Yohana Yembise mencetak sejarah sebagai perempuan Papua pertama yang berkiprah di kabinet. Perlakuan "berbeda" hingga harapan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) jadi cerita dalam wawancara khusus dengan Kompas.com ini.
DI sebuah kapal, seorang perempuan Papua terlihat duduk nyaman di bangku penumpang. Matanya yang terlindungi kacamata tebal menatap keluar jendela, ke arah lautan yang membentang sejauh mata memandang.
Cahaya matahari sore memantul tak begitu terik di perairan utara Papua pada Kamis sore itu, 10 Oktober 2019. Di luar jendela, pantulan cahaya membuat air terlihat berwarna keemasan.
Sesekali, burung camar tampak terbang begitu rendah hingga menyentuh permukaan air. Mencari makan.
Mama Yo menjadi perempuan Papua pertama yang duduk sebagai menteri di pemerintahan Indonesia.
Daratan masih jauh. Jangkar belum mau bersauh. Perempuan itu kemudian tersenyum ramah ketika dihampiri. Tak ada kesan terganggu ketika kesendiriannya terusik, apalagi untuk wawancara.
Dia, Yohana Susana Yembise. Orang-orang dekatnya, juga kerabat, biasa memanggil perempuan berusia 61 tahun itu dengan sebutan "Mama Yo".
Yohana Yembise adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) periode 2014-2019. Mama Yo juga adalah perempuan pertama Papua yang duduk sebagai menteri di pemerintahan Indonesia.
Yohana baru saja melakukan kunjungan kerja di Waropen. Di sana, dia mewisuda 48 murid Sekolah Perempuan Waropen. Program "Sekolah Perempuan" digelar sejak Oktober 2018 dan untuk kali pertama mewisuda peserta didiknya.
Di dalam kapal itu, dalam perjalanan dari Waropen menuju Biak, Yohana mengenang kisah lima tahun silam saat ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi menteri.
Sebagai orang Papua, Yohana mengakui bahwa dia merasa "berbeda". Namun, perasaan itu terus dilawan saat dipercaya berada di lingkar inti pemerintahan.
"Saya pindah dari nuansa Melanesia—karena itu kan kebanyakan orang Papua—tiba-tiba saya ke pemerintahan pusat di mana mayoritas orang non-Papua yang ada di situ. Jadi agak kaget. Saya bagaimana merangkul ini?” kata Yohana yang bercerita dengan antusias.
Profesor doktor yang juga telah dikukuhkan sebagai Guru Besar Universitas Cenderawasih ini mengaku sempat ragu pula saat diminta menangani bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Dia merasa tidak punya banyak pengalaman di bidang itu.
Terlebih lagi, latar belakangnya adalah pengajar yang membidangi keguruan dan pendidikan. Awalnya, Yohana berpikir dia akan diminta mengurus kementerian bidang pendidikan. Itu pun, dia tak menyangka ditunjuk menjadi menteri tetapi sekadar membantu di kementerian.
Tak mengira menjadi menteri, Yohana mengakui tantangan pertamanya saat menjabat adalah beradaptasi dengan perasaan sebagai minoritas.
Saat bercerita tentang kenangan lima tahun silam ini, Yohana terlihat sempat menarik napas panjang.
Dia mengakui perasaan sebagai minoritas dengan kulit gelap dan rambut keriting adalah perjuangan adaptasi pertamanya di masa awal menjabat.
Meski banyak yang segera menyambutnya sepenuh hati sebagai menteri, tutur Yohana, tatapan-tatapan tak ramah ke dirinya tetap terasa ada.
"Berhadapan dengan orang-orang yang muka baru untuk saya. Ada yang muka ramah, ada yang kelihatannya ya agak-agak tidak begitu senyum ke saya. Jadi saya berpikir, ini apa lagi?" ujar dia.
Namun, Yohana tidak mau terus dipenuhi perasaan negatif. Sambil sesekali melempar pandangan ke lautan lepas selama bercerita, dia merasa secara perlahan mulai menemukan ritme dan menyalurkan aspirasinya saat bekerja.
Dalam wawancara ini, Yohana juga mengungkapkan kepuasan selama memimpin Kementerian PPPA. Misal, anggaran kementeriannya naik lebih dari tiga kali lipat. Dia juga tak kena reshuffle.
Namun, dia pun menyimpan ketidakpuasan karena belum juga disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
RUU itu memang inisiatif DPR, kata dia, tetapi dianggap penting untuk mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan.
Masa jabatan Yohana akan berakhir begitu pemerintahan baru dilantik pada 20 Oktober 2019.
Hingga wawancara ini berlangsung, Yohana mengaku belum dihubungi Presiden Joko Widodo—yang terpilih kembali untuk periode kedua—terkait kemungkinan ada di kabinet baru.
Bila tak lagi menjadi menteri, Yohana mengaku belum tahu ke mana nasib akan membawanya. Meski begitu, sejumlah rencana sudah mulai dia susun untuk itu.
Kepada Kompas.com, semua kisah di atas dijabarkan lebih rinci. JEO ini mengunggahnya dalam format tanya jawab. Pertanyaan Kompas.com adalah bagian yang tampil dalam format tebal dan miring.
Untuk memudahkan navigasi—Anda dapat melompat ke bagian yang ingin dibaca dan kembali atau berpindah ke bagian lain—, wawancara ini disusun dengan menu:
Pertama, memang saya agak sedikit shock karena tiba-tiba diumumkan menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Background ilmu saya itu adalah keguruan dan pendidikan.
Saya melihat bahwa ada perubahan pandangan. Dari tadinya saya akademisi terus tiba-tiba masuk ke birokrat, itu hal yang baru.
Jadi saya pikir tadinya mungkin akan ditempatkan di salah satu kementerian yang ada hubungannya dengan background saya, karena sudah di-interview, sudah dievaluasi oleh beberapa tim.
Walaupun saya sebagai seorang perempuan pertama dari Papua menjadi menteri, pengalaman saya ini kan bukan hanya nasional. Pengalaman saya ini kan internasional karena kebanyakan saya ini belajar di luar negeri.
Jadi sudah punya modal itu, cukup kuat untuk apa pun terjadi perubahan dalam hidup saya. Saya harus berani menghadapi itu. Apalagi sudah dikukuhkan jadi guru besar itu kan menandakan bahwa saya punya kompetensi. Saya punya kualitas untuk membuat apa saja.
Dan saya merasa bahwa pemimpin (menteri) perempuan dan anak ini, naluri keguruan harus ada. Itu sangat membantu sekali dengan analogi saya sebagai seorang guru, melihat perempuan dan anak ini adalah pusat perhatian dalam hal berhubungan dengan sumber daya manusia.
Jadi akhirnya saya pikir kayaknya bisa, karena pada saat pindah dari Papua masuk ke kementerian kan saya tidak ada pikiran sebelumnya akan menjadi menteri.
Dalam situasi yang baru, yaitu menjadi (orang) pemerintahan di pusat, saya pindah dari nuansa Melanesia—karena itu kebanyakan orang Papua—tiba-tiba saya ke pemerintahan pusat di mana mayoritas orang non-Papua yang ada di situ.
Jadi agak kaget saya bagaimana merangkul ini. Tapi karena pengalaman saya pernah di luar negeri, jauh dari keluarga, jauh dari teman-teman, itu akhirnya membentuk saya kuat. Siapa saja, di mana saja, saya pasti bisa berteman.
Setelah saya masuk, pertama grafik saya agak tinggi karena motivasi, keinginan untuk mencari tahu cukup tinggi. Jadi semangat saya naik.
Tetapi setelah saya melihat beberapa kali, yang ada di dalam kementerian ini seperti anggarannya tidak ada, gedungnya itu juga masih gedung lama, gedung yang kami kontrak.
Terus berhadapan dengan orang-orang yang muka baru untuk saya. Ada yang muka ramah, ada yang kelihatannya ya tidak begitu senyum ke saya. Jadi saya berpikir ini apa lagi
Pengenalan pertama itu yang agak sedikit membuat saya terkejut. Tetapi sifat saya juga kan senang merangkul, siapa saja saya rangkul, jadi saya berusaha mendekati hanya dengan senyum. Menyapa, itu saja.
Saya coba pergi melihat tempat mereka bekerja, sampai saya say hallo, “Selamat pagi, apa kabar?” Itu saja sudah luar biasa untuk membuat mereka merasa terpikat dengan cara saya menyapa mereka.
Akhirnya semakin lama, sudah menyampaikan selamat pagi segala macam, melalui rapat-rapat saya mulai membuka diri dengan mereka. Saya menyampaikan bahwa saya dari Papua, tetapi anggaplah kita semua satu.
“Saya hanya loyal kepada Presiden, kalian juga. Karena Presiden sudah tunjuk saya, kalian juga harus loyal kepada saya. Apa pun yang Presiden inginkan, saya harus laksanakan”.
Setelah saya lihat, anggaran kami berkurang. Saya sampaikan ke Presiden pada saat rapat kabinet, “Dana kami kurang, hanya sekian saja. Bagaimana Bapak Presiden melihat ini sedangkan kekerasan (terhadap perempuan dan anak) masih banyak.”
Kami perlu macam-macam (seperti) satgas, mobil untuk perlindungan perempuan dan anak, tugas dan fungsi pelayanan sampai ke desa-desa. Itu belum ada. Koordinasi kami kan kementerian kebijakan dan kementerian koordinatif saja, jadi anggaran kami sedikit saja.
Pada awal (masa jabatan) saya, (anggaran kementerian) Rp 216 miliar. Dibandingkan dengan kementerian lain (yang itu) adalah kementerian teknis, anggarannya itu kan lebih besar.
Nah, ini yang menyebabkan sampai saya sampaikan ke Presiden. “Mohon, perempuan dan anak itu kan menentukan masa depan bangsa. Jadi mohon supaya ditambah anggarannya.”
Akhirnya, dua hari kemudian Presiden memanggil untuk tambahkan dana. Akhirnya bisa naik sampai Rp 769 miliar. Wah, lumayan sudah bisa naik sampai tiga kali lipat ke atas, dan saya bersyukur.
Akhirnya kembali ke kantor. Mereka sudah terbiasa, dari tahun berapa kementerian ini berdiri (anggaran) tidak pernah naik-naik. Di saat saya, (anggaran) naik tiga kali lipat. Mereka kewalahan juga mengolah dana yang begitu besar.
Saya belum mendekati Pak Jokowi. Artinya belum dipanggil. Karena dulu waktu mau jadi menteri kan dipanggil. Setelah beliau dilantik, tanggal 21 (Oktober 2014) saya langsung ditelepon, (diminta) ke Jayapura.
Mungkin ada berkas saya yang masuk ke rumah transit, ditelepon, dan itu terjadi dalam waktu yang luar biasa, dalam satu minggu itu saya sudah di Jakarta.
Tadinya saya pikir ada lagi selain saya dari Papua. Tapi ternyata tidak. Hanya saya sendirian.
Saya tidak berpikir apa-apa. Saya bukan orang yang ambisius. Saya adalah dosen, mengajar, akademisi. Jadi tetap kalau saya tidak digunakan lagi pasti saya akan kembali mengabdi di kampus.
Yang penting, saya sudah bisa bertahan selama lima tahun itu luar biasa, tidak kena reshuffle.
Dan kami bisa mengangkat kementerian yang tadinya mungkin namanya tidak terlalu terangkat ke atas, tapi sekarang eksistensinya semakin meningkat.
Walaupun kami kementerian koordinatif saja, menyusun kebijakan, tapi di masa saya sudah ada dua undang-undang yang keluar, yaitu UU tentang aturan suntik kebiri (UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlidungan Anak) dan yang baru disahkan kemarin oleh DPR pada 6 September 2019, yaitu batasan usia pernikahan anak, yang 19 laki-laki dan 19 perempuan (Revisi UU Perkawinan).
Itu dua produk yang saya sudah keluarkan dalam masa lima tahun seperti itu. Dalam lima tahun ini dua produk itu keluar itu sangat luar biasa sekali bisa saya tinggalkan untuk perempuan dan anak-anak Indonesia.
Saya hanya bisa serahkan ini ke tangan Tuhan. Rancangan manusia tidak setinggi rancangan Tuhan. Tuhan yang mengatur langkah saya, apa pun yang diberikan untuk saya, pasti dia sudah siapkan. Itu saja.
Siapa pun yang menjadi menteri ke depan, saya mohon agar bisa melanjutkan program-program yang sudah kami langsungkan selama ini.
Karena ini adalah program yang kami buat sesuai dengan keinginan Bapak Presiden, yaitu turun lapangan. Kerja, kerja, kerja dan membuat perubahan.
Kalau bisa (UU) Pengasuhan Keluarga ini dibuat maka kami bisa cover semua, bukan hanya perempuan saja dan anak-anak. Jadi menjurus ke ketahanan keluarga.
Masih ada PR kami yaitu RUU PKS yang sebenarnya harus kita golkan. Jadi kalau bisa ada menteri yang ke depan melakukan ini akan sangat baik.
Kami (juga) berencana membuat RUU Pengasuhan Keluarga. Karena kami melihat sisi keluarga sangat penting sekali dalam permasalahan yang kita hadapi.
Jadi kalau bisa (UU) Pengasuhan Keluarga ini dibuat maka kami bisa cover semua, bukan hanya perempuan saja dan anak-anak. Jadi menjurus ke ketahanan keluarga.
Mungkin untuk melihat, mempertahankan keluarga, karena angka pernikahan perceraian juga semakin tinggi. Lalu akhirnya kekerasan perempuan dan anak dampaknya juga cukup tinggi.
Jadi itu, termasuk RUU Kesetaraan Gender. Kita bicara kesetaraan gender tapi legalitasnya tidak ada. Kalau (topik) kesetaraan gender karena sesuai dengan suistanable development goals yang ada 17 indikator. Indikator kelima kan gender equality, kesetaraan gender.
Dan kalau sampai (UU) Pengasuhan Keluarga keluar, UU Kesetaraan Gender ada, dan inovasi-inovasi lain sesuai dengan isu terkini, akan baik.
Nantinya saya akan memberikan masukan ke menteri yang baru. Siapa pun menteri yang baru, untuk melanjutkan apa yang sudah kami buat.
Saya juga tetap akan membantu jika mereka minta bantuan. Pemikiran dari saya bisa. Yang jelas menteri yang baru itu harus banyak inovasi,
Karena kami berjanji, walaupun kami kementerian kebijakan, tapi kami ini sudah turun ke bawah, ya contoh ke Waropen ini.
Sebenarnya kami tidak perlu (sampai turun ke bawah). Kami koordinasi saja lewat telepon. Tapi ini turun semua sekarang. Kita sampai ke desa-desa.
Mudah-mudahan menteri yang berikut akan mungkin lebih dari saya lagi, atau buat inovasi baru yang bisa dirasakan oleh perempuan (dan) anak seluruh Indonesia.
RUU PKS ini inisiatif dari DPR. Beberapa tahun lalu, kalau tidak salah dua tahun yang lalu, saya diundang oleh Baleg (Badan Legislatif DPR). Berturut-turut dua kali menghadiri acara khusus untuk membicarakan draf RUU PKS.
DPR yang mengangkat isu ini. Pemerintah, karena itu berhubungan dengan perempuan, jelas kami tetap akan back up itu. Apa pun yang diminta DPR, yang berhubungan dengan kepentingan perempuan dan anak, kami bantu.
Kami juga terlibat langsung dalam membuat diskusi-diskusi publik, mengundang ormas bersama-sama melihat draf RUU PKS itu, termasuk pasal dan ayat.
Daftar inventaris masalah atau DIM itu sudah dilihat secara spesifik. Pemerintah sudah memahami itu dan sudah siap. Tinggal masalahnya kami ini tunggu DPR, (karena) DPR yang memanggil.
Saya pernah diundang salah satu undangan untuk raker DPR, bicara mengenai tanggapan Presiden—pemerintah—terhadap RUU PKS.
Saya menanggapi, membacakan statemen dari Presiden untuk menanggapi ini. Tinggal saya tunggu itu dari satu tahun yang lalu kalau tidak salah, tinggal menunggu saja dipanggil DPR untuk membicarakan lebih lanjut. Tapi toh belum dipanggil.
Kami sudah mengundang tim saya dengan tim dari kementerian, terutama dari kementerian-kementerian terkait—dari Kemenkumham, dari Kemensos, kementerian terkait lainnya—untuk hadir dalam membicarakan ini.
Saya tetapkan bahwa target saya September tahun ini harus disahkan. Kita sudah banyak melakukan kajian, sudah banyak diskusi publik, kalau bisa harus disahkan, targetnya September (2019) sebelum masuk ke legislatif yang baru. Ternyata, tidak juga (disahkan) sampai sekarang.
Jadi kami tetap menunggu saja dari DPR. Kalau DPR mau melepaskan itu dan serahkan, pemerintah yang mengatur itu, saya pikir akan sangat bisa.
Kami menganggap bahwa DPR kali ini gagal dan memang pemerintah agak kecewa berat juga. Karena kami sudah membuang waktu, tenaga, pikiran, dana untuk membicarakan khusus soal RUU PKS ini, ternyata tidak jadi.
Namun, belum menutup kemungkinan pasti PR untuk kita. Apalagi ketua DPR sekarang Puan Maharani.
Kami harapkan (Puan) sebagai seorang perempuan Indonesia yang hebat, dan punya pengalaman sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, pasti akan punya persepsi yang lebih dalam lagi daripada kami dan pasti akan secepatnya mengesahkan UU ini.
Saya hanya takut jangan sampai yang anggota DPR periode ini terutama Baleg yang menyusun RUU ini, artinya kan sudah berubah orang, datang yang baru, jadi cara berpikir yang baru, ini mungkin tidak akan sama dengan yang lama.
Mereka (DPR baru) mudah-mudahan bisa secepatnya menanggapi ini, substansi RUU ini bisa mereka kuasai. Kalau tidak, saya khawatir akan membutuhkan waktu lama untuk kembali dari awal mempelajari atau menyetujui RUU PKS ini disahkan.
Iya. Angka korban yang setiap saat ada kan kekerasan terhadap perempuan cukup tinggi. Korban berada di mana-mana, yang memang belum bisa ditangani secara baik hukumnya karena legalitas hukumnya kan belum ada.
Tapi saya sangat optimistis, (RUU PKS) harus disahkan secepatnya karena masih banyak korban (kekerasan terhadap) perempuan seluruh Indonesia.