JEO - Insight



Hidup Kita Dikelilingi Limbah B3, Sadarkah?

Selasa, 1 Juni 2021 | 23:58 WIB

Hai, aku adalah limbah B3. Mau kecil atau besar, aku tetap saja limbah. Jika diakumulasi, aku bahkan bisa menggunung dan berbahaya.

Eh, jangan salah, aku juga ada dalam keseharian. 

KECIL dan terlihat tak penting, limbah tetap saja limbah. Sedikit dan kecil wujudnya saja bisa mengganggu bahkan berbahaya, apalagi kalau banyak dan besar.

Dalam keseharian, mulai dari masker medis bekas pakai sampai ponsel yang sudah mati total juga bisa jadi benda berbahaya karena kandungan bahan-bahan di dalamnya. Terlebih lagi kalau itu sudah jumlahnya banyak dan dibuang sembarangan pula.

Sebab, limbah-limbah ini termasuk dalam kategori limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Dianggap sepele karena kini terasa sebagai bagian keseharian, sejatinya benda-benda itu pada akhirnya tak kalah berbahaya dibandingkan limbah B3 dari industri.

Sesuai namanya, limbah B3 adalah barang sisa yang mengandung zat beracun dan atau berbahaya. Limbahnya bersifat korosif, eksplosif, dan atau mengandung zat berbahaya bahkan bahan radioaktif.

Merujuk PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, kategori bahan disebut sebagai B3 bisa dilihat dari sifat, konsentrasi kandungan bahan, dan atau jumlahnya.

Menjadi limbah B3 ketika salah satu atau bahkan keseluruhan indikator itu dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.

Sedangkan definisi menurut OSHA (Occupational Safety and Health of the United State Government), B3 adalah bahan yang karena sifat kimia maupun kondisi fisiknya sangat berpotensi menyebabkan gangguan bagi kesehatan manusia, serta kerusakan dan atau pencemaran lingkungan.

Limbah B3 di Lingkup Rumah Tangga - (KOMPAS.com/SRI NOVIYANTI)

Bila limbah tersebut tidak disimpan atau dibuang dengan benar, kandungannya dapat tercampur atau sebaliknya mencampuri bahan lain. Ini bisa saja menimbulkan reaksi yang merugikan makhluk hidup.

Oleh karena itu, limbah B3 tidak bisa dianggap sepele. Terlebih lagi kalau jumlahnya berlimpah.

KOMPAS/RIZA FATHONI
Pekerja memilah sampah elektronik dari komputer di usaha pengepul rongsokan di kawasan Penjaringan, Jakarta, Selasa (17/4/2018). Perkembangan teknologi produk elektronik yang relatif cepat turut berperan menjadi penyebab tingginya sampah elektronik dari masyarakat.

Lalu, tidak adakah sama sekali penanganan limbah B3 yang benar di Indonesia? Apa pula tantangan dari penanganan limbah B3 ini?


BUKIT TAPI LANDFILL B3

DOK PPLI
Tampak asri dan hijau, bukit ini adalah landfill limbah B3 yang dikelola PPLI.

DI KAWASAN Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, ada satu bukit yang tampak asri. Namun, sejatinya itu adalah tempat pembuangan akhir (TPA) limbah B3. Amankah?

Sebutan untuk TPA semacam ini adalah landfill. Jangan takut dulu.

Dengan pengolahan yang tepat, limbah di sini sudah ramah lingkungan. Terlebih lagi, tanaman bisa hidup di situ. 

Kalau tanaman saja bisa tumbuh di situ, artinya itu sudah tak berbahaya. Karenanya, gunungan itu pun dikenal sebagai eco-landfill.

“Jangan dulu terbayang mengenai TPA yang bau dan kotor. Kalau bentuknya sudah berada di landfill, limbah B3 sudah tidak berbau lagi,” ujar Manajer Humas PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) Arum Pusposari saat dihubungi Kompas.com, Jumat (28/5/2021)

TPA itu, kata Arum berstandar internasional. Standar yang sama dengan TPA limbah B3 yang ada di San Fransisco, Amerika Serikat.

Tinggi tiap bukit sudah ditentukan agar tak mudah longsor. Untuk ketahanannya, bukit itu juga di-seal dan las. Hasil akhirnya, pengunjung bahkan bisa menginjakkan kaki di bukit tersebut.

Arum mengklaim, PPLI merupakan satu-satunya pengolahan limbah B3 yang terintegrasi di Indonesia. Beroperasi sejak 1994, PPLI menawarkan layanan one stop solution, yaitu mengangkut, mengolah, dan punya tempat pembuangan limbah.

Pengolahan lain, tutur dia, biasanya hanya menawarkan sebagian solusi. Misal, punya incinerator untuk mengolah limbah dengan cara dibakar pada suhu tinggi, tetapi tidak punya lokasi pembuangan akhir dan tidak punya armada pengangkut khusus untuk membawa limbah ke lokasi penampungan milik perusahaan lain. 

Buat catatan, armada pengangkut limbah yang telah diolah sekalipun tidak boleh sembarangan. Armada truk harus memenuhi standar dan mendapat izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan setempat.

Aturan teknis tentang pengangkutan limbah ini adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.12/MENLHK/SETJEN/PLB.3/5/2020 tentang Penyimpanan Limbah B3

Prosedur dan komitmen PPLI

Soal prosedur pengolahan limbah, PPLI punya prosedur yang rigid juga. Pertama, mereka akan mengambil sample limbah yang diminta untuk ditangani. 

Sample dianalisis dan diidentifikasi di laboratorium khusus yang tersertifikasi. Hasil yang didapat adalah data limbah dan rekomendasi penanganan sesuai kandungan dan kadar B3 di limbah itu.

“Semacam recipe. Isinya kandungan limbah yang di-sampling. Ini membuat kami tahu bagaimana cara mengolah limbah tersebut,” kata Arum.

Hasil uji laboratorium itu, termasuk rekomendasi penanganan, dikirimkan balik ke perusahaan yang hendak menggunakan jasa PPLI. Kalau mereka setuju, kerja sama penanganan dilakukan. 

Itu pun, saat limbah benar-benar datang ke lokasi PPLI untuk kali pertama, dilakukan analisis ulang. Tujuannya, memastikan limbah yang dikirim sama dengan limbah yang telah diambil sample dan menjalani pengujian laboratorium. 

DOK PPLI
Salah satu armada khusus pengangkut limbah B3 milik PPLI

Saat ini, PPLI beroperasi di areal seluas 63 hektar. Komitmen perusahaan tak hanya berlaku selama perusahaan beroperasi tetapi juga sampai tenggat 30 tahun setelah penampungan penuh dan harus tutup.

“Jadi, kalau ada apa-apa yang diakibatkan dan berasal dari lahan kami setelah tutup dalam periode 30 tahun setelahnya, akan kami tangani,” tegas Arum.

Sebagai informasi, area pembuangan limbah B3 tidak dapat dialihfungsikan lagi menjadi lahan produktif. Setelah tutup pun lokasi itu tidak bisa menjadi area permukiman. 

Alih fungsi yang dimungkinkan kelak, ungkap Arum, adalah untuk kegiatan-kegiatan dengan risiko minimal. Di San Faransisco, sebut dia, lokasi pembuangan akhir limbah B3 yang tak terpakai lagi dibuat menjadi sirkuit.

“Buat lapangan golf juga ada,” tambah Arum.

Mengaku telah melayani perusahaan dari Aceh sampai Papua, PPLI punya kapasitas menangani 300-500 ton limbah B3 per hari. Bidang industri yang terlayani mulai dari manufaktur, perhotelan, medis, otomotif, hingga pengeboran minyak dan gas.

Limbah yang ditangani pun tak selalu padat. Ada juga yang berupa cairan.

Untuk limbah padat, akan dilakukan netralisasi terlebih dahulu. Kandungan beracun dan atau berbahaya dihilangkan dulu. Setelah itu, limbah yang tak dapat didaur ulang akan dibuang ke TPA alias landfill.

Sementara itu, untuk mengolah limbah B3 cair, mereka butuh tiga kali proses. Prinsipnya sama. Limbah dinetralkan dulu kandungannya, sampai dalam batas aman tertentu sehingga dapat dialirkan kembali ke lingkungan.

Arum mengungkap, ada sejumlah limbah B3 yang tetap didaur ulang dan dimanfaatkan kembali dengan aman. 

“Meski namanya limbah, bukan berarti tak bisa digunakan ulang. Plastik dan kardus, misalnya. Plastik yang sesuai standar recycle itu dicacah, lalu dijadikan biji plastik,” ujar Arum.

Bahan dari limbah B3 yang bisa di-recycle lainnya adalah sludge yang dikirim dari industri pengeboran minyak dan gas. Ini adalah limbah dalam rupa lumpur.

Namun, lumpur tersebut sudah terkontaminasi minyak mentah. Karenanya, sludge dari industri minyak dan gas masuk dalam kategori limbah B3.

Kata Arum, sludge merupakan limbah yang punya kalori tinggi, yakni lebih dari 2.500 kalori, dan mudah terbakar. Pengolahan dengan mencampurkan zat lain mengubahnya menjadi bahan bakar sintetis (BBS).

“BBS dapat dipakai sebagai pengganti batubara. Ini bisa dipakai oleh industri yang membutuhkan,” ujar Arum.

 

TANTANGAN LIMBAH B3
DI INDONESIA

KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) yang disimpan di dalam drum sebelum diolah di PT Prasadha Pamunah Limbah Industri di Cileungsi, Bogor, Jumat (12/2/2016). PPLI menyediakan jasa pengolahan limbah terpada untuk pelanggan koemersial dan industri.

SAAT ini, PPLI baru menerima limbah B3 dari industri. Itu pun, kata Arum, masih jauh dari jumlah limbah yang dihasilkan tiap harinya.

“Kapasitas kami 300-500 ton. Itu sebenarnya 10 persen dari limbah B3 yang dihasilkan industri saja tidak ada,” katanya lagi.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara tahunan melakukan pantauan atas volume limbah B3 dari industri serta pengelolaannya.

Data terakhir yang tersedia adalah untuk 2019, dengan 450 industri yang disurvei.  Perusahaan-perusahaan tersebut terdiri dari 140 perusahaan manufaktur, 120 sektor prasarana dan jasa, 79 sektor pertambangan energi dan migas, serta 11 perusahaan sektor agroindustri.

Dari seluruh perusahaan ini, limbah B3 yang dihasilkan pada 2019 tercatat mencapai 44,9 juta ton. Sekitar 44,8 juta ton limbah tersebut dinyatakan telah berhasil dikelola. Sisanya, 285,41 ton masih tak terkelola.

Dibandingkan tahun sebelumnya, dengan pantauan mencakup 450 industri dalam kategori yang sama, setidaknya jumlah limbah B3 yang dihasilkan mencapai 89 juta ton. Rinciannya, yang dikelola sebanyak 53, 35 juta ton, setara sekitar 60 persen. 

Data itu menunjukkan, tiap tahun ada upaya perbaikan pengelolaan limbah B3, setidaknya dalam data. Namun, cakupan survei belum menjangkau seluruh industri pula. Ini berarti, besar kemungkinan volume limbah B3 yang sesungguhnya pun jauh lebih besar lagi.

Contoh Limbah B3 Berdasarkan Kategori Industri - (KOMPAS.com/SRI NOVIYANTI)

Keberadaan perusahaan seperti PPLI barulah salah satu solusi penanganan limbah B3 di Indonesia. Namun, tantangan masih butuh jawaban, baik untuk masa sekarang maupun jauh ke depan.

Arum berharap, Indonesia bisa menangani limbah B3 dengan lebih baik, antara lain dengan indikator penambahan jumlah pengelolaan dan pemanfaatan.

Terlebih lagi, limbah B3 pun sejatinya bukan hanya bicara hasil buangan industri. Limbah B3 sangat dekat dengan keseharian masyarakat. Bahkan, hidup kita dikelilingi limbah B3.

Sayangnya, pemahaman mengenai bahaya dan definisi limbah B3 belum menjadi kepedulian masyarakat. Buktinya, secara sadar atau tidak, rumah tangga menjadi salah satu sumber penyumbang limbah B3.

“Kalau disimpan dengan benar, mungkin tidak akan berbahaya. Sayangnya, karena ketidakpahaman, masih ada kan orang membuang limbah dengan cara mengubur. Yang jadi masalah, kalau mereka tidak tahu yang dikubur itu limbah B3,” tutur Arum.

Arum mencontohkan bohlam lampu. Barang ini, kata dia adalah salah satu jenis limbah B3 yang kerap secara sadar atau tidak dibuang sembarangan oleh masyarakat.

Bohlam kalau dibuang dengan dipilah dan dipisah dengan sampah lain tidak berbahaya.

"Tapi, kalau menyatu (dengan tanah), atau misal pecah lalu dibuang dengan cara dikubur karena dipikir mengandung kaca yang bisa melukai orang lain, (atau) hanya dibuang ke tempat sampah, itu yang jadi bahaya,” kata dia.

Arum menjelaskan, salah satu komponen lampu adalah zat merkuri. Saat lampu itu pecah, zat merkuri di dalamnya bisa saja keluar.

Jika dikubur, zat merkuri akan mencemari tanah. Bahkan, mungkin juga zat itu terserap sampai ke sumber air tanah yang kita pakai mandi atau terburuknya dikonsumsi.

Dibuang sayang

Arum mengaku pernah pula melakukan survei ke beberapa rumah tangga untuk melihat limbah B3 yang dihasilkan. Ia terkejut saat mendapati banyak sampah elektronik yang dialihfungsikan.

“Pernah saya lihat di sebuah rumah pakai meja dari mesin cuci. Mesin cucinya ditutup menggunakan taplak selayaknya meja," tutur Arum.

Bukan rahasia umum juga, lanjut dia, di rumah ada kulkas rusak yang lalu dipakai menjadi lemari penyimpan barang.

Selain kulkas dan mesin cuci, sampah elektronik lain yang kerap disimpan karena memorable alias dibuang sayang adalah televisi dan ponsel.

“Kayaknya kita sebagai manusia semacam punya ikatan emosional sendiri sama barang-barang seperti itu. Kadang masyarakat juga mungkin bingung ya, kalau dibuang, mau dibuang ke mana?” tambahnya.

Baca juga: "Penambang Emas" Perkotaan dan Dilema E-Waste

Kata Arum, pernah ada penelitian yang menyebut bahwa limbah B3 dari kategori elektronik yang dihasilkan tiap orang di kota-kota besar mencapai 5 kilogram per tahun.

“Bayangkan, (penduduk) Jakarta saja kurang lebih 10 juta. Kalau diakumulasi, seberapa banyak limbah elektronik yang dihasilkan? Ini baru (limbah) elektronik, belum limbah B3 lainnya?” kata dia.

Data dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada periode Februari sampai Oktober 2020 menunjukkan, limbah elektronik yang dihasilkan rumah tangga di Jakarta mencapai 22 ton.

Angka tersebut didapat dari pihak ketiga yang mengantongi izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pengelolaan lanjutan atas limbah.

Lagi-lagi, jumlah tersebut bukanlah total keseluruhan limbah elektronik yang ada di masyarakat. Jangankan pengelolaan lanjutan, persoalan limbah elektronik yang masuk kategori B3 selayaknya gunung es.

Arum mengakui, pengolahan limbah B3 di Indonesia saat ini memang baru terbatas pada industri. Adapun untuk kategori rumah tangga, wadah untuk itu masih jarang ditemui.

“Di beberapa wilayah ada semacam bank sampah-nya, tapi belum mudah ditemui. Kalau di Jakarta, Pemprov DKI sudah punya truk khusus untuk mengangkut limbah B3. Semoga ini jadi langkah baik ke depannya,” sambungnya.

Arum mengaku, pengelolaan limbah B3 memang berbeda dengan limbah lainnya.

Pengolahannya masih dinilai rumit. Masyarakat juga belum punya budaya untuk memilah sampah.

KOMPAS/RIZA FATHONI
Kotak penampung (drop box) sampah elektronik (e-waste) tersedia di Halte Transjakarta Kampung Melayu, Jakarta, Rabu (2/5/2018). Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI menyediakan kotak penampung sampah elektronik yang mengandung limbah berbahaya untuk diolah di perusahaan yang khusus mengolah limbah bahan berbahaya beracun (B3) untuk dimusnahkan.

Akan lebih baik menurut dia jika masyarakat membekali diri untuk memahami hal dasar mengenai limbah B3 dan mulai memilah sampah.

Setidaknya, dengan dipilah, risiko limbah B3 mencemari lingkungan karena tercampur dengan sampah lain bisa diminimalisasi.

Arum pun berangan-angan, ke depan, masyarakat Indonesia berwawasan dan paham mengenai penanganan limbah B3 di lingkungan rumah tangga.

Edukasi bisa dimulai dari lingkup rukun tetangga (RT) atau kelurahan. Lalu, pemerintah daerah, misalnya, punya storage untuk menampung dulu limbah B3 tersebut.

Berikutnya, pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan pihak ketiga yang punya kapasitas mengelola limbah B3. 

“Nanti, masayarakat yang sudah teredukasi ini mampu memilah sampah, lalu diatur supaya pengangkutan sampahnya juga ada yang kategori rumah tangga seperti biasa dan limbah B3 dengan tambahan biaya retribusi Rp 10.000. Itu, misalnya,” ujarnya memaparkan harapan.

Saat ini, kata Arum, hal itu masih menjadi tantangan bersama. PPLI rutin menggelar sosialisasi mengenai bahaya limbah B3.

“Kami pernah kerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Dinas Lingkungan Hidup mengenai limbah B3 khusus elektronik," sebut Arum memberikan contoh.

Rupanya, gerakan itu dilanjutkan oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta yang kini turut menyediakan layanan jemput limbah elektronik bagi warganya.

Mereka hanya tinggal melakukan permohonan pengangkutan limbah elektronik secara daring lewat laman web Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. Selain itu, ada pula beberapa titik penampungan khusus limbah elektronik yang tersebar di Jakarta.

Upaya sosialisasi limbah B3 juga tetap dilakukan, seperti roadshow ke industri-industri di berbagai kota di Indonesia. 

"Setelah pandemi Covid-19, kami beralih menggelar sosialisasi secara virtual. Semoga ini jadi upaya agar lebih banyak lagi yang aware dengan limbah B3,” harap Arum.