SELAMANYA, Etes Hidayatullah (52) akan mengingat peristiwa yang terjadi tanggal, Rabu, 8 Desember 2021.
Menjelang sore, putra kesayangannya Handi Saputra (17), dikabarkan mengalami kecelakaan lalu lintas di Jalan Nasional III, Nagreg, Bandung, Jawa Barat.
Sang putra sedang mengendarai sepeda motor bersama kekasih bernama Salsabila (14). Kemudian, sebuah mobil Isuzu Panther yang melaju kencang berlawanan arah, menabraknya.
Tubuh Salsabila terpental masuk ke dalam kolong mobil. Ia tewas di tempat.
Handi juga terpental dan jatuh tepat di dekat ban depan mobil.
Suara benturan keras mengundang perhatian warga sekitar. Mereka berbondong-bondong mendatangi lokasi kecelakaan.
Beberapa orang menyebut, Handi masih bernapas meski terkapar bersimbah darah.
Sejurus kemudian, tiga pria tak dikenal keluar dari dalam mobil Panther. Seorang di antaranya mengevakuasi tubuh Salsabila dari kolong mobil ke dalam mobil, kemudian dilanjutkan tubuh Handi.
Dengan tergesa-gesa, pria itu mengatakan kepada warga, akan membawa para korban ke Puskesmas terdekat.
Kasus tabrak lari menewaskan dua orang, laki-laki dan perempuan. Pelakunya diduga oknum TNI, diancam hukuman maksimal dari pasal pembunuhan berencana.
— Aiman (@AimanWitjaksono) January 17, 2022
Meski ada sejumlah pertanyaan tersisa.. Saya menelusuri peristiwanya. EKSKLUSIF!#AIMAN @KompasTV @kompascom pic.twitter.com/9UGEV777Qi
Beberapa waktu setelah para korban dibawa pergi dengan mobil, Etes yang telah menerima kabar buruk itu langsung berangkat dari rumahnya di Desa Cijolang, Limbangan, Garut, mendatangi lokasi kecelakaan.
Sesampainya di lokasi, ia bersama sang istri Agan Suryati tidak mendapatkan informasi ke mana sang putra dilarikan. Mereka kemudian mencari ke sejumlah puskesmas dan rumah sakit di Garut.
Tak menemui hasil, Etes dan istri mencari keberadaan sang putra sampai ke puskesmas dan rumah sakit di wilayah Tasikmalaya, Sumedang, hingga Bandung. Namun, hasilnya tetap nihil.
Kegelisahan yang sama juga dirasakan keluarga Salsabila yang berdomisili di Kampung Tegallame, Desa Ciaro, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung.
Berhari-hari kemudian, tidak ada seorang pun yang dapat menjelaskan keberadaan putra-putri mereka.
Sembilan hari berselang, tepatnya 17 Desember 2021, telepon genggam Etes berdering. Seseorang yang mengaku personel kepolisian dari Polrestabes Bandung mengabarkan keberadaan Handi.
Kabar itu bagai petir di siang bolong. Handi disebut ditemukan dalam kondisi tak bernyawa. Begitu juga Salsabila. Bahkan, keduanya sudah dimakamkan.
Etes dan keluarga Salsabila bergegas menuju lokasi. Mereka ditemani personel polisi.
Dari penjelasan polisi, jasad Handi dan Salsabila ditemukan di aliran Sungai Serayu yang masuk wilayah Kabupaten Banyumas dan Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu 11 Desember 2021, tiga hari usai kecelakaan.
Setelah sempat menjalani autopsi, penyidik Polrestabes Bandung menyatakan bahwa kedua mayat itu identik dengan korban kecelakaan di jalan raya Nagreg, Bandung, Jawa Barat.
Kepala Satreskrim Polresta Banyumas Komisaris (Pol) Berry mengatakan, dua hari usai ditemukan, pihaknya memutuskan untuk memakamkan korban di tempat pemakaman umum (TPU) Desa Banjarparakan, Banyumas, Jawa Tengah.
Menerima penjelasan dari polisi, keluarga Handi dan Salsabila meyakini bahwa dua jasad itu adalah anak-anak mereka.
Atas permintaan keluarga, makam kedua korban dibongkar untuk dipindahkan ke kampung halamannya, Sabtu 18 Desember 2021.
Tak sampai sepekan, tepatnya Jumat 24 Desember 2021, tiga orang yang berada di dalam Isuzu Panther yang merupakan penabrak sekaligus pembuang jasad Handi dan Salsabila diumumkan.
Mengejutkan, ketiganya merupakan prajurit aktif TNI Angkatan Darat, yakni Kolonel Infanteri Priyanto, Koptu Ahmad Sholeh, dan Kopda Andreas Dwi Atmoko.
Priyanto ditangkap di Gorontalo. Ia diketahui menjabat sebagai Kepala Seksi Intel Korem 133/Nani Wartabone.
Sementara, Koptu Ahmad Sholeh berdinas di Kodim Demak, Kodam IV/Diponegoro dan Kopda Andreas Dwi Atmoko berdinas di Kodim Gunung Kidul. Keduanya ditangkap di tempat dinasnya masing-masing.
Setelah dipastikan bahwa tiga tersangka merupakan prajurit TNI AD, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman langsung mengunjungi keluarga Handi dan Salsabila pada 27 Desember 2021.
Dudung menyampaikan permohonan maaf atas perbuatan ketiga pelaku yang tidak bertanggung jawab sekaligus menyampaikan dukacita yang mendalam.
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa turut angkat bicara. Ia memerintahkan agar ketiga orang pelaku menjalani hukuman seumur hidup meski mereka mungkin saja dihukum mati.
Etes yang mengetahui bahwa para pelaku merupakan aparat negara sampai menyerukan permohonan kepada Presiden Joko Widodo.
"Mohon kepada Pak Jokowi, bukan masalah kecil. Ini menyangkut nyawa manusia, anak saya masih hidup malah dibuang," ucap dia.
Etes tak menyangka pelaku yang membuang jasad anaknya di Jawa Tengah adalah prajurit TNI AD.
"Harapannya dari keluarga, biarpun pelaku adalah oknum aparat, keluarga meminta pelaku dihukum seadil-adilnya," lanjut dia.
Penangkapan Kolonel Priyanto dan anak buahnya mengungkap selubung tanda tanya bagaimana mereka membuang jasad kedua sejoli tersebut.
Sejumlah fakta terungkap dalam rekonstruksi di lokasi kecelakaan hingga lokasi di mana pelaku membuang jasad.
Rekonstruksi pertama digelar di lokasi kecelakaan, Nagreg, Senin, 3 Januari 2022. Priyanto, Ahmad, dan Andreas mengenakan baju tahanan berwarna kuning dengan borgol pada kedua tangan.
Adegan demi adegan mereka peragakan. Diawali dengan mengangkat manekin korban Salsabila dari kolong mobil Isuzu Panther dengan nomor polisi B 300 Q ke kursi penumpang bagian tengah.
Selanjutnya, manekin korban Handi dimasukkan ke bagian belakang mobil.
Ayah Salsabila bernama Jajang (47), tampak gelisah menyaksikan rekonstruksi itu.
"Saya mah teu puguh rarasaan teu puguh cicing (perasan tak jelas dan tak bisa diam)," ujar dia.
Rekonstruksi kedua digelar pada hari yang sama di Jembatan Sungai Serayu di Banyumas. Para pelaku memperagakan aksi membuang dua manekin korban ke sungai dari atas jembatan.
Jasad pertama yang dibuang adalah Salsabila. Ia dijatuhkan dari sisi barat jembatan dengan posisi kepala berada di bawah.
Setelah itu, di titik yang sama giliran jasad Handi yang dijatuhkan ke sungai. Tetapi, jasad Handi dibuang dengan posisi kaki terlebih dahulu.
Di luar rekonstruksi, penyidik Puspom TNI AD mengungkapkan, ketiga prajurit itu berusaha menghilangkan barang bukti dengan cara mengubah warna mobil Panther yang digunakan melakukan aksinya.
Para tersangka mengubah warna mobil tersebut di Sleman, DIY, setelah membuang Handi dan Salsabila ke Sungai Serayu.
"Mereka berusaha menghilangkan barang bukti dengan mengecat mobil yang digunakannya saat peristiwa kecelakaan itu terjadi," ujar Komandan Puspomad Letnan Jenderal Chandra Warsenanto Sukotjo di Kantor Oditurat Militer Tinggi II Jakarta.
Suryati (41), ibu Salsabila, mengaku lega setelah ketiga tersangka ditangkap dan rekonstruksi digelar. Di saat yang bersamaan, Suryati juga merasa kesal sekaligus kasihan kepada tersangka.
Suryati pun berharap tersangka bisa dihukum setimpal dengan apa yang telah diperbuat.
Keluarga Handi menginginkan Kolonel Priyanto dihukum mati. Menurutnya hukuman itu setimpal dengan perbuatannya yang telah menghilangkan nyawa seseorang.
"Kami sedari awal sudah meminta hukum seberat-beratnya, yaitu hukuman mati," kata Ibunda Handi, Agan Suryati, di Garut, Jawa Barat, Kamis 21 April 2022.
Hari persidangan pun tiba. Gambaran tindak pidana yang Kolonel Priyanto dkk lakukan semakin terang benderang.
Dalam sidang 15 Maret 2022, terungkap bahwa tabrakan terjadi saat ketiga prajurit itu pulang dari Jakarta setelah menghadiri acara evaluasi intelijen yang digelar 6-7 Desember 2021.
Seharusnya perjalanan mereka lurus, yakni Yogyakarta-Jakarta-Yogyakarta. Tapi, di tengah perjalanan Priyanto meminta berbelok ke Cimahi, Jawa Barat di saat pulang dan pergi.
Kopda Andreas selaku pengemudi bersaksi, dalam perjalanan menuju Jakarta dari Yogyakarta, mereka mampir di Cimahi untuk menjemput Nurmala Sari alias Lala, teman perempuan Kolonel Priyanto.
Lala disebut sebagai kenalan Priyanto pada 2013 saat ia masih bertugas di Cimahi.
Hakim kemudian bertanya kepada Kopda Andreas, apakah Priyanto memiliki istri sah atau tidak. Andreas menjawab, saat pertama kali menjemput Andreas di rumahnya, ia melihat istri Priyanto.
Andreas melanjutkan, Lala dibawa ikut ke Jakarta. Selama dua hari setelahnya, Lala menginap di hotel dan sekamar dengan Priyanto. Sementara Andreas sekamar dengan Ahmad Soleh.
Selepas evaluasi intel berlangsung, rombongan tak langsung mengantar Lala kembali ke Cimahi, namun menginap satu malam lagi di Hotel Ibis, Bandung.
Alasan Priyanto, rombongan butuh istirahat setelah perjalanan dari Jakarta.
Keesokan harinya, tepatnya 8 Desember 2021, Lala baru diantar pulang. Setelah itu, Priyanto, Ahmad dan Andreas menuju Yogyakarta melalui jalur mereka datang, yaitu Nagreg.
Pada sidang dakwaan 8 Maret 2022, disebutkan, dalam perjalanan itulah mereka menabrak Handi dan Salsabila. Andreas yang memegang kemudi.
“Sekira pukul 15.30 WIB tiba di Jalan Raya Nagreg, kendaraan yang dikemudikan bertabrakan dengan sepeda motor Satria FU,” kata Oditur Militer atau jaksa penuntut umum (JPU) peradilan militer, Kolonel Sus Wirdel Boy saat membacakan surat dakwaan, 8 Maret 2022.
Benturan yang kencang membuat Handi dan Salsabila terpental dari motor yang dinaikinya. Handi tergeletak di dekat ban depan, sedangkan Salsabila masuk dalam kolong mobil tersebut.
Sejumlah warga di lokasi kejadian yang menjadi saksi memberi pertolongan dan menunggu Unit Laka Satlantas tiba.
Karena polisi tak kunjung sampai ke lokasi kejadian, Priyanto memerintahkan agar Handi dan Salsabila dimasukan dalam mobil.
Saat membopong keduanya ke dalam mobil, empat warga yang menjadi saksi menuturkan Handi masih dalam keadaan hidup. Namun, berdasarkan keterangan para saksi, kondisi Salsabila kala itu sudah tak bernyawa.
Beberapa saksi sempat memeriksa Salsabila dan mendapati remaja perempuan itu sudah tak bernafas dengan luka parah di bagian kepala dan patah tulang pada kaki kanan.
Warga sempat menahan agar Priyanto dan kedua anak buahnya tidak membawa kedua remaja itu. Tetapi, Priyanto memerintahkan kedua anak buahnya segera mengevakuasi kedua korban ke dalam mobil.
Setelah tubuh Handi-Salsabila berada di dalam mobil, Priyanto memerintahkan Andreas untuk memacu kendaraannya menuju Sungai Serayu, Jawa Tengah.
Menurut Priyanto, awalnya mereka ingin membawa kedua korban itu ke rumah sakit. Namun, karena panik dan ketakutan, dirinya mencetuskan ide untuk membuang tubuh Handi dan Salsabila.
“Dia (Andreas) gemetar. Dia Izin ke saya, ‘Bapak bagaimana anak dan istri saya nasibnya’, sambil gemetar nyopir. Kemudian karena gemetar dan dia nyopir tidak fokus, akhirnya saya gantikan,” kata Priyanto.
Priyanto menyatakan dirinya mengambil alih kemudi supir dan mencetuskan ide itu selain karena panik, juga ingin melindungi anak buahnya tersebut.
Sebab, Andreas banyak berjasa pada keluarganya dan Priyanto menganggap dirinya banyak utang budi ke anak buahnya tersebut.
Dalam persidangan terpisah, Andreas mengatakan dirinya dan Ahmad Soleh sudah berulang kali memohon agar Handi-Salsabila dibawa ke rumah sakit atau Puskesmas, tapi Priyanto menolak.
Bahkan, Priyanto meminta Andreas dan Ahmad tidak cengeng meratapi peristiwa yang telah terjadi.
“Saya sudah memohon. (Lalu Priyanto berkata) ‘kamu nggak usah cengeng, saya sudah pernah mengebom (rumah) tidak ketahuan. Tentara enggak usah cengeng’,” ungkap Andreas menirukan pernyataan Priyanto ketika dalam perjalanan menuju Jawa Tengah.
Permohonan yang sama juga disampaikan Ahmad.
"Itu anak orang pasti dicariin sama orangtuanya, mending kita balik," ucap Ahmad.
Tetapi, Priyanto menghardiknya, "kamu diam saja ikuti perintah saya".
Dalam persidangan selanjutnya, Priyanto mengaku menyesal telah membuang tubuh sejoli Handi Saputra dan Salsabila ke sungai.
Ia mengaku mendapat dorongan yang tak ia bisa kendalikan sehingga muncul ide untuk membuang jasad keduanya ke sungai usai mengalami kecelakaan di Nagreg, Bandung, Jawa Barat, pada 8 Desember 2021.
“Saya juga menyesal, sangat-sangat menyesal, mungkin yang saya lakukan, saya tidak tahu ada setan dari mana yang masuk ke kepala saya,” kata Priyanto ketika menjawab pertanyaan hakim dalam persidangan di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Kamis (7/4/2022).
“Saya juga enggak tahu, panik, kalap dan ada yang masuk tiba-tiba, saya tidak tahu bagaimana. Itu yang terjadi,” terang dia.
Priyanto berharap suatu saat bisa menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga Handi dan Salsabila. Ia ingin menyampaikan permintaan tersebut karena sudah berbuat salah terhadap para korban.
“Kami menyesal. Tindakan yang saya lakukan memang salah. Saya akui dan saya menyesal. Harapan saya, saya bisa minta maaf kepada keluarganya,” imbuh dia.
Sayang, permintaan maaf yang ingin ia sampaikan langsung saat bertemu keluarga Handi dan Salsabila di ruang sidang dihalau hakim.
Alasannya, ayah kedua korban masih sakit hati atas tindakan para terdakwa yang telah menghilangkan nyawa anaknya.
Hakim pun meminta Priyanto untuk menyampaikan permintaan maaf di kesempatan lain.
“Kami tidak memberikan kesempatan itu karena keterangannya saksi delapan dan sembilan ini (ayah Handi dan Salsabila), dia tambah lama tambah sakit hati, jadi biarkanlah proses hukum yang berjalan,” kata ketua majelis hakim.
Hari ini, Selasa 7 Juni 2022, majelis hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup atas Priyanto.
Selain itu, majelis juga memutuskan agar Priyanto diberhentikan secara tidak hormat alias dipecat.
“Memidana terdakwa oleh karena itu Kolonel Priyanto pidana pokok penjara seumur hidup, pidana tambahan dipecat dari dinas militer,” kata Ketua Majelis Hakim Brigjen Faridah Faisal saat membacakan vonis di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta.
Hukuman ini sesuai dengan tuntutan oditur yang dalam persidangan sebelumnya.
Faridah mengatakan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana bersama-sama.
Selain itu, Priyanto juga terbukti melakukan perampasan kemerdekaan orang lain secara bersama-sama dan terbukti menghilangkan mayat dengan maksud menyembunyikan kematian secara bersama-sama.
Priyanto pun dinilai telah melanggar Pasal Primer 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang Penyertaan Pidana, Subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Subsider pertama Pasal 328 KUHP tentang Penculikan juncto Pasal 55 Ayat (1 ) KUHP, subsider kedua Pasal 333 KUHP Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Subsider ketiga Pasal 181 KUHP tentang Mengubur, Menyembunyikan, Membawa Lari, atau Menghilangkan Mayat dengan Maksud Menyembunyikan Kematian jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Majelis hakim sekaligus membacakan hal yang meringankan dan memberatkan untuk Priyanto.
Hal yang meringankan dalam vonis ini, yakni Priyanto telah berdinas di TNI selama kurang lebih 28 tahun dan belum pernah dipidana maupun dijatuhi hukuman disiplin, serta menyesal atas perbuatannya.
Sedangkan, hal yang memberatkan karena perbuatan terdakwa telah merusak citra TNI AD.
“Perbuatan terdakwa bertentangan dengan kepentingan militer yang senantiasa menjaga solidaritas kepentingan rakyat dalam rangka tugas pokok TNI,” terang Faridah.
Hal yang memberatkan berikutnya, terdakwa dalam kapasitasnya sebagai prajurit berpangkat kolonel identik untuk dipersiapkan oleh negara untuk berperang dan melaksanakan tugas selain perang.
Pada poin ini, terdakwa pada hakekatnya melindungi kelangsungan hidup negara dan masyarakat, bukan membunuh rakyat yang tidak berdosa.
Selanjutnya, aspek rasa keadilan masyarakat bahwa perbuatan terdakwa bertentangan dengan nilai-nilai di masyarakat.
Perbuatan terdakwa dianggap bertentangan dengan norma hukum yang tertuang dan tidak mencerminkan nilai pancasila, tidak mencerminkan nilai kemanusiaan yang beradab, dan norma agama.
Kemudian, perbuatan terdakwa merusak ketertiban dan kedamaian masyarakat
“Sikap batin pelaku tindak pidana bahwa perbuatan terdakwa dengan sengaja dalam keadaan sadar dan dapat dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,” imbuh dia.
Priyanto mengatakan, akan pikir-pikir terlebih dahulu untuk mengajukan banding. Begitu pula dengan pihak Oditur Militer Tinggi.
Pada waktu yang sama, Kopda Andreas divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Militer II-09 Bandung. Andreas dihukum penjara selama enam bulan.
Kopda Andreas terbukti bersalah sesuai Pasal 310 ayat (3) Jo ayat (4) dan Pasal 312 UU RI nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 190 ayat (1) UU RI nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer serta ketentuan perundang-undangan yang lain.
Vonis itu diketahui lebih ringan dibandingkan tuntutan, yakni hukuman 10 bulan penjara.
Sementara itu, Koptu Ahmad masih proses sidang dan dalam waktu dekat akan dijatuhi vonis juga.
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel memiliki analisis menarik tentang keputusan Kolonel Priyanto membuang jasad Handi dan Salsabila ke sungai setelah menabrak mereka.
Menurut Reza, sebagai seorang perwira menengah militer, terlebih berlatar belakang intelijen, Priyanto diasumsikan sebagai seseorang yang memiliki pola pikir lebih tinggi dibandingkan warga sipil.
Ia merupakan perencana yang baik, penuh kalkulasi, mengandalkan kelengkapan data, serta memiliki kecermatan tinggi, sampai pada puncaknya yaitu pengambilan kesimpulan matang. Sebut saja, kompleksitas isi kepalanya bernama sistem tingkat dua.
Persoalannya, ada syarat agar sistem tingkat dua ini diterapkan secara optimal. Dibutuhkan energi dan waktu yang banyak. Sementara, situasi yang dihadapi Priyanto setelah menabrak dua sejoli hingga tewas sangat genting.
"Nah, dalam situasi genting, justru orang cenderung berpikir dengan sistem satu yang aktif. Sistem satu ditandai dengan pemikiran yang cepat, spontan, menggunakan minim data, bahkan impulsif," papar Reza saat berbincang dengan JEO Kompas.com pada Selasa (7/6/2022).
"Sistem satu ini adalah manifestasi proses berpikir manusia pada tataran paling rendah. Ya pilihannya hanya fight atau flight," lanjut dia.
Seorang militer yang secara de jure semestinya memiliki sistem tingkat dua, menurut Reza, bisa sekonyong-konyong menerapkan pola pikir pada sistem tingkat satu apabila merasa terpojok.
Apalagi, ditambah munculnya rasa panik, kalap, cemas hebat, takut dan sejenisnya. Ini cukup untuk mengarahkan seorang profesional ke proses berpikir tingkat satu.
Lantas, di mana kah posisi Priyanto sebenarnya dalam tingkatan sistem pikir ini?
"Dari kronologi yang diwartakan media, oknum tersebut (Priyanto) tidak memakai proses berpikir sistem satu. Dia memakai sistem dua, namun kacau balau, berantakan," ujar Reza.
Kesimpulan Reza ini didasarkan pada fakta bahwa setelah Priyanto dan anak buahnya menabrak korban hingga tewas, ada jeda waktu yang panjang hingga akhirnya jasad kedua sejoli itu dibuang di sungai.
"Aksi pembuangan tubuh korban ini jelas bukan perilaku spontan. Ada jeda waktu panjang. Ada analisis pemilihan lokasi, koordinasi dengan bawahan dan seterusnya," ujar Reza.
Tetapi, sistem pikir tingkat duanya tidak berjalan dengan baik sehingga banyak analisis di dalam kepalanya yang diabaikan. Output-nya, rencana kejahatan tidak berjalan sempurna.
Sampai pada titik ini, lanjut Reza, terdapat sebuah kejanggalan dalam rangkaian kasus ini.
Pengemudi mobil bukanlah Priyanto, melainkan Kopda Andreas. Lantas mengapa Priyanto yang 'sibuk' mengurus kedua jasad?
"Seolah-olah dia sedang menutup-nutupi sesuatu, sehingga tidak ingin keberadaannya di wilayah itu diketahui pihak lain. Kalau diketahui, mungkin bisa berdampak ke kariernya dan lain-lain," ujar Reza.
Semoga aparat penegak hukum menyentuh sekaligus menggali kejanggalan ini.