Menko Polhukam Mahfud MD memaparkan langkah yang akan dia lakukan, terutama dalam pembenahan hukum dan regulasi. Pada tulisan bagian pertama hasil wawancara ini, Mahfud menjawab pula sejumlah rumor terkait dirinya dalam kontestasi politik dan pemerintahan.
DI TENGAH kondisi masyarakat yang—harus diakui sempat—terbelah akibat kontestasi politik, Mohammad Mahfud MD memiliki posisi yang terbilang unik.
Dia punya rekam jejak berada di dua kubu politik dalam kontestasi lima tahunan, pemilihan presiden (pilpres), meski dalam periode gelaran yang berbeda.
Pada Pilpres 2014, Mahfud MD berada di barisan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Jabatannya tak sembarangan: Ketua Tim Pemenangan.
Kini, pria kelahiran 13 Mei 1957 di Sampang, Madura, Jawa Timur itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) dalam Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin.
Jokowi merupakan pesaing Prabowo dalam Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Meskipun, dikotomi atau kubu-kubuan politik bisa jadi tidak lagi relevan saat ini.
Sebab, Prabowo Subianto sekarang juga berada di pemerintahan, dengan jabatan tak kalah penting, yaitu Menteri Pertahanan.
Sebagai Menko Polhukam, Mahfud merupakan orang pertama yang berasal dari kalangan sipil.
Selain pernah berada dalam kedua kubu yang bersaing, Mahfud lagi-lagi juga memiliki posisi unik ketika masuk ke dalam kabinet.
Sebagai Menko Polhukam, dia merupakan orang pertama yang berasal dari kalangan sipil.
Sebelum Mahfud, jabatan ini dipegang kalangan militer atau pensiunan militer. Sebagian besar dari mereka bahkan punya empat bintang di pundaknya semasa aktif di militer.
Akan tetapi, Mahfud MD tidak terlihat canggung.
Saat Kompas.com menyambangi Kantor Kemenko Polhukam pada Kamis (5/12/2019), misalnya, terlihat aktivitasnya cukup padat. Mahfud baru bisa kami temui setelah agenda keempat yang selesai sekitar pukul 16.00 WIB.
Namun, ketidakcanggungan Mahfud tak mengherankan juga sebenarnya. Profesor hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) ini bukan sosok baru dalam pemerintahan.
Sebelumnya, Mahfud pernah pula memimpin institusi yang lekat dengan kalangan militer, sekalipun di situ dia bukan yang pertama dari kalangan sipil.
Pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Mahfud pernah menjabat Menteri Pertahanan. Dia menggantikan Juwono Sudarsono yang saat itu terserang stroke sehingga nonaktif.
"Sebenarnya sih bisa disebut orang sipil ke-1,5 yang jadi Menhan," kata Mahfud MD dalam sesi wawancara soal jabatan itu.
Baru saja usai bertemu US-ASEAN Business Council Mission, Mahfud masih mengenakan kemeja putih dan dasi saat kami temui.
Meski demikian, dia terlihat santai sepanjang wawancara. Jawabannya pun lugas dengan logat kentalnya yang khas, termasuk saat berkilah.
JEO ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan hasil wawancara dengan Mahfud MD.
Di sini, Mahfud menjawab sejumlah rumor seputar dirinya dalam pusaran kontestasi politik, baik menjelang Pilpres 2019 maupun terkait posisinya di kabinet Jokowi-Ma'ruf.
Mahfud mengurai pula sejumlah rencana langkah strategis yang akan dia geber sebagai Menkopolhukam, dengan penekanan pada upaya mengatasi praktik industri hukum.
Wawancara akan ditampilkan dalam format tanya jawab. Pertanyaan kami tertera sebagai tulisan miring dan tebal yang langsung diikuti jawaban Mahfud.
SEBELUM ditunjuk menjadi Menko Polhukam, Mahfud MD merupakan salah satu kandidat calon wakil presiden pendamping Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilpres 2019.
Posisinya menguat hingga detik-detik terakhir, sebelum akhirnya Koalisi Indonesia Kerja memilih Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin sebagai cawapres pendamping Jokowi.
Mahfud mengakui bahwa keputusan soal cawapres Jokowi muncul di last minute. Hingga menit-menit terakhir itu, dia bahkan sudah diminta bersiap.
Sosok dari kalangan Nahdliyin ini juga sudah mendapat kabar terkait persiapan apa yang harus dilakukan saat mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Salah satunya, ada rencana Jokowi bersama Mahfud akan naik sepeda ke Gedung KPU.
Pada saat terakhir, dia disebut tidak mendapatkan dukungan dari partai pengusung Jokowi.
Sumber di koalisi pada saat itu menyebut penolakan disampaikan sejumlah tokoh partai politik.
Batallah Mahfud menjadi cawapres Jokowi di Pilpres 2019 dan muncul nama Ma'ruf.
Singkat cerita, waktu berlalu hingga Jokowi-Ma'ruf terpilih menjadi pemenang Pilpres 2019.
Nama Mahfud MD ternyata mencuat lagi. Dia diprediksi masuk ke dalam kabinet. Yang sempat beredar, Mahfud MD disiapkan menjadi Jaksa Agung.
Namun, saat nama-nama pengisi Kabinet Indonesia Maju dibacakan, ternyata dia dipilih menjadi Menko Polhukam.
Berikut ini petikan wawancara Mahfud menyoal segala rumor terkait batalnya dia menjadi cawapres dan perjalanannya menuju kursi kabinet.
Sebelum Kabinet Indonesia Maju diumumkan, nama Mahfud MD dikabarkan akan mengisi posisi Jaksa Agung. Apa benar kabar itu?
Benar kabar itu. Saya itu (diusulkan) untuk posisi Jaksa Agung sebenarnya sudah sejak periode pertama (pemerintahan) Pak Jokowi.
Reshuffle pertama itu saya malah juga diplot di sini, di Kemenko Polhukam. Waktu Tedjo Edhy (Purdijatno) itu kan mau diganti.
Saya sudah dihubungi waktu itu, bahkan yang menghubungi saya itu adalah orang yg kemudian jadi Menko Polhukam, Pak Luhut (Pandjaitan). Hahaha...
Nah, waktu itu saya bilang, "Saya ini kan timnya Pak Prabowo. Yang rebutan jadi menterinya Pak Jokowi kan banyak."
Saya pertimbangkan saja bahwa (waktu itu) saya ini timnya Pak Prabowo. Mungkin kurang tepat (mengisi kursi menteri yang ditawarkan saat itu).
Sesudah itu, reshuffle berikutnya, kan Jaksa Agung. Saya sudah dihubungi melalui beberapa orang.
Pertama, teman-teman UGM (Universitas Gadjah Mada). Kalau (alumnus) UGM saya menganggapnya (mereka) teman-temannya Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara).
(Disampaikan) bahwa, "Presiden mencari Jaksa Agung dan Pak Mahfud itu salah satu yang ingin dipertimbangkan."
Sekali lagi saya bilang, "Saya ini timnya Pak Prabowo. Ndak enak sama publik. Saya membantu sajalah, tapi jangan itu."
Lalu bagaimana saat periode kedua Jokowi?
Nah begitu Presiden menang, lalu muncul berita bahwa saya mau (dijadikan) Jaksa Agung.
Berita itu tidak pernah saya dengar langsung dari Presiden, tapi dari orang yang selalu didengar oleh Presiden.
Satu, Erick Thohir (Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf) menyebut ke saya, "Pak Mahfud sudah mantap di Jaksa Agung. Dunia usaha juga berharap Pak Mahfud yang di situ."
Lalu, yang kedua dari Pak Pratikno. Pak Pratikno itu tidak langsug bilang ke saya tapi bilang ke Mas Budi (staf Mahfud) ini.
Artinya, arahnya ke situ, ke M1 (kode merujuk ke posisi Jaksa Agung). Sampai detik terakhir masih di situ. Jadi betul saya memang pernah diplot ke situ.
Bahkan, Yusuf Mansyur kan sering ke Pak Jokowi tuh. Satu sore, dia, belum lamalah, kira-kira dua minggu sebelum itu (pengumuman kabinet), "Pak Mahfud nanti kita makan-makan di rumah Jaksa Agung ya."
Semualah sumber itu. Sampai hari penentuan itu tanggal 20 Oktober (2019). Waktu Presiden mengucapkan sumpah itu kan 20 Oktober (2019) sore, siangnya informasi masih M1, ndak ada perubahan.
Malamnya saya ketemu Pak Pratikno, di acara mantennya Tsamara Amany (politisi PSI), "Pak Mahfud siap? Besok mau dipanggil Presiden."
Habis maghrib hari itu, saya ditelepon, "Ada perubahan nih, enggak jadi di Jaksa Agung. Pak Mahfud ke Menko Polhukam".
Itu ceritanya. Jadi memang saya semula diplot ke situ (Jaksa Agung). Dan ketika saya dipanggil Presiden, pada hari Senin (21 Oktober 2019), sudah saya ceritakan ke publik, dibilang, "Pak Mahfud mengurus hak asasi, korupsi, hukum, deradikalisasi."
Cuma, karena Pak Presiden waktu itu bilang, "Nanti jabatannya saya yang umumkan. Tapi Pak Mahfud kalau ditanya wartawan, bilang saja mau jadi menteri tapi ndak tahu jabatan apa tapi bidangnya ini, salah satu dari ini."
Maka orang lalu berspekulasi, Menkumham, Menhan, Menag, Jaksa Agung. Banyak kan (posisi menteri yang dimungkinkan), karena ada deradikalisasi.
Nama Mahfud MD juga pernah disebut akan menjadi cawapres Jokowi. Bahkan ada narasumber kami yang menyebut Pak Mahfud sudah disiapkan rencana naik sepeda motor ke KPU. Namun, rencana ini batal karena penolakan partai politik. Bagaimana penjelasannya?
Pertama, isu siapa yang menolak itu versinya macam-macam. Yang jelas waktu itu memang saya sudah resmi diberitahu oleh Istana, seperti ketika saya menjadi menko ini.
Satu jam sebelum itu (pengumuman cawapres Jokowi), saya masih diminta mengantarkan CV yang tata tulis namanya benar.
Saya tanya kenapa (diminta CV seperti itu). Dijawab, "Pak Presiden minta agar namanya tidak keliru." Kemudian ajudan Istana (mengabari), "Pak saya ditugaskan oleh Istana, Pak Mahfud mengukur baju ke sini."
Waduh, ini waktunya sudah ndak ada. Saya bilang, "Begini saja, saya kirim baju saja, nanti diukur dari baju saya yang paling cocok, dibuat seukuran itu."
Karena apa? Rencananya itu sudah dipandu saya. Pak Mahfud, besok, daftar ke KPU itu berangkat dari Gedung Proklamasi. Pak Mahfud naik sepeda.
Naik sepedanya bagaimana? Dibonceng Pak Jokowi. Pak Mahfud yang di belakang.
Tapi sekarang Anda menjabat Menko Polhukam yang juga penting di pemerintahan. Apa urusan dinamika dengan partai politik sudah selesai?
Oh, sekarang sudah selesai. Semua partai dengan saya selesai, ndak ada masalah.
Ada sumber kami yang terlibat dalam proses penjaringan cawapres Jokowi yang menyebut bahwa Partai Golkar adalah salah satu yang menolak Anda, karena Anda disebut pernah berupaya membubarkan Partai Golkar?
Perlu saya klarifikasi. Saya memang mendengar dari Bang Akbar Tandjung, katanya memang Golkar termasuk yang menolak saya jadi wapres, karena dulu (dibilang) saya ikut Gus Dur (Presiden keempar RI Abdurrahman Wahid) mau membubarkan Golkar.
Saya yang paling keras menolak Gus Dur mengeluarkan dekrit untuk membubarkan Golkar.
Saya bantah. Buku saya sudah terbit tahun 2003. Saya yang paling keras menolak Gus Dur mengeluarkan dekrit untuk membubarkan Golkar (dekrit presiden pembubaran Golkar dan DPR). Itu ada bukunya. Jadi, bukan saya baru bilang sekarang.
Saya bilang, Bung Karno dulu bisa (membubarkan partai politik) karena tentara dan polisi dikuasai Bung Karno. Gus Dur enggak didukung tentara dan polisi. Saya tidak setuju. Bahkan, ketika Gus Dur keluarkan dekrit itu, saya di Surabaya. Saya tetap bilang, "Jangan keluarkan."
Jadi kalau dibilang orang Golkar menolak saya karena dekrit itu alasannya, tidak juga, karena saya tidak setuju dekrit itu. Tapi begitu dekrit keluar, karena saya menteri, ya saya bela dong Gus Dur.
Saya kan enggak setuju sama dia (Gus Dur). Tapi begitu dia (keluarkan) dekrit, semua menterinya lari, saya yang dekati dia.
Saya yang menuntun dia (di Istana, tak lama setelah Gus Dur dilengserkan Sidang Istimewa MPR). Menterinya pada lari semua. Saya sama Pak Alwi (Alwi Shihab) yang ke situ.
DALAM pidato perdana seusai pelantikan periode kedua jabatan, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa masalah regulasi yang kerap tumpang tindih menjadi salah satu prioritas yang harus segera dibenahi.
Mahfud MD sebagai Menko Polhukam tentu saja menjadi ujung tombak dalam pembenahan regulasi ini.
Salah satu yang disiapkan pemerintah terkait pembenahan regulasi adalah omnibus law. Ini merupakan satu instrumen hukum untuk membenahi bermacam aturan yang bertentangan.
Omnibus law bahkan secara khusus disebut Jokowi dalam pidato perdana seusai pelantikan periode kedua jabatannya, yaitu sebagai prioritas nomor urut tiga yang akan digarap dalam lima tahun ke depan.
Namun, Mahfud MD juga mengungkap ada kendala lain yang dihadapi terkait persoalan regulasi, yaitu praktik industri hukum alias hukum yang menjadi industri.
Apa pula maksudnya?
Berikut ini petikan wawancara Mahfud mengenai langkah pembenahan regulasi dan upaya mengatasi praktik industri hukum tersebut.
Anda menjadi orang sipil pertama yang jadi Menko Polhukam, dan orang sipil kedua yang jadi Menhan. Semangat ini sesuai amanah reformasi...
Sebenarnya sih bisa disebut orang sipil ke-1,5 yang jadi Menhan. Karena orang pertama itu Pak Juwono Sudarsono.
Tapi begitu dia dilantik ndak aktif, sehingga saya menggantikan. (Juwono Sudarsono sempat nonaktif untuk perawatan karena terserang stroke).
Dalam lima tahun ke depan, visi reformasi apa yang akan dijalankan sebagai Menko Polhukam? Bagaimana menjaga semangat reformasi itu?
Digariskan oleh Presiden, satu, kita itu punya utang isu politik dan hukum tentang hak asasi manusia. Itu menyangkut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Itu isu pertama.
Kita itu punya utang isu politik dan hukum tentang hak asasi manusia.
Saya sudah bergerak cepat, saya kumpulkan orang yang saling bertentangan. Saya datangi tokoh-tokoh kuncinya, Jaksa Agung, saya ajak bicara Komnas HAM, saya ajak bicara masyarakat. Itu akan kita selesaikan.
Kita sebagai bangsa harus juga lebih beradab. Masa kalau tidak sepakat, lalu masaahnya digantung sampai puluhan tahun kan?
Padahal, ada yang sudah selesai juga. Ada yang sudah tidak ada subyek maupun obyeknya.
Misalnya, Kasus Petrus (Penembakan Misterius) tahun 1982-1984. Itu nyata ada, tapi siapa subyeknya (dan) siapa obyeknya yang mau dibawa ke pengadilan?
Yang begitu kan harus dinyatakan selesai.
(Misal ada yang mempersoalkan), "Loh, itu pelakunya pemerintah, harus minta maaf!" Tapi itu pemerintahnya sudah dijatuhkan, namanya Pemerintah Orde Baru.
Kedua, isu lemahnya penegakan hukum korupsi, pemberantasan korupsi.
Okelah kalau ada revisi UU KPK. Sekarang ada pesimisme di sebagian masyarakat, KPK akan diperlemah.
Mungkin semula saya termasuk di barisan itu, KPK lemah dengan (revisi UU) ini. Tapi kan orang lain mengatakan KPK justru akan kuat.
Nah, dalam keadaan begini kan harus ada yang mengambil keputusan. Siapa? Itu adalah lembaga yang berwenang, yaitu pemerintah.
Pada periode pertama, Jokowi-JK dinilai lemah soal hukum. Saat Anda dipilih, banyak yang berharap ada pembenahan karena sebelumnya hukum terkesan diabaikan. Apa benar ada kesan pemerintah selama ini abai dan tak memperhatikan aspek hukum?
Tidak juga, sebenarnya. Pak Jokowi itu sejak dulu sikapnya sama.
Cuma, dulu tidak ada yang menarasikan. Sekarang saya narasikan.
Sikap Pak Jokowi dulu sama, korupsi itu musuh kita. Sebelum saya jadi menteri itu.
Anda pernah bilang hukum jangan dijadikan industri. Maksudnya bagaimana?
Jadi begini, Pak Jokowi itu punya visi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi sejak awal tetapi selalu lemah di tingkat implementasi.
Industri hukum itu adalah suatu penegakan hukum di mana hukum itu diakali, dicari-cari (delik yang pas), sehingga orang yang salah itu menjadi bebas (sementara) orang yang benar itu bisa masuk penjara (dengan) dicari pasalnya.
Sesudah saya diangkat, saya lihat konsepnya sudah oke semua. Tapi kenapa "mati" di bawah? Kenapa kok masih banyak pelanggaran hukum?
Sesudah saya pikir-pikir, "Oh, ini ada industri hukum." Bukan hukum industri.
Industri hukum itu adalah suatu penegakan hukum di mana hukum itu diakali, dicari-cari (delik yang pas), sehingga orang yang salah itu menjadi bebas (sementara) orang yang benar itu bisa masuk penjara (dengan) dicari pasalnya.
Misalnya begini, saya mau membuat industri hukum. Kamu masuk ke sini (Kemenko Polhukam) sekarang, enggak apa-apa, kan? Tapi kalau saya bilang Anda harus masuk penjara kecuali bayar uang kepada saya, saya bisa cari hukumnya (bahwa) Anda salah (dengan masuk ke kantor ini).
Anda masuk ke kantor pemerintah tanpa surat izin dari polisi, bisa saya cari (deliknya). Meskipun ndak ada tapi saya cari, sampai Anda membayar.
Itu industri hukum namanya. Hukum itu ditukangi, orang dicari-carikan pasal-pasal agar yang salah tidak salah (tetapi) yang tidak salah jadi salah.
Strategi penanganan industri hukum seperti apa?
Mulai dari atas. Yang atas itu harus berani tetapi jangan berharap selesai dalam waktu dekat, karena (industri hukum) sudah sampai ke daerah-daerah.
Kalau atas, secara struktural okelah. Saya, misalnya, pejabat setingkat menteri, di sekeliling saya harus bersih. Lalu kepala wilayah harus bersih, kepala kabupaten harus bersih. Mulai begitu dulu. Dan itu tidak mudah.
Apakah ada penanggung jawab tertentu? Misalnya di Polri ada Propam, apakah itu akan dioptimalkan?
Pastilah. Semua instrumen pengawasan sudah ada. Di Kejaksaan Agung ada Jamwas, Jaksa Agung Muda Pengawasan, yang bertugas menindak setiap orang itu. Di kepolisian ada Propam. Ada semua, tinggal itu difungsikan.
Rencana pemerintah dalam membenahi regulasi adalah dengan menghadirkan ombibus law. Tapi banyak yang belum mengerti, sebenarnya apa itu omnibus law? Bisa dijelaskan dengan sederhana?
Omnibus law adalah mekanisme pembentukan peraturan yang sekaligus mencakup banyak peraturan yang saling berkaitan.
Omnibus law adalah mekanisme pembentukan peraturan yang sekaligus mencakup banyak peraturan yang saling berkaitan.
Ini peraturan beda-beda. Ini UU Pertanian, ini UU Lingkungan Hidup, ini UU Kelautan. Itu (omnibus law) mengatur hal yang sama, tentang pelestarian lingkungan misalnya.
UU Pertanian mengatakan, caranya begini. Misalnya kalau mau menebas harus izin ini, ini, ini. Tapi UU Lingkungan Hidup mengatakan lain, harus ada studi Amdal. Nanti UU Agraria lain lagi, harus menyediakan fasilitas sendiri.
Nah yang macam-macam itu, caranya beda-beda, ditarik ke atas jadi omnibus law. Ini yang bertentangan terkait lima hal ini, ditarik omnibus law jadi satu undang-undang.
UU masing-masing masih ada, tapi untuk izin pelestarian lingkungan hidup diatur dalam UU yang sama, sehingga jangan saling berbenturan. Di bidang investasi itu sangat penting, karena yang begitu menghambat.
UU di bawahnya omnibus law itu masih berlaku juga?
Masih. Hanya dicabut pasal sekian dan sekian.
Semacam revisi UU?
Iya. Revisi terhadap beberapa UU melalui satu UU. Kalo dulu, satu UU direvisi oleh satu UU. Tidak ada dulu yang lima UU direvisi oleh satu UU.
Itu, aturan investasi (ada) berapa? Ada 77 UU. (Itu) mau dijadikan satu.
Mekanisme pembentukannya bagaimana?
Sama. Seperti biasa, diajukan ke DPR. DPR juga kalau mau ajukan boleh.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa omnibus law sulit diterapkan di Indonesia yang menerapkan sistem hukum kontinental dan bukan anglo saxon? Apa betul begitu?
Iya. Ada yang mengatakan itu. Kita kalau berdebat teori, mudahlah menghadapi mereka.
Tapi kita sudah pada tataran konkret, yang kita akan selesaikan apa. Itu tugas saya untuk menjelaskan.
Ada yang bicara substansi hukumnya. Itu nanti Pak Menkumham bersama DPR. Nanti yang di luar-luar enggak mengerti itu kan.
Ada juga isu, "Wah, ini katanya mempermudah perusahaan asing masuk, menguasai aset negara." Bagaimana saya bilang, nah itu tugas saya (menjelaskan).
Apa benar pembenahan regulasi hanya untuk mempermudah investasi?
Iya, ada (anggapan) begitu. Pasti ada saja, "Itu untuk menuju liberalisasi ekonomi." Ya biasalah ada isu itu.
Tapi kalau tidak ada (pembenahan regulasi) itu, (dibilang), "Wah, Indonesia ini birokrasinya busuk, bertele-tele."
Pasti adalah kritik. Ya dihadapi saja.
Tapi dengan banyaknya isu dan wacana yang muncul, apa karena pemerintah tidak kompak dalam berbicara mengenai omnibus law? Misalnya, ada isu akan ada penghapusan analis mengenai dampak lingkungan (amdal)....
Lah itu, itu yang harus dibicarakan nanti. Pemerintah terkesan enggak kompak karena sejak dulu ego sektoralnya muncul.
Misalnya, kantor Kementerian LHK ngotot harus amdal, karena kalau tidak (melewati amdal akan) membahayakan (lingkungan). Tapi (instansi) yang satu (ngotot juga), enggak boleh begitu dong (karena) itu lama.
Kata Pak Jokowi, "Saya itu urus izin di Kuwait, di Uni Emirat Arab, masuk pukul 09.00, pukul 10.00 sudah selesai semua, bisa investasi berapa pun. Di sini, dua tahun belum selesai, tiga tahun."
Apa ini liberalisasi ekonomi? Tidak apa-apa ada yang menuding begitu.
Kalau tidak (dilakukan pembenahan), dibilang birokrasinya lambat. Kalau diperbaiki, dibilang liberalisasi. Harus dihadapi, setiap pilihan itu ada yang menentang.
Pada bagian kedua tulisan hasil wawancara khusus, Mahfud MD akan blak-blakan bicara lebih mendalam menyikapi pesimisme publik soal pemberantasan korupsi dan penegakan HAM di Indonesia.
Seperti apa? Simak pada bagian kedua dari dua tulisan hasil wawancara tim Kompas.com dengan Mahfud MD.