JEO - News

Terorisme Menurut Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga

Selasa, 22 Januari 2019 | 11:05 WIB

Paparan Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam debat pertama Pilpres 2019 disebut tak cukup mengelaborasi topik terorisme. Ini catatannya.

 

TERORISME menjadi salah satu isu yang dibahas pada debat perdana calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019).

Isu terorisme dianggap kerap menjadi persoalan keamanan di Indonesia, menjadi alasannya terpilih menjadi salah satu tema debat.

Dalam empat tahun terakhir, setidaknya ada empat teror yang mengguncang dua kota besar: Jakarta dan Surabaya. Peristiwa ini cukup menjadi perhatian warga. Media pun mewartakan sangat gencar.

Keempat peristiwa tersebut adalah:

Dalam setiap peristiwa, ada warga dan bahkan aparat yang menjadi korban, tak cuma luka tetapi juga meninggal dunia.

Baca juga: JEO Drama Dua Malam di Mako Brimob Kelapa Dua

Polri, melalui Detasemen Khusus (Densus) 88, tak pernah berdiam diri. Satuan antiteror ini menjadi andalan negara dalam pemberantasan dan penindakan terorisme.

Mereka yang diduga terkait teror, ditangkap lalu diproses, kecuali mereka yang dilumpuhkan karena dinilai melawan atau membahayakan.

Mengacu pada data polisi, pada 2018 tercatat 396 tersangka kasus terorisme diciduk. Jumlah ini lebih banyak dari data pada 2017 dengan 172 tersangka. Adapun pada 2016, tercatat 163 tersangka ditangkap sementara pada 2015 ada 73 tersangka diproses hukum.

Indonesia juga punya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang diklaim bisa diandalkan dari sisi pencegahan. Deradikalisasi adalah program utama Badan yang sekarang dipimpin Suhardi Alius itu.

Baca juga: JEO RUU Antiterorisme: dari Pasal Guantanamo sampai Tantangan HAM

Capres dan cawapres untuk Pilpres 2019, Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menawarkan sejumlah jalan keluar agar negara tak lagi kebobolan oleh teror yang meresahkan.

VISI MISI PEMBERANTASAN TERORISME - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

JEO ini mengumpulkan rencana jalan keluar yang ditawarkan kedua pasangan tersebut dalam debat pertama Pilpres 2019. Sejumlah catatan dari para pengamat kasus terorisme juga melengkapi JEO ini pada bagian akhir.

JOKOWI-MA'RUF AMIN 

MENYOAL PEMAHAMAN HAM APARAT DAN PELURUSAN PAHAM AGAMA YANG MENYIMPANG

 

 

Gambar ilustrasi pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 01 di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Joko Widodo (Jokowi)-Sandiaga Uno
KOMPAS/DIDIE SW
Gambar ilustrasi pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 01 di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Joko Widodo (Jokowi)-Sandiaga Uno

Garis besar paparan dan jawaban pasangan nomor urut 01 ini:

 

DALAM visi misi pasangan Jokowi-Ma'ruf, isu terorisme disinggung dalam upaya melanjutkan reformasi keamanan dan intelijen yang profesional dan terpercaya.

Disebutkan, upaya yang akan dilakukan adalah “meningkatkan upaya terpadu untuk menanggulangi terorisme, mulai dari peningkatan pemahaman ideologi negara untuk mengurangi radikalisme, pengembangan sistem pendidikan, hingga penguatan sistem penegakan hukum untuk mengatasi tindakan terorisme”.

Sementara itu, pada saat debat, Jokowi sebagai capres bicara lebih awal ketimbang Ma'ruf. Kandidat presiden petahana ini menuturkan perlunya pemahaman aparat terkait HAM saat menangani kasus terorisme. Sayangnya, tak ada penjelasan lebih lanjut soal ini dari Jokowi.

Baca juga: JEO Indonesia, Bersatu Lawan Terorisme!

Adapun Ma'ruf, yang di tema lain lebih banyak diam, menyatakan bahwa terorisme bisa terjadi karena dua hal, yaitu pemikiran radikal dan kondisi ekonomi. Bagi Ma'ruf, meluruskan pemikiran agama yang menyimpang menjadi solusi terkait terorisme.

"Oleh karenanya, caranya (mengatasi) adalah (dari) apa yang menyebabkan dia radikal. Kalau karena paham keagamaan menyimpang maka yang harus kita doktrinkan dengan meluruskan paham keagamaan yang menyimpang itu," ujar Ma'ruf yang pada pembahasan terkait terorisme agak lebih banyak bicara.

"Tapi kalau itu disebabkan faktor ekonomi sosial maka pendekatannya adalah melalui pemberian lapangan kerja dan santunan yang bisa mengembalikan mereka pada jalan yang lurus," lanjut Ma'ruf.

"Terorisme dianggap melakukan kerusakan dan dalam Al Quran telah dinyatakan bahwa orang yang melakukan kerusakan di Bumi harus dihukum dengan keras dan berat."

~Ma'ruf Amin~

Ma'ruf juga menawarkan pemberantasan terorisme dengan kontraradikalisme untuk menghilangkan paham-paham radikal dan intoleran.

Ketua nonaktif Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menegaskan terorisme bukan jihad, melainkan malah tindakan haram serta kejahatan kemanusiaan. Soal terorisme bukan jihad, menurut Ma'ruf, sudah difatwakan MUI.

"Terorisme dianggap melakukan kerusakan dan dalam Al Quran telah dinyatakan bahwa orang yang melakukan kerusakan di Bumi harus dihukum dengan keras dan berat," ujar Ma'ruf.

Jokowi merespons penjelasan Ma'ruf dengan mengangguk-anggukkan kepala.

Dalam kesempatan itu, Ma'ruf Amin juga menyinggung bahwa penegakan hukum terorisme tidak harus melanggar HAM. 

"Dalam melakukan tindakan, kami juga lebih akan melakukan tindakan-tindakan yang humanis yang manusiawi dengan tidak harus melanggar hak asasi manusia," ujar Ma'ruf.

Salah satu caranya, sebut Ma'ruf, yakni dengan cara melibatkan organisasi-organisasi masyarakat, khususnya keagamaan.

"Untuk itu dalam menanggulangi tindak terorisme di masa yang akan datang, kami akan mengajak ormas-ormas masyarakat khususnya organisasi keagamaan," ujar Ma'ruf.

 PRABOWO-SANDIAGA 

MEMBAWA KLAIM MENGERTI TERORISME DAN PERLUNYA PENGUATAN ANGKATAN PERANG

 

 

Gambar ilustrasi pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 02 di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno
KOMPAS/DIDIE SW
Gambar ilustrasi pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 02 di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno

Garis besar paparan dan jawaban pasangan nomor urut 02 ini:

DALAM visi misinya, pasangan nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga menyebut terorisme dalam fokus keempat Program Kerja Nasional.

Disebutkan dalam programnya, mencegah aksi terorisme dengan mereformasi sektor keamanan, pembenahan regulasi keamanan, reorientasi pendidikan aparat penegak hukum, dan melakukan kampanye sosial-kultural secara menyeluruh.

Dalam debat, Prabowo yang lebih banyak memaparkan program dibanding Sandiaga.

Capres pasangan nomor urut 02 ini menyatakan harus ada penguatan angkatan perang dan kepolisian di Indonesia untuk melawan terorisme. Tujuan penguatan itu, kata Prabowo, agar ancaman dapat dideteksi sebelum teror terjadi.

"Angkatan perang kita harus kuat, polisi kita harus kuat. Kita harus bisa mendeteksi sebelum terjadi terorisme," kata Prabowo.

“Seolah terorisme itu orang Islam, padahal itu sebetulnya dia itu bukan (orang Islam), dikendalikan oleh orang yang mungkin juga bukan orang Islam, mungkin orang asing atau bekerja untuk orang asing.”

~Prabowo Subianto~

Ia menjanjikan, apabila terpilih, akan meningkatkan investasi untuk memperkuat kepolisian dan kekuatan militer Indonesia.

"Saya akan meningkatkan investasi di bidang kepolisian, intelijen, dan angkatan bersenjata. Angkatan perang kita harus kita perkuat," ujarnya.

Selain itu, Prabowo berpendapat bahwa terorisme disebabkan oleh faktor eksternal. Menurut mantan Danjen Kopassus itu, warga yang merasakan ketidakadilan bisa berubah menjadi radikal.

"Mereka tersakiti, mereka dipengaruhi pengajar-pengajar ataupun orang-orang yang radikal," kata dia.

Prabowo juga berjanji bakal memperhatikan dan memperkuat peran pesantren. Itu, menurut dia, merupakan bagian dari deradikalisasi dan investasi untuk menyejahterakan rakyat.

Prabowo mengatakan pula, pada saat masih menjadi tentara dirinya memiliki minat di bidang antiterorisme. Untuk itu, dia mengaku cukup mengerti bagaimana cara menanggulangi kejahatan luar biasa ini.

Baca juga: JEO Fakta Rencana Teror dari Gelanggang Mahasiswa di Riau

Menurut Prabowo, terorisme dan para pelakunya sering kali merupakan kiriman dari negara lain. Dia juga bercerita bahwa dia bersama Luhut Pandjaitan—kini Menteri Koordinator Kemaritiman—adalah yang membentuk pasukan antiteror pertama milik TNI, yakni Detasemen Gultor 81.

“Saya mengerti dengan masalahnya adalah, pengalaman saya mengetahui, sering kali terorisme ini dikirim dari negara lain dan sering juga dibuat nyamar,” ujar Prabowo.

Menurut Prabowo, para pelaku terorisme kerap dicap kepada agama tertentu. Padahal, kata Prabowo, penggerak terorisme bisa saja orang asing.

“Seolah terorisme itu orang Islam, padahal itu sebetulnya dia itu bukan (orang Islam), dikendalikan oleh orang yang mungkin juga bukan orang Islam, mungkin orang asing atau bekerja untuk orang asing,” sambung Prabowo.

Sandiaga menambahkan, terorisme timbul karena tekanan hidup. Mereka yang terpapar, kata dia, bisa jadi karena merasa sulit mendapatkan masa depan cerah. Sandiaga menjanjikan, negara hadir agar kelompok tersebut tidak terjerumus pada terorisme.

 KURANG ELABORATIF 

 

PENGAMAT terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menilai kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden belum memberikan perhatian yang mendalam terkait isu terorisme.

Harits menilai, keduanya belum bisa menampilkan konstruksi pemikiran yang komprehensif, sistematis, dan sederhana.

"Paparan dua paslon masih jauh dari ekspektasi publik, yang berharap narasi mereka bernas, tuntas, dan fundamental."

~Harits Abu Ulya~

"Paparan dua paslon masih jauh dari ekspektasi publik, yang berharap narasi mereka bernas, tuntas, dan fundamental," ujar Harits, sehari setelah debat berlangsung.

Harits mengatakan, konstruksi pemikiran yang komprehensif seharusnya dapat digunakan kedua pasangan calon untuk mengidentifikasi masalah terkait terorisme, dari hulu hingga ke hilir.

Dengan demikian, masing-masing pasangan calon dapat memberikan solusi-solusi praktis untuk mencegah dan menindak terorisme tanpa melanggar koridor yang diatur dalam UU Terorisme, UU HAM, dan sistem hukum.

Ilustrasi penanganan terorisme - (KOMPAS/DIDIE SW)

Di sisi lain, Harits memandang adu debat antara pasangan calon terkait isu terorisme juga kurang menarik, dengan narasi yang kurang elaboratif.

"Bisa jadi memang soal terorisme dianggap bukan soal fundamental yang dihadapi bangsa Indonesia dibandingkan persoalan-persoalan lainnya seperti ekonomi, keadilan, pendidikan dan peningkatan kualitas SDM, moral generasi bangsa, kejahatan kerah putih, dan narkoba," kata Harits.

Baca juga: JEO Elegi Anak-anak di Ledakan Bom Surabaya

Adapun pengamat terorisme Al Chaidar berpendapat, kedua paslon tidak memiliki program unggulan selain deradikalisasi. Padahal, kata dia, deradikalisasi adalah program gagal yang tak perlu lagi dijadikan program utama.

"... tidak perlu program deradikalisasi, karena itu buang-buang waktu, uang, dan cenderung (mendapat) resistensi tinggi sekali dan sudah memakan banyak korban juga.”

~Al Chaidar~

“Menurut saya tidak perlu program deradikalisasi, karena itu buang-buang waktu, uang, dan cenderung (mendapat) resistensi tinggi sekali dan sudah memakan banyak korban juga,” tutur Chaidar.

Pelaku terorisme, menurut Chaidar, harus dikembalikan sisi kemanusiaannya. Sehingga, program yang tepat untuk menekan serta mengantisipasi terorisme adalah lewat cara humanisasi.

Pengamat terorisme dari Universitas Islam Indonesia (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Robi Sugara mengkritik pasangan Jokowi-Ma'ruf tidak menjabarkan secara detail mengenai permasalahan terorisme.

Menurut Robi, solusi yang disampaikan Ma'ruf terkait pelurusan paham ideologi dan kesejahteraan ekonomi maupun deradikalisasi sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi.

"Penyampaian Ma'ruf memang runut ya, tetapi solusi persoalan teroris lewat ideologi dan kesejahteraan itu adalah bagian dari penyebab-penyebab terorisme di Indonesia, masih banyak penyebab lainnya yang lebih rumit dan belum dilakukan pemerintah saat ini," kata Robi.

"Seharusnya Ma'ruf lebih banyak menjelaskan bagaimana penanganan teroris lewat cara yang lunak atau keras. Masalah terorisme itu rumit, bukan soal ideologi dan kesejahteraan saja," ungkapnya.

Dalam hal penindakan, lanjut Robi, Indonesia sudah unggul dibandingkan negara lain, seperti Malaysia dan Filipina. Namun, di sisi ideologi dan kesejahteraan seperti solusi yang disampaikan Ma'ruf dinilai akan sulit diimplementasikan.

Baca juga: JEO Vonis Mati untuk Aman Abdurrahman

Robi juga mengkritik pernyataan Prabowo yang menyebut bahwa terorisme yang kerap dikirim dari negara lain. Menurut dia, ungkapan Prabowo itu sulit diterima.

"Pernyataan Prabowo itu konspirasi ya. Dia menyatakan terorisme itu dari luar atau ada agenda yang tersembunyi dari negara lain dan seakan-akan Indonesia dimainkan oleh mereka," kata Robi.

Menurut Robi, kelompok-kelompok ekstrem di Indonesia yang berbasis agama sebenarnya sudah ada sebelum munculnya ISIS di Timur Tengah. Robi mencontohkan kelompok Negara Islam Indonesia (NII).

"... Masalah terorisme itu rumit, bukan soal ideologi dan kesejahteraan saja."

~Robi Sugara~

"Kelompok ekstrem berbasis agama Islam NII sudah ada di Indonesia yang dimulai pada tahun 1949. Kurang lebih ideologinya sama dengan ISIS, yakni membentuk negara dengan sistem hukum Islam. Jadi ini bukan persoalan kiriman dari luar," kata dia.

Berdasarkan catatannya, Robi menyebut, kelompok-kelompok ekstrem di Indonesia justru yang paling eksis di negara lain seperti di Malaysia dan Filipina. Di Malaysia, banyak kelompok asal Indonesia yang menyebarkan paham radikalisasi mulai 1998.

"Masyarakat Muslim di Malaysia diradikalisasi oleh kelompok itu. Mereka pergi ke Malaysia saat Orde Baru," tutur Robi.

Baca juga: JEO Ketimpangan, Ketidakadilan, dan Tahun Politik

Adapun di Pulau Mindanao, Filipina, banyak kelompok dari Indonesia yang melatih kelompok ekstrem Abu Sayyaf dari sisi militer maupun ideologinya.

"Kelompok asal Indonesia itu dari Jemaah Islamiyah. Makanya Indonesia itu eksis dalam masalah terorisme dan pernyataan Prabowo tadi malam jelas konspirasi," ujar Robi.