Covid-19 bukan wabah pertama yang menempatkan Jakarta di tengah pusaran pandemi dalam usianya yang ke-493. Karena itu, bukan waktunya pula untuk menyerah kali ini.
FAISOL Yusuf (52) hanya bisa mengerutkan dahi. Tahun ini dirasa teramat berat bagi pedagang kerak telor dan bapak empat orang anak itu.
“Berkat” pandemi Covid-19, tahun ini menjadi tahun yang akan paling diingat Faisol. Sayang, kenangannya bukan tentang hal menggembirakan.
Pemasukannya semakin lama semakin berkurang. Belum lagi, acara besar andalannya tiap tahun, yaitu perayaan HUT DKI Jakarta, pada tahun ini ditiadakan.
Padahal, di acara-acara seperti itulah Faisol biasanya mendapatkan untung lebih banyak.
Kepada Kompas.com, pria tiga anak ini bercerita mengenang masa kejayaan, yang sebenarnya belum lama lewat. Nada suaranya tinggi dan cepat. Dia sangat antusias.
“Tahun lalu sering dapat orderan-lah karena sudah dikenal kerak telor Lapangan Banteng. Biasanya, saya paling sedikit saja bisa jual 50 telor per harinya,” ucap Faisol, Senin (22/6/2020).
Saat HUT DKI Jakarta, dagangannya pun merambah ke mana-mana. Dia tidak hanya berjualan di Lapangan Banteng tetapi juga dapat pesanan di kantor-kantor wali kota.
Faisol mengaku bisa mengantongi hampir Rp 10 juta dari hasil berjualan kerak telor dalam satu acara.
Namun, seketika suara riangnya itu hilang kala menceritakan keadaannya saat ini. Dia seperti kehilangan selera ketika bercerita tentang pendapatanya selama pandemi Covid-19.
“Waduh, jauh sekali. Benar-benar pendapatan jauh (turun). Untuk makan sehari-hari saja bisa, (sudah) bersyukur,” ucap dia.
Biasa menjual puluhan kerak telor sehari, kini Faisol semakin pusing tujuh keliling karena setiap hari hanya bisa menjual dua butir sehari. Malah, terkadang tidak ada pembeli satu pun.
Sering kali, Faisol diam termenung bersama beberapa anaknya di Lapangan Banteng menunggu pelanggan datang.
Pasrah pun menjadi satu-satunya pilihan. Faisol harus bertindak seperti apa lagi?
Tidak mungkin juga, bukan, dia memaksa para pelanggan keluar rumah untuk membeli dagangannya di tengah situasi seperti ini?
Begitu tahu tidak ada perayaan besar-besaran di HUT DKI Jakarta pada tahun ini, Faisol pun merasa semakin sedih.
Terbayang di benaknya satu tahun lalu tepat hari ini Faisol sedang sibuk mengipas-ngipas olahan kerak telor sambil bolak-balik menerima pesanan warga di Lapangan Banteng.
“Sekarang kan engggak ada panggilan sama sekali. Nol sama sekali, enggak ada. Saya saja enggak dengar. Memang ada perayaan HUT DKI? Memang ada?” ujar dia.
Faisol berharap pandemi ini segera berakhir. Dia rindu suasana seperti dulu. Bisa laris manis berjualan kerak telor sambil ikut merayakan ulang tahun Jakarta.
Tahun ini, Pemprov DKI Jakarta memang tidak menggelar festival perayaan ulang tahun. Sebagian besar kegiatannya digelar secara online.
Bentuk perayaan, mulai dari tur virtual di museum-museum Jakarta hingga webinar bersama Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria.
Semua demi bangkit kembali dari pandemi.
BERKACA ke belakang, sebenarnya bukan kali ini saja Jakarta dilanda wabah penyakit. Sejak masih bernama Batavia, kota ini telah beberapa kali berhadapan dengan wabah.
Setidaknya, ada tiga wabah yang pernah mencengkeram Ibu Kota, yaitu malaria, kolera, dan flu spanyol.
Asep Kambali dari Komunitas Historia Indonesia (KHI) mengatakan, wabah malaria terjadi setelah letusan Gunung Krakatau. Gunung ini meletus pada 1883.
Letusan tersebut menyebabkan pendangkalan sungai. Saat itu, sungai merupakan urat nadi kehidupan di Batavia.
Pendangkalan menyebabkan sungai jadi sarang dan tempat berkembang biang nyamuk penyebab malaria.
Malaria sudah diketahui sebagai endemik di Batavia sejak 1730. Kondisi Batavia yang dasarnya adalah daerah rawa-rawa, dengan kanal dan sungai yang kotor dan tak bergerak airnya, menjadi penyebab.
Saking parahnya malaria di Batavia, Kapten James Cook dari HMS Endeavour dalam jurnal perjalanannya menceritakan bahwa awak kapal yang datang dalam kondisi sehat ke Batavia pada Oktober akan jatuh sakit pada Desember dan sebagian di antaranya meninggal.
Wabah lain yang juga cukup meluas di Indonesia, tak terkecuali Batavia, adalah kolera.
"Jadi kolera itu melanda Hindia Belanda itu sekitar abad ke-19 ya, dan itu merata. Awalnya dari Sumatera, terus masuk ke Jakarta sampai Surabaya," kata sejarawan Andi Achdian saat dihubungi Kompas.com.
Wabah kolera datang ke Indonesia khususnya Ibu Kota melalui jalur perdagangan maritim di dunia.
Batavia yang memiliki pelabuhan terbesar di Asia kala itu didatangi banyak pedagang dan tentara hingga menjadikannya pintu masuk penyakit.
Andi menyampaikan, sama seperti malaria, penularan wabah kolera juga berasal dari air yang dulunya merupakan sumber penghidupan warga.
Parahnya lagi, dulu keberadaan obat sangat terbatas, jenisnya pun sangat minim. Hindia Belanda sempat menyatakan bebas kolera pada 1928, tetapi ternyata ada satu jenis bakteri penyebab kolera yang "tertinggal", yaitu Vibrio eltor.
Terkait kolera, merujuk buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia terbitan Kementerian Kesehatan, sampai dibentuk Higiene Commissie di Batavia pada 1911.
Sempat jadi wabah berulang hingga 1920, kasus kolera masih teurs ada hingga terakhir tercatat di Tanjung Priok pada 1927.
Andi menyebutkan pula, solusi yang diambil untuk mengatasi wabah kolera di Jakarta juga dengan menganjurkan warga mulai memasak air sebelum dikonsumsi dan membuat sanitasi.
"Dulu rumah sakit juga terbatas ya, yang ada juga rumah sakit militer, pemerintah dulu belum terpikirkan buat rumah sakit umum. Jadi dirujuknya ke rumah sakit militer. Itu juga orang enggan," ucap Andi.
Asep Kambali menambahkan, wabah malaria dan kolera membuat Belanda sangat ketakutan. Selain mengancam nyawa, dua wabah ini juga menyerang stabilitas ekonomi.
Pemerintah Hindia Belanda lantas memindahkan pusat pemerintahan ke daerah yang jauh dari sungai dan rawa-rawa agar terhindar dari penyakit tersebut.
Dulu, pusat kota Batavia ada di kawasan Kota Tua. Karena kondisi kawasan yang buruk sanitasi dan rawan penyakit, pusat kota dipindah ke daerah yang kini dikenal sebagai Lapangan Banteng.
Istilah malaria, ungkap Asep, juga muncul dari daerah-daerah yang rawan penularan yang disebut mal area atau daerah yang salah atau terlarang.
"Bahkan, Batavia itu tadinya mau dipindahkan di akhir tahun 1890-an, dipindahkan ke Bandung karena Batavia sudah tidak lagi layak sebagai ibu kota," ucap Asep.
Namun pemindahan ibu kota urung terjadi karena terjadinya krisis di Eropa dan Perang Dunia I dan II.
Belum lepas dari dua penyakit tersebut, Batavia kemudian juga pernah didera wabah flu spanyol yang pernah mengakibatkan kematian hingga 50 juta jiwa di dunia.
Flu spanyol disebabkan oleh virus H1N1. Virus ini digadang-gadang sebagai virus influenza terganas yang pernah terjadi di dunia.
Meski bernama flu spanyol, infeksi pertama penyakit ini bukanlah berasal dari negara matador tersebut, melainkan diduga dari resimen tentara Amerika Serikat yang berada di Perancis.
Hanya karena masifnya penyebaran dan pemberitaan terkait virus ini di Spanyol, jadilah ia dikenal sebagai flu spanyol.
Dikutip dari buku "Yang Terlupakan Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda" yang ditulis oleh Priyanto Wibowo, Magdalia Alfian, dkk, gejala dari penyakit ini berupa sesak napas, kedinginan, tulang-tulang sakit, hidung tersumbat lendir dan batuk-batuk.
Bahkan, jika semakin parah, suhu tubuh akan meningkat, perut mual, muntah, tidak nafsu makan, hingga diare.
Asep menyampaikan, flu spanyol masuk ke Indonesia berasal dari buruh-buruh China yang didatangkan penguasa Hindia Belanda untuk bekerja di Indonesia.
Penyebaran flu spanyol di Hindia Belanda pun secara bertahap di antara tahun 1918-1920.
"Karena dari Eropa ke Asia itu bisa 40 hari menggunakan kapal uap," ucap Asep.
Di luar tiga wabah itu, ada lebih banyak lagi penyakit yang menyambangi Jakarta dengan tingkat keparahan tinggi. Ada kusta dan cacar, misalnya.
Cacar juga lumayan bikin gelisah di Batavia, setelah ditularkan oleh pekerja yang didatangkan dari Mauritius. Kasus pertama di Batavia untuk cacar tercatat pada 1804.
Adapun kusta, Pemerintah Hindia Belanda sampai mendirikan tempat penampungan kusta di Kepulauan Seribu pada 1655.
Memasuki masa kemerdekaan, aneka penyakit juga mencatatkan kasus tinggi di DKI. Sebut saja, demam berdarah dengue (DBD).
Kini lebih dianggap sebagai penyakit musiman, DBD bukanlah penyakit lawas. Ditularkan lewat perantara nyamuk Aedes aegypti, DBD pertama kali muncul atau diketahui pada 1968.
Jakarta adalah pusat kasus DBD pada saat itu, bersama Surabaya di Jawa Timur.
MENURUT Asep Kambali dari KHI, kondisi yang terjadi pada zaman kolonial itu hampir sama dengan yang kita rasakan di tengah pandemi Covid-19 ini.
Belum ada dinas khusus yang mengatasi bencana non-alam seperti wabah penyakit menular, sehingga dibentuklah kedinasan baru yang jika diibaratkan dengan kondisi saat ini yakni Gugus Tugas Penanganan Covid-19.
Penanganan yang dilakukan pun hampir sama seperti yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta yakni menjadikan sekolah-sekolah sebagai tempat karantina.
Ada juga pulau-pulau di Kepulauan Seribu yang dijadikan sebagai tempat isolasi pasien penyakit menular.
Namun, fasilitas yang ada di zaman kolonial tentu tak bisa disamakan dengan kondisi saat ini.
Istilah karantina hanya untuk memisahkan warga yang sakit dengan yang sehat. Mereka yang dikarantina dibiarkan kehilangan nyawa begitu saja.
Bahkan, kata Asep, mereka yang kedapatan mengidap penyakit menular banyak yang disuntik mati demi menghindari penyebaran penyakit.
Salah satu model karantina yang masih dapat ditelusuri jejaknya saat ini adalah untuk penanganan kusta. Merujuk buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia, tempat pengasingan yang disebut leprozerie adalah prosedur baku penanganan kusta.
Kusta sempat dinyatakan bukan penyakit menular pada 1865, pengembangan leprozerie yang meluas dari Batavia hingga ke Ambon, Banda, Ternate, Manado, Gorontalo, Riau, Bangka, dan Bengkulu itu dihentikan.
Namun, kusta kembali dinyatakan sebagai penyakit menular pada 1897. Leprozerie kembali berdiri di banyak tempat. Pengasingan paksa di leprozerie untuk penderita kusta baru berhenti pada 1932.
JB Sitanala yang saat itu menjabat Kepala Dinas Pemberantasan Kusta menerapkan tiga langkah penanganan kusta, yaitu eksplorasi, pengobatan, dan pemisahan.
Eksplorasi adalah pengumpulan data respons masyarakat terhadap penyakit ini di tiap daerah. Lalu, kebijakan pengobatan dilakukan dengan pembukaan klinik kusta yang berlokasi di dekat domisili penderita.
Adapun pemisahan tidak lagi dilakukan secara paksa. Yang penting, penderita tidak berbaur langsung dengan banyak orang, tetapi tetap ada di lingkungan yang sama. Misal, tinggal di rumah terpisah, meski di kampung yang sama.
Sementara itu, Andi Achdian menyampaikan bahwa banyak warga yang menderita penyakit menular sampai merahasiakan penyakitnya ke pemerintah agar tidak dikarantina.
"Mereka malah mencoba pengobatan tradisional untuk berobat," ujar Andi.
Selain langkah karantina, Asep mengatakan opsi lockdown juga pernah diterapkan pemerintah Belanda di kala wabah menyerang.
Pemerintah mengurangi pergerakan tentara dan pekerja dari luar negeri dan mengurangi aktivitas warga.
"Tetapi tidak seekstrem lockdown zaman sekarang. Kalau zaman dahulu tidak ada tempat umum seperti mal zaman sekarang. Dari awal ruang geraknya sudah terbatas dan jumlah penduduk juga belum terlalu banyak," ujar Asep.
Untuk kasus cacar, vaksinasi adalah pilihan yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu. Bahkan, merujuk buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia, vaksinasi yang masif sampai menjadikan Hindia Belanda mampu memproduksi sendiri vaksin cacar di sejumlah lokasi produksi.
DUA sejarawan menyebut, ada beberapa hal yang harus dipetik pelajarannya oleh pemerintah pada saat ini dari sejarah penanganan wabah pada masa lalu.
Sejarah penyakit menular di negeri ini sudah punya catatan sejarah panjang.
Andi Achdian berpendapat ada beberapa hal yang serupa terjadi baik di zaman dahulu maupun zaman sekarang, salah satunya ada banyak rasa tidak percaya dari masyarakat bahwa pemerintah mampu menangani wabah.
"Ada situasi di mana kita tak terlalu yakin pemerintah mampu menangani wabah sehingga mencari cara sendiri. Ini kan juga terjadi saat ini," kata Andi.
Konsistensi kebijakan dan tidak latah adalah suatu hal yang wajib dalam penanganan wabah.
Selain itu, perlakuan pemerintah saat ini terhadap masyarakat kelas bawah di tengah pandemi juga dinilai Andi masih sama dengan apa yang diberlakukan di zaman kolonial.
"Kita tidak pernah terlalu tahu apa yang dibutuhkan masyarakat kelas bawah di tengah wabah. Kita cuma mengasumsikan mereka butuh ini kebutuhan pokok, padahal lebih dari itu misal tempat tinggal dan akses kesehatan," ucap Andi.
Sementara itu, Asep berpendapat, setelah pandemi Covid-19 ini berakhir, pemerintah harus tetap mempertahankan Gugus Tugas bahkan merubahnya berbentuk Badan khusus.
Hal ini berkaca pada kesamaan sikap pemerintah Belanda ratusan tahun lalu dan saat ini yang membuat organisasi penanganan bencana non-alam di saat wabah terjadi.
"Jadi walaupun Covid-19 ini sudah tidak ada, dia bertugas terus mengampanyekan," ucap Asep.
IBU Kota Jakarta menjadi pusat perhatian masyarakat karena jadi kota pertama yang terdeteksi memiliki pasien Covid-19 pada awal Maret 2020.
Penetapan pasien pertama Covid-19 menjadi awal mula gencarnya pemerintah menerapkan penerapan pencegahan Covid-19.
Kompas.com merangkum rangkaian kebijakan Pemprov DKI Jakarta tentang penanganan Covid-19.
SEPERTI yang disampaikan dua sejarawan di atas, Jakarta punya riwayat menghadapi wabah sejak berabad-abad lalu.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti bercerita Jakarta bahkan punya pengalaman menghadapi wabah lain pada masa yang belum terlalu lama.
Sebut saja flu burung, Sindrom Pernapasan Akut Berat (Severe Acute Respiratory Syndrome atau SARS) dan Sindrom Pernapasan Timur Tengah (Middle Eastern Respiratory Syndrome atau MERS).
Dari semua wabah itu, Widyastuti pernah menangani salah satunya yaitu flu burung.
Saat itu, Ia masih bekerja di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur sekitar tahun 2006 hingga 2007.
"Persamaannya adalah kami sama sama enggak tidur itu ngurusin dan sebagainya. Flu burung bukan human to human, bukan antarmanusia, flu burung masih di teorinya dari unggas ke manusia sehingga relatif tidak secepat pandemi Covid-19. Tapi fatality ratenya tinggi sehingga sebagian pasien kita yang positif itu sekitar 80 persen wafat," kata Widyastuti.
Meski demikian jika dibandingkan dengan flu burung, jumlah kasusnya terbilang sangat kecil karena tingkat penularannya tidak seperti Covid-19.
Dan sebaik-baiknya guru adalah pengalaman. Meski berbeda, pengalamannya menangani flu burung menjadi bekal untuk menangani Covid-19 saat ini.
Ia mengaku bahwa penanganan kedua virus cukup berbeda dari segi kesiapan hingga sumber daya manusia (SDM).
Namun ada beberapa aspek yang juga sama seperti perlakuan isolasi pasien hingga prosedur bagi yang meninggal.
"Yang sama adalah tata kelola infeksinya bahwa perlakuan untuk idolasinya sama. Karena kan harus pake APD kalau misalkan meninggal harus dilakukan (sesuai prosedur) pakai peti sama," tuturnya.
Selain belajar dari penanganan virus di masa lalu, Widyastuti mengungkapkan bahwa penanganan virus juga belajar dari wilayah hingga negara lain.
Ia mencontohkan, mereka turut belajar dari negara Itali, Singapura, hingga Iran.
"Kami belajar dari mana pun termasuk luar negeri. Kami melihat Italia, awal awal kami lihat Italia mengatasi, bagaimana Korea bagaimana Singapura bagaimana Iran waktu itu. Juga melihat bagaimana provinsi lain jadi semuanya menjadi pembelajaran bersama," jelas Widyastuti.
Menurut dia, dalam menangani pandemi ini semuanya juga turut bergantung pada kondisi wilayah masing-masing, kesiapan SDM, kemampuan daya dukungan dana, komitmen, dan peran masyarakat.
HINGGA saat ini, jumlah kasus Covid-19 di DKI masih naik turun setiap harinya. Sejumlah ahli melakukan kajian untuk memprediksi kapan pandemi virus corona di Indonesia mencapai puncaknya.
Ada yang memprediksi puncak pandemi akan terjadi pada Mei 2020. Ada pula yang memprediksi antara Juni-Juli 2020.
Namun, Widyastuti menilai sulit memprediksi bagaimana kondisi Jakarta hingga akhir 2020 nanti.
Pasalnya mobilisasi masyarakat di Ibu Kota sangat tinggi. Karena aktivitas tak hanya dilakukan oleh warga Jakarta namun juga dari luar Jakarta.
Terlebih lagi, kini Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga turut dilonggarkan.
"Iya kita tidak akan tahu karena tadi saya sampaikan Jakarta tidak sendirian, kita daerah yang sangat terbuka dan mobilisasi yang tinggi kita harus siap," ujarnya.
Ia hanya berharap masyarakat tetap membiasakan perilaku hidup sehat yakni menggunakan masker, selalu cuci tangan, dan jaga jarak.
"Itu yang perlu diedukasikan tidak boleh berhenti. Apa pun yang terjadi, tiga hal tadi mempengaruhi mau cepat atau tidak selain intervensi yang lain," terangnya.
SEMUA yang sedang menimpa Jakarta pun mengilhami tema ulang tahun kali ini. Pemprov DKI Jakarta memilih tema Jakarta Tangguh untuk HUT ke-493 Ibu Kota.
Menurut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, tema ini merupakan gambaran penduduk Jakarta yang memiliki semangat tinggi dan tangguh menghadapi pandemi Covid-19.
Berkat kerja sama warga Jakarta, kata Anies, penyebaran Covid-19 di provinsi ini sudah terkendali.
Anies mengumumkan pula angka reproduksi Covid-19 di Jakarta kini berada di angka 0,98.
"Dan seakan 22 Juni (2020) ini kado bagi masyarakat Jakarta. Di saat kita memperingati HUT kota ini, pada saat ini juga, alhamdulillah, pandemi yang pernah besar di Jakarta saat ini sudah terkendali," kata Anies, Senin (22/6/2020).
Pada Maret, angka reproduksi itu sempat mencapai angka 4. Artinya, satu orang yang sudah terpapar virus tersebut bisa menularkan kepada 4 orang lainnya.
Menurut Anies, pengalaman tahun ini harus dianggap sebagai pembelajaran, bukan penderitaan. Dia berharap, warga Jakarta semakin solid agar berhasil melewati wabah, sekali lagi.
“Kota ini telah melewati berbagai tantangan, bencana, dan cobaan silih berganti. Bencana alam, krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis sosial, telah dialami. Tapi, setiap menghadapi krisis, Jakarta selalu mampu menghadapinya," ujar Anies.
Jakarta dengan usia hampir lima abad menjadi saksi sejarah berbagai cerita dari warganya.
Ada kejayaan, keterpurukan, hingga kebangkitan kembali kota ini. Sejarah mencatat, di setiap persoalan yang melanda, sesulit apapun itu, warga Jakarta tetap bangkit.
Tak hanya wabah penyakit. Kerusuhan, resesi ekonomi, hingga penjajahan pernah terjadi di kota ini.
Buktinya, Jakarta masih eksis hingga usianya ke-493 pada 2020...
WARGA Jakarta kembali diuji dengan pandemi. Banyak warga terpuruk secara ekonomi.
PHK di mana-mana. Dagangan dan usaha pun sepi bahkan gulung tikar.
Banyak keluarga juga kehilangan anggota, kerabat, atau kolega yang mereka cintai.
Namun, berkeluh kesah dan terpuruk bukanlah opsi yang dinanti apalagi memperbaiki situasi. Bangkit dan berusaha adalah jalan terbaik saat ini.
Hal ini pula yang disadari Faisol, pedagang kerak telor di Lapangan Banteng yang kini juga hidup serba sulit.
Inovasi jadi salah satu cara untuk sedikitnya menambah peluang untuk bertahan dan tetap berjuang di tengah situasi pandemi.
Faisol pun mulai menjamah bisnis online untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sembari tetap memanaskan penggorengan di kawasan Lapangan Banteng.
Hasilnya, memang belum seberapa. Tidak segemilang pendapatannya yang biasa pada kondisi sebelum pandemi.
Namun, Faisol mengaku tetap bersyukur untuk rezeki yang didapat buat menyambung hidup.
Di atas itu semua, dia lebih bersyukur lagi karena keluarganya sehat di tengah pandemi ini.
"Yah, yang penting kita syukuri saja lah. Yang penting keluarga masih sehat. Kita mah enggak neko-neko,” kata Faisol.