JEO - News


Yang Anies
dan Siapa Saja
Bisa Belajar dari Risma...

Kamis, 1 Agustus 2019 | 15:36 WIB

Dari soal penanganan sampah sampai urusan polusi dan penghijauan yang alasannya tak cuma bikin indah kota. Pun soal kepemimpinan.

MENDADAK ruang redaksi Kompas.com dan harian Kompas riuh, Rabu (31/7/2019) petang. Awak redaksi Kompas TV pun turut bergabung.

Tri Rismaharini jadi penyebabnya. Iya, Wali Kota Surabaya. Tak disangka, tak dinyana, Risma bertandang ke lantai 5 Menara Kompas.

Risma datang saat pemberitaan media massa masih riuh menyandingkan cara dia menangani sampah di Surabaya dengan penanganan sampah di DKI Jakarta. 

Penuh gelak tawa seperti reuni keluarga, Risma berbagi banyak cerita, dari yang personal sampai yang berbau-bau politik kekuasaan. 

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (tengah) saat bertandang ke Menara Kompas, Palmerah, Jakarta, Rabu (31/7/2019).
KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (tengah) saat bertandang ke Menara Kompas, Palmerah, Jakarta, Rabu (31/7/2019).

Di antara semua itu, ada sejumput cerita yang tak salah seandainya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hendak menerapkannya di Ibu Kota atau menyempurnakan praktik yang telah ada.

Terlebih lagi, masalah sampah pun tengah jadi topik hangat di Jakarta. Belum lagi sorotan soal polusi.

Lalu, untuk siapa pun yang berminat menjadi pemimpin, Risma pun berbagi sedikit cerita di sela obrolan hangat di pantry ruang redaksi ini.

Apa saja cerita itu?

SAMPAH

TOPIK pengelolaan sampah memborbardir lini masa pemberitaan dan media sosial sepanjang pekan ini, membentang dari Surabaya sampai Jakarta.

Gara-garanya, anggota DPRD DKI Jakarta bertandang ke Surabaya dan bertanya ke Risma soal pengelolaan sampah di kotanya.

Saat bertandang ke Menara Kompas, Risma berkali-kali menegaskan dia tidak menyindir siapa pun saat menjawab pertanyaan anggota DPRD DKI Jakarta. 

"Saya itu ditanya bagaimana caranya (mengelola sampah di Surabaya). Buat apa nyindir-nyindir?" tegas Risma berulang-ulang.

Baca juga: Ramai Reaksi Risma soal Sampah Jakarta, Bagaimana Sampah DKI dan Surabaya Dikelola?

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, saat berkunjung ke Menara Kompas, Palmerah, Jakarta, Rabu (31/7/2019).
KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, saat berkunjung ke Menara Kompas, Palmerah, Jakarta, Rabu (31/7/2019).

Lalu, Risma lebih banyak berbagi cerita tentang strateginya mengelola sampah di kotanya, mulai dari efisiensi sampai pemanfaatan ulangnya. 

Dalam konteks Jakarta, Risma menyebut beban sampah harian 7.500 ton itu tidak sedikit.

"Kalau 2021 (TPST) Bantargebang ditutup dan (Intermediate Treatment Facility/ITF yang akan jadi fasilitas baru penampung sampah Jakarta) pada 2022 baru operasional, itu mengerikan," kata Risma dengan intonasi khas medok dan blak-blakannya. 

Pengolahan Sampah di Jabodetabek - (KOMPAS/ARJENDRO)

Menurut Risma, beban sampah harian sedemikian banyak tertumpuk setahun tanpa penampungan akhir dan pengelolaan yang tepat akan menjadi persoalan besar bagi Jakarta.

"(Setiap kali ditanya tentang suatu persoalan), aku bayangkan kalau aku di situ (menghadapi situasi untuk mendapatkan solusinya)," imbuh Risma. 

Efisiensi

Tidak mengirimkan semua sampah ke satu lokasi, jadi jurus Risma soal efisiensi pengelolaan sampah.

"(Biaya pengelolaan sampah Surabaya) efisien karena terdistribusi (tidak semuanya berakhir ke tempat pembuangan akhir/TPA)," ungkap Risma. 

Di Surabaya, kata Risma, ada 28 tempat pembuangan sementara (TPS) sampah, dengan beberapa di antarnya adalah tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST), selain TPA di  Benowo. 

"(Prinsipnya), mengurangi sampah dari sumbernya. Sampah dibagi ke beberapa wilayah (penampungan). Kalau semua ke TPA, berat ongkosnya," ujar Risma. 

Baca juga: Cari Solusi Sampah ke Surabaya hingga Rencana Boyong Risma ke Jakarta

Dengan mengoptimalkan TPS, jarak angkut dari sumber sampah ke penampungan diperpendek.

"Ongkos bensin (kendaraan pengangkut sampah) berkurang," ujar Risma.

Risma mengembangkan pula aplikasi berbasis web yang dapat memantau pergerakan setiap kendaraan pengangkut sampah di kotanya. Aplikasi ini mencatat sampai detail nomor pelat kendaraan sampai pengemudinya, selain rute perjalanan.

"Jadi kalau ada sampah yang telat diangkut bisa diketahui mobil mana yang terlambat dan siapa pengemudinya," ujar Risma sambil memperlihatkan tampilan aplikasi dimaksud.

Aplikasi tersebut menampilkan pula data penggunaan bahan bakar minyak (BBM)-nya. Ongkos tipping fee dari pengolahan sampah di TPA juga ditekan dengan kehadiran TPST yang melibatkan masyarakat.

Jadi listrik dan kompos

Di TPS, lanjut Risma, sampah juga dipilah. Sehingga, tak semua sampah perlu berlanjut lagi ke TPA. 

Tiga dari 28 TPS yang ada juga telah menjadi pendaur ulang sampah yang menghasilkan listrik. Ketiga TPS itu berada di Bratang, Jambangan, dan Wonorejo.

"Ada yang (menghasilkan) 3 kiloWatt (kW), ada yang 4 kW, tergantung sampahnya," sebut Risma. 

Tumpukan sampah organik diproses dengan metode Kue Lapis di Pusat Daur Ulang Kelurahan Jambangan, Kecamatan Jambangan, Surabaya, Jawa Timur.
KOMPAS.com/ACHMAD FAIZAL
Tumpukan sampah organik diproses dengan metode Kue Lapis di Pusat Daur Ulang Kelurahan Jambangan, Kecamatan Jambangan, Surabaya, Jawa Timur.

Menurut dia, Surabaya dalam waktu dekat berencana menambah 5 TPST. Selain menghasilkan listrik, beban TPA juga diharapkan dapat berkurang sampai 100 ton lagi dengan tambahan TPST itu.

Hasil lain dari model pengelolaan sampah yang berjalan di Surabaya adalah kompos. Risma mengakui ini pun kebutuhan besar di kotanya yang sekaligus tertangani dengan cara pengelolaan sampahnya.

"Butuh kompos buat tamanku, ada 453 taman. Surabaya itu tanah pasir, harus pakai kompos, tidak subur seperti di sini. Kalau pakai pupuk kimia, mahal," ungkap Risma. 

Praktik pemanfaatan ulang sampah menjadi kompos pun sebenarnya telah diadopsi di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, penampung sampah dari Jakarta.

Beberapa pekerja sedang mengolah kompos di Unit Pengolahan Sampah Terpadu (UPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (20/2/2019). Unit pengolahan yang dikelola Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini menghasilkan 2-3 ton kompos per hari dari sampah organik pasar-pasar di sejumlah wilayah Jakarta.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Beberapa pekerja sedang mengolah kompos di Unit Pengolahan Sampah Terpadu (UPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (20/2/2019). Unit pengolahan yang dikelola Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini menghasilkan 2-3 ton kompos per hari dari sampah organik pasar-pasar di sejumlah wilayah Jakarta.

Tantangannya, TPST Bantargebang tak akan mampu lagi menampung sampah Jakarta bila tak ada perubahan pola persampahan warga atau ada alternatif lain pengolahan sampah.  

Baca juga: Bom Waktu TPST Bantargebang di Balik Ribut Anies-Bestari soal Sampah

Tak ada motif politik

Selain membantah punya niat menyindir siapa pun, Risma pun menepis spekulasi ada motif kontestasi politik di balik keriuhan jagad maya oleh perbandingan pengelolaan sampah di Surabaya dan Jakarta.

"Kalau dianggap kompetitor, saingan, buat apa bilang (cara pengelolaan sampah ini)? Tapi ini saya malah dosa kalau punya ilmunya tapi tidak mau berbagi," ujar Risma. 

Praktik dan Rencana Pengolahan Sampah di Jabodetabek - (KOMPAS/KARINA)

Dalam perjumpaan tanpa janji temu di Menara Kompas, Risma juga terus membantah kabar angin tentang upaya memboyongnya ke Jakarta selepas periode kedua kepemimpinannya di Surabaya.

Konsisten dengan jawabannya bahwa dia hanya menjawab pertanyaan dari delegasi DPRD DKI, Risma pun menggarisbawahi bahwa Jakarta lebih banyak kelonggaran dana untuk mengatasi tantangan persampahan.

"APBD DKI besar. Surabaya kecil. (Jakarta tidak perlu seperti) Surabaya menggandeng swasta dengan kontrak 20 tahun, bisa dikerjakan dengan APBD dan bisa lebih cepat," kata Risma.

Libatkan masyarakat

Catatan tambahan dari Risma, TPS yang ada di Surabaya berlokasi tak jauh dari permukiman warga. 

"Kalau dikelola dengan benar, tidak bau," ujar dia. 

Pengelolaan sampah di TPS melibatkan semacam satuan tugas dan masyarakat setempat. Banyak di antara mereka berpendidikan setingkat sekolah dasar dan disabilitas.

"Ada transfer knowledge pula dari pengembang (yang membantu pembangunan TPST)," kata dia. 

Baca juga: 2021, Bantargebang Diprediksi Tak Mampu Tampung Sampah Jakarta

Tren data jumlah penduduk dan sampah Kota Surabaya. Gambar diambil pada Rabu (31/7/2019). - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

PENGHIJAUAN, POLUSI, DAN KECERDASAN ANAK

PERBINCANGAN dengan Risma tak melulu soal topik yang sedang hangat diperbincangkan publik. Dia pun bertutur banyak soal kepeduliannya soal penghijauan.

"(Penghijauan) bukan soal bikin indah kota saja," tegas Risma.

Seperti disebut sebelumnya, Risma membangun 453 taman di seantero Surabaya. Dia menyebut taman dan pepohonan itu tak masalah bila harus membuat wajah Ibu Kota Jawa Timur itu bak hutan.

Yang penting, kata Risma, pepohonan dan taman tersebut bisa menjadi penyaring udara dari  polusi jalanan dan lingkungan sehingga tak masuk ke permukiman.

"(Polusi) itu bahaya. Bisa pengaruhi kecerdasan anak," ungkap Risma.

Lagi-lagi, Jakarta pun kini tengah diterpa isu terkait polusi. Bahkan, tingginya tingkat polusi udara di Jakarta ini sudah masuk ke wilayah hukum.

Baca juga: Sidang Perdana Gugatan Polusi Udara Jakarta Digelar Hari Ini

Risma mengaku mendapat informasi sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) DKI Jakarta sangat besar.

"Kalau uangnya banyak, apa susahnya beli tanaman?" ujar Risma.

Untuk mengoptimalkan penghijauan pun, lanjut dia, pohon berukuran sangat besar sudah dapat langsung dipindahkan. Dia menyebut ini sambil menggambarkan ukuran lingkar batang pohon sepelukannya.

Dalam catatan Kompas.com, Silpa DKI Jakarta pada 2018 di kisaran Rp 12 triliun, melebihi total APBD Kota Surabaya pada 2019 yang tercatat di kisaran Rp 9 triliun. 

Baca juga: Serapan Anggaran DKI 2018 Meleset dari Target...

Semprot dan cek dedaunan

Pengadaan pohon dan taman tak menjadi satu-satunya wujud perhatian Risma soal penghijauan.

Di antara banyak kegiatan Risma, menyemprot dedaunan tanaman adalah salah satu yang sering dia lakukan sendiri.

"Semprotin daun biar bisa optimal fungsi daun menyerap polusi," tegas Risma. 

Kemampuan tanaman menyaring tingkat polusi di suatu daerah pun jadi bagian dari aktivitas Risma.

"Bisa diukur, dites. Kalau (kemampuan daun) sudah mendekati ambang batas, tambah lagi (pohon). Surabaya sudah seperti hutan. Biar (polusi) tidak lari ke perumahan," urai Risma.  

Pilihan tanaman untuk penghijauan pun karenanya menjadi penting, bila pemilihannya adalah benar-benar demi menahan laju polusi udara, bukan semata soal keindahan di mata.

RAHASIA RISMA...

BANYAK kandidat pemimpin ketika mengincar atau memulai kekuasaan mengeluarkan beragam janji muluk.

Namun, waktu membuktikan, tak banyak dari mereka yang mampu mewujudkannya. Tak perlu berburuk sangka juga, bisa jadi niatnya tetap sama hanya pelaksanaannya yang tak sesuai.

Tak banyak, misalnya, orang seperti proklamator Mohammad Hatta yang berjanji dan terbukti tidak menikah sebelum Indonesia merdeka.

Dalam praktik kepemimpinan kontemporer, sosok-sosok baik pemimpin malah lebih sering tenggelam kabar kiprahnya. Jauh lebih mudah mendapati para pejabat yang kedapatan korupsi atau paling minim ingkar janji.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, saat berkunjung ke Menara Kompas, Palmerah, Jakarta, Rabu (31/7/2019).
KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, saat berkunjung ke Menara Kompas, Palmerah, Jakarta, Rabu (31/7/2019).

Bagaimana dengan Risma melihat mandat kekuasaan? Terlebih lagi, namanya berkali-kali muncul untuk pencalonan menuju kekuasaan di Ibu Kota bahkan bursa pemimpin nasional masa depan.

Baca juga: Kamus Kepemimpinan Bu Risma Antarkan Surabaya Mendunia

Tak berharap menang

Dalam obrolan yang dimulai dengan banyak canda—termasuk suka-duka berinteraksi dengan orang Madura—Risma membuka banyak cerita di balik dua periode kepemimpinannya di Surabaya.

"Ketika orang-orang lek-lekan, begadang, saya tinggal tidur. Saya malah sempat minta kiai saya mendoakan saya gagal (terpilih untuk periode kedua)," ujar dia sambil tertawa lugas.

Topik interaksi dengan orang Madura menjadi renyah di meja berhidangkan cangkir teh, Rabu petang itu, karena kebetulan sejumlah awak redaksi juga orang Madura.

Bahkan, Risma pun membuka sedikit cerita soal surat rekomendasi pencalonan dari partai pengusung. Isu-isu ini lagi-lagi mencuat karena nama Risma muncul dalam daftar kandidat yang berpeluang maju ke Pilkada DKI pada 2022.

Merujuk ke Umar

Risma mengaku bukan orang yang menginginkan jabatan. Bahkan, menurut dia, jabatannya ini bisa menyusahkannya kelak setelah kematian, bila ada warganya yang ternyata tak terurus apalagi terzalimi selama dia menjabat.

"Berat jadi wali kota. Yang kupegang agamaku," ujar dia membuka rahasia kegilaannya bekerja mengurus Surabaya.

Contoh sosok yang Risma jadikan rujukan dalam memimpin adalah Umar bin Khattab ra. 

"Contoh Umar panggul beras. Aku mana kuat? Bagaimana caranya? Sampai kapan juga kuat (kalaupun pernah kuat)? Ini tidak mudah," lanjut cerita Risma. 

Bukti program makanan gratis di Kota Surabaya. Gambar diambil pada Rabu (31/7/2019). - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Sudah punya pikiran begitu, saat Risma menjalani laku 5 hari tidak makan pun masih diperlihatkan hal-hal jelek di Surabaya. 

Di antara hal jelek itu, sebut dia, adalah warga yang tinggal tak sampai 100 meter dari PDAM tapi tak punya akses. Ada lagi kasus warga yang rumahnya dekat dengan rumah sakit tapi terkena polio.

"Jabatan itu tidak boleh diminta (untuk didapat). Suatu wilayah itu bukan kata benda. Ada manusia yang butuh perhatian. Yang kaya minta tidak mau banjir. Yang miskin tidak bisa makan dan sekolah. Kalau mereka berdoa (karena merasa tak terurus), aku yang kena," tutur Risma. 

Salah satu kasus yang diakui Risma cukup memukul adalah kasus anak yang terlibat prostitusi. Saat itu, jajarannya sempat menyebut anak itu sebagai "nakal", tapi Risma minta untuk dicek ulang kondisinya di rumah.

Temuan yang didapat, ternyata anak tersebut harus menanggung hidup adik-adik dan keponakannya, dengan kiriman Rp 100.000 dari ibunya yang bekerja di Cirebon, Jawa Barat, setelah perceraian.

"Aku sampai minta maaf (ke anaknya). Itu cara termudah dia untuk mengatasi persoalan yang dihadapi," kata Risma.

Tak hanya kata, dia juga meminta sang ibu pulang ke Surabaya, mencarikannya pekerjaan dengan penghasilan sesuai upah minimum kota (UMK) Surabaya Rp 3,6 juta pada saat itu, dan menanggung biaya sekolah anak yang sempat terjerembab ke dunia hitam. 

Penelusuran Risma mendapati si ibu bekerja di Cirebon dengan bayaran Rp 1 juta. Ketika si ibu ini tak berani keluar dari pekerjaan, Risma pula yang langsung menelepon juragannya.

"Tidak dipercaya juga, saya ajak video call biar kelihatan muka saya sekalian," tutur dia. 

Tak cemas soal jabatan

Dengan semua hal yang dia yakini dan temui selama memimpin di Surabaya, Risma menyatakan tak pernah meminta kesempatan maju ke Pilkada DKI Jakarta pada 2022 atau kursi jabatan di mana pun.

Dalam keyakinannya, tak pernah mudah meladeni semua orang. Katakanlah kepemimpinannya di Surabaya dianggap bagus, ujar dia, belum tentu juga hal yang sama bisa terjadi ketika mandat datang dari wilayah lain. 

"Kalau sombong (merasa bisa), malah dikasih cobaan nanti. Ini soal belief," tegas dia.

Masih soal keyakinan, Risma pun mengaku tak pernah cemas kalau tak lagi jadi pemimpin.

"Halah, nyawa saja enggak bisa digandoli (dipertahankan) kalau diambil, apalagi jabatan. Apa itu artinya jabatan?" ujar dia sembari tertawa lepas.

Contoh yang dia sebut adalah saat DPRD Kota Surabaya sempat berusaha melengserkannya. "Aku ketawa saja selesai dari sidang (upaya pelengseran)," kata dia.

Soal dukungan, Risma bercerita pernah marah-marah ketika ditodong dana pembangunan masjid bila menginginkan dukungan.

"Kalau minta uang, saya pulang. Tidak apa-apa kalau enggak mau milih (saya) juga," tutur dia berapi-api.

Soal orang-orang marjinal

Kembali ke cerita soal Umar, Risma mendapatkan solusi dengan membangun sistem sosial yang melibatkan komunitas dan masyarakat.

Saat ini, sekitar 35.000 orang mendapatkan satu porsi besar makan siang—yang bisa untuk dua kali makan dengan porsi normal—per hari di kotanya. Alokasi anggarannya, Rp 11.000 per porsi makan. 

"Anak yatim, lansia miskin, disabilitas, penderita TBC (dan) kanker, orang dengan HIV/AIDS. Warga dari RT dan RW yang tunjuk (siapa layak menerima), lalu memasakkan. Buktinya, pemberian makanan difoto dan dikirim ke kami," papar Risma.

Relawan, sebut Risma, dilibatkan pula dalam program ini. Yang mengharukan, tutur dia, para relawan ini malah menolak ketika ditawari honor setara UMK Surabaya dan kemudian hanya mendapatkan nominal ala kadar tak sampai Rp 200.000 per bulan.

Korupsi?

Dengan semua cerita berbasis manusia dan landasan keyakinan, Risma pun meyakini korupsi tak akan jadi jalan yang dia lalui. Selama, kata dia, ada data dan pelaporan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Berhadapan dengan penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ataupun kejaksaan, menurut Risma bukan persoalan. Asalkan, kata dia, niatnya adalah sebesar-besar kebaikan untuk warga yang menjadi tanggung jawabnya.

Kasus pemanfaatan tanah untuk program pemerintah, jadi contoh yang disebut Risma. Jangan sampai karena penggantian yang terlalu bertumpu pada nilai jual objek pajak (NJOP) malah membuat pemilik lahan tak lagi bisa memiliki tempat tinggal.

"Tugas pemerintah itu menyejahterakan, bukan? Kalau begitu kejadiannya, bukannya malah menyengsarakan?" tanya dia.

Semua tergantung contoh

Dari semua hal, Risma mengatakan pada akhirnya pelaksanaan program akan kembali pada contoh yang diberikan oleh pemimpin. 

"Kalau pemerintah melakukan, warga meniru. Bagaimana mau menyuruh orang kalau kita tidak melakukan? Nanti mereka sendiri kok yang akan bilang, 'masak tamanku kalah sama taman Bu Risma?'. Kalau kita nyuruh tapi tidak melakukan, bagaimana caranya?"

Soal berbagi pengalaman mengelola beragam persoalan perkotaan, Risma menyatakan tak menutup diri terhadap siapa pun.