Di tengah lautan map cokelat dan antrean yang mengular, kita menemukan bukan hanya para pencari kerja—tetapi juga pencari harapan.
Pagi masih menyisakan dingin, namun ribuan pencari kerja sudah berjejalan di lokasi Job Fair Jakarta.
Wajah-wajah dengan sorot mata penuh harap dari mereka yang mencari pekerjaan bersemu jingga diterpa sinar Matahari, berpadu dengan suara sepatu yang bergegas melangkah dan tumpukan map cokelat di tangan.
Puluhan booth perusahaan yang didirikan di lokasi mengadu nasib itu sudah dipenuhi pelamar sejak pagi, namun aliran pengunjung yang datang tak kunjung surut, malah makin bertambah menjelang siang.
Petugas pun sibuk mengatur antrean yang kian menumpuk. Suara tegas mereka bersaing dengan bunyi pelantang yang terus memanggil pencari kerja untuk mampir ke setiap booth, membuat kita kesulitan menangkap setiap kalimat dengan jelas, menyisakan kebisingan tanpa makna.
Ketika Matahari makin tinggi, udara di dalam ruangan mulai terasa pengap dan gerah. Bau keringat yang merembes di baju para pencari kerja bercampur dengan aroma parfum yang mulai pudar karena disemprotkan sejak pagi.
Banyak dari mereka tampak kelelahan. Ada yang duduk bersandar di dinding mengipasi dirinya dengan map lamaran menyebarkan aroma yang bercampur baur, ada pula yang berdiri dengan lutut gemetar, sesekali mengelap keringat dengan tisu yang sudah lecek.
Beberapa wajah tampak frustrasi, mulutnya menggerutu tentang antrean yang tidak bergerak, atau meneriaki peserta lain yang memotong jalur. Suara keluhan terdengar di berbagai sudut.
Namun di sisi lain, ada juga yang memilih diam berdiri tenang sambil membaca ulang informasi lowongan dari selebaran yang digenggam erat, mencoba menjaga semangat meski mata sudah sayu dan kaki mulai pegal. Ketika gilirannya tiba untuk menyerahkan berkas dan wawancara, mereka segera merapikan bajunya, menyisir rambutnya dengan tangan, dan bergegas melangkah.
Di antara kerumunan itu, terlihat beberapa sosok yang tak lagi muda dengan wajah penuh harap, meski rambutnya yang mulai beruban sudah lepek terkena keringat.
Salah satunya adalah Adi, berusia 50 tahun. Di antara banyak lulusan baru yang wajahnya masih mulus, Adi cukup mencolok ketika hadir di acara job fair di Johar Baru, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Warga Bekasi itu mencari pekerjaan yang cocok dengannya, mengingat usia yang tak lagi muda.
Ia bersaing dengan ribuan orang yang rata-rata usianya jauh di bawahnya. Namun, hal tersebut tak membuatnya minder.
Di matanya, masih ada harapan mendapat pekerjaan. Ditambah, ia masih masuk kategori usia produktif.
"Saya sudah muter-muter tapi belum ketemu pekerjaan yang cocok. Semoga ada kesempatan untuk kami yang di atas 40 tahun."
Adi - pencari kerja
Dengan kemeja putih yang lengannya digulung dan map lamaran di tangan, ia berkeliling lokasi job fair sambil menanyakan satu per satu posisi yang tersedia. Namun, belum ada lowongan pekerjaan untuk usianya.
“Saya sudah muter-muter tapi belum ketemu pekerjaan yang cocok. Semoga ada kesempatan untuk kami yang di atas 40 tahun,” ujar Adi.
***
Susahnya mencari pekerjaan tak hanya dialami mereka yang berumur. Yudhistira (23) yang usianya tergolong muda pun menganggap mencari pekerjaan saat ini bukanlah hal yang mudah.
Yudistira datang sendiri ke job fair hari itu. Kemeja putihnya yang sudah tampak kusam dimasukkan ke celana yang sedikit kebesaran di pinggang.
Rambutnya yang mulai panjang disisir seadanya ke samping, di mana keringat dan sisa-sisa minyak rambut menetes ke tas ransel hitam di punggungnya.
Sepasang sepatu sneakers berwarna hitam pudar yang menjadi alas kakinya bukan sepatu kerja, melainkan sepatu harian yang jelas sudah melewati banyak medan.
Lebih dari 30 interview ia jalani sejak lulus kuliah pada 2023. Sepanjang April 2025 saja, lebih dari 20 lamaran kerja ia kirimkan, Namun, hingga kini ia masih menganggur.
Menurut pendapatnya, hal ini karena pesaingnya bukan hanya angkatan seusianya, tetapi juga fresh graduate atau lulusan baru.
“Mungkin karena saya sudah agak lama lulus, jadi persaingannya lebih berat. Banyak fresh graduate yang ikut melamar dan sepertinya mereka lebih mudah dilirik dibanding yang lama menganggur,” ujar Yudistira sambil menundukkan pandangannya sesaat.
Ekspresi wajahnya sulit disembunyikan, ada campuran canggung, lelah, dan sedikit getir dalam senyumnya yang dipaksakan.
Di lokasi yang sama, seorang pencari kerja lain bernama Zaki terlihat sedang berbincang dengan seorang petugas HRD.
Pria yang mengenakan jaket tipis warna abu-abu di atas kaus berkerah ini berdiri tegak, membawa map berisi berkas lamaran yang mulai lecek di sudut-sudutnya. Celana jinsnya sudah mulai memudar di bagian lutut, dan sneakers yang dipakainya tampak tak serasi dengan suasana formal job fair.
"Sekarang saya masih kerja, tapi kontraknya sebentar lagi habis. Jadi saya coba-coba lihat ke sini, siapa tahu ada yang cocok," tutur Zaki ketika ditemui.
Sesekali, ia melirik ke luar area job fair, ke arah pintu masuk, tempat istri dan kedua anaknya menunggu.
“Mereka nunggu aja di luar. Ya sambil lihat-lihat juga, sekalian jalan-jalan,” kata dia.
Suaranya tenang, tapi mata dan kerut di dahinya tak bisa berbohong ada kekhawatiran yang terus bergelayut di sana.
Di luar, istri Zaki duduk di pinggiran pelataran gedung bersama dua anak mereka yang masih kecil.
Si sulung menggenggam botol air mineral sambil sesekali merengek ingin masuk ke dalam. Si bungsu tertidur di pangkuan ibunya, yang mengenakan kerudung sederhana dan gamis yang terlihat sudah lama dipakai.
Wajah sang istri tampak sabar, tapi juga menyimpan lelah, lelah karena perjalanan panjang, lelah karena harapan yang terus diusung meski tak tahu kapan akan sampai.
Zaki mengaku, meski peluang mendapat pekerjaan baru belum tentu ada, ia juga tak bisa duduk diam menunggu pekerjaan baru datang menghampiri tanpa dicari.
Di balik langkahnya yang tampak santai, ada tekad besar untuk tetap berdiri sebagai kepala keluarga.
Adi, Zaki, dan Yudhistira hanya segelintir contoh dari banyaknya pencari nafkah yang bersaing mencari peluang di bursa kerja.
Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta pada Februari 2025, jumlah angkatan kerja Jakarta pada Februari 2025 mencapai 5,47 juta orang.
Angkanya meningkat 41.000 orang dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 5,14 juta orang bekerja, sementara 338.000 orang menganggur.
Meski jumlah penduduk bekerja naik 30.000 orang dibanding tahun lalu, jumlah pengangguran juga naik sekitar 10.000 orang. Hal ini menunjukkan, bertambahnya lapangan kerja belum mampu menampung seluruh pertambahan angkatan kerja yang ada.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jakarta pada Februari 2025 yakni 6,18 persen, naik 0,15 persen poin dari Februari 2024.
Data ini berarti dari setiap 100 orang angkatan kerja, terdapat enam orang yang tidak memiliki pekerjaan.
Secara gender, TPT laki-laki mencapai 6,77 persen, lebih tinggi dari TPT perempuan sebesar 5,29 persen.
Kenaikan TPT laki-laki sebesar 0,64 persen poin menunjukkan bahwa kelompok ini lebih terdampak dibandingkan perempuan, yang justru mengalami penurunan pengangguran sebesar 0,58 persen poin.
Sementara penduduk bekerja paling banyak berstatus buruh/karyawan/pegawai, yaitu sebesar 58,30 persen.
Dibandingkan Februari 2024, status pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase terbesar adalah berusaha sendiri dengan peningkatan sebesar 1,52 persen poin.
Sementara itu, untuk status pekerjaan yang mengalami penurunan persentase terbesar terdapat pada status berusaha dibantu buruh tetap dan dibayar sebesar 2,26 persen poin.
Tingkat pendidikan dapat mengindikasikan kualitas dan produktivitas tenaga kerja. Pada Februari 2025, sebagian besar penduduk bekerja berpendidikan Sekolah Menengah Atas, yaitu sebesar 26,36 persen.
Sementara itu, penduduk bekerja yang berpendidikan tinggi yaitu tamatan Diploma I/II/III dan Diploma IV, S1, S2, S3 sebesar 21,15 persen dan mengalami tren yang semakin meningkat dari Februari 2023.
Distribusi penduduk bekerja menurut pendidikan masih menunjukkan pola yang sama dengan Februari 2023 dan Februari 2024.
Di sisi lain, SMK jadi kelompok dengan pengangguran tertinggi jika ditinjau berdasarkan jenjang pendidikan, yakni 9,07 persen. Tingkat pengangguran bagi angkatan kerja lulus SMK ini selalu menjadi yang tertinggi sejak dua tahun terakhir.
Sebaliknya, tingkat pengangguran terendah tercatat pada lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP), yaitu sebesar 3,00 persen. Dari data ini menandakan, ada ketidaksesuaian antara keterampilan lulusan SMK dengan kebutuhan pasar kerja, meskipun sekolah kejuruan seharusnya dirancang untuk mempersiapkan siswa masuk langsung ke dunia kerja.
Dominasi pengangguran oleh lulusan SMK dan SMA menandakan bahwa kurikulum dan pelatihan kerja untuk lulusan tersebut masih perlu disesuaikan dengan kebutuhan industri.
Untuk mengatasi tantangan ini, kebijakan ketenagakerjaan yang lebih terintegrasi antara dunia pendidikan dan sektor industri menjadi hal yang perlu disoroti oleh Pemprov Jakarta.
Mengatasi masalah pengangguran menjadi salah satu fokus utama Pramono Anung dan Rano Karno saat mencalonkan diri sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta. Ada beberapa poin yang mereka garis bawahi, salah satu yang populer yakni mengadakan job fair setiap tiga bulan sekali di setiap kecamatan.
Pada Oktober 2024, di masa kampanyenya, Pramono mengatakan bakal membuka 500.000 lapangan pekerjaan. Janji tersebut, menurut dia, sangat realistis dan relevan dengan kebutuhan warga.
"Saat ini di Jakarta ada kurang lebih 354.000 pengangguran. Ada 52.000 yang baru di-PHK sampai dengan bulan Oktober. Sehingga kalau dijumlahkan kurang lebih 400.000. Kalau kemudian kami menjanjikan 500.000 sangat rasional," kata Pramono di Kebayoran Lama, Selasa (29/10/2024).
Demi menunaikan janjinya, Pramono menyebut bakal ada pemberian dana sebesar Rp 300 milliar bagi UMKM sehingga pembukaan lapangan kerja secara masif dapat terjadi.
"Itu untuk modal membantu UMKM bergerak. Jadi bukan fasilitas untuk infrastruktur, enggak. Ini untuk permodalan aja. Karena kami menginginkan untuk mendorong UMKM ini survive dan UMKM ini yang terbesar menjadi penyangga ekonomi Jakarta," tambah Pramono.
Dalam janji-janji kampanyenya Pramono menyebutkan:
Dari janji-janji tersebut, penyelenggaraan job fair menjadi salah satu poin yang sudah terealisasi. Sejak Pramono-Rano menjabat pada Februari 2025, setidaknya lebih dari lima job fair digelar di berbagai Gelanggang Olahraga (GOR) Jakarta.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Jakarta melalui Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi juga menggelar berbagai pelatihan untuk meningkatkan skill pekerja.
Pelatihan Tenaga Kerja Mandiri (TKA) tersebut meliputi, salah satunya, bidang kerajinan tangan yang baru digelar pertengahan Mei 2025 di RPTRA Taman Sawo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sebelumnya, digelar juga pelatihan mobile training unit (MTU) tata busana, tata rias, tata boga, las listrik, operator komputer, hingga desain grafis di berbagai tempat di Jakarta selama 30 hari kerja.
“Kami juga mengembangkan MTU untuk menjangkau masyarakat di tingkat kelurahan agar mereka bisa meningkatkan keterampilan kerja mereka," ujar Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Jakarta, Arif Syaripudin saat dihubungi Kompas.com, Minggu (19/5/2025).
DTKTE juga fokus pada peningkatan wirausaha melalui program Jakpreneur, yang bertujuan untuk mencetak tenaga kerja mandiri dan membuka lapangan pekerjaan baru.
“Program ini menumbuhkan jumlah tenaga kerja yang berwirausaha dengan harapan wirausaha baru dapat membuka lapangan-lapangan pekerjaan baru untuk masyarakat,” ungkap Arif.
Menurut dia, jumlah lowongan kerja lebih banyak untuk usia di bawah 30 tahun. Sebab perusahaan lebih memilih tenaga kerja muda karena mudah dilatih, adaptif terhadap teknologi baru, dan memiliki waktu kerja yang panjang di masa depan.
“Jumlah lowongan kerja untuk usia di bawah 30 tahun memang cenderung lebih banyak. Lowongan untuk usia muda seringkali bersifat entry level, sedangkan untuk usia di atas 30 tahun biasanya lebih mengarah pada posisi yang membutuhkan keterampilan atau pengalaman kerja yang spesifik,” ujar Arif.
Meski demikian, Arif menegaskan bahwa peluang kerja untuk usia di atas 30 tahun tetap terbuka lebar, terutama di sektor jasa, administrasi, keuangan, dan pemasaran.
Posisi seperti teknisi, operator alat berat, mekanik, IT, serta posisi manajerial juga masih banyak dicari.
“Asal pelamar memiliki keterampilan interpersonal dan profesional yang mumpuni, ditambah pengalaman kerja yang sesuai, justru menjadi nilai tambah yang besar,” kata dia.
Walau kesempatan kerja untuk mereka yang berusia 30 tahun ke atas masih terbuka, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa posisi yang ada sangat terbatas. Bursa kerja tidak memberikan kesempatan yang luas bagi pekerja produktif dengan usia lanjut. Setidaknya itulah yang dirasakan Adi.
Penampilannya mungkin tampak seperti sosok yang tertinggal oleh waktu. Namun, dia mengantongi 26 tahun pengalaman di dunia perhotelan, bahkan meniti karier hingga mencapai posisi supervisor.
Sayang, segalanya berubah drastis saat pandemi Covid-19 melanda. Hotel tempat Adi bekerja tak mampu bertahan. Ia pun kehilangan pekerjaan.
Adi yang menanggung beban sebagai kepala keluarga tak bisa hanya berpangku tangan.
Dia mencoba membuka usaha travel umrah dan haji. Sempat memberangkatkan jemaah, tetapi hasilnya belum cukup untuk menghidupi istri, anak, dan cucunya.
Adi ingin penghasilan yang lebih stabil, sehingga mencari peluang di job fair. Ia sudah berkeliling area tersebut untuk mencari pekerjaan yang kriterianya cocok. Namun, ia tersandung batas usia.
Kebanyakan lowongan pekerjaan yang ia temukan untuk pekerja usia 30-an tahun ke bawah.
“Usia saya sudah 50 tahun, jadi enggak bisa. Batas usia jadi penghalang cari kerja bagi saya,” kata Adi.
***
Di lokasi berbeda, Cholis, warga Jatake, Kota Tangerang, menyusuri area job fair di sebuah pusat perbelanjaan demi mendapatkan pekerjaan.
Dia sebelumnya bekerja di perusahaan ritel dan memutuskan resign pada 2024. Keputusan itu bukan karena lelah bekerja, melainkan keinginan memulai sesuatu yang baru bersama sang istri, yakni merintis usaha air isi ulang.
Kini, pria berusia 48 tahun itu ingin kembali melangkah ke dunia kerja.
Bukan karena usahanya tutup, melainkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak dan dapur yang tak bisa bersandar pada satu tiang saja.
Di tangannya tak hanya berisi map, tetapi juga harapan dari istri dan ketiga anaknya.
Dia bukan pelamar tanpa bekal. Pengalaman 14 tahun di bidang merchandising dan gelar sarjana Administrasi Negara dari Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang menjadi modal yang ia bawa.
“Semoga job fair ini bisa bantu orang-orang seperti saya yang masih cari kerja. Sekarang memang enggak mudah.”
Cholis - pencari kerja
Namun, realitas tak semudah tekad. Kesenjangan usia terus membayanginya. Batas maksimal pelamar dari lowongan kerja yang tersedia hanya 30-an tahun.
“Kemarin saya coba ke salah satu perusahaan tapi mentok karena usia. Mereka terima sampai umur 32–33 tahun,” kata Cholis.
Tidak menyerah, ia kembali membawa puluhan lamaran. Setiap bundel kertas yang ia serahkan bukan sekadar biodata, tapi juga simbol keteguhan seorang kepala keluarga.
“Semoga job fair ini bisa bantu orang-orang seperti saya yang masih cari kerja. Sekarang memang enggak mudah,” tuturnya.
***
Nasib serupa juga dialami Nuryadin. Sudah lima bulan dia hidup tanpa penghasilan tetap setelah kehilangan pekerjaan di sebuah toko elektronik.
Sang adik terus menyemangati Nuryadin. Dia pun mengirim informasi lowongan, dan menyarankan kakaknya ikut Jakarta Job Fair 2025 di GOR Cilandak Barat.
Nuryadin sebelumnya sudah berkali-kali melamar kerja, sempat dipanggil wawancara, bahkan hampir diterima. Namun, akhirnya semua kandas karena usianya dianggap terlalu jauh dari ideal.
“Sudah pernah, dari outsourcing udah oke ya. Tapi begitu ke penempatan, ya itu, usia jadi penghambat, enggak jadi di-hire,” kenang dia.
Menurut Nuryadin, alasan perusahaan memberi batasan usia karena tingkat produktivitas anak muda lebih tinggi dibandingkan orang yang sudah tua.
Selain itu, ia menganggap anak muda yang belum mempunyai tanggungan keluarga juga menjadi pertimbangan perusahaan untuk menerima mereka dengan gaji kecil.
Nuryadin tidak pantang menyerah mencari pekerjaan. Dia sempat mendaftar Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) di lingkungan Pemprov Jakarta.
Pekerjaan tersebut menjadi satu dari sedikit peluang yang masih terbuka untuknya. Tak ada batasan pendidikan, tidak perlu pengalaman panjang, dan batas usia yang relatif longgar.
Gaji UMR yang ditawarkan tak ia anggap kecil. Dalam kondisi sekarang, yang ia cari bukan hanya pemasukan, tapi juga tempat untuk kembali berdiri tegak sebagai pencari nafkah.
“Lumayan lah, dari salary-nya juga sekarang UMR,” imbuh dia.
Di saat banyak orang merayakan momen kebahagiaan anak pertamanya lahir, Yogi justru menelan kenyataan pahit karena kehilangan pekerjaan pada Oktober 2024.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) itu datang tanpa aba-aba, Yogi dan keluarganya pun terkejut.
“Kondisinya saat itu (istri) kaget. Mana ada yang sangka anak baru lahir satu bulan, terus tiba-tiba dapat informasi suaminya kena PHK?” kisah Yogi saat ditemui Kompas.com, Minggu (12/5/2025).
Meski terpukul, sang istri tidak larut dalam kesedihan. Ia memeluk Yogi erat, menyemangatinya untuk tetap tabah menghadapi masa sulit.
Menurut Yogi, ia diberhentikan bukan karena kinerja atau efisiensi, melainkan karena harus menjadi "tumbal" demi menyelamatkan karyawan jalur orang dalam atau ordal.
Yogi mencoba menyelidiki kabar itu beberapa hari setelah menerima surat PHK. Hasilnya justru memperkuat kecurigaannya, namanya masuk daftar pengurangan bukan karena alasan rasional.
“Sebenarnya bukan saya yang kena (PHK), tapi yang saya terima informasinya sih saya kena ‘tukar pala’ ordal,” ujar Yogi.
Saat menerima surat PHK, ia pun tidak berani bersuara. Yogi khawatir surat paklaring malah dimainkan oleh human resource development (HRD) perusahaannya.
Dia juga sempat mengajak rekannya untuk menolak pemecatan tersebut. Namun, mereka tidak berani bersuara.
Akhirnya dia harus menerima keputusan perusahaan ketimbang namanya jelek dan surat paklaring tidak keluar.
“Awalnya saya pikir pas saya kena PHK, nanti awal tahun (2025) mungkin banyak yang buka lowongan. Eh, ekonomi makin hancur."
Yogi - korban PHK
Hingga kini, sudah lebih dari 100 lamaran ia kirimkan, tetapi belum satu pun membuahkan hasil. Ada beberapa panggilan wawancara, tetapi semua belum berujung pada kepastian.
“Awalnya saya pikir pas saya kena PHK, nanti awal tahun (2025) mungkin banyak yang buka lowongan. Eh, ekonomi makin hancur, perusahaan apapun itu banyak juga yang kena PHK,” ujar dia.
Untungnya Yogi masih memiliki sedikit tabungan untuk menopang kebutuhan sehari-hari. Sang istri akhirnya ikut bekerja sambil mengurus bayinya.
Ia pun mengambil pekerjaan sampingan untuk menambah pemasukan. Namun, semua itu masih jauh dari cukup.
"Harapannya bisa dapat pekerjaan lagi dong pastinya, buat menyenangkan anak, istri, dan keluarga. Sekarang tetap berjuang dan tabah sampai akhir," kata dia.
***
Badai PHK juga menimpa Dewi (34), mantan karyawan swasta sebuah perusahaan di Jakarta Selatan, pada Oktober 2023.
Kala itu, desas-desus tentang PHK massal memang sudah berhembus sejak dua bulan sebelum dirinya dipecat.
Hari yng ditakutkan itu pun datang. Pada 2 Oktober 2023, Dewi menerima panggilan dari HRD yang memintanya untuk datang ke kantor pada esok hari. Ia masih ingat betul bahwa panggilan itu diterimanya pada 2 Oktober 2023.
“Esok harinya, pada tanggal 3, aku menerima kabar bahwa itu hari terakhirnya bekerja,” ungkap Dewi
Bak petir di siang bolong, kabar tersebut menjadi pukulan berat bagi Dewi. Berbagai pikiran membuat Dewi tenggelam dalam perasaan sedih, terutama soal rencana anak pertamanya yang masih kecil untuk mulai sekolah.
Belum lagi, Dewi sempat meragukan kemampuannya selama bekerja di perusahaan tersebut. Rasa kalut, tangisan, dan perasaan tak menentu sempat menyelimuti dirinya setelah di-PHK.
“Yang paling berat tuh perasaan menyalahkan diri sendiri, kayak ‘Apa kerja saya kurang bagus? Apa saya ada salah?’. Tapi pikiran kayak gini memang hanya bertahan seminggu. Setelahnya saya mikir, bukan saya yang rugi tapi perusahaannya,” ujar Dewi.
Untung Dewi tak patah arang. Ia mencoba mengubah nasib dengan mengikuti berbagai kursus pelatihan dan melamar pekerjaan di berbagai perusahaan, tetapi belum ada yang membuahkan hasil.
Dalam perjalannya, Dewi juga membuka usaha bersama sang suami, yakni layanan jasa decluttering atau layanan menyortir barang yang dimiliki pelanggan.
Layanan ini bertujuan agar proses mencari dan menyimpan barang menjadi lebih mudah dan terorganisir.
Ide ini muncul dari pengalaman pribadi Dewi. Setelah hampir setahun berdiri, usaha ini kini sudah memiliki 11 karyawan dan melayani pelanggan di seluruh wilayah Jabodetabek.
“Dari pengalaman pribadi karena kita sering beres-beres rumah tapi tetap berantakan. Banyak barang enggak terpakai dan akhirnya kita coba decluttering dan dikemas dalam sebuah konten publik,” jelas Dewi.
Konten itu yang menjadi bibit mula usaha Dewi hingga saat ini.
Kisah beratnya mencari kerja ditemukan juga di acara Job Fair TangCity Mall, Kota Tangerang, Kamis (24/4/2025). Saat itu seorang perempuan muda berdiri tenang di antara kerumunan pencari kerja. Di sampingnya, sang ibu bernama Titik menggenggam map berisi lembar lamaran kerja.
Perempuan itu adalah Mega, lulusan Sistem Informasi dari Universitas Raharja, Tangerang. Ia adalah penyandang disabilitas dengan keterbatasan dalam berbicara.
Sejak kecil, Mega sudah menunjukkan kegigihan yang jarang dimiliki banyak orang. Di madrasah, ia pernah meraih peringkat kedua dalam lomba pengajian.
Cita-citanya saat masih anak-anak menjadi dokter. Namun, ia paham, bidang itu membutuhkan kemampuan komunikasi verbal yang tinggi.
Dengan pertimbangan matang, ia berbelok ke dunia teknologi dan memilih jurusan Sistem Informasi.
Setelah lulus kuliah pada 2017, setiap hari ia mengirim lamaran. Tak tanggung-tanggung, sepuluh perusahaan dalam sehari.
Ia melamar posisi sebagai admin sesuai dengan kemampuannya. Namun, hingga kini, belum sekalipun panggilan wawancara datang.
“Dia anak saya satu-satunya. Kasihan lihat dia sudah bertahun-tahun nganggur. Semangatnya luar biasa, enggak pernah bolos sekolah,” ujar Titik dengan suara bergetar.
Kini, Mega menginjak 32 tahun. Ia mencari kerja karena ingin membantu ibunya yang tak lagi bekerja sebagai guru TK honorer.
Bagi Mega, bekerja bukan soal gengsi atau gelar. Ia ingin punya tempat untuk membuktikan bahwa kemampuan tidak selalu harus dinilai dari cara seseorang berbicara.
Mega juga pernah mengalami pengalaman pahit saat diinterview HRD. Mereka menertawakan cara bicaranya.
Kendala yang dihadapi Mega tidak hanya sebatas pelecehan verbal. Dia kerap mendapatkan penolakan hanya karena keterbatasan fisiknya.
Dalam satu kesempatan wawancara kerja, setelah dipanggil untuk interview, sikap perekrut langsung berubah saat mendengar Mega berbicara.
"’Maaf ya Bu, anak Ibu begini-begini’, terus ditolak,” kata Titik dengan mata berkaca-kaca.
Bukan hanya soal penampilan dan kemampuan bicara saat wawancara, di tengah kompetisi ketat dunia kerja, nilai rapor dan transkrip akademik masih menjadi tolok ukur utama dalam proses rekrutmen.
Staf Human Resource Development (HRD) perusahaan manufaktur Damar Radityo (29) mengatakan nilai akademik penting dalam menggambarkan potensi calon karyawan.
“Sebagai pelajar tanggung jawabnya belajar. Jadi, rapor yang baik menggambarkan pencapaian dia selama di sekolah, dengan harapan bisa membantu memprediksi apakah dia dapat perform dan beradaptasi di perusahaan yang dilamar,” kata Damar saat diwawancari Kompas.com, Sabtu (10/5/2025).
Namun nilai akademik bukan satu-satunya indikator yang diperhatikan. Sertifikat pelatihan dapat menjadi nilai tambah dalam seleksi.
“Tapi tentu dipertimbangkan juga penyelenggara sertifikasinya,” lanjutnya.
Tak hanya itu, proses rekrutmen karyawan di perusahaan kerap kali terkendala ekspektasi calon atasan (user) yang tidak realistis.
Sering kali user menginginkan kandidat berkualitas tinggi, padahal posisi yang dibuka tidak menuntut kualifikasi setinggi itu. Ironisnya, ekspektasi yang tinggi tersebut tidak diimbangi dengan pemahaman mengenai kompensasi yang seharusnya ditawarkan kepada kandidat.
“Tidak paham market untuk kandidat seperti itu harus ditawari kompensasi berapa,” jelasnya.
Tantangan besar lainnya adalah keterbatasan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar berkualitas dan sesuai kebutuhan. Menurut Damar, persaingan antar perusahaan untuk mendapatkan talenta terbaik juga semakin ketat.
"Permasalahan mendapatkan SDM berkualitas dan berkompetisi (dengan perusahaan lain) untuk mendapatkannya," ucap Damar.
Sementara pengalaman kerja juga menjadi salah satu kriteria utama yang diperhitungkan dalam proses rekrutmen karyawan.
Menurutnya, rekam jejak kerja di bidang yang sama tidak hanya mencerminkan keahlian teknis, tetapi juga menunjukkan tingkat ketahanan, konsistensi, dan kemampuan beradaptasi seseorang terhadap jenis pekerjaan tertentu.
“Karena sederhananya, jika seseorang sudah survive sekian tahun menjalani pekerjaan A, lalu dia mau kita proses sebagai pekerja A lagi, bukankah dia kemungkinannya akan lebih besar untuk survive dan perform,” terangnya.
Dia juga menyebut pengalaman magang bisa menjadi nilai tambah, apalagi jika konsisten dalam satu bidang.
Karenanya sebelum masuk kerja, para pelamar disarankan lebih fokus menentukan arah karier sejak awal.
“Teman-teman akan lebih punya nilai dibanding mereka yang pengalamannya belang-belang atau tidak sama secara pekerjaan atau bahkan tidak ada pengalaman,” ujarnya.
Selain jumlah pengangguran di Indonesia 2025 yang bertambah, menurut data BPS, jumlah angkatan kerja juga naik seiring dengan bertambahnya lulusan sekolah yang siap kerja.
Total ada penambahan 3,67 juta angkatan kerja baru dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu. Tambahan angkatan kerja juga berasal dari ibu rumah tangga yang ingin kembali bekerja.
Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab banyak tenaga kerja belum terserap meski lowongan kerja luas tersedia.
Selain itu, faktor pemutusan hubungan kerja (PHK) juga menjadi biang kerok tingginya angka pengangguran.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, naiknya angka pengangguran di Indonesia saat ini karena ada angkatan kerja baru yang ditambah dengan korban PHK.
Persaingan kerja ke depannya pun diperkirakan bakal semakin sempit karena dua kelompok tersebut belum mendapatkan pekerjaan.
"Pengangguran ini juga dampak dari adanya (sekitar) 4 juta orang masuk lapangan kerja baru bersaing dengan korban PHK. Yang angkanya sekarang (sekitar) 24.000 orang ya, versi Kementerian Ketenagakerjaan. Artinya, peta persaingan kerjanya semakin sempit," ujar Bhima dilansir dari siaran YouTube Kompas TV, Selasa (6/5/2025).
Menurut dia, yang perlu dicermati adalah jumlah pengangguran usia muda yang jumlahnya besar. Angka pengangguran yang naik harus dilihat sebagai indikator terjadinya efisiensi di sektor industri yang mempengaruhi serapan tenaga kerja.
“PHK selalu akan terjadi, itu makanya sebenarnya yang kita harus siapkan solusinya."
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam menyatakan bahwa persoalan PHK adalah persoalan yang kompleks dan bersifat terstruktur. Sebab, persoalan PHK melibatkan isu perekonomian yang sudah menunjukkan gejolak sejak tahun 2019.
“Dan ini bukan masalah baru karena ada persoalan-persoalan perekonomian juga. Jadi PHK ini masalah yang kompleks,” ujarnya kepada media di Jakarta, baru-baru ini.
Bob bilang, persoalan PHK juga terkait dengan perang dagang China serta perang Ukraina dan Rusia. Bukan hanya Indonesia saja yang mengalami polemik PHK, negara lain seperti Singapura juga mengalaminya.
Oleh karena itu, pemerintah diminta tidak lagi fokus pada tren PHK, tetapi lebih fokus pada bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan.
“PHK selalu akan terjadi, itu makanya sebenarnya yang kita harus siapkan solusinya. Kita terlalu banyak konsentrasi di PHK tapi lupa bagaimana menciptakan lapangan kerja, padahal itu yang jauh lebih penting,” kata Bob.
Salah satu solusinya, Pemprov Jakarta akan mulai mengevaluasi efektivitas program bursa kerja (job fair) dan pelatihan melalui Mobile Training Unit (MTU).
Evaluasi ini bertujuan untuk terus menekan angka pengangguran di Jakarta.
Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekda Provinsi Jakarta Suharini Eliawati mengatakan, job fair masih menjadi salah satu metode utama untuk menjembatani pencari kerja dengan perusahaan.
Namun, ia mengakui bahwa efektivitas pelaksanaan job fair masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Pemprov Jakarta.
"Job fair tentu menjadi salah satu upaya yang sekarang ini dilakukan oleh teman-teman. Alhamdulillah, pemerintah pusat, Kemnaker juga ikut menyelenggarakan Minggu kemarin," kata Eliawati di Hotel Movenpick Jakarta, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2025).
"Tapi, begitu ada job fair, kita perlu evaluasi yang mendaftar berapa, kemudian yang mendapatkan pekerjaan berapa, itu menjadi PR kita," sambung dia.
Evaluasi menyeluruh tengah dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi (Disnakertransgi) Jakarta, termasuk terhadap program pelatihan melalui MTU.
Dari evaluasi itu, ia menyoroti pentingnya melihat dampak lanjutan dari pelatihan-pelatihan keterampilan yang diselenggarakan.
"MTU pun demikian. Setelah 14 hari pelatihan, masyarakat atau peserta latihan, itu evaluasinya seperti apa? Apakah mereka selesai begitu saja? Atau kemudian mereka benar-benar bisa mendapatkan pekerjaan? Atau malah membuka peluang pekerjaan? Itu sedang dilakukan," jelas dia.
Eliawati menegaskan pentingnya memastikan program-program pengurangan pengangguran benar-benar dipahami oleh masyarakat, tidak hanya diikuti karena keinginan sesaat.
Ketika ditanya mengenai target penciptaan lapangan kerja tahun ini, Eliawati menyebut bahwa Pemprov Jakarta memang memiliki target, tetapi ia belum dapat memaparkan secara rinci karena data teknis masih dipegang oleh dinas terkait.
"Tentu ada ya (target), tapi saya enggak pegang datanya. Boleh nanti kita ngomong ke teman-teman Disnakertransgi untuk data-data teknisnya," ucap dia.
***
Namun, di balik semangat ribuan pelamar yang mengisi ruang-ruang job fair, keraguan terhadap efektivitas program ini kembali mencuat. Sebuah video viral di media sosial mempertanyakan kejujuran pelaksanaan bursa kerja. Dalam narasi yang menyebar luas itu, job fair dituding hanyalah ajang pencitraan, sarana branding perusahaan, bahkan alat pemenuhan target kinerja (KPI) lembaga pemerintah.
"Job fair itu omong kosong. Zaman sekarang kan sudah serba online. Job fair itu cuma formalitas demi KPI dinas,” ujar narasi dalam video yang mengundang perdebatan publik.
Meski demikian, keraguan itu tidak serta-merta menyurutkan langkah para pencari kerja. Di GOR Tanjung Duren, Jakarta Barat, Selasa (3/6/2025), ratusan pencari kerja tetap hadir dengan penuh harapan. Rifqi (18), lulusan SMA, datang dengan semangat tinggi meski mengetahui kontroversi yang beredar. “Yang penting sudah usaha. Siapa tahu rezeki saya dari sini,” ucapnya.
Dama (18), lulusan baru lainnya, bahkan membawa tiga berkas lamaran untuk diserahkan ke berbagai perusahaan. Ia telah memantau media sosial dan situs resmi, memastikan bahwa lowongan yang tersedia memang nyata. Bagi mereka, kehadiran di job fair bukan sekadar formalitas, tetapi bagian dari perjuangan.
Hal serupa ditegaskan oleh pihak perusahaan. Gilang Rizki (30), perwakilan dari PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), menegaskan bahwa partisipasi mereka bukan basa-basi. “Kami memang benar-benar mencari kandidat. Sudah beberapa pelamar dari job fair sebelumnya sampai tahap seleksi akhir dan diterima,” katanya.
Senada, Ferri Ferdiawan dari tim HRD Indomaret Jakarta 1 menyatakan bahwa seluruh posisi yang ditawarkan adalah riil dan aktif. Bahkan, perusahaan wajib melaporkan hasil rekrutmen kepada panitia dan Dinas Ketenagakerjaan. “Kami tidak sekadar hadir. Ada laporan resmi dari setiap job fair,” ujarnya.
Pemerintah Kota Jakarta Barat pun membantah anggapan bahwa job fair sekadar formalitas. Wakil Wali Kota Jakarta Barat, Yuli Hartono, menegaskan bahwa seluruh perusahaan yang hadir benar-benar membuka lowongan kerja. “Jangan patah semangat. Ini upaya nyata untuk mengurangi pengangguran,” tegasnya.
Kepala Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Jakarta Barat, Jackson Dianrus Sitorus, menyebutkan bahwa Job Fair Jakarta Barat kali ini menghadirkan 3.504 lowongan dari 41 perusahaan, tiga instansi pemerintah, dan enam UMKM binaan.
Lebih lanjut, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi Jakarta, Arif Syaripudin, menekankan bahwa pemerintah sangat serius memastikan job fair tidak hanya menjadi ajang seremonial. “Kami menggelar technical meeting sebelum pelaksanaan, dan ada pelaporan rinci sesudahnya. Dari jumlah pelamar, tahapan wawancara, hingga yang diterima, semuanya dilacak,” ujarnya.
Pemerintah, katanya, juga melakukan evaluasi berkelanjutan untuk memastikan efektivitas job fair sebagai jembatan antara dunia pendidikan, industri, dan tenaga kerja. “Ini bukan soal pameran belaka. Ini soal nasib dan keberlangsungan hidup masyarakat,” ujarnya
Dalam kenyataannya, di tengah lautan map cokelat dan antrean yang mengular, kita menemukan bukan hanya para pencari kerja—tetapi juga pencari harapan. Mereka yang muda dengan semangat membara, mereka yang berumur dengan tekad tak luntur, dan mereka yang terpinggirkan oleh batasan-batasan sistematis, semuanya hadir membawa satu keinginan: diterima bekerja.
Di balik kisah Adi, Yudhistira, Zaki, Mega, hingga Dewi, tersimpan narasi besar tentang ketimpangan, kegigihan, dan janji-janji yang menunggu ditepati. Job fair bukan sekadar agenda tiga bulanan di kalender pemprov—ia adalah panggung harapan bagi ribuan manusia yang bertaruh.
Ketika negara menjanjikan lapangan kerja, publik berharap tak hanya panggungnya yang megah, tapi juga pintunya benar-benar terbuka. Sebab di Jakarta, pekerjaan bukan cuma soal bertahan hidup, tapi soal martabat yang ingin tetap dijaga.