"Lebaran kapan?" dan "kapan Lebaran?" adalah dua pertanyaan yang kerap muncul, bahkan bisa berurutan, terutama ketika ada perbedaan keputusan soal hari besar keagamaan tersebut. Lalu, bagaimana menentukannya? Bagaimana pula harus menyikapinya bila ada perbedaan?
JAUH-JAUH hari, organisasi masyarakat Muhammadiyah selalu sudah mengumumkan awal dan akhir Ramadhan, bahkan waktu Arafah dan Hari Raya Idul Adha. Untuk 2018, misalnya, informasi tersebut termuat dalam Maklumat Nomor 01/MLM/I.0/E/2018 tertanggal 9 Maret 2018.
Namun, Nadhlatul Ulama dan organisasi masyarakat lain biasanya baru membuat keputusan pada saat-saat terakhir penentuan.
Adapun pemerintah, penentuan tanggal resmi hari raya umat Islam dilakukan lewat mekanisme sidang isbat, melibatkan semua organisasi masyarakat terkait.
Pada 2017, tak ada perbedaan hari raya di antara organisasi-organisasi massa besar keagamaan dan tanggal resmi pemerintah. Pada 2018, besar kemungkinan juga demikian.
--- Update 8 Maret 2020, Muhammadiyah telah mengumumkan awal Ramadhan untuk 2020 adalah 24 April 2020 dan 1 Syawal 1441 H bertepatan dengan 24 Mei 2020. Beritanya dapat dibaca di sini.
PERTANYAANNYA, mengapa keputusan waktu hari raya umat Islam di Indonesia dapat berbeda? Bukankah bulan yang dirujuk adalah sama? Seperti apa penjelasannya?
Dasar penentuan awal dan akhir sebuah penanggalan yang menjadi rujukan dalam kalender Islam adalah penampakan bulan sabit muda di atas ufuk. Penyebutan bulan sabit muda itulah cukup populer setiap menjelang puasa dan Lebaran, yaitu hilal.
Perbedaan dimungkinkan terjadi karena metoda yang dipakai untuk menentukan penampakan tersebut berbeda.
Nah, sejumlah kalangan berketetapan, hilal harus secara harfiah terlihat mata sesuai kriteria tertentu pada petang hari sebelum tanggal 1 penanggalan baru.
Adapun sebagian kalangan yang lain berpendapat, bisa saja penanggalan baru dimulai sekalipun bulan tak bisa dilihat mata meski sudah memakai alat, selama perhitungan secara astronomi memastikan sudut ketinggian bulan di daerah tersebut sudah melewati garis ufuk sesuai kriteria tertentu.
Istilah untuk metoda yang mengharuskan penglihatan secara harfiah adalah rukyat. Adapun metode menggunakan perhitungan dikenal dengan istilah hisab.
Merujuk situs web planetarium.jakarta.go.id, penanggalan berbasis peredaran bulan disebut memasuki perhitungan baru bila memenuhi tiga kriteria.
Pertama, sudut ketinggian bulan minimal 2 derajat. Kedua, jarak sudut matahari dan bulan minimal 3 derajat. Ketiga, tanggal baru itu sudah “berumur” minimal 8 jam terhitung sejak ijtimak—dalam istilah astronomi disebut konjungsi antara posisi bulan dan bumi—terjadi.
METODE penentuan penanggalan ini di Indonesia kerap diidentikkan dengan cara Nahdlatul Ulama dan pemerintah. Acuan yang dipakai adalah beragam hadist Nabi Muhammad SAW beserta fiqh dan tafsir fiqh para ulama.
Dasar penentuan yang dipakai adalah hilal kasat mata, dapat dilihat dengan mata telanjang, meski dimungkinkan menggunakan alat bantu seperti teropong.
Salah satu dalil yang kerap dirujuk terkait penentuan awal bulan baru adalah hadist:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ )رواه البخاري
Terjemahannya kurang lebih, “Satu bulan itu 29 malam. Maka jangan berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah (puasa menjadi) 30 hari”, seperti tertuang dalam HR Al Bukhari, dalam Shahih-nya, kitab Ash Shiyam, nomor 1.907.
Aturan serupa dalam hadist lain juga dipakai untuk menentukan hari raya Idul Fitri. Bila mata tak bisa melihat wujud hilal maka Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari.
PENENTUAN awal penanggalan kalender Islam berbasis perhitungan astronomi di Indonesia kerap dinisbatkan kepada Muhammadiyah.
Yang tidak banyak diketahui khalayak, metode ini juga tidak serta-merta ditempuh organisasi kemasyarakatan tersebut. Bahkan, metode hisab di organisasi ini ternyata juga masih menempatkan rukyat pada posisi penting dalam penentuan keputusan awal penanggalan Islam.
Muhammadiyah secara formal mengedepankan metode hisab untuk penentuan kalender Islam barulah pada 1932. Namun, sejarah penggunaan metode tersebut di Muhammadiyah sudah berlangsung sejak awal keberadaannya.
Metode hisab erat berkaitan dengan kemampuan ilmu falak atau astronomi. Pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, antara lain tersohor sebagai tokoh pembaruan Islam di Indonesia ketika berani memulai dan melakukan koreksi arah kiblat Masjid Keraton Yogyakarta.
Itu pun, metode hisab untuk penentuan awal penanggalan kalender Islam tetap memasang sejumlah rambu yang harus dipatuhi.
Menurut hasil Muktamar Tarjih Muhammadiyah pada 1932 di Makassar, Sulawesi Selatan, penentuan awal dan akhir Ramadhan pada dasarnya menggunakan empat metode, yaitu ru’yat al-hilâl (melihat wujud hilal), kesaksian orang yang adil, menggenapkan (istikmâl) bilangan syaban 30 hari, dan hisab.
Cara pertama hingga ketiga pada dasarnya adalah rukyat. Istikmal pun merupakan cara ketika perhitungan astronomi tidak memungkinkan penampakan hilal sementara mata telanjang tak bisa pula melihat bulan sabit.
Namun, dalam hal hilal tidak mungkin di-rukyat karena tertutup awan atau posisinya masih berada pada ketinggian yang belum memungkinkan dapat dilihat, cara penentuan awal penanggalan baru adalah hisab.
Hisab adalah istilah untuk menghitung posisi hilal apakah sudah di atas ufuk (wujud) atau di bawah ufuk (belum wujud). Secara kasat mata, hilal disebut wujud bila dan hanya bila matahari lebih dulu tenggelam di ufuk daripada bulan.
Bagaimana bila hasil hisab berbeda dengan rukyat? Ada dua kemungkinan soal hasil yang berbeda ini menurut kajian Muhammadiyah.
Pertama, menurut hisab hilal belum wujud—ketika matahari terbenam bulan berada di bawah ufuk atau hilal sudah wujud tetapi belum berada pada ketinggian yang dapat dilihat—tetapi ada orang yang mengaku melihat hilal. Dalam hal ini, hasil keputusan Muktamar Tarjih pada 1932 menyatakan, yang harus dijadikan pegangan adalah hasil rukyat.
Kedua, menurut hisab hilal sudah wujud dan bahkan sudah berada pada posisi atau ketinggian yang memungkinkan untuk dapat dilihat, tetapi tidak ada orang berhasil melihatnya. Dalam hal ini Muhammadiyah menggunakan hasil hisab sebagai acuan.
SECARA astronomi, diperkirakan hasil penentuan awal Ramadhan dan hari raya umat Islam akan sama sampai 2021. Kenapa? Karena posisi bulan diperkirakan akan tegas berada di bawah ufuk atau sebaliknya lebih dari 2 derajat pada tahun-tahun tersebut.
Namun, entah kenapa, perbedaan serasa senang sekali bermunculan dalam keseharian kita, bukan? Bagaimana menyikapinya?
Sebaik-baiknya keputusan bisa jadi adalah ketika memahami dasar argumentasi dan menguasai keilmuannya. Bukan asal "biasanya begitu" apalagi "katanya begitu".
Bila tidak punya atau menguasai keilmuannya? Ada dalil umum yang bisa dipakai, yaitu mengikuti ulil amri, alias pemimpin.
Itu kenapa, memilih pemimpin jadi penting. Kalaupun pemimpin tak punya kemampuan, harapannya ada orang-orang dengan keilmuan yang ada di bawah kepemimpinannya untuk memberikan saran.
Lepas dari yang mana, ukhuwah Islamiyah semestinya juga tetap jadi pegangan utama. Terlebih lagi, katanya manusia adalah wakil Tuhan di Bumi. Ingat, sifat yang paling dikedepankan Allah SWT adalah rahman dan rahim, alias pengasih dan penyayang.
Sesalah-salahnya usaha manusia dalam upaya penentuan penanggalan ini, selama usaha dan niatnya terus diperbaiki, mengapa juga kita tidak ikut mengedepankan rahman dan rahim tersebut?
Selamat hari raya Idul Fitri 1439 H. Semoga ibadah kita diterima Allah SWT. Aamiin....