JEO - Tokoh



Obituari:
Artidjo Alkostar,
Vonis Berat Kasasi,
dan Kontroversinya

Minggu, 28 Februari 2021 | 20:59 WIB

Artidjo Alkostar meninggal pada Minggu (28/2/2021) siang. Ini obituari, mengisahkan kiprahnya, terutama saat menjadi Hakim Agung di Mahkamah Agung, berikut kontroversi yang pernah meliputi sosoknya.

SOSOK Artidjo Alkostar tidaklah "sangar". Kurus, tidak tinggi pula.

Namun, setiap pesakitan dan kuasa hukumnya bisa dibuat jerih ketika perkara kasasi mereka masuk ke meja Artidjo saat dia menjadi hakim agung di Mahkamah Agung (MA).

Salah satu pegiat antikorupsi Emerson Yuntho meringkasnya dalam cuitan tentang Artidjo soal rasa jerih ini.

Pada 2014, Kompas.com pernah berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Artidjo. Waktu itu, dia masih menjadi Ketua Kamar Pidana MA.

Pertanyaan pertama yang diajukan, tentu saja, adalah tentang alasan vonis kasasi yang dia jatuhkan cenderung berat.

Baca juga: Kenapa Artidjo Alkotsar "Identik" dengan Vonis Berat Kasasi?

Bukan sekali atau dua kali, vonis kasasi dari perkara yang ditangani Artidjo bahkan mencakup klausul yang tak dituntut. 

"Hakim itu memeriksa berdasarkan surat dakwaan, bukan tuntutan," ungkap dia lugas, dalam wawancara di ruang kerjanya tersebut. 

Itu pun, Artidjo membantah jika dibilang perlakuan tersebut hanya dia lakukan untuk perkara korupsi.

Ada banyak kasus lain yang juga dia jatuhi hukuman berat, terutama bila terkait dengan negara serta korban yang terdampak adalah mereka yang lemah ketika berhadapan dengan otoritas dan hukum.

Namun, kasus korupsi menjadi perhatian tersendiri karena berdampak besar bagi bangsa dan negara. Itu pula sebabnya korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa. 

"Korupsi (juga) menimbulkan kemiskinan struktural," tegas dia.

Ketika korupsi merajalela, kata Artidjo, orang yang tak punya jabatan mau bekerja sekeras apa pun selama 24 jam tetap tidak akan pernah kaya. Koruptor bak tikus yang menggerogoti demokrasi sehingga gagal pula mewujudkan demokrasi ekonomi.

Pandangan serupa dia terapkan saat menangani perkara terkait pajak, apalagi yang melibatkan aparat pajak. Dia menyebut kasus semacam itu sebagai pagar makan tanaman. 

KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Artidjo Alkostar, di ruang kerjanya, Kamis (18/9/2014).

Perjalanannya mengabdi di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mempertebal sudut pandangnya saat menangani perkara-perkara di atas. 

"Masyarakat tak mampu, dalam arti lemah ekonomi dan lemah secara politik, tak punya akses. Rakyat hanya jadi mainan," kecam dia. 

Baca juga: Artidjo Alkostar: Kita Sering Terlalu Andalkan Figur Pemimpin...

Dalam perbincangan selama hampir dua jam tersebut, Artidjo pun menyinggung soal ancaman oligarki politik dan oligarki ekonomi lewat dinasti politik. Dia menyebut dinasti politik tak lain adalah oligarki politik yang berkolaborasi dengan oligarki ekonomi.

"Tugas kita juga untuk tidak memunculkan oligarki politik dan ekonomi," tegas Artidjo.

Topik soal oligarki ini menjadi sorotan Artidjo karena sebagian besar kasus korupsi adalah korupsi politik. Maksudnya, terkait dengan orang-orang di dunia politik, punya posisi politik, dan atau berkuasa lewat mekanisme politik seperti pemilu. 

Meskipun korupsi oleh swasta juga terjadi, lanjut Artidjo, jumlahnya tak sebanyak korupsi politik. Sudah begitu, dampak korupsi oleh swasta juga tak sedahsyat korupsi politik. 

"Korupsi politik itu kan pakai tools—pakai peranti—kekuasaan, untuk melakukan itu dan menutupinya. Kalau korupsi swasta karena tergelincir, karena dimintai pejabat," ungkap dia.

Hakim, lanjut Artidjo, juga punya ruang untuk berkontribusi memutus rantai oligarki sekaligus mendewasakan demokrasi, lewat putusan-putusan yang mencerahkan.

Baca juga: Dinasti Politik dalam Kaca Mata Artidjo Alkostar...

Dalam bahasa Artidjo, putusan pengadilan harus bisa memberikan pencerahan bagi masyarakat, yang itu memberi harapan supaya masa depan tidak suram.

Tentu saja, untuk hakim dapat membuat putusan yang mencerahkan semacam itu ada sejumlah kompetensi yang harus dimiliki. Artidjo menyebut ada tiga kebutuhan kompetensi di setiap hakim. 

Pertama, kompetensi pengetahuan. Ini terkait tingkat pendidikan. 

Kedua, kompetensi keterampilan. Ini soal pengalaman, jam terbang, dan kapasitas atau kemampuan dalam menerapkan hukum.

Ketiga, kompetensi integritas moral. Tantangannya, sebut Artidjo, kompetensi yang satu ini tak ada sekolahnya untuk belajar. 

Namun, Artidjo berkeyakinan bahwa pada dasarnya setiap orang sudah punya bawaan perangkat lunak dari Tuhan soal ini, tinggal butuh diaktifkan saja.

"(Tinggal) itu dipaparkan, supaya orang bisa memiliki keterikatan, rasa tanggung jawab, dalam memutus perkara," ujar dia soal kompetensi integritas moral. 

RIWAYAT HIDUP

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Artidjo Alkostar, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung.

ARTIDJO Alkostar lahir di Situbondo, Jawa Timur, pada 22 Mei 1948. Alumnus SMA Asem Bagus Situbondo ini mendapatkan gelar sarjana hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, pada 1976.

Adapun gelar master dia dapat dari Northwetern University, Chicago, Amerika Serikat, pada 2002. Sebelum itu, pada 1989, dia juga belajar di Amerika Serikat, berupa pelatihan khusus pengacara hak asasi manusia (HAM) di Columbia University, New York. 

Gelar doktoralnya di bidang Ilmu Hukum didapat dari Universitas Diponegoro di Semarang, pada 2007. 

Selepas mendapat gelar sarjana hukum pada 1976, Artidjo mengabdikan diri di almamaternya sebagai dosen. Bersamaan, dia menjadi advokat di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.

Kiprahnya sebagai advokat di LBH Yogyakarta berlangsung hingga 2000. Dia tercatat pula pernah menapaki sejumlah jabatan di lembaga ini sejak 1981 sampai menjadi Direktur LBH Yogyakarta. 

Pada kurun 1989-1991, Artidjo juga berkiprah sebagai pengacara di Human Right Watch divisi Asia. Pada 1992, dia mendirikan Artidjo Alkostar and Associates, hingga kantor ini tutup juga pada 2000.

Selain mengajar di kampus, kiprah Artidjo di tataran praktisi hukum berhenti pada 2000, begitu dia terpilih menjadi Hakim Agung di MA pada tahun itu. Pada 2014, Artidjo mendapat mandat menjadi Ketua Kamar Pidana MA.

Artidjo purna tugas dari posisi di MA pada 22 Mei 2018. Sepanjang 18 tahun kariernya di MA, dia telah menangani 19.708 perkara pernah ditangani Artidjo selama berkhidmad di MA.

Pensiun dari MA, Artidjo sempat berujar hendak menghabiskan masa tua di kampung halaman dan memelihara kambing. Namun, Presiden Joko Widodo memberinya mandat baru, yang sekaligus menjadi karier terakhirnya.

Karier terakhir Artidjo adalah menjadi Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dia jalani sejak 2019 hingga mangkat pada 28 Februari 2021.

KASUS-KASUS MENONJOL

SEMASA masih aktif berkarier, Artidjo dikenal sebagai hakim agung yang sering memperberat hukuman untuk terpidana dibanding vonis yang dijatuhkan hakim di tingkat pertama dan atau banding. Seringnya ini untuk kasus-kasus korupsi.

Ia juga kerap menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh terpidana. Sejumlah kasus yang pernah ditangani Artidjo cukup mendapat perhatian publik, tak hanya dari vonis yang dijatuhkan tetapi juga sosok yang berperkara di dalamnya.

Berikut ini beberapa kasus yang mengalami vonis lebih berat setelah ditangani oleh Artidjo di MA:

Luthfi Hasan Ishaaq

TRIBUNNEWS/HERUDIN
Mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq, menyapa saat mencoblos dalam pemilu legislatif di ruang tunggu rutan KPK, Jakarta Selatan, 9 April 2014. Sebanyak 22 tahanan KPK menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif kali ini.

Kasus yang menjerat Luthfi sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini adalah korupsi dan tindak pidana pencucian uang

Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Luthi mendapatkan vonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, subsider satu tahun kurungan.

Pengadilan banding menjatuhi Luthfi hukuman penjara dan denda yang sama seperti pengadilan tingkat pertama. Namun, hukuman pengganti denda (subsider) turun menjadi 6 bulan penjara. 

Di  MA, vonis untuk Luthfi diperberat menjadi 18 tahun penjara dan hak politiknya dicabut.

Ahmad Fathanah

TRIBUNNEWS / HERUDIN
Terdakwa kasus dugaan korupsi impor daging sapi, Ahmad Fathanah, menunjukkan jarinya usai mencoblos dalam pemilu legislatif di ruang tunggu rutan KPK, Jakarta Selatan, 9 April 2014. Sebanyak 22 tahanan KPK menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif kali ini.

Perkara Fathanah adalah korupsi dan pencucian uang terkait impor daging sapi, yang juga menjerat Luthfi Hasan Ishaaq. 

Fathanah divonis 14 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Di tingkat banding, vonis untuk Fathanah bertambah menjadi 16 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Di MA, Artidjo dkk menolak permohonan kasasi yang diajukan baik oleh jaksa maupun Fathanah dan menguatkan putusan banding. Putusan kasasi menambahkan barang yang disita.  

Labora Sitorus

KOMPAS.com/INDRA AKUNTONO
Aiptu Labora Sitorus, Anggota Polres Raja Ampat, Papua, yang diduga memiliki rekening gendut sebesar Rp 1, 5 triliun.

Labora Sitorus adalah polisi berpangkat ajun inspektur polisi satu (aiptu) di Papua Barat yang terjerat kasus rekening gendut Rp 1,5 triliun

Labora dijatuhi vonis dua tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Sorong.

Di Pengadilan Tinggi Papua, vonis untuk Labora diperberat menjadi 8 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 6 bulan kurungan.

Setelah naik ke tingkat MA, hukuman untuk Labora lebih diperberat menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun kurungan.

Djoko Susilo

KOMPAS.com/ICHA RASTIKA
Terdakwa kasus dugaan korupsi dan pencucian uang proyek simulator sim, Irjen Djoko Susilo, saat tiba di Gedung Pengadilan Tipikor, Selasa (3/9/2013). Hari ini, Djoko akan menghadapi sidang vonis.

Kasus ini cukup mendapat sorotan karena melibatkan perwira tinggi Polri dalam kasus proyek pengadaan simulator ujian SIM.

Saat terjerat perkara ini, Djoko adalah Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri berpangkat inspektur jenderal alias bertanda pangkat bintang dua.

Djoko dijatuhi vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta.

Di Pengadilan Tinggi DKI, vonis diperberat menjadi 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar serta uang pengganti Rp 32 miliar.

Di tingkat MA, vonis penjara untuk Djoko tidak berubah tetapi uang pengganti yang harus dia bayarkan naik menjadi Rp 1 miliar.

Rahudman Harahap

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Wali Kota Medan Rahudman Harahap mengikuti sidang sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan, Jumat (3/5/2013). Rahudman didakwa mengkorupsi dana Tunjangan Penghasilan Aparatur Desa Rp 1,5 miliar tahun 2004-2005 di Kabupaten Tapanuli Selatan saat dia menjabat sebagai Sekretaris Daerah.

Rahudman adalah Wali kota Medan, Sumatera Utara, yang terjerat kasus korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2004-2005.

Perkara ini terjadi saat Rahudman menduduki jabatan Sekretaris Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan. Posisi tersebut dia jabat sejak 2001.

Rahudman menjadi Wali kota Medan mulai 26 Juli 2010 dan dinonaktifkan oleh Menteri Dalam Negeri pada 14 Mei 2013 karena perkara ini yang merugikan keuangan negara Rp 1,5 miliar. 

Rahudman divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Atas putusan itu, jaksa mengajukan kasasi ke MA.

Amar kasasi menjatuhkan vonis lima tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan uang pengganti Rp 480.495.500 untuk Rahudman.

Meski perkara kasasinya tak ditangani Artidjo, Rahudman juga berperkara hukum sebagai Wali Kota Medan, yaitu terkait alih fungsi lahan PT Kereta Api Indonesia (KAI). 

Dalam kasus ini, Rahudman juga bebas di pengadilan tingkat pertama. Jaksa lagi-lagi mengajukan kasasi. Di tingkat kasasi, Rahudman dijatuhi hukuman penjara 10 tahun. 

Angelina Sondakh

KOMPAS/ALIF ICHWAN
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat nonaktif Angelina Sondakh usai di periksa penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (14/1/2013). Angelina di periksa berkaitan dengan kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Angie diperiksa sebagai saksi untuk dua tersangka yaitu mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga Deddy Kusdinar.

Artis yang lalu jadi anggota parlemen ini terjerat kasus korupsi wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan, dan korupsi di Kemendikbud.

Angelina divonis 4 tahun dan 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Vonis banding tak mengubah putusan pengadilan tingkat pertama.

Di tingkat MA, vonis untuk Angie—nama panggilannya—diperberat menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

Ananta Lianggara alias Alung

Perkara Alung adalah narkoba. Dia diperkarakan sebagai kurir peredaran psikotropika.

Alung dijatuhi vonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Kasasi menjatuhinya hukuman 20 tahun penjara. 

Baca juga: Majelis Kasasi: Alung adalah Jaringan Narkoba Internasional

Freddy Budiman

KOMPAS.com/ANDRI DONNAL PUTERA
Terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman (38) tengah difoto oleh warga saat menghadiri rilis pengungkapan kasusnya. Dia masih mengendalikan peredaran narkoba dari dalam lapas. Rilis kasus Freddy diadakan di salah satu gudang miliknya di Mutiara Taman Palem, Jakarta Barat, Selasa (14/4/2015).

Ini juga kasus narkoba, yaitu kepemilikan 1,4 juta pil ekstasi. 

Freddy dijatuhi vonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Freddy mengajukan kasasi. MA menolak permohonan kasasinya dan tetap menjatuhkan vonis hukuman mati.

Irman dan Sugiharto

Mereka berdua adalah pejabat di Kementerian Dalam Negeri, saat terjerat kasus pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP)

Irman adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, sedangkan Sugiharo mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil.

Keduanya divonis masing-masing 7 tahun dan 5 tahun penjara oleh hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Di tingkat kasasi MA, vonis keduanya diperberat menjadi 15 tahun penjara dan dikenai denda Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan.

Irman juga harus membayar uang pengganti 500.000 dollar Amerika Serikat dan Rp 1 miliar. Jumlah itu dikurangi uang yang telah diserahkan Irman kepada KPK sebesar 300.000 dollar AS. Apabila uang pengganti tidak dibayar, dia dikenai hukuman penjara 5 tahun.

Adapun Sugiharto harus membayar uang pengganti 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta. Jumlah itu dikurangi uang yang telah diserahkan Sugiharto ke KPK. Apabila tidak dibayar, diganti dengan hukuman penjara dua tahun.

Namun, belakangan, hukuman untuk Irman dan Sugiharto mendapat keringanan lewat putusan Peninjauan Kembali.

Irman mendapat korting tiga tahun penjara menjadi 12 tahun, sementara Sugiharto dikurangi hukumannya menjadi 10 tahun penjara.

Baca juga: MA Potong Hukuman Dua Eks Pejabat Kemendagri Terpidana Kasus e-KTP

Budi Mulya

TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa Bank Indonesia Budi Mulya (tengah) berdiskusi dengan kuasa hukumnya saat menjalani persidangan dengan agenda pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (16/7/2014). Budi divonis penjara 10 tahun dengan denda Rp 500 juta subsider kurungan 5 bulan karena terbukti terlibat kasus korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada Bank Century dan penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Budi adalah mantan deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa. 

Ia dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dalam perkara bailout Bank Century yang menyebabkan kerugian keuangan negara sejak penyetoran Penyertaan Modal Sementara (PMS) sejak 24 November 2008 hingga Desember 2013 sebesar senilai Rp 8,012 triliun.

PT Bank Century Tbk ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik yang diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 21 November 2008.

Saat itu, Budi Mulya selaku Deputi Gubernur BI merupakan salah satu yang menyetujui kebijakan bailout dalam Rapat Dewan Gubernur BI.

Budi pada awalnya dijatuhi vonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 16 Juli 2014.

Di tingkat banding, hukumannya diperberat oleh Pengadilan Tinggi DKI menjadi 12 tahun penjara. Di tingkat kasasi di MA, hukuman untuk Budi kembali diperberat menjadi 15 tahun penjara.

Baca juga: Kasus Century, Keluarga Serahkan Permohonan "Justice Collaborator" Budi Mulya ke KPK

Udar Pristono

KOMPAS.com/ALSADAD RUDI
Mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono saat tiba di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (23/9/2015). Ia datang ke persidangan untuk menghadiri sidang pembacaan putusan dalam perkara pidana dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang dalam proyek pengadaan bus transjakarta tahun 2012-2013.

Udar adalah Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta saat pengadaan bus Transjakarta pada 2012-2013. Perkara dia pun terkait pengadaan ini.

Baca juga: Pengadaan Bus Transjakarta, Udar Pristono Dijerat Tiga Dakwaan

Pada sidang tingkat pertama pada September 2015, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta kepada Udar.

Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI menambah masa hukuman Udar menjadi sembilan tahun penjara.

Di tingkat kasasi, hakim MA memutuskan memperberat hukuman Udar menjadi 13 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. 

Selain itu, Udar diharuskan membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp 6,7 miliar subsider empat tahun penjara.

Hakim Agung juga memutuskan sejumlah aset Udar berupa rumah, apartemen, dan kondominium disita untuk negara.

Anas Urbaningrum

ANTARA FOTO/RENO ESNIR
Terpidana kasus korupsi Pembangunan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang Anas Urbaningrum (kiri) mengikuti sidang lanjutan pengajuan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (29/6). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan ahli dari ahli hukum administrasi negara FHUI, Dian Puji Simatupang. ANTARA FOTO/ Reno Esnir/pras/18.

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini terjerat kasus korupsi proyek Hambalang. Anas dijatuhi hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider kurungan tiga bulan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Februari 2014.

Anas juga diminta mengembalikan uang negara sebesar Rp 57,5 miliar dan 5,7 juta dollar AS. Jika ia tak mampu membayar kerugian tersebut sejak sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, jaksa akan menyita harta Anas.

Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukuman Anas menjadi tujuh tahun penjara. Namun, hukuman Anas di tingkat kasasi malah dobel jadi 14 tahun penjara plus denda Rp 5 miliar subsider penjara 1 tahun 4 bulan. 

Selain itu, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum ini diwajibkan membayar uang pengganti Rp 57 miliar. Jika tak dibayar dalam waktu sebulan, seluruh kekayaannya bakal dilelang.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya setelah pensiunnya Artidjo pada 2018, Anas mengajukan Peninjaun Kembali.

Permohonan tersebut dikabukan pada 30 September 2020. Majelis hakim memotong hukuman Anas kembali menjadi delapan tahun, sebagaimana putusan pengadilan tingkat pertama.

Untuk denda, Majelis Hakim PK mewajibkan Anas membayar Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan. Majelis hakim PK juga menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti Rp 57,592 miliar dan pencabutan hak politik selama lima tahun setelah menjalani hukuman.

 Baca juga: KPK Eksekusi Putusan MA yang Pangkas Hukuman Anas Urbaningrum

Ratu Atut Chosiyah

KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN
Mantan Gubernur Banten, Atut Chosiyah saat menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (15/3/2017).

Ada sejumlah perkara yang menjerat dan atau terkait mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. 

Baca juga: Kasus "Pangeran Banten" Tubagus Wawan, Kuasa Oligarki untuk Korupsi

Salah satunya, kasus suap ke Ketua MK Akil Mochtar. Perkara ini di tingkat kasasi masuk pula ke ruang sidang Artidjo. 

Pada awalnya, Atut divonis penjara empat tahun dan denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor pada 2013 dalam perkara ini.

Atut dinyatakan terbukti bersalah memberikan uang Rp 1 miliar kepada Akil pada 2013 terkait sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak, Banten.

Atut sempat mengajukan banding. Namun, ditolak oleh Pengadilan Tinggi DKI. Di tingkat kasasi, MA memperberat vonis Atut menjadi tujuh tahun penjara.

Baca juga: Kasus Suap Akil Mochtar, Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah Ajukan PK

 

ARTIDJO DAN KONTROVERSI

KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Artidjo Alkostar, di ruang kerjanya, Kamis (18/9/2014).

SOSOK Artidjo tidak lepas dari kontroversi. Berikut ini sebagian kontroversi yang pernah meliputi sosok Artidjo:

Kasus Soeharto

Pada awal kariernya sebagai hakim agung, tepatnya 2001, Artidjo menjadi salah satu hakim yang menangani perkara korupsi yayasan dengan terdakwa Presiden kedua RI Soeharto.

Dua hakim lain ingin perkara itu dihentikan. Namun, Artidjo mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Akhirnya disepakati bahwa Soeharto tetap berstatus terdakwa namun dibebaskan dari status tahanan kota dan biaya perawatanya dibebankan ke negara. Bila Soeharto sembuh, barulah dia dapat dibawa ke pengadilan.

Baca juga: Kejatuhan (daripada) Soeharto

Kasus Munir

Pada Oktober 2006, Artidjo kembali berbeda pendapat dengan hakim agung lain di MA.

Kali ini, kasus yang ditangani adalah pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto. Di tingkat kasasi, MA menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Pollycarpus.

Dalam putusan ini, Artidjo berpendapat seharusnya Pollycarpus bisa dikenakan hukuman penjara seumur hidup dan tak hanya dikenai delik surat palsu.

Sebaliknya, amar kasasi menyatakan bahwa Pollycarpus tidak terbukti terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Munir. Pertimbangannya, tak ada saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri bahwa Pollycarpus melakukan pembunuhan atas Munir.

Adapun Artidjo sependapat dengan jaksa dalam penuntutan dan pertimbangan putusan tingkat pertama di PN Jakarta Pusat. Jaksa menuntut Pollycarpus dengan metode aposteriori, yaitu dari suatu akibat dicari petunjuknya, untuk menemukan sebabnya. 

"Meski tidak ada saksi yang melihat langsung, tetapi petunjuknya jelas. Saya setuju dengan legal reasoning PN Jakarta Pusat yang menentukan adanya hubungan kausal antara kematian Munir sebagai akibat dengan perbuatan terdakwa," tutur Artidjo.

Pada 2005, PN Jakarta Pusat menjatuhi vonis 14 tahun penjara untuk Pollycarpus yang dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta di putusan banding.  

Tak puas dengan putusan kasasi yang diputuskan pada 2006, Pollycarpus mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjuan kembali (PK) pada 2007. Yang didapat, MA menambah hukuman Pollycarpus menjadi 20 tahun penjara pada 25 Januari 2008.

Lalu, meski upaya hukumnya disebut kontroversial karena tak ada preseden, Pollycarpus mengajukan PK Kedua pada 2011.

Pada 2 Oktober 2013, MA mengabulkan PK kedua yang diajukan Pollycarpus dan mengadili kembali perkara tersebut.

Putusannya, membatalkan putusan PK Pertama dan menguatkan putusan tingkat pertama di PN Jakarta Pusat, termasuk hukuman 14 tahun penjara dan delik yang dinyatakan terbukti dilakukan Pollycarpus. 

Baca juga: Pollycarpus Meninggal, Pengungkapan Auktor Intelektualis Kasus Munir Tak Boleh Berhenti

Soal kepemimpinan

Model kepemimpinan Artidjo setiap menjadi ketua majelis sidang pernah menuai kritik dari Desnayeti, salah satu hakim agung juga di MA.

Apabila seluruh hakim agung yang menangani perkara sepakat dalam menyikapi sebuah perkara kasasi, putusan harus langsung diputuskan. 

Sebaliknya, ketika ada perbedaan pendapat atas sebuah perkara, Artidjo mempersilakan para hakim agung yang berbeda pendapat itu menyerahkan dissenting opinion yang akan masuk dalam amar.

Menurut Desnayeti, kebijakan itu tidak tepat. Semestinya, kata dia, ketika ada perbedaan pendapat harus dikemukakan dulu di rapat majelis dan diputuskan bersama lagi. 

Pernah menolak jadi hakim agung

Artidjo sempat bersikeras tidak ingin menjadi hakim agung. Alasan dia, pengadilan di Indonesia sudah berat dan sangat sulit diperbaiki. Belakangan, sikap itu berubah, dan dia menjadi hakim agung sejak 2000.

Mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, menyebut, perubahan arah itu bukan berarti Artidjo adalah sosok permisif atau ikut-ikutan korup, melainkan karena ada rasa ketidakrelaan apabila MA diserang.

Rencana selepas pensiun

Selepas pensiun sebagai hakim agung pada 2018, Artidjo berikrar ingin pulang kampung dan kembali menjadi pengajar.

Namun, pada 2019 ia menerima permintaan Presiden Joko Widodo untuk menjadi Dewan Pengawas KPK.

Dewan Pengawas KPK adalah unsur baru dalam tubuh KPK yang sempat ditentang pegiat antikorupsi.

Baca juga: Setujui Dewan Pengawas, Jokowi Dinilai Bisa "Kontrol" KPK

Eksaminasi perkara

Pada 2015, sempat ada wacana eksaminasi terhadap 17 putusan Artidjo. Dia dinilai melakukan kekeliruan dalam memutus sejumlah perkara kasasi. 

Langkah tersebut didukung antara lain oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva.

Baca juga: Hamdan Zoelva Dukung Eksaminasi 17 Putusan Hakim Agung Artidjo Alkostar

Artidjo dianggap menggunakan kewenangan MA dalam kasasi untuk menghukum terdakwa dengan menambah jumlah hukuman, bukannya memberikan keadilan bagi orang yang melakukan upaya hukum.

Meski demikian, Hamdan menjelaskan bahwa eksaminasi dilakukan bukan untuk membatalkan putusan yang telah dibuat, melainkan demi mendapatkan hasil kajian akademik yang akan menjadi pertimbangan berbagai pihak.

Tujuannya, didapat hasil kajian yang bisa menjadi menjadi pembelajaran baik bagi hakim maupun  dunia peradilan di Indonesia.

"Jadi, setelah penilaian dilakukan oleh para ahli hukum, baru bisa dilihat putusannya salah atau tidak," ujar Hamdan seusai menjadi narasumber diskusi yang digelar Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (12/6/2015).

Salah satu putusan Artidjo yang dinilai layak dieksaminasi pada saat itu adalah perkara kasasi Anas Urbaningrum.

UNGKAPAN DUKA
UNTUK ARTIDJO

KOMPAS.com/ARDITO RAMADHAN D
Anggota Dewan Pengawas KPK Artidjo Alkostar di Gedung ACLC KPK, Selasa (25/2/2020).

SEMASA hidup, Artidjo bisa jadi tak selalu menjadi sosok yang menyenangkan bagi setiap orang, setidaknya bagi yang pernah berhadapan dengannya di meja hijau.

Meski demikian, nuansa kehilangan atas sosoknya merebak dari beragam arah, begitu kabar duka meninggalnya Artidjo tersebar di media sosial dan media massa. 

Tak hanya kolega dan aparat hukum, orang yang pernah dia perberat vonisnya seperti Anas Urbaningrum pun ikut berduka.

Bahkan, bersama ungkapan duka lewat bertanda *admin di Twitter itu, akun @anasurbaningrum bertutur banyak soal Artijo dan kilas balik kasus Anas lewat serangkaian cuitan.

Dari kabinet, ungkapan duka antara lain diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Mahfud MD. Ungkapan duka juga segera muncul di Twitter dari Ketua KPK Firli Bahuri sekaligus mewakili institusinya. Firli menyebut Artidjo sebagai orangtua dan panutan.

Masih dari lingkup KPK, ungkapan duka diunggah pula di Twitter oleh Novel Baswedan, salah satu penyidik di situ. Novel menambahkan bahwa kejujuran, keberanian, dan kesederhanaan Artidjo adalah teladan.

Aktor dan sutradara Ernest Prakasa menyebut kepergian Artidjo sebagai kehilangan besar. Lewat akun @ernestprakasa di Twitter, dia berharap nyali dan integritas Artidjo akan terus menjadi teladan. 

Kata kehilangan juga dipakai oleh Benny K Harman, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, atas kabar meninggalnya Artidjo. 

"Kita kehilangan tokoh yang tidak pernah berhenti berpikir dan berbuat untuk bangsanya, untuk rakyat, yang diperlakukan tidak adil oleh penguasa. Dia ibarat lilin yang menerangi orang-orang yang hidup dalam gelap, hati,pun pikiran," tulis Benny.

Ndherekaken kondur, pak Artidjo.... Allahummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa'fu'anhu... aamiin...