JEO - Peristiwa

Tenaga Honorer, Riwayatmu Kini...

Senin, 26 Desember 2022 | 05:52 WIB

BAGI Silva Paranggai, menjadi guru merupakan pengabdian. Setelah merampungkan jenjang pendidikan magisternya, Ia memutuskan untuk mengajar di sekolah dasar.

Berbekal gelar S2 bidang pendidikan, Silva mendidik anak-anak di Sekolah Dasar Negeri 4 Awan Rante Karua, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Ia menerima gaji Rp 650.000 per bulan dan berstatus honorer sejak 2013.

Keinginan untuk memajukan pendidikan di tanah kelahirannya itu melecut semangat Silva kendati gaji yang diterima tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Saya berupaya agar ada perubahan atau ada kemajuan sedikit di bidang pendidikan. Ini yang membuat saya tetap bertahan, meskipun dari segi honor upah atau gaji sangat tidak mendukung,” kata Silva, saat ditemui Agustus 2022 lalu.

Bahkan ketika itu, Silva mengaku belum menerima haknya selama 10 bulan. Sementara, tahun ini ia dijanjikan upahnya naik jadi Rp 1 juta per bulan.

“Tapi kami belum terima satu bulan pun. Semoga bulan ini atau bulan depan sudah cair, karena SK kolektif sudah ada," ujarnya.

Gaji yang terlambat tak menghentikan langkah Silva dalam mendorong perubahan. Ia tetap menjalani profesinya sebagai pendidik meski harus gali lubang tutup lubang.

Untuk menopang hidupnya, Silva melakukan pekerjaan tambahan. Beternak hingga membuka warung kecil-kecilan ia lakoni. Sementara usaha suaminya di luar daerah juga goyah akibat terdampak pandemi Covid-19.

"Tapi yang terpenting bagaimana anak-anak ada peningkatan dalam pendidikan. Ini menjadi suatu pelayanan bagi saya, melayani anak-anak dengan penuh kesabaran meskipun banyak suka dan dukanya,” kata perempuan kelahiran 24 April 1984 itu.

Masalah tunggakan gaji yang dihadapi Silva juga dialami ratusan guru honorer di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur.

Mereka berdemonstrasi di kantor DPRD, pada Kamis (3/2/2022), untuk menuntut gaji bulan November dan Desember 2021, serta Januari 2022 yang belum dibayar.

Plt Bupati PPU Hamdan mengungkapkan, keterbatasan anggaran menjadi penyebab gaji para guru honorer belum dibayarkan.

“Memang sebelumnya tidak dianggarkan karena memang kemampuan anggaran kami enggak cukup,” ungkap Hamdan, saat dihubungi, Kamis.

"Tapi yang terpenting bagaimana anak-anak ada peningkatan dalam pendidikan. Ini menjadi suatu pelayanan bagi saya, melayani anak-anak dengan penuh kesabaran meskipun banyak suka dan dukanya.”

Tenaga honorer di Nunukan, Kalimantan Utara, juga menerima upah yang belum layak.

Persoalan ini diakui oleh Kepala Bidang Ketenagaan Kurikulum dan Sastra (K2SP) pada Dinas Pendidikan Nunukan, Asnawi.

Dia mengatakan, upah tenaga honorer saat ini belum cukup untuk memenuhi kebutuhan di wilayahnya yang serba terbatas.

"Kami selalu berharap agar mereka tidak terdampak. Kami memiliki utang dan beban moral tidak ringan ke mereka. Mau mengajar saja sudah bersyukur kita ke mereka," kata dia.

Para guru honorer di Jawa Tengah juga tidak luput dari masalah kesejahteraan. Masih ada guru honorer yang mengabdi di daerah terpencil namun belum menerima gaji layak atau setara upah minimum kota/kabupaten (UMK).

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jateng, Muhdi mengatakan, kota besar seperti Semarang sudah mampu menggaji guru honorer setara UMK dengan berbagai tambahan.

“Tapi bagaimana dengan kota yang lain? Banyak yang dibayar Rp 500.000-Rp 750.000, banyak sekali,” katanya.

Guru honorer yang menerima upah di bahwa standar layak atau ratusan ribu juga masih ditemukan di Kabupaten Gunungkidul.

Ketua Forum Honorer Sekolah Negeri (FGHSN) Gunungkidul, Aris Wijayanto mengatakan, guru tidak tetap (GTT) pengganti mendapat gaji dari pemkab sebesar Rp 800.000 per bulan.

Sementara untuk GTT murni tergantung sekolah masing-masing, karena honor berasal dari dana BOS. Diketahui, UMK Gunungkidul pada 2022 sekitar Rp 1,9 juta.

"Yang murni Rp 300.000-Rp 500.000 (per bulan), masih tapi tidak banyak. Ya sekitar 100 orang paling yang honornya masih seperti itu," kata Aris.

Belum juga usai masalah kesejahteraan, Silva dan ribuan pegawai honorer dihadapkan pada persoalan baru. Pemerintah akan menghapus sistem tenaga honorer mulai November 2023.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) telah menerbitkan Surat Edaran (SE) No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dalam surat edaran itu, terdapat sejumlah instruksi yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah (pemda). Salah satunya soal penghapusan jenis kepegawaian selain pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Instansi pemerintah yang membutuhkan tenaga tambahan dapat merekrut pekerja alih daya atau outsourcing melalui pihak ketiga.

Jika instruksi tersebut tak dijalankan, maka pejabat pembina kepegawaian (PPK) yakni kepala daerah terancam terkena sanksi

Kebijakan penghapusan tenaga honorer ini pun direspons beragam oleh pemda. Ada yang merasa sudah siap, tapi tak sedikit yang merasa keberatan.

Tenaga honorer di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten menggelar aksi damai di gedung Plaza Aspirasi, Kota Serang, Banten. Senin (15/8/2022). Aksi ribuan hokorer itu dilakukan untuk meminta kepastian nasib mereka jelang penghapusan tenaga honorer pada November 2023.
KOMPAS.COM/RASYID RIDHO
Tenaga honorer di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten menggelar aksi damai di gedung Plaza Aspirasi, Kota Serang, Banten. Senin (15/8/2022). Aksi ribuan hokorer itu dilakukan untuk meminta kepastian nasib mereka jelang penghapusan tenaga honorer pada November 2023.

Jadi penopang saat kekurangan ASN

Di tengah pro dan kontra, peran tenaga honorer dalam melayani masyarakat tak bisa diabaikan. Mereka membantu pelayanan di sektor pendidikan, kesehatan, maupun pemerintahan.

Di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, tenaga honorer menjadi tulang punggung pemda. Bagaimana tidak, jumlah tenaga honorer lebih banyak dibandingkan dengan aparatur sipil negara atau ASN (PNS dan PPPK).

Tercatat ada 3.787 PNS di Nunukan. Sementara jumlah tenaga honorer sebanyak 5.833 orang. Rencana penghapusan tenaga honorer dipastikan akan sangat berpengaruh terhadap pelayanan publik.

"Kita ada di perbatasan negara, gerbang yang menjadi tolok ukur dan barometer kewibawaan bangsa. Di pedalaman, tenaga honorer diperbantukan karena ASN yang minim," kata Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Nunukan, Surai.

"Jika itu dihapus, bisa terjadi ketimpangan, khususnya bidang pendidikan dan kesehatan,” ucapnya.

Keberadaan guru honorer berperan penting pada sektor pendidikan di wilayah perbatasan itu. Dengan akses terbatas dan jumlah murid sekolah yang terkadang tak sampai 10 orang, mereka masih rela mengajar.

Dengan demikian, kebijakan penghapusan berpotensi menjadi ancaman terhadap sektor pendidikan di Nunukan. Dinas Pendidikan Nunukan mencatat ada 2.267 guru yang terdiri dari 1.266 guru PNS dan 1.001 guru honorer.

"Tenaga pendidik merupakan penopang kinerja guru ASN di perbatasan. Tapi, dengan adanya kebijakan penghapusan honor ini, apakah itu berdampak langsung, kami masih pelajari regulasinya," ujar Kepala Bidang Ketenagaan Kurikulum dan Sastra (K2SP) pada Dinas Pendidikan Nunukan, Asnawi.

"Kalau berdampak langsung, itu menjadi ancaman dunia pendidikan di perbatasan negara," ucapnya.

"Para honorer itulah yang banyak membantu, seperti di sektor pertanian, kesehatan dan pendidikan. Bahkan ada di salah satu unit, isinya para honorer, PNS tidak ada."

Hal senada diakui Pelaksana Tugas (Plt) Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kalimantan Selatan Syamsir Rahman. Ia mengatakan, pemprov masih membutuhkan tenaga honorer.

Pasalnya, jumlah rekrutmen PNS dan PPPK tak sebanding dengan pegawai yang pensiun. Maka untuk mengisi kekosongan tersebut, pemprov mengangkat tenaga honorer.

"Para honorer itulah yang banyak membantu, seperti di sektor pertanian, kesehatan dan pendidikan. Bahkan ada di salah satu unit, isinya para honorer, PNS tidak ada," katanya.

Kondisi yang tak jauh berbeda terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Jawa Tengah, Wisnu Zaroh mengungkapkan, keberadaan tenaga honorer tidak bisa dinomorduakan.

Sebab, tenaga honorer kerap mengisi kekosongan ASN untuk membantu pelayanan publik. "Bagaimanapun kita butuh honorer, karena kadang kekurangan pegawai PNS," kata Wisnu.

 

Ancaman pengangguran

Salah satu dampak yang mungkin timbul akibat penghapusan tenaga honorer yakni pengangguran. Kebijakan tersebut dinilai dapat membuat tenaga honorer kehilangan pekerjaan,  apalagi jumlahnya di Indonesia tidak sedikit.

Di Jawa Tengah misalnya, sekitar 50.000 tenaga honorer terancam kehilangan pekerjaan jika penghapusan tenaga honorer tetap dilakukan.

Koordinator Forum Komunikasi Tenaga Non-Aparatur Sipil Negara Jawa Tengah, Agus Triyono mengungkapkan, di setiap kota setidaknya ada 1.000 tenaga kerja non-ASN. Sementara di kabupaten, jumlahnya lebih banyak, bisa mencapai 1.500 sampai 2.500 orang.

“Kami serasa kehilangan harapan,” katanya.

Di sisi lain, peluang untuk alih status menjadi pekerja alih daya atau outsourcing tidak banyak karena hanya untuk formasi tertentu saja. 

"Formasi yang terbuka hanya driver, tenaga kebersihan, dan penjaga. Ini kan istilahnya sudah dikunci dari awal, sehingga peluang yang lain tertutup," kata Agus, yang juga menjadi tenaga harian lepas di Pemkot Salatiga.

Hal senada diungkapkan Ketua Forum Tenaga Guru Honorer Negeri (FTGHN) Kota Tegal Rustanto. Dia mengatakan, pemerintah seharusnya memperhatikan nasib guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun.

"Munculnya wacana kebijakan ini jelas meresahkan kami para guru honorer. Harapannya pemerintah mencarikan solusi terlebih dahulu," katanya.

Menurut Rustanto, kekhawatiran terbesar datang dari guru honorer atau guru tidak tetap (GTT) yang berusia di atas 35 tahun. Para guru honorer takut kehilangan pekerjaan.

Ia menuturkan, para tenaga honorer khawatir terhadap nasib keluarga jika harus menganggur setelah adanya kebijakan penghapusan tersebut.

Sementara, menurut Ketua PGRI Kota Tegal Rismono, penghapusan bisa berdampak buruk bagi pelayanan pendidikan.

Ia menuturkan, jika penghapusan dilakukan tanpa solusi maka dapat membuat sekolah lumpuh. Dia mengatakan, jumlah guru honorer masih mendominasi dibandingkan guru berstatus PNS.

"Sekolah pasti lumpuh tidak bisa berjalan. Karena guru PNS dengan honorer hampir seimbang atau bahkan honorer lebih banyak," kata dia.

Jika tidak disiapkan solusi atau memecat mereka semua, tentu akan menambah angka pengangguran. Hal itu tak hanya akan terjadi di Kota Tegal, tapi juga secara nasional karena ada jutaan guru honorer di Indonesia.

"Sebenarnya saya husnuzan dengan pemerintah. Harapannya pemerintah pasti punya solusi jika benar-benar mau menghapusnya dari instansi pemerintah," kata Rismono.

Para guru honorer merampungkan garapan melukis dinding TK Pertiwi Sulursari, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Minggu (17/5/2020) pagi. Pekerjaan ini mereka lakoni untuk mendapatkan tambahan penghasilan di tengah situasi pandemi Covid-19.
KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO NUGROHO
Para guru honorer merampungkan garapan melukis dinding TK Pertiwi Sulursari, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Minggu (17/5/2020) pagi. Pekerjaan ini mereka lakoni untuk mendapatkan tambahan penghasilan di tengah situasi pandemi Covid-19.

PPPK belum jadi solusi

Seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) menjadi jalan keluar yang ditawarkan pemerintah pusat bagi tenaga honorer, khususnya untuk formasi guru.

Pemerintah pusat memprioritaskan guru honorer untuk mengikuti seleksi PPPK. Tahun lalu setidaknya ada 300.000 guru honorer sudah diangkat menjadi PPPK. Sementara tahun ini dibuka formasi guru PPPK sebanyak 320.000.

Meski begitu, PPPK belum sepenuhnya menjadi solusi bagi para tenaga honorer. Keterbatasan anggaran pemda hingga masalah SDM menjadi kendala dalam seleksi PPPK.

Di Kabupaten Nunukan, Pemda harus berpikir panjang untuk mengusulkan formasi PPPK karena tak sanggup menanggung gaji. Padahal PPPK menjadi salah satu jalan bagi tenaga honorer untuk dapat diupah layak.

“Kami perlu berhitung untuk anggaran gaji dan tunjangan. Kalau gaji ditanggung APBN, sebenarnya Pemerintah Daerah memiliki kemampuan,” kata Surai.

“Sayangnya baik gaji atau tunjangan, semua tanggungan Pemkab. Akhirnya untuk usulan PPPK, Pemkab Nunukan juga berpikir ulang,’’ tutur dia.

Selain itu, kualifikasi pendidikan honorer di Nunukan belum memenuhi syarat yakni minimal D3. Pasalnya, mayoritas honorer di Nunukan lulusan SMA/SMK sederajat.

Selain itu seleksi PPPK tidak dapat memenuhi kebutuhan pegawai di Nunukan. Pada saat pengajuan formasi PPPK, bidang pendidikan terpetakan sebanyak 800 orang, kemudian diseleksi dan diambil prioritas sebanyak 475 orang.

Di bidang kesehatan, Pemkab Nunukan mengusulkan 552 orang. Jumlah tersebut, untuk memenuhi tenaga medis di puskesmas pembantu, puskesmas, dan rumah sakit pratama. Setelah seleksi ulang, didapat jumlah 445 orang.

“Terbayang betapa besar dampak sosial, ekonomi dan politiknya akibat kebijakan pusat terhadap tenaga honorer? Kita hanya berharap, ini menjadi pemikiran pemangku kebijakan di pusat. Ini berkaitan dengan kewibawaan negara di beranda negeri juga,’’ tegasnya.

Kondisi ini dibenarkan oleh Wakil Bupati Nunukan, Hanafiah. Dia mengatakan, butuh pertimbangan matang untuk mengakomodasi tenaga honorer.

Syarat menjadi PPPK antara lain harus memiliki jenjang pendidikan yang sesuai, tidak melebihi batas usia yang disyaratkan, dan wajib mengikuti tes. Sementara, di  pelosok perbatasan RI–Malaysia mayoritas honorer hanya lulusan SMA sederajat.

Kendala lain adalah ketika honorer sudah lolos seleksi akan berbenturan masalah penggajian. Dia mengatakan kondisi fiskal daerah sedang tidak baik, sehingga akan berat jika harus menanggung gaji dan tunjangan.

"Bicara fiskal, kita tahu PAD kita saat ini hanya di kisaran Rp 176 miliar. Kalau kebutuhan gaji di atas itu, tentu tidak cukup," katanya.

Kondisi fiskal Nunukan, banyak digunakan ke hal lain berkaitan dengan pembangunan.

"Memang bisa untuk honorer, tapi yang lain akan berkurang. Kita sama-sama tahu juga, sekarang transfer dari pusat bukan semakin besar, tapi semakin berkurang nilai dan jumlah. Itu sangat berpengaruh," tegasnya.

Hal serupa juga dialami Pemerintah Kabupaten Banyumas. Sekretaris Daerah (Sekda) Banyumas Wahyu Budi Saptono mengatakan, tidak dapat serta merta mengangkat tenaga honorer menjadi PPPK karena kemampuan anggaran yang terbatas.

"Harapannya (dapat) diterima tahun ini semua, karena mau diambil guru yang lolos passing grade (2021) tanpa tes. Namun konsekuensi anggarannya cukup besar Rp 109 miliar," kata Wahyu.

“Kalau pegawai atau guru honorer ditiadakan nanti seperti apa solusinya kalau ada yang pensiun dan belum ada rekrutmen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK)?”

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jateng, Uswatun Hasanah mengatakan, penghapusan honorer tidak sepenuhnya menguntungkan institusi pendidikan.

“Kalau pegawai atau guru honorer ditiadakan nanti seperti apa solusinya kalau ada yang pensiun dan belum ada rekrutmen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK)?” kata Uswatun.

Uswatun membeberkan, ASN guru yang pensiun setiap bulan di Jateng sekitar 160 orang. Dari jumlah itu, lima di antaranya kepala sekolah.

Bila keberadaan guru honorer sepenuhnya dihapuskan, berpotensi menimbulkan kekosongan jam pelajaran di sekolah yang ditinggal guru pensiun. Terlebih lagi, PPPK tidak bisa direkrut sewaktu-waktu.

“Kita mengajukan untuk tetap ada honorer tapi masih belum diizinkan. Prosesnya sudah sampai Menpan RB tapi belum di-ACC, saat ini semua tidak boleh ada honorer,” kata dia.

Terbatasnya formasi dalam seleksi PPPK menjadi keluhan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Kadarmanta Baskara Aji menyampaikan, selama ini lowongan atau formasi PPPK hanya untuk posisi fungsional.

"Selama ini lowongan PPPK hanya di tenaga yang sifatnya fungsional seperti guru dan tenaga kesehatan, sedangkan untuk tenaga administrasi belum ada," katanya.

Aji mengungkapkan jika tenaga honorer atau di DIY disebut tenaga bantuan (naban) tidak diperbolehkan dan tidak diberi kesempatan untuk menjadi PPPK, maka dapat menghambat pelayanan publik.

"Kalau kemudian tidak diperbolehkan tenaga honor seperti naban, tetapi juga tidak diberi kesempatan PPPK administrasi tentu kami tidak bisa memberikan pelayanan yang baik," kata dia.

Menurutnya, pelayanan dapat terganggu karena banyak posisi kosong karena banyak PNS yang pensiun di DIY. Saat ini jumlah tenaga honorer di DIY sebanyak 3.000 orang.

"Tiap tahun PNS pensiun bisa jadi 200-300 orang di lingkup Pemda DIY sementara kami tambahan PNS hanya sekitar 100 itu saja guru dan nakes. Berarti tenaga administrasi habis," ucap dia.

Ia berharap, tenaga honorer atau naban administrasi bisa dialihkan ke PPPK.

"Harapan saya tenaga-temaga naban yang sekarang ada di PPPK kan. Kalau memang hanya  PNS dan PPPK. Untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan," katanya.

Aji menyebut, tenaga honorer di DIY sudah memenuhi kriteria sebagai PPPK, karena saat penerimaan tenaga honorer dilakukan seleksi yang hampir sama seleksinya dengan PPPK.

"Proses penerimaan naban pakai seleksi administrasi dan kompetensi. Hampir sama naban dengan PPPK. Sudah memenuhi persyaratan ijazahnya, kompetensinya. Kami lakukan tes," tuturnya.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat bertandang ke tumah guru honorer di Semarang
KOMPAS.com/pemprov jateng
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat berkunjung ke rumah seorang guru honorer di Semarang.

Perlu dikaji ulang

Berangkat dari berbagai persoalan tersebut, sejumlah pemerintah daerah berharap kebijakan penghapusan tenaga honorer bisa dikaji ulang.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sempat meminta pemerintah pusat mengkaji ulang penghapusan tenaga honorer. Dia mengatakan, keberadaan tenaga honorer masih diperlukan.

Dia meminta agar pegawai honorer yang sudah lama mengabdi memiliki prosedur lebih singkat saat seleksi PPPK ketimbang CPNS.

"Fakta di lapangan dalam hal ini di tingkat provinsi, tenaga kontrak sangat dibutuhkan karena kurangnya pegawai. Maka, saran saya di-review dahulu," kata Ganjar.

Wakil Bupati Nunukan Hanafiah mengatakan, pihaknya cukup dilematis dalam mengimplementasikan kebijakan penghapusan tenaga honorer. Sebab, sebagai wilayah perbatasan dan terisolasi, Nunukan memiliki lebih banyak honorer ketimbang ASN.

"Pemkab tetap berusaha mencari solusi bagi honorer, agar tidak begitu saja keluar. Keinginan kita, mereka tetap bisa bekerja. Masalahnya, ketentuan itu diatur oleh pusat. Jadi kita menunggu perkembangan terbaru, siapa tahu nanti ada perubahan di tengah perjalanan, beberapa bulan ke depan," katanya.

Dia mengatakan penghapusan tenaga honorer memiliki efek domino yang tidak sederhana. Kebijakan itu dipastikan berdampak pada mental hingga ekonomi  para tenaga honorer.

"Artinya tidak sederhana, karena menyangkut masyarakat dan anak-anak kita yang sudah lama mengabdi di pemerintahan. Mereka sudah banyak berkiprah, dan tentu banyak kontribusi yang mereka berikan. Hal itu tidak bisa kita anggap remeh. Melalui tenaga mereka, setiap OPD banyak terbantu," ucap Hanafiah.

Hanafiah menegaskan, sampai kebutuhan pegawai untuk Kabupaten Nunukan terpenuhi, maka tenaga honorer masih dibutuhkan.

Meskipun kebijakan penghapusan honorer bersifat tegak lurus tapi ia tetap yakin, di tengah perjalanan, ada argumentasi yang bisa disampaikan.

"Kata orang hanya kitab suci yang tidak bisa diubah. Artinya kita tetap optimistis siapa tahu ada perubahan di tengah jalan. Kita sangat terbantu tenaga honorer. Kalau tidak ada mereka, akan sulit," kata dia.