensi menjadi tempat peralihan habitat reptil seperti buaya, serta memicu perkembangan jentik nyamuk. Ini tentunya membahayakan keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Jessix juga merujuk dokumen informasi kinerja yang diterbitkan Dinas Lingkungan Hidup Bangka Belitung pada 2021 terkait adanya ancaman radiasi di bekas galian tambang.
"Ini memang perlu studi mendalam untuk mengetahui dampaknya. Apakah bisa mempercepat penyakit seperti lever atau kanker payudara," kata Jessix.
Menurut Jessix, potensi radiasi memang bukan anggapan semata. Sebab selama ini Bangka Belitung diketahui memiliki kandungan mineral ikutan timah yang bersifat radioaktif. Salah satunya berupa Thorium yang diyakini memiliki kualitas lebih baik dibanding negara lainnya.
"Thorium kita disebut sudah tua dengan kualitas yang diyakini lebih baik. India juga punya, tapi masih muda. Sementara China juga pernah bicara Thorium, tapi kita tidak tahu apakah sumbernya dari Bangka Belitung atau mereka sendiri yang punya," ungkap Jessix.
Terlepas adanya potensi sampingan, Jessix menilai, program reklamasi terbaik yakni menutup bekas tambang dan memulihkannya seperti sediakala.
"PP 78 tahun 2010 tentang reklamasi dan pascatambang, mengatur pemulihan kolong eks tambang harus ditutup dulu. Faktanya banyak dibiarkan menganga, begitu saja rentan bahaya bagi masyarakat sekitar," ucap Jessix.
"Dibiarkan buat wisata, tidak efektif karena unsur edukasi enggak ada. Airnya juga belum bisa digunakan untuk konsumsi," pungkas Jessix.
Salah satu penambang timah selam dari Pantai Batu Atap, Bangka, Kepulauan Bangka Belitung adalah Joko Tingkir (36). Saat Kompas.com menemuinya beberapa waktu lalu, dia baru saja tiba di kamp penambangan timah yang disambut istri dan anaknya di depan pintu pondok.
Hari itu ada sekitar 6 kilogram pasir timah yang bisa dibawanya pulang. Nantinya, pasir timah basah itu dijual dengan harga Rp 130.000 per kilogram. "Alhamdulillah. Hari ini dapat enam kilogram," kata Joko Tingkir kepada Kompas.com, Minggu (31/7/2022).
Jika penambang mendapatkan 6 kilogram, maka uang hasil penjualan sebesar Rp 780.000 per hari. Namun uang tersebut tidak dinikmati untuk satu penambang.
Selain Joko Tingkir, ada tiga pekerja lainnya di ponton tambang yang sama. Uang dibagi penambang setelah dikeluarkan biaya bahan bakar solar dan operasional Rp 360.000. Artinya tersisa Rp 420.000 yang kemudian dibagi empat oleh penambang.
Jika ponton tambang milik pihak lain, maka uang Rp 420.000 dibagi 50 persen untuk pemilik ponton dan sisanya untuk empat penambang. Tidak jarang, para penambang hanya membawa pulang uang Rp 30.000 hingga Rp 50.000 setelah bekerja seharian.
Selain Joko, ada Zabir (38), penambang timah inkonvensional (TI) selam di Pantai Batu Atap yang telah bekerja hampir 15 tahun. Di lokasi ini diperkirakan ada sekitar 50 kelompok penambang. Lokasi penambangan mereka selalu berpindah-pindah, karena menyesuaikan kondisi musiman.
"Rata-rata dalam satu musim kami menambang tujuh bulan. Kemudian pindah ke lokasi lain, karena beda teluk pengaruh angin juga berbeda," ujar Zabir.
Ayah dua anak asal Buton, Sulawesi, ini mengaku bekerja sebagai penambang sebagai pilihan hidup yang harus dijalani meskipun memiliki risiko yang cukup besar. Selama periode 2021-2022, korban akibat kecelakaan tambang timah di Kepulauan Bangka Belitung mencapai 40 orang, sebanyak 22 di antaranya korban tewas.
"Dari data yang kita catat dari setiap kejadian, ada 40 korban yang terdiri dari 22 korban meninggal dan 18 terluka," kata Jessix.
Jessix memerinci, jumlah kecelakaan terbanyak ada di wilayah Kabupaten Belitung Timur sebanyak 20 kasus. Dari jumlah itu, 7 pekerja meninggal, dan 13 lainnya luka-luka.
Kemudian Kabupaten Bangka tercatat 13 kasus, dengan rincian, 9 meninggal dan 4 luka-luka. Sejumlah kecelakaan terjadi di wilayah izin usaha pertambangan, baik karena insiden maupun faktor alam.
Jika dibandingkan tahun sebelumnya, angka kecelakaan tambang cukup signifikan. Berdasarkan catatan Walhi, dalam kurun tiga bulan terhitung Juni, Juli, dan Agustus 2019 tercatat 19 orang meninggal akibat kecelakaan tambang.
Salah satu kecelakaan tambang terbaru, terjadi pada Kamis (21/7/2022). Ketika itu seorang penambang timah inkonvensional di Perairan Matras, Sungailiat, Bangka, Kepulauan Bangka Belitung ditemukan tewas setelah terkena baling-baling kapal isap produksi (KIP).
Korban bernama Baron atau AN (44) tersapu baling-baling saat mengeruk pasir timah dengan cara menyelam menggunakan ponton isap produksi (PIP).
Ribuan penambang timah rakyat jenis selam diprediksi sulit mendapatkan izin karena tidak memenuhi standar keamanan kerja. Imbasnya, para penambang selam bakal tetap berstatus ilegal dan tidak memiliki pertanggungjawaban negara.
"Kalau se-Bangka Belitung itu jumlahnya ribuan. Tambang selam itu pekerjaan berbahaya karena peralatan mereka tidak standar," kata Analis Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Bangka Belitung, Ardian Eka kepada Kompas.com, Sabtu (3/12/2022).
Eka menuturkan, proses perizinan salah satunya mempertimbangkan faktor keselamatan dan peralatan yang digunakan. Untuk tambang selam rakyat atau tambang inkonvensional selam saat ini, diusahakan dengan cara dirakit sesuai kebutuhan masing-masing.
"Kalau mau menyelam harus ada sertifikasi selam. Kemudian peralatannya, sekarang mereka pakai kompresor, itukan berbahaya bagi paru-paru mereka," ujar Eka.
Menurut Eka, keberadaan penambang selam akan tetap ada karena Bangka Belitung dianugerahi kekayaan alam berupa timah. Cadangan timah yang besar karena Bangka Belitung bagian dari sabuk timah dunia (tin belt).
"Kalau mau pemasukan buat negara, tentu mereka harus punya izin dulu. Sementara untuk mengawasi aktivitas saat ini tidak mudah, karena mereka di laut," ucap Eka.
Pengawasan, kata Eka, butuh tim gabungan yang harus melakukan monitoring secara rutin. Kondisi yang ada saat ini, kebanyakan penambang justru bukan masyarakat Bangka Belitung, tetapi didominasi pekerja dari daerah Selapan, Sumatera Selatan.
"Timahnya di Bangka Belitung, tapi pekerja banyak dari luar. Menambang itu memang tidak mudah dan tidak semua orang mau. Apalagi di tengah laut, sulit diawasi," ungkapnya.
Rencana penambahan kuota perizinan tambang laut rakyat, dari 300-an menjadi 1.500 diperkirakan tidak mencakup tambang yang dilakukan dengan cara selam.
"Kuota untuk ponton isap produksi (PIP) yang pakai mesin. Kalau jenis selam sulit terpenuhi syaratnya," jelas Eka.
Pemerintah berencana memberi ruang bagi usaha tambang timah rakyat di Kepulauan Bangka Belitung. Salah satunya dilakukan dengan memproses izin lingkungan bagi kuota tambahan yang bakal mencapai ribuan badan usaha.
Staf Ahli Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kemenko Polhukam Asmarni mengatakan, permasalahan tambang rakyat terus didiskusikan dan menjadi perhatian pemerintah.
"Kita berharap dengan adanya penataan-penataan lebih bagus lagi dan juga termasuk dampak-dampak dari penambangan masalah sosial masyarakat akan dibenahi lagi," kata Asmarni, saat berkunjung ke Pangkalpinang, Kamis (27/10/2022).
Asmarni menuturkan, pemerintah daerah dengan Pj Gubernur Bangka Belitung yang juga Dirjen Minerba, Ridwan Djamaludin, akan mengusahakan agar tambang rakyat mengantongi Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Sehingga tambang rakyat juga akan terakomodasi, yang tadinya ilegal menjadi legal.
Kemenko Polhukam juga mendorong pertambangan ilegal menjadi legal ini, dengan syarat-syarat tertentu, dengan izin Kementerian ESDM dan juga melalui pembinaan-pembinaan pemda.
"PT Timah juga sekarang sedang mengurus perizinan lingkungan dari 530 menjadi 1.500, dengan adanya izin lingkungan itu nantinya mungkin akan bisa diakomodir di sana," ujar dia.
Persoalan tambang rakyat diharapkan bisa terselesaikan agar tidak mengganggu stabilitas keamanan, sosial maupun politik. Selain itu, tambang rakyat juga diharapkan memiliki pertanggungjawaban dan kontribusi bagi pemasukan negara.
Kuota yang akan ditambah untuk tambang rakyat berupa Ponton Isap Produksi (PIP) yang dikelola di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan bermitra dengan PT Timah.
Saat ini tambang timah laut atau lepas pantai terus digencarkan seiring jenuhnya penambangan darat. Dalam waktu bersamaan juga sedang dieksplorasi cadangan timah laut di Belitung Timur.
Pj Gubernur Ridwan Djamaludin mengatakan, pemerintah ingin agar pertambangan tidak membahayakan pelakunya, tidak merusak lingkungan, dan tidak merugikan negara.
"Prinsip itu dilakukan tinggal bagaimana kita melayani masyarakat agar yang ingin berpartisipasi dapat melayani sesuai dengan demokrasi," kata Ridwan.
Sebagai kekayaan alam dengan nilai keuntungan menggiurkan, daerah berharap ada bagi hasil yang memuaskan dari penambangan timah. Selama ini bagi hasil dinilai masih kurang, padahal penambangan sudah dilakukan sejak berabad lampau.
Saat rapat dengar pendapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta pada Kamis (8/4/2021) misalnya. Gubernur Bangka Belitung kala itu, Erzaldi Rosman mengajukan permintaan tambahan royalti dari 3 persen menjadi 10 persen. Kemudian juga diminta kepemilikan saham atas perusahaan pelat merah, PT Timah Tbk sebesar 14 persen.
"Daerah perlu mendapatkan peningkatan bagi hasil, karena penambangan berdampak pada kerusakan lingkungan dan potensi bencana," kata Erzaldi.
Namun hingga masa jabatan habis, belum ada kesepakatan soal peningkatan bagi hasil itu. Ridwan Djamaludin mengatakan, aspirasi pemerintah daerah terkait royalti tambang masih dikaji dengan pemerintah pusat. Sedangkan untuk kepemilikan saham, sifatnya sudah terbuka, karena PT Timah adalah perusahaan terbuka (tbk).
"Memang perlu pembahasan lebih lanjut," ujar Ridwan.
Di sisi lain, Ridwan menyoroti aktivitas tambang yang masih banyak ilegal perlu ditertibkan agar ada pertanggungjawaban atas lingkungan dan pendapatan negara.
PT Timah Tbk selaku leading sector penambangan timah, menyatakan telah menyetorkan Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP sebesar Rp1,19 triliun kepada pemerintah sepanjang semester pertama 2022.
Sekretaris Perusahaan PT Timah Abdullah Umar mengatakan, setoran pajak dan PNBP itu naik 400 persen bila dibandingkan semester pertama 2021 yang tercatat hanya Rp234,6 miliar.
"Melejitnya setoran pajak dan PNBP ini didorong tingginya harga komoditas timah pada semester I 2022 dengan rata-rata harga 41.110 dolar AS per metrik ton," ujar Abdullah saat jumpa pers di Jakarta, Senin (12/9/2022).
Dia menjelaskan, emiten berkode TINS anggota holding MIND ID itu mengalami peningkatan kontribusi pajak dan PNBP lantaran terjadi peningkatan jumlah pajak PPH Badan. Sepanjang paruh pertama 2022, PT Timah membukukan laba sebesar Rp 1,08 triliun.