Trotoar lebar, steril, dan indah rupanya belum cukup membuat warga Jakarta untuk jalan kaki.
Rencana tata kota dan orientasi kebijakan yang salah kaprah justru membuat orang semakin malas berjalan, dan kian menggantungkan mobilitas pada kendaraan bermesin.
Padahal, bukankah sebuah kota diperuntukkan bagi manusia?
SEORANG kawan pernah bercerita, suatu siang ia berjalan kaki keluar dari kantornya di kawasan Mal Kota Kasablanka, Tebet, Jakarta Selatan.
Tujuannya adalah makan siang di salah satu warung yang terletak di seberang pusat perbelanjaan itu.
Selain bosan dengan makanan di dalam mal, ia juga ingin menyantap hidangan rumahan yang murah meriah.
Setelah keluar dari area mal dan memasuki trotoar, ia mendapati median Jalan Casablanca diberi pagar setinggi 1,5 meter.
Keberadaan pagar itu membuatnya tidak bisa langsung menyeberang ke warung tujuan.
Ia mesti berjalan kaki terlebih dahulu ke arah Jl. H.R Rasuna Said sejauh 400 meter untuk menyeberang melalui Jembatan Penyeberangan Orang (JPO).
Otomatis jarak tempuhnya bertambah menjadi sekitar 800 meter. Padahal, apabila ditarik garis lurus, jarak dari depan mal ke warung kurang dari 50 meter saja.
Waktu tempuhnya pun otomatis bertambah, dari yang semestinya tidak sampai satu menit menjadi 10 menit.
Wajar saja bila menjadi lama. JPO itu memiliki 40 anak tangga naik dan 40 anak tangga turun. Setiap anak tangga memiliki tinggi sekitar 10 sentimeter dan lebar sekitar satu meter.
Bagi kawan saya yang masih muda, segar dan bugar ini, tentu kondisi itu tidak jadi masalah. Meski tetap misuh-misuh karena untuk menggapai suatu tempat yang dekat ia mesti berjalan jauh terlebih dahulu.
Tetapi, bagaimana bila yang mengakses JPO itu adalah lansia, ibu hamil, penyandang disabilitas, atau pedagang yang membawa banyak barang? Mereka sudah pasti kesulitan.
Atas pertimbangan akses yang sulit hanya untuk menyeberang jalan saja, tak heran apabila rekan sekantornya memilih menggunakan sepeda motor atau mobil. Sebab, waktu tempuhnya justru lebih cepat.
Melalui akses putar balik di kolong flyover Jalan Dr. Saharjo, mereka hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit selama kondisi lalu lintas tidak macet.
Kisah serupa dialami Coki (30), pegawai salah satu kantor di Menara 165, Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan.
Suatu siang, ia berencana istirahat makan siang di Cilandak Town Square, tidak jauh dari kantornya.
Apabila ditarik garis lurus, jarak kedua tempat itu sekitar satu kilometer. Relatif dekat bagi Coki bila ingin berjalan kaki.
Namun, keinginan Coki untuk berjalan kaki ke Citos tak bisa dilakukan karena tak ada akses langsung pejalan kaki dampak dari adanya simpang susun Tol Desari.
Alhasil, Coki harus memanggil ojek daring untuk perjalanan yang jaraknya sangatlah dekat itu.
Baca Juga: Memuliakan Pejalan Kaki di Jakarta
Coki pernah mencoba untuk berjalan kaki dari Menara 165 ke Citos. Tapi ia harus melakukannnya dengan perjuangan yang melelahkan dan tidak efisien dibandingkan naik kendaraan bermotor.
"Harus berputar jauh sekali. Belok kanan dulu (ke arah Jalan Antasari) terus naik jembatan penyeberangan terus lewat jalan kampung, muter lagi," kata Coki kepada Kompas.com.
Penasaran dengan cerita Coki, Kompas.com mencoba untuk melakukan hal yang sama.
Ternyata benar. Kendati jaraknya dekat, berjalan kaki dari Menara 165 ke Citos benar-benar tidak efisien.
Pertama-tama, kami harus melalui trotoar yang kondisinya tak terlalu baik dari depan Menara 165 hingga ke depan Gedung Ratu Prabu 2.
Setelah melewati Gedung Ratu Prabu 2, kami mendapati trotoar dengan lebar hanya sekitar satu meter di pinggir lahan proyek apartemen.
Trotoar di pinggir lahan proyek yang harus dilintasi cukup panjang. Lokasinya ada di sepanjang pinggir tikungan ruas lalu lintas kendaraan dari Antasari yang hendak mengarah ke Tanjung Barat dan Pasar Rebo.
Karena berada di pinggir lahan proyek yang notabene jarang jadi tempat aktivitas manusia, ada rasa waswas saat melintasi trotoar.
Pagar tinggi membatasi trotoar dengan lahan proyek. Hal ini membuat siapapun tidak akan bisa berbuat banyak apabila menjadi korban kejahatan.
Suasana baru berubah menjadi lebih aman setelah berjalan di depan gedung yang dijaga oleh petugas keamanan.
Baca Juga: Sengkarut Fasilitas Pejalan Kaki di Jakarta di Tengah Gembar-gembor Revitalisasi JPO Karet Sudirman
Jalan Casablanca dan TB Simatupang hanya dua dari sekian banyak kawasan di Jakarta yang tidak ramah pejalan kaki, terlebih bagi kalangan prioritas.
Padahal, Jalan Casablanca adalah salah satu pusat bisnis dari Ibu Kota Negara yang warganya dicap paling malas berjalan kaki ini.
Ya, malas berjalan kaki.
Pada 2017 silam, Universitas Stanford, Amerika Serikat menggelar penelitian tentang perilaku jalan kaki warga sejumlah negara di dunia.
Salah satu temuannya, Indonesia adalah negara yang penduduknya malas berjalan kaki.
Studi dengan responden 717.000 pengguna ponsel di 111 negara di seluruh dunia itu mengungkapkan, rata-rata orang Indonesia hanya berjalan 3.513 langkah setiap hari.
Baca Juga: Kota Tak Ramah Pejalan Kaki Itu Bernama Jakarta...
Angka tersebut di bawah rata-rata jalan kaki penduduk dunia yang mencapai 4.961 langkah setiap hari.
Mari kita kembali ke persoalan awal, yakni Jakarta yang tidak ramah bagi pejalan kaki.
Pada Agustus 2017, The New York Times pernah menulis sebuah artikel berjudul Jakarta, the City Where Nobody Wants to Walk, sebuah gambaran betapa malangnya pejalan kaki di Jakarta.
Sebagai salah satu kawasan penting di kota metropolitan terbesar di Indonesia, tak ada salahnya bila kita membandingkan kondisi pejalan kaki di Casablanca dengan kondisi pejalan kaki di Ginza.
Ginza adalah salah satu kawasan penting yang ada di Tokyo, Ibu Kota sekaligus kota metropolitan terbesar di Jepang.
Kondisinya bisa diperhatikan pada foto di bawah ini:
Alih-alih dipersulit dengan pagar pada median jalan dan JPO seperti di Casablanca, pejalan kaki di Ginza justru difasilitasi banyak zebra cross.
Jarak antar zebra cross relatif sangat dekat sehingga memudahkan orang menyeberang.
Walaupun di sisi lain, kondisi semacam ini mengharuskan pengguna kendaraan lebih sering mengerem apabila ada pejalan kaki yang melintas.
Baca Juga: Kisah Pebisnis Indonesia yang Suka ke Tokyo untuk Berjalan Kaki
Ginza hanyalah satu dari sekian banyak kawasan di Tokyo yang sangat ramah pejalan kaki.
Dalam studi yang diterbitkan Universitas Stanford pada 2017, Jepang menempati peringkat empat sebagai negara yang penduduknya paling rajin berjalan kaki.
Rata-rata orang Jepang mampu berjalan 6.010 langkah setiap hari. Padahal Jepang adalah salah satu kiblat otomotif dunia dengan angka pembelian mobil baru tertinggi ketiga di dunia.
Baca Juga: Berkaca pada Negara yang Rajin Beli Mobil, Tetapi Tak Sumpek dan Berudara Bersih
Fasilitas pejalan kaki yang tidak memadai sehingga orang lebih menggantungkan mobilitas pada kendaraan bermotor, menurut banyak ahli, disebabkan oleh perencanaan tata kota yang salah kaprah.
Semestinya, sebuah kota berorientasi pada pergerakan manusia di dalamnya, bukan semata pada kendaraan bermotor yang justru menambah pencemaran udara sebuah kota.
Rancang tata kota seperti ini yang akhirnya membuat masyarakat memiliki ketergantungan tinggi pada kendaraan bermotor walau dalam jarak relatif dekat.
Lewat twitter pribadinya, Co-Founder Transport for Jakarta Adriansyah Yasin Sulaiman sering menyebut Jakarta sebagai kota yang tidak dirancang untuk manusia, melainkan hanya untuk kendaraan bermotor.
Baca Juga: Saat Kepala Patung Pancoran di Samping Mobil Anda
Bayangan betapa car oriented-nya Jakarta bisa kita lihat dari celotehan bernada sarkas Yasin dalam kicauannya di bawah ini.
Dalam gambar terlihat kondisi Paris seandainya tata kotanya dirancang seperti Jakarta:
Paris kalo yang ngedesain kotanya orang atau developer Indonesia: pic.twitter.com/gJjM6tMcjn
— Adriansyah Yasin Sulaeman (@adriansyahyasin) September 3, 2020
Sebagaimana kisah yang dituturkan pada bagian awal tulisan, JPO menjadi salah satu unsur di dalam pembangunan tata kota yang dianggap tak berpihak pada pejalan kaki.
Di Indonesia, Jakarta khususnya, area penyeberangan orang model JPO adalah fasilitas yang paling sering dijumpai.
Hampir semua halte Transjakarta, bahkan aksesnya, menggunakan JPO.
Di banyak ruas jalan, median jalan bahkan sampai diberi pagar agar kendaraan bermotor bisa melaju tanpa hambatan.
Hal itu memaksa pejalan kaki yang semestinya tak dianggap hambatan dalam pembangunan menyeberang melalui JPO.
Padahal, kota-kota di negara maju, JPO adalah fasilitas yang hampir sudah tidak digunakan sebagai sarana penyeberangan orang.
Baca Juga: JPO Estetik Tanpa Atap Dianggap sebagai Upaya Pemprov Jakarta Penuhi Kebutuhan Selfie Warga
Communications and Partnership Manager Institute for Transportation and Development (ITDP) Indonesia Fani Rachmita mengatakan, di negara maju pada umumnya, JPO hanya dibangun ketika ada hambatan alam. Contohnya sungai dan laut, ataupun saat bersinggungan dengan jalan tol dan rel kereta api.
Biasanya, JPO juga dibangun hanya untuk penghubung antargedung.
"JPO (di atas jalan raya) yang masih ditemukan umumnya juga karena faktor telanjur dibangun, kalau kasus seperti ini biasanya di bawahnya disertai dengan zebra cross sebagai opsi penyeberangan," kata Fani kepada Kompas.com.
Disadari atau tidak, JPO membuat rute yang ditempuh pejalan kaki lebih jauh dari yang seharusnya. Fasilitas ini juga dianggap tak ramah untuk kalangan prioritas.
Pada Desember 2018, ITDP sempat melakukan eksperimen sosial di tiga halte transjakarta, yakni di Dukuh Atas, Karet, dan Bendungan Hilir.
Dari eksperimen sosial tersebut, tak ada satu pun pengguna kursi roda yang mampu menaiki ramp penghubung trotoar dan halte secara mandiri tanpa bantuan orang lain.
Baca Juga: JPO dan Jembatan Bawah Tanah Dinilai Tak Ramah Penyandang Disabilitas
Dalam jurnal berjudul "Stop Membangun JPO Demi Pejalan Kaki" yang dirilis pada Juli 2018, ITDP lebih menyarankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperbanyak pelintasan sebidang, baik zebra cross ataupun pelican crossing, ketimbang membangun JPO.
"Menuding pemberian fasilitas pejalan kaki yang humanis menjadi penyebab kemacetan adalah mindset yang lebih mendukung pembangunan kota yang berpihak pada kendaraan bermotor," tulis ITDP dalam artikel tersebut.
"Stop Membangun JPO!" : JPO & terowongan pejalan kaki memaksa kelompok rentan (lansia, anak-anak, ibu dg anak, penyandang disabilitas) utk naik-turun tangga & mendaki bidang miring hanya demi memberikan gerak yg lebih leluasa bagi mobil & motor https://t.co/M2fn3zv6rx pic.twitter.com/iitRRsoDkH
— ITDP Indonesia (@itdpindonesia) July 25, 2018
Upaya untuk mengubah JPO menjadi pelintasan sebidang agar lebih ramah bagi pejalan kaki bukannya tidak ada.
Pada Juli 2018, JPO di Bundaran HI dibongkar dan diganti dengan penyeberangan jenis pelican crossing yang ditempatkan di depan Hotel Pullman.
Pelican crossing kemudian menjadi akses penghubung dari trotoar ke Halte Bundaran HI.
Jenis penyeberangan serupa juga bisa ditemukan di Halte Sarinah dan Tosari. Sayangnya, upaya serupa tak dilanjutkan lagi.
Baca Juga: Sandiaga Uno: Pelican Crossing di Bundaran HI untuk Memuliakan Pejalan Kak
Sejak 2020 hingga saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih memilih membangun JPO "instagramable" yang biaya pembangunannya 10 kali lipat lebih mahal ketimbang pelican crossing.
Menurut kajian ITDP, meski terkesan megah dan menarik, JPO instagramable tetap tidak mengedepankan fungsi yang mempermudah perjalanan pejalan kaki.
Mengacu ke pengamatan ITDP di Simpang Senen contohnya. Di sana terdapat JPO yang dibangun begitu cantik dan indah.
Tapi temuan menyebutkan, banyak pejalan kaki yang memilih tidak melalui JPO dan tetap lewat bawah.
Karena itu, ITDP mengibaratkan JPO tak lebih dari infrastruktur mubazir yang mengatasnamakan pejalan kaki.
Jadi, ketimbang mempermegah JPO, ITDP menyarankan Pemerintah Provinsi DKI melakukan redesain simpang dengan menitikberatkan penyeberangan jenis pelican crossing, zebra cross dan kelengkapannya.
Baca Juga: Anies Sebut "Pelican Crossing" Sementara, Sandiaga Sebut Permanen
JPO dinilai sebagai konsep usang yang sudah seharusnya ditinggalkan dari perencanaan pembangunan kota.
Apalagi bila kota itu ingin mengutamakan pejalan kaki, pesepeda, serta para pengguna kendaraan tanpa mesin lainnya.
Mewujudkan kota yang ramah bagi segala jenis mobilitas manusia memang memiliki banyak tantangan. Salah satunya mengubah konsep pembangunan yang salah sejak awal.
Persoalannya, maukah pemerintah membenahi persoalan tersebut secara radikal seperti sejumlah kota maju di dunia?
Mengutip artikel berjudul "Jalan Layang Tol vs Transportasi Massal" yang dimuat di laman ITDP Indonesia, 15 November 2012, hasil studi ITDP menyimpulkan keberadaan ruas tol perkotaan hanya merusak esensi kota.
Artikel tersebut dibuat ITDP sebagai protes terhadap rencana pembangunan enam ruas tol dalam kota.
Menurut mereka, merevitalisasi kota dengan jalan tol bukanlah solusi. Keberadaan jalan tol di tengah kota bahkan lebih banyak menimbulkan dampak negatif dari segi teknis dan sosial.
Berdasarkan studi ITDP, pembangunan jalan tol di dalam area kota pada negara maju dianggap sebagai ide usang. Pasalnya, jalan tol didesain untuk kendaraan besar dan tidak efektif bagi perpindahan orang jarak pendek.
ITDP mencontohkan beberapa kota dunia yang justru menghancurkan ruas tol dalam kotanya demi lingkungan perkotaan yang lebih baik.
Baca Juga: Bongkar Jalan Layang, Cara Seoul Mempercantik Sungai Cheonggyecheon
Di Seoul, pemerintah kota setempat meruntuhkan jalan tol layang Cheonggyecheon untuk merehabilitasi wilayah setempat.
Kawasan yang semula jadi area kumuh di kolong jalan layang bisa diubah jadi taman kota dengan ruang publik yang besar dan ramah pejalan kaki.
Sementara itu, di Milwaukee, AS, keputusan untuk menghancurkan tol dibuat karena biaya operasionalnya lebih tinggi dibanding ongkos untuk meruntuhkannya.
Selain kebijakan tata kota yang harus pro terhadap mobilitas manusia, di sisi lain peningkatan disiplin dan kesadaran lalu lintas warga kota juga harus ditingkatkan.
Sebab, selama warga sebuah kota tidak tertib, sebaik apapun tata kotanya pasti akan ditabrak.
Seperti yang terjadi di pelican crossing atau zebra cross di Jakarta.
Meski relatif nyaman dan efisien bagi pejalan kaki, penyeberangan model pelican crossing dan zebra cross sebenarnya tak cukup aman untuk lingkungan masyarakat yang mental berkendarannya buruk.
Pakar safety driving Jusri Pulubuhu mengatakan, kesadaran sebagian besar pengguna kendaraan di Indonesia akan hak pejalan kaki masih kurang.
Jangankan memberi kesempatan pejalan kaki menyeberang, dalam banyak kasus, trotoar bahkan sering diokupasi oleh pengguna sepeda motor.
Contoh lain yang juga sering ditemui, kata Jusri, adalah pengguna kendaraan yang tidak berhenti di belakang garis saat lampu merah. Akibatnya, pejalan kaki kesulitan untuk melintas.
Baca Juga: Warga Melintas di Pelican Crossing Depok, Mobil dan Motor Tetap Ngebut
Jusri menilai, mentalitas dan kedisiplinan pengendara di Indonesia sangat berbeda dengan di negara maju.
Di negara maju, pengguna kendaraan relatif bisa menghargai hak-hak pejalan kaki.
"(Di negara maju) enggak usah ada lampu (sinyal untuk menyeberang), begitu melihat ada orang mau menyeberang mereka akan langsung berhenti," kata pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting itu kepada Kompas.com.
Khusus di Jakarta, Jusri menilai, penyeberangan model pelican crossing atau zebra cross akan relatif lebih aman jika dijaga petugas.
Ia mencontohkan penyeberangan depan Senayan City yang relatif aman untuk pejalan kaki karena selalu dijaga petugas keamanan.
Menurut Jusri, relatif amannya pelican crossing yang dijaga petugas merupakan dampak dari mentalitas pengguna kendaraan di Indonesia yang baru bisa tertib kalau ada petugas.
"Kalau hanya mengharapkan kesadaran pengguna kendaraan yang terjadi adalah ada yang sadar, ada yang enggak sadar. Karena yang enggak sadar lebih banyak, lama-lama yang sadar ikut terpengaruh," ujar Jusri.
Baca Juga: “Pelican Crossing” Bisa Diterapkan asal Keamanan Pedestrian Terjamin
Dari pengamatan Kompas.com, selain faktor harus dijaga petugas, faktor lingkungan sekitar juga memengaruhi kedisiplinan pengguna kendaraan bermotor.
Di depan Senayan City pengguna kendaraan memang relatif disiplin dan bisa berhenti saat ada penyeberang, tapi tidak demikian dengan di depan RSUD Budhi Asih, Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur.
Seperti di depan Senayan City, pelican crossing depan RS Budhi Asih juga dijaga petugas. Setiap pejalan kaki yang hendak menyeberang pasti akan didampingi oleh petugas.
Namun, tetap saja pengendara yang lewat tak berupaya untuk menghentikan laju kendaraannya saat ada pejalan kaki lewat.
Meski secara fakta di lapangan penyeberangan model pelican crossing dan zebra cross tak cukup aman untuk pejalan kaki itu sendiri, para praktisi tata kota menganggap hal itu tak lepas dari kekeliruan dalam kebijakan penataan kota selama puluhan tahun.
Kondisi diperparah dengan keengganan otoritas terkait membenahi masalah dalam perilaku mengemudi masyarakat.
"JPO bukan merupakan solusi, karena akar permasalahannya adalah kecepatan kendaraan yang menyalahi aturan. Dengan membuat JPO, justru akan memancing kendaraan bermotor untuk melaju melebihi batas kecepatan," sebut ITDP dalam keterangan tertulisnya pada 18 Maret 2021.
Pendapat serupa juga dilontarkan Adriansyah Yasin. Menurutnya, JPO adalah simbol supremasi kota car-oriented di atas pejalan kaki dengan dalih keselamatan.
Memaksa pejalan kaki mengalah dengan menyeberang di JPO memang lebih mudah daripada membenahi perilaku berkendara.
Hal yang sama juga disampaikan pendiri dan Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja lewat kicauan di akun twitternya pada 5 Januari 2022.
Orang merasa tdk aman jalan di permukaan krn sdh lbh dari 5 dekade orientasi kebijakan selalu memenangkan kendaraan bermotor.
— Elisa (@elisa_jkt) January 5, 2022
Alih2 bikin jalan aman bagi pejalan kaki, pejalan kakinya dibuang terus ke atas/bawah/dihilangkan (ndak bisa nyebrang). Smtr ya kecelakaan terus terjadi. https://t.co/CeODS8SXA5
Aktivitas berjalan kaki sampai saat ini terkesan masih dipandang sebelah mata. Padahal itu merupakan transportasi mendasar dan menjadi bagian dari transportasi publik di sebuah kota.
Sayangnya, aktivitas berjalan kaki kurang mendapatkan ruang seluas pembangunan jalan bagi kendaraan bermotor, atau pengadaan bus. Buktinya, fasilitas bagi pejalan kaki belum jadi jalur yang aman dan nyaman.
Kini, sudah saatnya menggaungkan penataan kota yang lebih humanis dan ramah kepada rakyat kecil. Sebab, seberapa besar kelompok-kelompok kecil diakomodasi dalam sebuah pembangunan adalah tanda kota yang beradab.
Selamat Hari Pejalan Kaki Nasional untuk seluruh pejalan kaki dan pengguna kendaraan non bermotor di seluruh Indonesia...