Kenali risiko kesehatannya, upayakan pencegahannya bahkan sejak muda.
SALAH satu syarat awal untuk menggapai bahagia adalah badan dan pikiran sehat. Ini berlaku bagi siapa pun, mau muda atau tua.
Bagi lansia, persoalan kemunduran fisik tak dimungkiri berkorelasi dengan kesehatan. Namun, upaya membangun kebugaran sejak muda juga akan menentukan kualitas kesehatan saat memasuki usia senja.
Berikut ini sejumlah informasi terkait isu kesehatan lansia yang sebaiknya anak muda pun perlu tahu, baik untuk memahami orang-orang lanjut usia di sekitarnya maupun buat persiapan diri sendiri yang pada akhirnya juga akan tua bila diberi umur panjang.
Kompas.com, harian Kompas, Kompas TV, dan Kontan, mengupas bersama topik seputar lansia ini—baik dari perspektif usia senja maupun persiapan menuju tua—dalam liputan inisiatif bersama bertajuk voice for voiceless.
Selain Kompas TV, garapan bersama ini sudah dapat disimak sejak Senin (19/8/2019). Adapun Kompas TV menayangkan hasil peliputannya dalam program Berkas Kompas yang tayang pada Selasa (20/8/2019) pukul 22.00 WIB.
Beragam liputan informatif dan inspiratif Kompas.com terkait lansia dan perencanaan hari tua dapat disimak dalam liputan khusus Bahagiakan Lansia.
Untuk memudahkan navigasi JEO ini, urutan isi artikel adalah (klik untuk melompat ke bagian yang diinginkan):
Gambaran umum tentang lansia di Indonesia, simak di JEO - Tua Itu Pasti, Bahagia Kudu Upaya dari Muda.
SEIRING bertambahnya usia, risiko terkena penyakit degeneratif yang disebabkan penuaan sel-sel organ atau sistem tubuh memang meningkat. Namun, bukan berarti tak bisa dikendalikan.
Secara global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, setiap tahun penyakit degeneratif menyebabkan kematian 38 juta jiwa.
Selain terjadi pada orang usia lanjut, sekitar 16 juta kematian terjadi di bawah usia 70 tahun.
Di Indonesia menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, diabetes, jantung, kanker, dan stroke menempati peringkat atas penyakit dengan angka kasus terbanyak.
Mengutip data BPS, sedikitnya satu dari empat lansia sakit dalam sebulan terakhir.
“Penyakitnya di antaranya hipetensi, arthritis (penyakit sendi), stroke, Paru Obstruktif Kronik (PPOK), dan diabetes melitus,” jelas dr Rensa, SpPD-KGer, FINASIM.
Hal ini wajar, mengingat fungsi organ tubuh semakin menurun seiring bertambahnya usia dan menyebabkan tubuh menjadi rentan penyakit.
Data yang disampaikan Rensa sejalan dengan hasil studi yang dilakukan oleh para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.
Mereka meneliti pasien geriatri di Poli Geriatri RSUP Dr. M. Djamil Padang selama Januari hingga Desember 2014 .
Dari jenis penyakit, hipertensi adalah jenis penyakit kronis yang paling banyak ditemukan. Faktor penuaan yang menyebabkan penurunan elastisitas pembuluh darah jadi pencetusnya.
Hipertensi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti genetik, stres, asupan natrium dan kalium, serta obesitas.
Penyakit kronis lainnya yang banyak dialami setelah hipertensi, di antaranya arthritis sendi, diabetes mellitus, gangguan metabolism lipid (kolesterol tinggi), hingga penurunan penglihatan.
Sementara itu, temuan lainnya dari studi terhadap 229 pasien tersebut adalah fakta bahwa pasien lansia biasanya juga menderita lebih dari satu penyakit. Rata-rata, empat penyakit.
Menurut Rensa, faktor terbesar penyakit degeneratif adalah pola hidup kurang sehat yang sudah diterapkan selama bertahun-tahun sebelumnya.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri mengingat saat ini masyarakat usia produktif kebanyakan memiliki gaya hidup tidak sehat. Misalnya, kurang melakukan aktivitas fisik, pola makan tidak sehat, dan pencemaran lingkungan yang terus meningkat dari waktu ke waktu.
Penyakit degeneratif bisa dikendalikan agar tidak memburuk dengan rutin melakukan pemeriksaan kesehatan sehingga kualitas hidup lansia akan meningkat. Bagi yang berusia di atas 55 tahun, idealnya pemeriksaan kesehatan menyeluruh dilakukan dua kali setahun.
TIDAK hanya sakit fisik, lansia juga rentan mengalami gangguan psikis. Kesepian, salah satunya.
Menurut Dr dr Yuda Turana, SpS, di setiap penyakit fisik sebetulnya selalu ada aspek psikis.
Misalnya, orangtua yang mengeluh sakit kepala bisa saja sebetulnya mengalami stres berkepanjangan karena berbagai masalah.
Kondisi yang bisa menyebabkan stres tinggi pada lansia di antaranya bencana alam dan kehilangan pekerjaan.
Paling sering adalah masalah finansial dan kurangnya perhatian anak-anak.
Namun, mereka cenderung kesulitan bercerita kepada dokter tentang masalah yang dihadapinya. Sehingga, keluhan yang disampaikan biasanya terbatas pada masalah fisik.
“Meskipun ujungnya sakit katarak atau penyakit lainnya, tapi sebenarnya di setiap penyakit fisik ada aspek psikisnya,” kata dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Unika Atma Jaya Jakarta itu.
Ia menambahkan, angka stres pada lansia yang berujung pada depresi cukup tinggi. Padahal, stres juga bisa mengakibatkan gangguan kognitif, seperti demensia (penurunan fungsi kognitif otak).
Mengelola stres pada akhirnya menjadi tantangan tersendiri bagi lansia. Beberapa kondisi yang bisa menyebabkan stres tinggi pada lansia di antaranya bencana alam dan kehilangan pekerjaan.
“Apapun pekerjaan kita, sebenarnya kita mencapai tingkat pekerjaan tertentu kan merangkak bukan kayak naik lift. Tapi persoalannya, saat kehilangan pekerjaan, kita turunnya tidak merangkak, tapi langsung. Itu juga tingkat stressor besar,” ucap Yuda.
Kesepian di sini tak melulu karena tinggal sendirian, namun rasa sendirian dan merasa tidak dihargai.
Kesepian (loneliness) juga menjadi faktor penyebab stres lainnya. Kesepian di sini tak melulu karena tinggal sendirian, namun rasa sendirian dan merasa tidak dihargai.
Teman sebaya yang semakin sedikit dan pasangan hidup yang mungkin sudah meninggal dunia bisa semakin memperparah kesepian.
Di samping itu, pola perilaku saat muda juga bisa menyebabkan stres jangka panjang. Seperti, tuntutan agar selalu tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan dengan sempurna, tidak pecaya dengan orang lain, dan sebagainya.
Hal itu mungkin baik bagi karier jangka pendek, namun tidak bagi diri sendiri dan keluarga.
“Ujung akhirnya, karena tuntutan tadi lebih gampang stress dibandingkan orang yang santai,” tuturnya.
Sikap terlalu cemas juga bisa menyebabkan gangguan otak pada lansia. Jika stres dan depresi cenderung tidak memiliki semangat hidup, sikap cemas justru sebaliknya.
“Orang yang cemas, kalau dikaitkan dengan penyakit, sakit kepala sedikit dia selalu berpikir jangan-jangan tumor, kanker. Itu cemas,” katanya.
BANYAK orang takut menjadi tua karena tahap kehidupan ini identik dengan tubuh yang lemah digerogoti penyakit.
Padahal, tetap produktif saat usia tua bukan tidak mungkin. Namun, semua terkait pilihan investasi pada saat muda.
Penurunan fungsi sel-sel tubuh memang tidak bisa dihindari.
Namun, bila kita memiliki gaya hidup sehat sejak muda, penyakit kronik seperti diabetes, hipertensi, atau pun gangguan kogntifi seperti demensia yang sekarang ini belum ada obatnya, bisa dicegah.
“Jadi pendekatannya adalah hindari faktor risiko atau early detection,” kata Dr dr Yuda Turana, SpS.
Pemeriksaan kesehatan secara berkala yang harus dilakukan antara lain memeriksa tekanan darah, gula darah, fungsi penglihatan, hingga kondisi psikis.
Gangguan kesehatan yang ditemukan sejak dini dan bisa diterapi akan mencegah kondisi yang memburuk. Kualitas hidup lansia pun dapat meningkat.
Kesehatan yang baik adalah kunci agar lansia tetap mandiri dan berperan dalam keluarga dan masyarakat.
Saparinah Sadli dalam bukunya yang berjudul Menjadi Perempuan Sehat dan Produktif di Usia Lanjut (2014), menyebutkan, sehat fisik pada orang usia lanjut bukan berarti tidak punya penyakit.
Namun, kondisi sehat itu membuat mereka masih bisa mandiri menjalankan aktivitas harian dan hal berguna lain bagi orang lain.
”Tujuan aktivitasnya bukan lagi mengejar materi atau prestasi, melainkan demi rasa senang,” katanya.
Gangguan neurologis seperti berkurangnya kepekaan indera, sulit mengingat, hingga pikun pun muncul di usia lanjut.
Deteksi dini disarankan rutin dilakukan setidaknya setahun sekali. Ketika menginjak usia 60 tahun, dianjurkan untuk melakukan check up kesehatan otak, baik ada maupn tidak ada keluhan.
Namun, check up otak juga tidak mesti menunggu usia 60 tahun jika ada kondisi-kondisi tertentu.
Perlunya pemeriksaan otak dilakukan segera bila diketemukan gejala seperti:
“Dalam bahasa sederhana, otak kita menua. Tapi demensia atau alzheimer menyebabkan otak menua lebih cepat dari seharusnya,” kata Yuda.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan sebetulnya memiliki slogan untuk mengendalikan penyakit tidak menular lewat perilaku “CERDIK”. Setiap huruf memuat pesan.
C= Cek kesehatan rutin, E= Enyahkan asap rokok, R= Rutin atau rajin aktivitas fisik, D= Diet seimbang, I= Istirahat cukup, dan K= Kelola stres.
“Ini sangat sederhana, namun kadang sulit untuk dikerjakan,” ucap dr Rensa, SpPD-KGer, FINASIM.
Hampir seperempat kematian lansia berumur lebih dari 75 tahun dipicu penyakit infeksi.
Penyakit infeksi terbanyak diderita adalah infeksi saluran kemih, infeksi kulit, pneumonia bakterialis, influenza, dan infeksi saluran cerna.
Vaksinasi juga bisa menjadi cara untuk menjaga kekebalan tubuh lansia terhadap beberapa macam penyakit.
Setidaknya, tiga vaksin yang paling dianjurkan adalah vaksin influenza (setahun sekali), pneumonia atau infeksi paru-paru (1 kali), dan varicella zoster alias cacar air (1 kali).
Berdasarkan Rekomendasi Vaksinasi pada Orang Dewasa yang dikeluarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) pada 2017, vaksinasi bisa dilakukan kapan pun setelah seseorang berusia di atas 19 tahun.
“Sebenarnya bisa mulai di usia berapa pun mulai usia 19 tahun ke atas,” kata Rensa.
KONDISI fisik yang cenderung menurun pada lansia juga dapat mempengaruhi mental dan perilaku. Depresi dan kecemasan adalah yang paling sering terjadi.
Padahal, kondisi psikis juga akan berbalik lagi berpengaruh terhadap kemampuan mereka menyelesaikan tugas fisik.
Kondisi tersebut tentu akan menghambat rutinitas sehari-hari mereka.
Belum lagi,kondisi tersebut bisa menjadi lebih buruk ketika mereka harus menghadapi kematian orang yang dicintai.
Karena itu, sangat penting menjaga emosi, menjaga kesehatan fisik dan mental, serta meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik pada lansia.
Menurut psikolog Sani B Hermawan Psi, kemampuan lansia mengingat dan memecahkan masalah sudah berkurang. Fungsi luhurnya (indikator kesehatan mental) menurun.
“Bahkan dalam pemikiran sehari-hari juga menurun. Kalau yang sudah tua sekali biasanya pelupa, bicara juga sering diulang-ulang,” kata Sani kepada Kompas.com.
Pada kasus yang lebih parah, imbuh dia, lansia dapat buang air kecil tak lagi di toilet.
"Atau muncul halusinasi.”
Menurut studi klinis, ada korelasi antara penuaan dan penurunan kognitif. Bukti menunjukkan, sel induk saraf yang terletak di daerah otak tertentu memiliki peran utama dalam fungsi kognitif seperti memori, pembelajaran, dan perilaku emosional.
Sel-sel induk saraf ini lah yang kemudian menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk belajar serta kinerja memori.
“Para lansia biasanya long term memory-nya bagus, short term memory-nya menurun. Karena itu, banyak lansia yang senang sekali membahas masa-masa dulu. Karena adanya regresi di otaknya,” lanjut Sani.
Untuk menghadapi hal tersebut, lingkungan perlu memahami karakter lansia. Dengan memahami kondisi lansia, akan lebih mudah memberikan support.
“Kita harus menyadari bahwa itu bukan keinginan mereka para lansia bersikap demikian," ujar psikolog yang juga Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani ini.
Perilaku itu, ungkap dia, merupakan akibat dari kemunduran sisi psikologis, psikis, dan mental.
"Kalau kita tidak memahami itu, tentu yang ada hanya rasa kesal saat menghadapinya,” kata Sani.
Kunci menghadapi tantangan kondisi mental lansia, sebut Sani, adalah kesabaran.
"Paling gampang anggap itu bagian dari ibadah. Tempatkan diri kita di posisinya. Kita juga tentu ingin di-support dalam kondisi demikian,” tambah Sani.
Dalam situasi tertentu, stres dan kecemasan adalah pertahanan alami dan insting tubuh kita. Penyebab stres bisa dari faktor eksternal ataupun faktor internal.
Ketika ada tekanan, tubuh akan merasakan bahaya dan melepaskan hormon stres ke dalam aliran darah yang kemudian meningkatkan detak jantung, pernapasan, dan proses lain yang menyiapkan tubuh kita untuk merespons dengan cepat.
Reaksi alami ini juga dikenal sebagai respons stres. Namun, dalam jangka panjang, respons ini dapat mengikis kemampuan sistem kekebalan tubuh melawan penyakit. Risiko masalah kesehatan dan mental pun meningkat.
Pada lansia, ini erat kaitannya dengan kondisi fisik karena mulai berkurang kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari dan atau sakit.
Stres pada lansia juga dapat dikaitkan dengan alzheimer, memburuknya kondisi sakit seperti kanker, diabetes, jantung, radang sendi, nyeri kronis, dan penurunan fungsi kognitif seperti berkurangnya daya ingat.
Meski tampak sederhana, mencegah stres bukan hal mudah, apalagi pada lansia. Salah satu yang bisa kita lakukan untuk membantu lansia mengalami stres adalah mendorong mereka berpartisipasi dalam kegiatan komunitas atau pertemuan sosial.
Misal, libatkan ke arisan, buatkan reuni dengan teman-teman sekolah, atau dilibatkan sebagai volunteer kegiatan sosial.
Aktivitas-aktivitas itu akan menurunkan kadar hormon stres dalam tubuh, sehingga kualitas hidup bisa lebih baik.
Sani mengatakan, sangat penting membiarkan para lansia melakukan kegiatan yang mereka suka. Jenis kegiatannya pun tak harus seragam, termasuk bersih-bersih rumah, memasak, berkebun, atau malah mengurus cucu.
“Paling tidak saat melakukan aktivitas yang mereka suka, secara emosi mereka akan merasa bahagia. Bisa juga ajak makan bersama di restoran, jika tidak suka, bisa makan bersama-sama di rumah. Yang penting menyenangkan hatinya,” jelas Sani.
Berjalan-jalan di taman atau di luar rumah penting juga dilakukan secara rutin, untuk meningkatkan sirkulasi darah yang baik dan meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka.
Namun, jika kondisi stres memburuk dan tak lagi bisa ditangani orang sekelilingnya, segera minta bantuan pada psikolog atau psikiater.
“Salah satu tanda lansia perlu dibawa ke psikolog kalau dia selalu murung, ada perubahan perilaku, suka nangis sendiri, ini perlu dicek. Untuk kondisi lebih parah yang membutuhkan obat penenang, bisa ke psikiater,” pungkas Sani.
PERAN keluarga sangat besar untuk mendukung kesehatan dan lingkungan lansia. Apalagi sebagian besar lansia berada pada kondisi ketergantungan. Beberapa di antaranya bahkan mengalami disabilitas.
Yuda mencontohkan pada pasien demensia, risiko kematian tidak hanya membayangi penderita demensia itu tapi juga pada orang yang merawatnya, apalagi jika yang merawat adalah pasangannya.
“Misal seorang nenek demensia, ada perubahan perilaku seperti ngamuk di malam hari. Si kakek kan juga akan terbangun, stres juga. Sementara si nenek tidak mau pisah kamar,” kata dia.
Padahal, demensia bukan penyakit yang hanya berlangsung selama satu atau dua tahun. Sejak diagnosis penyakit hingga pasien meninggal dunia, waktunya bisa mencapai 10 tahun hingga 12 tahun.
Untuk pendekatan terapi, pasien lansia tidak melulu mengandalkan obat-obatan melainkan peranan keluarga dalam membantu dan berkomunikasi dengan mereka.
Untuk kasus demensia, kata Yuda, penelitian menyebutkan, tingkat perawatan yang baik dari keluarga akan meningkatkan kualitas hidup penderita.
“Misalnya nenek suka ngamuk merasa melihat setan di kamar, padahal karena banyak cermin atau tumpukan baju banyak. Ya, tolong rumahnya dibereskan. Jadi peranan keluarga sangat penting,” tegas Yuda.