PANDEMI Covid-19 telah merubah seluruh aspek kehidupan manusia.
Pembatasan aktivitas yang menjadi kunci terhindar dari penularan virus berdampak pada cara manusia menjalani kehidupan sehari-hari, tak terkecuali persoalan berburu makan.
Sadar atau tidak, kebiasaan dalam berburu kuliner pun bergeser. Mempertebal pergeseran kebiasaan yang memang tengah terjadi akibat derasnya arus e-commerce.
Akhir 2021 lalu, perusahaan konsultan Deka Insight merilis riset tentang kebiasaan konsumen belanja kuliner di masa pandemi Covid-19.
Riset digelar dari Juli hingga Agustus 2021 dan melibatkan 1.000 responden yang tersebar di lima kota besar di Indonesia, yakni Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya dan Makassar.
Proporsi usia responden paling banyak, yakni 25-34 tahun (26 persen), disusul 35-44 tahun (25 persen), 45-54 tahun (18 persen), 28-24 (17 persen), dan di atas 55 tahun (14 persen).
Lantas, seperti apa hasilnya?
Deka Insight menemukan bahwa media sosial dijadikan jembatan bagi orang untuk berburu ragam kuliner.
Topik kuliner, mulai dari tempat, hingga cara memasak, menempati urutan kedua soal informasi apa yang responden cari di media sosial. Urutan pertama, yakni topik tentang keluarga. Urutan ketiga adalah topik gaya hidup.
Selanjutnya, riset juga menyasar sumber informasi tentang kuliner apa yang dituju orang di media sosial.
Urutan pertama adalah akun media sosial milik bisnis kuliner. Disusul ulasan Youtuber, ulasan Selebgram, ulasan pengunjung yang ada di aplikasi tertentu, dan portal berita online yang memiliki kanal khusus kuliner.
Dalam cuplikan riset ini, kita mengetahui rupanya konsumen ingin mengetahui pengalaman orang lain yang sudah mencicipi kuliner itu. Informasi itu akan dijadikan pertimbangan apakah ia akan membeli jenis kuliner yang sama atau tidak.
Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini:
Associate Researcher Deka Insight Sri Mulyono mengatakan, temuan ini harus dimanfaatkan pelaku bisnis kuliner untuk semakin mendekatkan produknya dengan konsumen.
“Kalau kita menargetkan meningkatkan bagaimana tingkat kesadaran orang terhadap produk atau restoran kita, ya paling tidak tiga media sosial inilah yang menjadi target,” ujar Sri dalam penjelasannya, beberapa waktu lalu.
Fakta menarik lainnya, riset juga menemukan bahwa Facebook dan Youtube adalah platform media sosial yang paling banyak digunakan responden untuk mencari informasi tentang kuliner.
Diduga, temuan ini didasarkan pada sebagian besar responden yang berusia di atas 25 tahun di mana masih lekat dengan Facebook dan Youtube.
Adapun, urutan ketiga hingga kelima media sosial yang paling banyak digunakan, yakni Instagram, Tiktok dan Twitter.
Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini:
Pembatasan aktivitas akibat pandemi rupanya tidak menghalangi sebagian orang untuk berburu kuliner dengan cara mendatangi langsung dan makan di tempat (dine in).
Sebanyak 54 persen responden mengaku, tetap datang ke tempat makan dan dine in di masa pandemi dalam beberapa bulan terakhir. Meski, memang frekuensinya dikurangi untuk mencegah penularan virus.
Di sisi lain, sebanyak 50 persen responden mengaku, juga berburu kuliner melalui aplikasi. Di antaranya adalah Gofood, Grabfood, hingga Shopeefood.
Aktivitas pemesanan kuliner melalui aplikasi ini meningkat sebesar 23 persen dari sebelum pandemi. Hal ini pula yang membuat konsumen meningkatkan anggaran untuk memesan makanan melalui aplikasi.
Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini:
Sri Mulyono menambahkan, konsumen yang meningkatkan anggaran untuk memesan makanan melalui aplikasi adalah yang berlatar belakang ekonomi baik.
“Untuk yang kelas ekonominya lebih tinggi, mereka bilang ada peningkatan frekuensi konsumsi di delivery order dan take away, termasuk juga budget-nya ya,” ujar
Meski demikian, dari infografik di atas terlihat pula bahwa kebiasaan orang untung nongkrong-nongkrong di coffee shop menurun drastis pada saat pandemi.
Terlihat ada 59 persen responden yang memutuskan untuk mengurangi dine in di sana.
Ada hal menarik dari temuan Deka Insight kdi atas. Kendati pemesanan makanan melalui call center restoran sudah tak populer, tetapi rupanya masih ada yang memilih melakukan demikian.
Jumlahnya memang tidak banyak, yakni hanya sekitar 4 persen. Tetapi, bagi pelaku bisnis kuliner, temuan ini dapat dijadikan dasar bagi pengembangan bisnis yang lebih eksklusif dan terjamin kebersihannya.
Secara umum, kuliner yang dijajakan di gerobak atau tenda pinggir jalan masih dipilih banyak orang selama masa pandemi.
Berburu kuliner di sana mayoritas dipilih responden yang latar belakang ekonomi menengah dan bawah.
Untuk restoran yang berdiri sendiri di luar mal menjadi favorit kalangan menengah ke atas. Dari segi tempat, restoran tipe ini lebih menawarkan sesuatu yang eksklusif, selain tentunya relatif lebih aman dalam menjaga jarak.
Itulah penyebab kenapa pada masa pandemi, tingkat kunjungan restoran yang berdiri sendiri lebih tinggi daripada yang ada di mal dengan persentase 55 persen.
Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini:
Restoran dan coffee shop menjadi yang paling terdampak saat pandemi. Ada penurunan kunjungan maupun pendapatan hingga mencapai 50-60 persen.
Selama ini memang banyak restoran maupun coffee shop yang menawarkan kenyamanan makan atau minum di tempat. Dengan adanya pembatasan, mereka tak bisa lagi menawarkan kelebihan tersebut.
Kondisi itu pula yang menimbulkan adanya sebuah tren tak biasa di kalangan pelaku usaha coffee shop, yakni membuat kopi kemasan dalam kaleng.
Deka Insight kemudian meriset jenis makanan apa yang paling diburu untuk dine in.
Hasil riset menunjukkan, masakan Nusantara paling banyak diminati. Urutan kedua, yakni restoran cepat saji dengan menu utama ayam, dan restoran yang menjajakan, bebek, makanan laut dan lalapan pada urutan ketiga.
Sementara, apabila ditilik dari asal kota, terlihat perbedaan mencolok dalam hal jenis kuliner yang menjadi kesukaan.
Di Surabaya misalnya. Selain responden memfavoritkan makanan nusantara secara umum, tetapi mereka juga menaruh hati pada jenis kuliner mie, soto, bakso dan sate. Fenomena yang nyaris sama terjadi pula di Kota Makassar.
Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini:
Dari riset yang dilakukan Deka Insight, ada temuan cukup unik pada konsumen Rumah Makan Padang.
Selama ini, mungkin banyak yang menyangka pengunjung Rumah Makan Padang merupakan tipikal konsumen yang tidak terlalu butuh internet cepat atau tempat yang nyaman untuk hangout. Namun, hasil riset yang dilakukan Deka berkata sebaliknya.
Diketahui bahwa konsumen Rumah Makan Padang juga termasuk tipikal konsumen kuliner yang membutuhkan layanan internet cepat dan tempat yang nyaman untuk hangout saat makan dine in.
Sebagaimana yang disinggung pada cuplikan hasil riset awal, ketertarikan orang untuk dine in memang tetap marak. Tetapi, pergeseran orang berburu kuliner dengan cara memesan melalui aplikasi meningkat signifikan.
Deka Insight pun memperdalam risetnya tentang hal ini.
Terbukti, hampir 90 persen respondennya memanfaatkan aplikasi untuk memesan makanan. Tiga perusahaan e-commerce yang paling banyak digunakan adalah Gojek dengan Gofood-nya, Grab dengan Grabfood-nya dan Shopee dengan Shopeefood-nya.
Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini:
Frekuensi para responden dalam memesan makanan secara online ini cukup sering setiap bulannya.
Sebagian besar menjawab, memesan makanan secara online dua hingga tiga kali setiap bulan. Proporsi responden terbanyak kedua menjawab, memesan satu kali setiap bulan.
Ada pula yang memesan dua hingga tiga kali atau empat hingga enam kali setiap pekan. Tetapi proporsinya lebih sedikit.
Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini:
Dari sisi budget, sebagian besar responden mengaku, mengeluarkan uang sebesar Rp 50.000 hingga Rp 100.000 untuk sekali memesan makanan secara online.
Proporsi responden terbanyak kedua, yakni mengaku mengeluarkan uang sebesar Rp 100.000 hingga Rp 150.000.
Bahkan, ada yang mengaku mengeluarkan uang sebesar Rp 200.000 hingga Rp 300.000 untuk sekali memesan makanan.
Sri Mulyono mengatakan, responden yang berada dalam kategori ini memiliki latar belakang ekonomi yang baik.
Sementara, untuk kalangan ekonomi menengah dan bawah, uang yang mereka keluarkan untuk membeli makanan secara online yakni di bawah Rp 50.000.
Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini:
Pemesanan makanan menggunakan delivery order pada dasarnya sangat berbeda dengan dine in. Bila pada dine in ada unsur rekreasinya, tidak demikian dengan delivery order yang biasanya murni lebih ke pemenuhan kebutuhan perut.
Dari riset yang dilakukan Deka, pemesanan makanan secara delivery order banyak dilakukan di lingkungan keluarga. Pemesanan makanan biasanya dilakukan perempuan berusia 35-54 tahun yang memesan makanan untuk suami dan anak-anaknya.
Sementara itu, pemesanan untuk kebutuhan diri sendiri biasanya dilakukan anak-anak muda berusia di bawah 25 tahun.
Selain untuk diri sendiri, anak-anak muda yang berusia di bawah 25 tahun biasanya melakukan delivery order untuk sahabatnya.
Hasil riset di atas sedikit banyak menggambarkan pergeseran kebiasaan masyarakat dalam berburu kuliner di era pandemi.
Co Founder Anomali Café Irvan Helmi mengatakan, riset semacam itu penting untuk menempatkan bisnis kuliner dengan kebutuhan konsumen.
Jangan sampai, nilai-nilai yang ditawarkan sebuah bisnis kuliner justru tidak dikehendaki oleh konsumen yang berorientasi pada nilai lain.
“Misalnya Anomali ya. Apakah relevan Anomali dengan konsumen? Jangan-jangan kita maunya ngomongin kopi Indonesia, single origin, ceramah, tapi pembelinya bilang ‘cepet gue mau meeting nih, antrean di belakang sudah panjang’. Kira-kira begitu,” ujar Irvan.
Selain itu, pandemi Covid-19 sudah berjalan nyaris dua tahun. Akibatnya, perubahan kebiasaan masyarakat dalam menjalani kehidupan dinilai sudah mulai mapan. Termasuk soal berburu kuliner.
Komisaris PT Agrinesia Raya Anggara Jati menambahkan, oleh sebab itu, riset semacam ini penting bagi orang yang ingin membangun bisnis kuliner di tengah kebiasaan baru masyarakat.
“Kalau dulu, kita mulai (bisnis kuliner) dengan feeling. Kalau feeling, artinya kan gambling. Apalagi kalau kita pebisnis baru. Kalau pakai feeling, itu enggak bisa dijadikan sistem. Akhirnya, tim kita untuk menentukan satu produk, mengambil keputusan, sulit bekerja kalau pakai insting founder-nya terus,” ujar Anggara.
“Jadi, kalau mau bikin perusahaan (bisnis kuliner) yang sustainable, harus berdasarkan data,” lanjut dia.