JEO - Peristiwa




Gunung Es Kekerasan
terhadap Perempuan:
Dari Rumah
hingga Dunia Maya

Selasa, 15 Desember 2020 | 16:35 WIB

Rumah yang semestinya jadi tempat membina keluarga justru kerap menjadi neraka. Sekolah yang semestinya jadi tempat berdaya malah menjadi kenangan yang ingin segera dilupa.

Jangan bilang kantor atau dunia maya punya cerita serba baik. Cerita pahit juga ada di sana.

Benarkah, nyaris tidak ada tempat yang aman bagi perempuan dari kekerasan?

δ

KABINET  Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla periode 2014-2019 mendapat tepuk tangan dari kalangan perempuan saat pembentukannya. Sejarah mencatat, pemerintahan periode ini paling banyak memiliki menteri perempuan.

Sembilan srikandi dipilih Presiden Jokowi saat itu untuk memimpin sejumlah kementerian.

Retno Marsudi menjadi "pelobi internasional" sebagai Menteri Luar Negeri, Susi Pudjiastuti dipercaya menjadi penjaga sektor maritim sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Sri Mulyani didapuk menjadi Menteri Keuangan, dan Siti Nurbaya Bakar dipercaya menjaga keseimbangan lingkungan hidup sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kemudian, Nila Farid Moeloek ditunjuk menjadi Menteri Kesehatan, putri asal Papua Yohana Yembise dipercaya menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rini Soemarno menjadi Menteri BUMN dan cucu Proklamator Ir Soekarno, serta Puan Maharani dipercaya menjadi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Selain itu, ada nama Khofifah Indar Parawansa yang dipercaya sebagai Menteri Sosial. Namun, pada 2018, ia mengundurkan diri karena memilih bertarung dalam Pilkada Jawa Timur.

Khofifah pun memenangi pesta demokrasi di sana dan menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur bersama wakilnya, Emil Dardak, untuk periode jabatan 2019-2024.  

KOMPAS.com/SABRINA ASRIL
Para menteri Kabinet Kerja berfoto di depan Istana Merdeka sesuai dilantik oleh Presiden Joko Widodo, Senin (26/10/2014).

Jumlah menteri dari kaum hawa kemudian menyusut pada pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi bersama wakilnya yang baru, Ma’ruf Amin.

Upaya Presiden Jokowi untuk membangun citra positif di kalangan perempuan tentu boleh-boleh saja dilakukan. Bahkan, upaya afirmasi seperti ini sepanjang sesuai dengan kapasitas dan kompetensi adalah sebuah langkah besar.

Namun, bakal jadi panggang jauh dari api apabila sosok srikandi yang didapuk menjadi pembantu presiden hanya berasal dari kalangan elite yang jauh dari persoalan perempuan di akar rumput.

 MENU 

Lebih cilaka lagi apabila publik hanya mengukur pemberdayaan perempuan Indonesia dari sebatas jumlah menteri perempuan di kabinet. Terlebih lagi, kondisi perempuan Indonesia, terutama di akar rumput, cukup memprihatinkan.

Jangan dulu bicara lebih jauh membahas pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi dan politik, kaum hawa di akar rumput masih dihadapkan pada ancaman nyata kekerasan.

Laporan Komisi Nasional Perempuan baru-baru ini merilis data tentang situasi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Bak anak tangga, grafik terus merangkak naik sejak tahun 2010 hingga 2019.

Data Kekerasan terhadap Perempuan, 2010-2020 - (KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO)

 

Grafik di atas menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 11 tahun terjadi peningkatan data laporan kekerasan terhadap perempuan hingga 400 persen.

Kasus-kasus itu barulah kasus yang dilaporkan dan dicatat.

Komnas Perempuan juga mengingatkan bahwa kasus-kasus itu barulah kasus yang dilaporkan dan dicatat. Grafik tersebut diyakini merupakan fenomena gunung es. Artinya, situasi yang sebenarnya jauh lebih banyak dan memprihatinkan.

Jenis kekerasan seksual yang dilaporkan, yakni mulai dari pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan penggunaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi/penghentian kehamilan, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Masih dari data yang sama, sebanyak 75,4 persen dari laporan kekerasan terhadap perempuan terjadi di lingkup privat. Contoh kasusnya, kekerasan dalam rumah tangga, pemaksaan perkawinan, dan kekerasan pada pekerja rumah tangga.

Pelakunya, sebagian besar adalah pacar, kemudian diikuti dengan ayah kandung dan ayah tiri/angkat.

Dalam sebuah diskusi dengan mahasiswa tentang kekerasan seksual, Komnas Perempuan diundang untuk mendengarkan testimoni seorang mahasiswi. Dalam testimoninya, mahasiswi ini menceritakan ayah kandungnya sebagai pelaku kekerasan seksual.

Setiap malam Ayah kandung memasuki kamarnya dengan cara merusak kunci dan gagang pintu kamar. Di malam berikunya, sang anak mengganjal pintu kamarnya dengan lemari, tetapi sang ayah kembali memaksa masuk.

Berulang kali, tindakan percobaan perkosaan terjadi pada mahasiswi ini. Dia tidak berani melaporkan perbuatan ayahnya itu karena merasa kasihan dan tidak tega pada ibunya.

Ini menunjukkan bahwa persoalan inses dan kekerasan seksual dalam keluarga bukan soal infrastruktur kamar yang terpisah atau tidak, melainkan tindakan keji predator seksual yang dilakukan ayah kandung sendiri.

Urutan kedua terbanyak atau 24,4 persen terjadi di lingkup komunitas. Contoh kasusnya mulai dari kekerasan di lingkungan kerja, tetangga, lembaga pendidikan, hingga perdagangan manusia.

Hal yang mengejutkan dari kasus kekerasan perempuan di lingkup komunitas adalah kebanyakan pelaku adalah orang yang tidak dikenal. Urutan selanjutnya, pelaku kebanyakan adalah tetangga, teman, guru, serta dan atasan-bawahan.

Komunitas yang semestinya menjadi wadah bagi perempuan untuk berdaya justru dihantui oleh praktik kekerasan.

Sementara, urutan terkecil—meski bukan berarti persoalan kecil—terjadi di lingkup negara.

Komnas Perempuan membagi kekerasan terhadap perempuan oleh negara terjadi lewat dua mekanisme. 

Pertama, act of commission, yakni pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen-instrumen HAM yang dilakukan dengan perbuatannya sendiri. Negara menjadi pelaku langsung.

Yang kedua, act of ommission, yaitu pembiaran tindakan untuk tidak melakukan apa pun. Pelanggaran terjadi karena kelalaian negara.

Provinsi dengan Kasus Terbanyak Kekerasan terhadap Perempuan - (KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO) 

Angka kekerasan terhadap perempuan pada 2020 yang dicatat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga setali tiga uang dengan apa yang dilaporkan Komnas Perempuan.

Loading...

 

ADA KEKERASAN GENDER
BERBASIS ONLINE 
DI KESEHARIAN

BABY Seprosia (23) merasa kesal. Seorang laki-laki bertanya kepadanya, "Ukuran dada kamu berapa?" Percakapan tersebut terjadi lewat aplikasi Tinder pada Oktober 2020.

Wanita berkulit oriental dan memiliki rambut hitam sepundak itu memang hendak mencari laki-laki untuk diajak berhubungan serius.

“Ya namanya juga coba-coba, jalan apa saja gue lakukan ya. Tapi malah seringnya dilecehin begitu,” ujar Baby saat berbincang dengan Kompas.com, Jumat (11/12/2020).

Ia mengunduh aplikasi tersebut pertama kali pada 2018. Berbekal pengalaman salah seorang sahabatnya yang menikah dengan perempuan yang dikenal melalui Tinder, Baby ingin bernasib sama.

Baca juga: Yakin, Masih Mau Rekam Aktivitas Seksmu?

Baby mengaku, dia tidak terlalu serius mencari laki-laki di Tinder. Prinsipnya, ketemu ya syukur, tidak juga tak mengapa. Hal yang terpenting baginya adalah ada usaha.

Oleh sebab itu, sejak mengunduh aplikasi itu pertama kali hingga saat ini dia sudah beberapa kali hapus dan pasang lagi. Tergantung mood.

Hingga kini pun keinginan Baby menemukan laki-laki pujaan tidak kunjung terwujud. Malah ia sering dibuat kesal dengan polah laki-laki yang ia sebut ‘pikirannya selangkangan melulu’, karena belum apa-apa sudah mengajak berhubungan seks.

“Kalau pembicaraannya sudah mulai mengarah ke arah selangkangan, langsung gue unmatch,” kata wanita yang bekerja di perusahaan e-commerce itu.

Pernah suatu hari ia menemukan sosok laki-laki di aplikasi itu. Berdasarkan chat awal, Baby merasa laki-laki itu adalah orang baik. Tutur katanya sopan dan halus. Wajahnya masuk ke kategori Baby pula.

Sekitar dua pekan Baby berhubungan intens dengan laki-laki tersebut tanpa ada hal aneh dan mencurigakan. Baby memberanikan diri untuk bertukar nomor WhatsApp dan perbincangan berlanjut di sana.

Tiba-tiba peristiwa menjengkelkan terjadi. Si laki-laki meminta foto Baby pada saat itu. Meski ragu, ia akhirnya memenuhi permintaan si laki-laki juga karena masih mengiranya sebagai pria baik-baik.

“Ternyata ujung-ujungnya PAP juga. Dia bilang, ‘Minta foto yang lain dong.’ Wah, kode banget kan? Akhirnya gue diemin aja sampai beberapa hari kemudian, lalu gue block,” ujar Baby.

PAP adalah kependekan dari post a picture. Dalam dunia pencarian pasangan melalui jejaring online, akronim ini berkonotasi sebagai permintaan foto telanjang. 

Baby berpendapat, bentuk pelecehan-pelecehan seperti itu sebenarnya merupakan bagian dari risiko. Sebagaimana di media sosial lain, mencari pasangan di Tinder juga tidak lepas dari risiko dilecehkan secara seksual.

Ia tidak berharap pihak penyedia melengkapi aplikasi dengan serangkaian aturan yang dapat mencegah terjadinya pelecehan seksual. Bagi Baby, hal yang paling penting adalah cara konsumen menggunakan aplikasi itu.

Seorang pengguna harus pandai memosisikan diri di media sosial mana pun. Dengan demikian, tindak pelecehan seksual di media online dapat dicegah.

“Kita kan bisa report akun yang menurut kita melewati batas. Itu saja juga sudah cukup. Lagi pula kan kalau memang kita enggak mau dilecehkan, ya jangan membuka diri atau mancing-mancing juga sejak awal. Beda kalau memang sama-sama mau ya,” ujar Baby.

δ

Pengalaman Baby itu merupakan satu dari sekian banyak kasus kekerasan gender berbasis online yang terjadi di Indonesia.

Menurut Amnesty International, ranah kekerasan dan pelecehan online terhadap perempuan adalah semua jenis tindakan kekerasan dan pelecehan yang diciptakan lingkungan daring yang tidak bersahabat dengan tujuan mempermalukan, mengintimidasi, atau merendahkan perempuan.

Tangkap Layar IG Story harian Kompas

Tindakan tersebut dapat dikelompokkan dalam enam kategori, yakni ancaman kekerasan, diskriminasi, pelecehan daring, mengungkap dokumen pribadi, menyebarkan gambar bersifat pornografi, dan membagikan gambar pribadi tanpa persetujuan orang yang bersangkutan.

Sebanyak 52 persen perempuan—termasuk remaja perempuan—di 183 negara yang disurvei mengakui pernah mengalami kekerasan online. Bentuk kekerasan yang paling banyak dialami adalah penyebaran foto atau video pribadi tanpa persetujuan mereka.

Kasus-kasus lain adalah mendapat pesan kasar atau memalukan, memperoleh bahasa yang mengancam, serta pelecehan seksual.

Baca juga: Lindungi Perempuan dari Kekerasan Daring

Menurut catatan Komnas Perempuan, kekerasan berbasis gender online adalah bentuk baru tindak kekerasan yang dilakukan secara online, khususnya menggunakan media sosial.

Bentuk kekerasan antara lain pelecehan seksual, ancaman, dan intimidasi penyebaran foto atau video dengan konten pornografi.

Kasus kekerasan berbasis gender online cukup menjadi perhatian di Indonesia, terutama sejak informasi teknologi berkembang pesat setidaknya 10 tahun terakhir.

Angka kasus kekerasan berbasis gender online pada 2020 meningkat menjadi 281 kasus dibandingkan pada 2019 dengan 97 kasus.

Menurut Komnas Perempuan, ada sejumlah kesulitan untuk menangani persoalan ini. Tantangannya mulai dari sulitnya mencari lembaga penerima rujukan layanan kekerasan berbasis gender online hingga korban yang malah rentan dikriminalisasi.

Kesulitan mendapatkan lembaga itu tersebab oleh minimnya kapasitas lembaga. Adapun kriminalisasi korban kerap dilakukan lewat celah di UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Pornografi. 

Kekerasan berbasis gender online menimbulkan akibat yang tidak bisa dianggap remeh karena melibatkan multiefek yang sangat merugikan.

Praktik kekerasan daring dapat mengakibatkan kerugian fisik, seksual, psikologis, ekonomi, serta mengikis harga diri. Beberapa perempuan bahkan meninggalkan dunia digital setelah mengalami kekerasan.

 

 MENU 

KASUS BAIQ NURIL

Ilustrasi kasus Baiq Nuril - (KOMPAS/DIDIE SW)

KASUS Baiq Nuril merupakan salah satu potret perempuan yang sebenarnya merupakan korban kekerasan gender berbasis online tetapi malah dikriminalkan.

Pengalaman buruk Nuril berawal pada 2012. Suatu hari, ia menerima telepon dari Kepala Sekolah bernama Muslim.

Dalam perbincangan itu, Muslim menceritakan tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Nuril. Karena merasa dilecehkan, Nuril merekam perbincangan tersebut.

Pada 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram, Nusa Tenggara Barat, dan membuat Muslim geram.

Muslim lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut sehingga membuat malu keluarganya.

Nuril dilaporkan atas dugaan pelanggaran Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Isi lengkap pasal-pasal itu adalah:

Pasal 27

  1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
  2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau  Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
  3. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
  4. (4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
    Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Pasal 45

  1. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  2. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  3. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Dalam dakwaan jaksa, Nuril dikatakan mendistribusikan atau mentransmisikan rekaman pembicaraan. Nuril juga disebut menghubungkan alat elektronik berupa ponsel merek Nokia miliknya ke laptop milik Imam Mudawin, rekan kerjanya.

Perbuatannya ini, kata jaksa, menyebabkan terhentinya karier Muslim sebagai kepala sekolah dan menimbulkan malu bagi keluarga besar Muslim.

KOMPAS.com/KARNIA SEPTIA
Baiq Nuril Maknun, terdakwa kasus UU ITE saat berada di PN Mataram, Rabu (10/5/2017)

Kasus ini sempat menarik perhatian publik dengan pro dan kontra. Pengadilan Negeri Mataram memutus Nuril tidak bersalah lewat putusan Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.MTR dan membebaskannya.

Tidak terima atas putusan tersebut, jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).  Pada 26 September 2018, MA lewat putusan kasasi menghukum Baiq Nuril enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Hakim kasasi menilai, Nuril melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE lewat putusan Nomor 574 K/Pid.Sus/2018 Tahun 2018. Majelis hakim menyebutkan pula faktor yang memberatkan dan meringankan vonis Baiq Nuril.

Untuk poin yang memberatkan, Nuril disebut telah membuat malu keluarga mantan Kepala Sekolah SMA 7 Mataram, Muslim. Sementara itu, faktor yang meringankan Nuril adalah belum pernah dihukum dan memiliki tiga orang anak yang masih membutuhkan kasih sayang.

Pada 3 Januari 2019, tim kuasa hukum Nuril mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi tersebut. Selain mengajukan PK, Nuril dan tim kuasa hukum juga mengadukan nasibnya ke Komisi III DPR pada 22 Januari 2019.

Komisi III DPR sepakat melakukan eksaminasi dalam kasus pelanggaran UU ITE Baiq Nuril. Namun, hal itu tidak berbuah hasil. Nuril beserta kuasa hukumnya diketahui juga sempat mengkonsultasikan perkara yang dihadapinya ini ke Kantor Staf Kepresidenan (KSP).

Desakan publik dan semua upaya itu tidak berdampak. Segala upaya tersebut tidak berhasil meloloskan Nuril dari jeratan pidana.

KOMPAS.com/JESSI CARINA
(Kiri ke kanan) Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo, Baiq Nuril, politisi PDI-P Rieke Diah Pitaloka, Komisioner Kompas Perempuan Masruchah, dan kuasa hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/11/2018).

MA menolak PK yang diajukan kuasa hukum Baiq Nuril. Putusan MA tersebut menguatkan putusan kasasi yang menyatakan Nuril bersalah.

"Dalam perkara a quo, terdakwa atau pemohon PK merekam pembicaraan via HP antara korban dan terdakwa ketika korban menelepon terdakwa sekitar satu tahun lalu," tutur juru bicara MA, Hakim Agung Andi Samsan Nganro, dalam keterangan tertulis, Jumat (5/7/2019).

Hasil rekaman itu, lanjut Andi dalam keterangannya, disimpan Nuril lalu diserahkan ke Imam yang kemudian memindahkannya ke laptop sehingga akhirnya hasilnya rekaman tersebut tersebar luas. 

Andi juga menegaskan, terdakwa menyerahkan ponsel miliknya kepada orang lain. Kemudian, informasi atau dokumen elektronik yang berisi pembicaraan bermuatan tindak kesusilaan dapat didistribusikan dan diakses. Hal itu tidak dapat dibenarkan.

Presiden Joko Widodo yang didesak turun tangan untuk memberikan amnesti bagi Nuril akhirnya bersikap. Pada akhir Juli 2019, Presiden Jokowi menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemberian amnesti bagi Baiq Nuril Maknun.

Baca juga: Baiq Nuril Bebas dari Jerat Hukum, Amnesti Dikabulkan hingga Diundang ke Istana

Dengan terbitnya amnesti yang diteken pada Senin (29/7/2019) pagi itu, Nuril yang sebelumnya divonis MA melanggar UU ITE pada tingkat kasasi, bebas dari jerat hukum.

“Tadi pagi Keppres untuk Ibu Baiq Nuril sudah saya tanda tangani. Jadi, silakan Ibu Baiq Nuril kalau mau diambil di Istana silakan. Kapan saja sudah bisa diambil,” ujar Presiden Jokowi di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin.

 

 MENU 

PEREMPUAN
DI TENGAH PANDEMI

BELUM selesai persoalan perempuan dalam kondisi normal, Indonesia diterpa pandemi virus corona sejak Maret 2020.

Pandemi rupanya sedikit banyak berpengaruh terhadap psikologis perempuan dalam konteks perempuan dalam keluarga maupun sebagai pekerja.

Hasil pengumpulan pendapat Litbang Kompas melalui telepon pada 7-8 Agustus 2020 terhadap 536 responden berusia minimal 17 tahun menunjukkan, persoalan yang mesti dihadapi perempuan menjadi lebih banyak di tengah pandemi.

Akibat dari pembatasan tatap muka pendidikan dan pekerjaan, kegiatan suami dan anak menjadi lebih banyak berada di rumah. Perempuan menjadi bekerja dua kali lipat lebih banyak dalam urusan rumah tangga.

Baca juga: Cerita Para Perempuan Terdampak Covid-19, Alami Stres hingga Kekerasan Fisik dan Psikis

Sebab, ada tambahan beban pekerjaan selain mengurus rumah, yakni mengurus kebutuhan anak dan suami dalam berkegiatan di rumah.

Sebagian mengaku, situasi itu mengakibatkan stress. Hubungan pasangan suami istri juga menjadi semakin tegang.

Sayangnya, lebih dari separuh responden tidak memiliki akses ke layanan pengaduan. Keinginan mereka untuk melapor ketika ada tindak kekerasan di dalam rumah ke lembaga layanan menurun karena perempuan lebih memilih diam dan memendam persoalan.

Masih mendasar hasil survei Litbang Kompas terhadap responden yang tersebar di 34 provinsi, persoalan kekerasan terhadap perempuan sebenarnya mendapatkan perhatian publik.

Penjelasannya begini, sebanyak 61,3 persen responden berpendapat, persoalan perempuan di wilayah mereka tidak mengkhawatirkan. Adapun 37 persen responden menyebut, persoalan itu mengkhawatirkan. Hanya 1,7 persen responden yang tidak tahu atau tidak menjawab.

Namun, potret pendapat itu bukan berarti publik acuh terhadap persoalan perempuan.

Buktinya, dalam pertanyaan "Bersedia atau tidak Anda terlibat dalam kegiatan pencegahan dan penanganan masalah kekerasan terhadap perempuan?", sebanyak 68 persen responden menjawab bersedia. Hanya 20 persen responden menyatakan tidak bersedia, 8 persen menjawab ragu, dan 4 persen menjawab tidak tahu.

Baca juga: Kisah Para Srikandi Kampung Gilingan yang Menolak Menyerah di Tengah Pandemi

Artinya, perempuan korban kekerasan yang atas satu dan lain hal enggan melaporkan kasus ke lembaga layanan resmi dapat memanfaatkan solidaritas sosial dari orang-orang yang dia percaya.


 MENU 

KAMPANYE PERLAWANAN

GERAKAN memperjuangkan hak perempuan dan solidaritas terhadap korban kekerasan telah dimulai. Salah satu bentuk gerakan sosial muncul pada Oktober 2017 di Amerika Serikat berupa pemunculan tagar #MeToo di media sosial.

Melalui tagar itu, pengguna media sosial diajak mengecam kekerasan seorang produser film Hollywood yang terungkap sebagai agresor seksual. Gerakan ini menggaung keras pula pada Women's Day pada 2018.

AFP/ALBERTO PIZZOLI
Perempuan mengenakan pita di rambut dengan tulisan #METOO pada aksi damai peringatan Womens Day di Roma, Italia, pada 8 Maret 2018.

Sebelumnya, gaung solidaritas juga dimulai oleh UN Women pada 2015 melalui kampanye Combatting Online Violance Against Women and Girls: a Worldwide Wake-Up Call.

Seruan itu bertujuan memobilisasi pemerintah, LSM, dan kalangan swasta untuk membangun strategi bersama membendung kekerasan berbasis gender online.

Pemerintah Indonesia telah pula menggagas berbagai upaya untuk menghentikan laju angka kekerasan terhadap perempuan di berbagai sektor kehidupan. Berikut rangkumannya:

  1. Menempatkan kesetaraan gender menjadi isu strategis dalam rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024;
  2. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual;
  3. Meluncurkan Gerakan Bersama Jaga Keluarga Kita (#Berjarak);
  4. Menerbitkan protokol kesehatan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan;
  5. Mengaktifkan layanan pengaduan terkait masalah perempuan dan anak dengan nama Sejiwa (Sistem Layanan Nasional untuk Kesehatan Jiwa);
  6. Pelatihan bagi aparat penegak hukum yang sensitive gender;
  7. Membentuk Unit Pelaksana Teknis Darurat (UPTD) di tingkat provinsi/ kabupaten/ kota;
  8. Peningkatan kapasitas SDM dalam pencatatan dan pelaporan data kekerasan terhadap perempuan melalui sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak (Simfoni PPA);
  9. Kementerian PPPA berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk penyediaan anggaran yang cukup untuk pencegahan, penanganan kekerasan dan pemberdayaan korban kekerasan;
  10. Penyusunan Normal, Standar, Prosedur dan Kriteria (NPSK) perlindungan hak perempuan.
Anggaran untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan - (KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO)

 MENU 

REKOMENDASI
KOMNAS PEREMPUAN

ATAS sejumlah fenomena kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan mengeluarkan sejumlah rekomendasi.

Dalam rangka memberikan perlindungan perempuan korban kekerasan berbasis gender online, Komnas Perempuan juga merekomendasikan: 

  1. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyusun sistem perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan berbasis gender online;
  2. Pemerintah bersama DPR RI merevisi UU nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
  3. Kepolisian RI menangani kasus kekerasan berbasis gender online dengan menggunakan perspektif korban kekerasan berbasis gender online;
  4. Kementerian Sosial meningkatkan kapasitas pekerja sosial dan lembaga layanan perempuan korban kekerasan berbasis gender online dalam menangani kasus perempuan korban;
  5. Mendorong semua kementerian/lembaga untuk memastikan sensitivitas kebutuhan khusus kelompok rentan dan minoritas termasuk penyandang disabilitas dalam penyusunan informasi dan mekanisme layanan.

 MENU 

 

MAU SAMPAI KAPAN?

 

SHUTTERSTOCK/ONOT
Ilustrasi upaya bersama mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.

KEKERASAN terhadap perempuan selalu hanya tampak dalam rupa puncak gunung es. Budaya jadi salah satu sebab.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dalam peringatan hari HAM pada 10 Desember 2020, mengunggah satu tulisan yang cukup menyengat, "Perempuan Dibunuh karena Ia Perempuan".

Judul yang teramat menohok. Namun, suka atau enggak, itu fakta di lapangan. 

Kekerasan terhadap perempuan memang tidak selalu berakhir dengan hilangnya nyawa atau femisida. Namun, siapa yang bisa menjamin?

Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, dalam diskusi virtual Hak perempuan adalah Hak Konstitusional, mengatakan bahwa pada 2016-2019 terdapat lebih dari 55.000 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Angka itu berasal dari data laporan ke aparat dan Komnas Perempuan. Dari jumlah tersebut, 21.000 di antaranya adalah kekerasan seksual terhadap perempuan, termasuk 8.000-an kasus perkosaan. Yang sedih, itu pun hanya sekitar 30 persen kasus perkosaan yang diproses hukum.

Dari diskusi yang sama, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab menyebut banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan adalah hasil dari cara pandang yang diskriminatif terhadap perempuan.

"Kekerasan kepada perempuan bisa kita baca sebagai ekspresi atau symptom dari cara berpikir yang diskriminatif dan itu masih berkembang di masyarakat kita," ujar Amiruddin dalam diskusi menyongsong hari kemerdekaan ke-75 Indonesia tersebut.

Menurut dia, masih ada saja pikiran yang mengatakan bahwa perempuan tidaklah setara dengan laki-laki. Dari pikiran itu juga lalu muncul pemikiran karenanya perempuan bisa diperlakukan kurang dari laki-laki.

"Ujungnya tentu kekerasan," ujar Amiruddin.

Dari tiga cuplikan tersebut, bisa jadi kekerasan terhadap perempuan adalah "warisan" budaya dari timpangnya relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.

Dogma agama bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki tidak cukup menyadarkan bahwa keduanya justru harus saling melengkapi. Yang terjadi malah dogma itu disesatkan menjadi stempel bagi laki-laki untuk berkuasa atas perempuan.

Persoalan kultur rasa-rasanya tidak tepat apabila diselesaikan semata secara yuridis. Perlu pula pendekatan secara kebudayaan untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan.

Pertanyaannya, maukah kita?

 

 MENU