JEO - Insight

Jumat, 13 Desember 2019 | 22:13 WIB

Wawancara Khusus

Mahfud MD
Bicara Soal Pesimisme Pemberantasan Korupsi
dan Penegakan HAM

(Bagian 2 dari 2 Tulisan)

 

Menko Polhukam Mahfud MD menjawab keraguan dan pesimisme publik terhadap pemerintahan Jokowi dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hak asasi manusia. Apa solusi yang hendak ditawarkan?

SAAT memerintah sepanjang 2014-2019, Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dianggap lemah dalam dua isu penegakan hukum: pemberantasan korupsi dan penegakan hak asasi manusia (HAM).

Secara khusus, isu pemberantasan korupsi menjadi sorotan di akhir pemerintahan Jokowi-JK. Ini terutama disebabkan munculnya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Korupsi.

Banyak yang menilai revisi UU KPK merupakan operasi senyap untuk melemahkan lembaga antirasuah itu.

Sebab, mekanisme pembahasan hingga pengesahan dinilai ultracepat. Sejumlah pimpinan KPK bahkan mengaku lembaganya tidak pernah dilibatkan.

Revisi UU KPK yang dibahas DPR bersama pemerintah memang sarat dengan pasal kontroversial. Misalnya, revisi UU KPK dianggap mengurangi independensi KPK dan masuk dalam ranah eksekutif.

Kemudian, undang-undang yang kini menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 ini mengamanahkan pembentukan Dewan Pengawas KPK.

Kondisi pemberantasan korupsi dianggap semakin memprihatinkan. 

Indikatornya mulai dari vonis koruptor yang semakin ringan, grasi untuk terpidana kasus korupsi, hingga belum terungkapnya teror terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Kehadirannya dianggap melemahkan kinerja KPK, sebab sejumlah kerja penyidikan seperti penyadapan harus melalui izin tertulis dewan pengawas.

Baca juga: Setelah KPK Dikebiri dan Tak Sakti Lagi...

Sebelum dilantik sebagai presiden periode 2019-2024, Jokowi pernah mempertimbangkan untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menggantikan UU KPK.

Namun, hingga hampir dua bulan menjabat presiden, Perppu KPK belum juga dirilis.

Kemudian, di era pemerintahan Jokowi bersama Ma'ruf Amin, kondisi pemberantasan korupsi dianggap semakin memprihatinkan.

Indikatornya mulai dari vonis koruptor yang semakin ringan, grasi untuk terpidana kasus korupsi, hingga belum terungkapnya teror terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Dalam hal penegakan HAM, Jokowi juga dinilai belum mampu menyelesaikan sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Tidak hanya itu, kasus pelanggaran kebebasan dan berkeyakinan juga masih banyak terjadi.

Ringkas kata, pemerintahan periode kedua Jokowi yang kali ini didampingi Ma'ruf Amin diawali dalam suasana batin publik yang ragu dan pesimistis terkait pemberantasan korupsi dan penegakan HAM.

Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi Kamisan ke-581 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (11/4). Mereka menuntut presiden untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang independen untuk mengungkap kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.
ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi Kamisan ke-581 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (11/4). Mereka menuntut presiden untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang independen untuk mengungkap kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.

Sebagai menteri koordinator yang membawahi bidang politik, hukum, dan keamanan, Mahfud MD memahami bahwa kondisi pemberantasan korupsi memang memprihatinkan. Namun, dia membantah kondisi ini semata tanggung jawab Presiden Jokowi.

"Kalau dilihat satu bangunan sistem pemberantasan, memang terjadi kemunduran sekarang. Tapi kalau dilihat satu struktur, itu bukan kesalahan Pak Jokowi," tepis Mahfud MD saat ditemui Kompas.com di Kantor Kemenko Polhukam, Kamis (5/12/2019).

Adapun soal penegakan HAM, terutama terkait pelanggaran HAM di masa lalu, Mahfud MD berharap ada penyelesaian sehingga kasus ini tidak terus menggantung.

Salah satu saran yang disiapkan soal penegakan HAM adalah menghadirkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Seperti apa gambaran langkahnya?

Lalu, apa saja strategi yang disiapkan Mahfud MD sebagai penanggung jawab bidang hukum dan keamanan?

Mahfud MD menjelaskannya dalam sesi wawancara khusus dengan Kompas.com, beberapa hari sebelum peringatan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember dan Hari HAM pada 10 Desember.

JEO ini merupakan bagian kedua dari dua tulisan hasil wawancara khusus tim Kompas.com dengan Mahfud MD. Bagian pertama tulisan hasil wawancara dapat dibaca di sini

Sajian tulisan berupa format tanya jawab. Pertanyaan kami berupa tulisan tebal dan miring yang akan diikuti langsung dengan jawaban Mahfud. 

 

  M e n u :  

 
Marah dengan Kondisi Pemberantasan Korupsi, tetapi...

Agar Kasus Pelanggaran HAM di Masa Lalu Tak Lagi Menggantung...

Marah dengan Kondisi Pemberantasan Korupsi, tetapi...

 

Pemerintahan Jokowi dinilai abai terhadap pemberantasan korupsi. Misalnya soal Perppu KPK yang tak kunjung terbit. Kasus Novel juga belum selesai tapi kemudian muncul lagi grasi untuk koruptor. Bagaimana tanggapan Anda? 

Sebenarnya kalau mau secara semantik, Presiden enggak pernah ingkar janji. Presiden tidak pernah menjanjikan akan membuat perppu.

Presiden hanya akan mempertimbangkan dan mempelajari dalam waktu yang secepat-cepatnya.

Tapi okelah, masyarakat sudah (beranggapan) begitu ya biarkan saja. Ini negara demokrasi.

Novel Baswedan, ya (dengan) Polri-lah urusannya. Saya kan baru juga (menjabat), enggak mengikuti penanganannya, tapi untuk kasusnya (saya) ikuti.

Novel Baswedan teman saya. Itu Polri yang tahu tahap-tahapnya sampai mana, akan terungkap seperti apa. Itu Polri sudah ditugaskan untuk itu. 

Menko Polhukam Mahfud MD memberikan keterangan pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (12/12/2019). Menko Polhukam menjamin keamanan dan situasi yang kondusif jelang Natal dan Tahun Baru 2020. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.
ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Menko Polhukam Mahfud MD memberikan keterangan pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (12/12/2019). Menko Polhukam menjamin keamanan dan situasi yang kondusif jelang Natal dan Tahun Baru 2020. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

Bagaimana soal grasi untuk mantan Gubernur Riau Annas Maamun yang jadi terpidana kasus korupsi?

Jadi, begini lho, di dalam hukum itu orang diberi grasi bukan berarti dianggap bersih dari tindak pidana.

Grasi itu pengampunan saja setelah orang itu mengakui bersalah. Dia mengakui bersalah lalu minta grasi.

Presiden memberi grasi menurut undang-undang, mendapat pertimbangan dari MA (Mahkamah Agung). MA sudah memberi pertimbangan.

Lalu kita pun punya pedoman, dalam ilmu hukum itu orang yang sudah berumur di atas 70 tahun meskipun dijatuhi hukuman enggak usah masuk penjara. Itu kan konvensi internasional.

Tapi kontroversi itu silakan. Tapi itu alasannya. Annas Maamun sakitnya sudah parah. Sudah pakai tabung oksigen tiap hari. Ngerepotin keluarganya, ngerepotin dia, mungkin ngerepotin negara juga.

Ada yang kemudian membandingkannya dengan kondisi Abu Bakar Ba'asyir yang batal mendapat grasi. Ini bagaimana?

Beda. Ini yang ingin saya jelaskan. Abu Bakar Ba'asyir itu (terpidana terkait) tindakan terorisme.

(Terpidana kasus) terorisme itu enggak boleh diletakkan di luar dengan grasi, karena orang mau mendapat grasi itu harus deradikalisasi dulu enam bulan. Dia harus memohon grasi.

Nah, Abu Bakar Ba'asyir, satu, yang dia lakukan teror. Kedua, dia ndak mau minta (grasi) terang-terangan.

(Membahasakan Baasyir), "Saya mau dibebaskan, tapi enggak mau ajukan permintaan grasi, wong saya ndak bersalah."

Bagaimana orang enggak minta (grasi tetapi) mau dikeluarkan? Ndak boleh.

Baca juga: Polemik Pembebasan Ba'asyir: Antara Kemanusiaan dan Hukum

Lalu, menurut UU juga harus ada deradikalisasi sebelum dibebaskan untuk orang dengan tindakan teror.

Beda ya, tolong ditegaskan. Jangan samakan (kasus Annas) dengan Abu Bakar Ba'asyir.

Annas Maamun karena (kasus) korupsi, boleh (mendapat grasi) kalau memenuhi syarat kemanusiaan. Tapi kalau (terpidana kasus) terorisme enggak boleh, meskipun untuk kemanusiaan. Harus diminta dulu.

Itu diatur dalam Undang-Undang Antiterorisme sebagai lex specialist atau Undang-Undang Permasyarakatan?

Iya, sudah ada peraturannya, harus deradikalisasi dulu enam bulan. Sesudah enam bulan kelihatan baik, baru dinilai lagi tiga bulan, baru sesudah itu dibebaskan.

Tapi harus minta. Abu Bakar Ba'asyir enggak minta. Jelas itu. Mau keluar, tapi enggak mau ajukan permohonan lho, kata dia kan.

Lalu bagaimana strategi pemberantasan korupsi versi pemerintah periode ini?

Birokrasi. Birokrasi kita itu harus disederhanakan. 

Korupsi itu terjadi biasanya di eselon 2, eselon 3. Oleh sebab itu Pak Jokowi menyatakan (eselon-eselon ini) harus dihapus, karena sudah berkali-kali diberitahu enggak dengar.

Karena (mereka) bukan robot. Kalau robot kan tinggal disetel saja (akan) sama langkahnya.

Tapi (penghapusan eselon) itu untuk menunjukkan bahwa (pemberantasan korupsi) mulainya dari birokrasi yang harus bersih.

Bagaimana dengan vonis koruptor yang semakin lama semakin ringan?

Kalau Anda melihat secara keseluruhan, itu ya, terjadi kemunduran di bidang penegakan dan pemberantasan korupsi. Kalau dilihat secara keseluruhan.

Tapi kalau diihat satu per satu, itu tidak ada peran pemerintah untuk itu (vonis ringan kasus korupsi).

Kalau Anda tanya saya marah enggak (dengan fenomena ini), marah saya dengan keadaan sekarang.

Yang membebaskan orang-orang dengan hukuman ringan itu kan bukan Pak Jokowi (tapi) pengadilan. Masa mau salahkan Pak Jokowi?

Yang membebaskan kan pengadilan. Kalau Pak Jokowi ikut campur, itu ndak boleh, itu melanggar UUD.

Kalau dilihat satu bangunan sistem pemberantasan, memang terjadi kemunduran sekarang. Tapi kalau dilihat satu struktur, itu bukan kesalahan Pak Jokowi. Pak Jokowi ndak ikut.

Kalau Anda tanya saya marah enggak (dengan fenomena ini), marah saya dengan keadaan sekarang. (Yang) hukumannya ringan, orang dibebaskan, dikurangi hukuman, sudah ringan masih dikurangi hukuman.

Bagaimana dengan Dewan Pengawas KPK yang akan dipilih pemerintah untuk yang kali pertama?

Untuk yang pertama, Presiden akan mengangkat. Dan itu bukan Presiden langsung mengangkat begitu.

Dia bentuk tim yang tidak diumumkan ke publik, karena nanti mungkin akan ada kejutan nama-nama yang akan muncul.

Tanggal 18 Desember (2019), seminggu lagi (dari wawancara ini) kira-kira (akan diumumkan).

Ada bocoran yang jadi Dewan Pengawas KPK?

Enggak ada, saya juga enggak tahu.

Tapi Presiden pernah konsultasi?

Dia memberi isyarat, tentang kriteria. Siapa? Kita bisa menduga (tapi) kita tidak tahu.

Apa Dewan Pengawas akan ganggu penyidikan, seperti operasi tangkap tangan?

Mungkin iya, mungkin enggak. Saya bicara dua hal.

Dulu, ingat ketika Agus Rahardjo, Laode Syarif, Saut Situmorang, Marwata, dan Basaria terpilih?

(Waktu itu) semua orang pesimistis. Hancur nih KPK. Nih lihat, orang-orang kayak begini.

Tapi nyatanya, lebih hebat dari sebelumnya.

 

  M e n u :  

 
Kembali ke Awal Tulisan...

Agar Kasus Pelanggaran HAM di Masa Lalu Tak Lagi Menggantung...

Agar Kasus HAM di Masa Lalu Tak Lagi Menggantung...

Soal penegakan HAM, Prof Mahfud mewacanakan lagi pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Seperti apa mekanismenya?

Sebenarnya kasus HAM masa lalu itu ada 12 yang selalu disebut di tengah masyarakat dan di media.

Tapi, sesudah saya di sini (Menko Polhukam), yang 12 itu bisa dikategorikan menjadi tiga.

Sebenarnya kasus HAM masa lalu itu ada 12 yang selalu disebut di tengah masyarakat dan di media. Tapi, yang 12 itu bisa dikategorikan menjadi tiga.

Satu, ada yang sudah selesai, sudah diadili. Timor-Timur misalnya. Kemudian, Tanjung Priuk (juga) sudah selesai. Talangsari, sudah dihukum. Yang Petrus (Penembakan Misterius) itu sudah selesai.

Nah jadi ada yang sudah selesai dan ada yang masih dalam proses. Yang sudah selesai itu (tadi). (Kalau) misalnya kasus Wasior dan Wamena, itu dalam proses, kan.

Ketiga, ada yang belum selesai tapi sudah kehilangan obyek (hukum). Misalnya, (kasus) G30S/PKI. Siapa yang mau dihukum? Ya, kan? Siapa juga korbannya? Sudah pada tidak ada.

Kenapa itu tidak dinyatakan saja, "Ini tidak bisa dibawa ke pengadilan." Mari kita akui bahwa peristiwa ini terjadi dan kita sesali dan ditutup kasusnya. Kan bisa.

Kalau memang ada yang secara langsung masih dirugikan, masih hidup, diberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat perpres agar diselesaikan secara rekonsiliatif.

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Fakultas Hukum (Ormawa FH ) Universitas Malikussaleh menggelar aksi pawai obor memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia 10 Desember di pusat Kota Lhokseumawe, Aceh, Senin (9/12/2019) malam. Dalam aksi unjuk rasa tersebut, mereka mendesak Presiden Joko Widodo dan Komnas HAM menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dan di sejumlah daerah lain di Indonesia.
ANTARA FOTO/RAHMAD
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Fakultas Hukum (Ormawa FH ) Universitas Malikussaleh menggelar aksi pawai obor memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia 10 Desember di pusat Kota Lhokseumawe, Aceh, Senin (9/12/2019) malam. Dalam aksi unjuk rasa tersebut, mereka mendesak Presiden Joko Widodo dan Komnas HAM menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dan di sejumlah daerah lain di Indonesia.

Jadi sebenarnya begitu saja UU KKR itu, tidak usah seram-seram amat.

Dulu masing-masing ngotot, lalu (kasus-kasus HAM) menggantung. Maksudnya, mengambang. Nah, sekarang kita selesaikanlah yang begitu, biar ada kemajuan.

Kan tidak ada gunanya kita berdebat kayak begitu setiap hari. Apa gunanya coba? Sudahlah selesaikan.

Perdebatannya kan antara yudisial dan non-yudisial. Keluarga korban minta diselesaikan lewat pengadilan HAM ad hoc. Itu bagaimana?

Memang begitu, maka dibuat undang-undangnya untuk diputuskan.

Jangan karena ada yang menolak, ada yang setuju, lalu tidak diputuskan. Itu tidak boleh.

Itulah tugasnya UU, menyelesaikan yang setuju dan tidak setuju.

Dipaksa oleh UU, Anda harus setuju dong yang mana. Ayo bicarakan di DPR. Disampaikan di DPR, adu argumen lalu diputuskan. Kan selesai.

Sekarang rancangan dan naskah akademik UU KKR sudah diserahkan ke DPR?

Sekarang kan masih dalam tahap Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Sesudah Prolegnas diketok, setuju, baru diajukan rancangannya. Kami sudah menyiapkan di sini.

Substansinya itu sudah dikirim. Saya sudah kirim surat. Begitu masuk Prolegnas, kita buat rancangannya. Sudah banyak di sini rancangannya, tinggal seleksi lagi.

Nanti arahnya akan lebih ke rekonsiliasi?

Tidak.

Kalau rekonsiliasi (ditujukan) kepada kasus-kasus yang tidak bisa ditemukan lagi obyek dan subyeknya.

Yang sedang berjalan seperti Wasior dan Wamena, kawal penegakan hukum. Kan bisa.

Kalau kasus Kerusuhan Mei '98, Penembakan Trisakti, Tragedi Semanggi I, Tragedi Semanggi II, bagaimana penyelesaiannya?

Trisaksi dan Semanggi I itu kan sudah selesai. Tinggal Semanggi II. Semua orang menganggap sudah selesai, tinggal satu orang yang namanya Ibu Sumarsih.

Maria Katarina Sumarsih atau biasa disapa Sumarsih, orangtua Wawan, mahasiswa yang menjadi korban tragedi Semanggi I, beraksi saat aksi Kamisan ke-453 di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016). Dalam aksi itu mereka menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelangaran hak asasi manusia di masa lalu dan mengkritisi pelantikan Wiranto sebagai Menko Polhukam karena dianggap bertanggung jawab atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG
Maria Katarina Sumarsih atau biasa disapa Sumarsih, orangtua Wawan, mahasiswa yang menjadi korban tragedi Semanggi I, beraksi saat aksi Kamisan ke-453 di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016). Dalam aksi itu mereka menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelangaran hak asasi manusia di masa lalu dan mengkritisi pelantikan Wiranto sebagai Menko Polhukam karena dianggap bertanggung jawab atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Ibu Sumarsih minta agar (penanganan kasus itu) diikuti dengan pengadilan.

Tapi Semanggi II sendiri kan sebenarnya tidak ketemu lagi, siapa sih pelakunya, siapa sniper-nya. Sudah diselesaikan oleh TGPF karena tidak ketemu sniper-nya. Kan begitu.

Nah nanti kita ungkap juga di situ. Bisa direkonsiliasi juga.

(Keterangan redaksi: Maria Catarina Sumarsih merupakan ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas dalam Tragedi Semanggi I.

Hingga saat ini Sumarsih melakukan aksi protes tiap Kamis yang dikenal dengan nama Aksi Kamisan. Berawal dari aksi untuk menuntut pengadilan terhadap pelaku penembakan terhadap Wawan, Aksi Kamisan kini dikenal sebagai aksi menuntut penegakan HAM)

Ada anggapan publik yang pesimistis ini akan selesai karena orang-orang yang diduga terlibat pelanggaran HAM masa lalu itu sekarang ada di pemerintahan, baik itu periode pertama Jokowi juga di periode kedua. Bagaimana menjawab pesimisme itu?

Siapa ya? Masa lalu yang mana? Kan sudah pada meninggal kalau kasus '66.

Untuk peristiwa '98?

Ya nanti kita selesaikan di Undang-Undang KKR itu. Kalau memang harus dibuka menurut UU KKR, kan nanti akan ada kriteria.

Baca juga: Pilpres 2019, Antiklimaks Perlindungan HAM

Kita jangan bicara orangnya dulu (tapi) bicara kriteria, apa sesuatu itu harus direkonsiliasikan? (Lalu), kriteria (kasus yang seperti) apa yang harus diteruskan ke pengadilan.

Apa ada pertentangan dalam UU KKR ini?

Pasti. Makanya dulu enggak jadi-jadi, karena selalu ada pertentangan.

Nah, sekarang kita akhiri pertentangan itu, dengan semuanya bersikap kesatria. Ayo dong berpendapat.

Kalau tidak sependapat jangan lari lalu teriak di luar bahwa ini tidak selesai. Ayo berpendapat, lalu selesaikan.

Kalau Anda benar, saya ikut. Tapi kalau Anda tidak bisa (buktikan kebenaran), Anda ikut saya. Kan begitu caranya berdemokrasi.

Baca juga: Wawancara Khusus - Mahfud MD Menjawab Rumor hingga Bicara Upaya Atasi Industri Hukum - (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

 

  M e n u :  

 
Marah dengan Kondisi Pemberantasan Korupsi, tetapi...

Kembali ke Awal Tulisan...