JEO - Insight

“Citayam Fashion Week”, Generasi Z, dan Limbah “Fashion” yang Tak Disadari

Selasa, 19 Juli 2022 | 06:31 WIB

SEKUMPULAN muda-mudi belia di landmark Kota Jakarta menuai sorotan di media sosial. Selain karena datang dari sejumlah wilayah penyangga Ibu Kota seperti Citayam, Bojonggede, Depok, dan Bekasi, mereka juga tampak begitu percaya diri dan atraktif mengenakan aneka busana kekinian.

Remaja wanita misalnya. Ada yang memadukan celana kulot putih dengan crop top hitam sehingga memperkuat citra feminin. Ada pula yang mengenakan kaos ketat putih dan rok flanel, dengan sneakers kumal dan topi baseball. Ia sukses memadukan unsur girly dan casual.

Kaum pria tak kalah bersolek. Ada yang tampak sederhana memadukan kaos monokrom bersablon cover album grup musik dengan celana denim. Ada pula yang memadukan busana serupa dengan jaket terlilit di pinggang.  Bahkan, ada yang tampil beda mengenakan busana bergaya Harajuku, lengkap dengan kacamata hitamnya.

Baca juga: Ini Sosok Pencetus Ide "Fashion Show" ala "Citayam Fashion Week" di Dukuh Atas

Berbanding terbalik dengan busana yang beragam, aktivitas mereka cenderung seragam. Tak hanya bersenda gurau sembari mengunyah jajanan pedagang kaki lima, mereka juga mengisi waktu dengan membuat konten di media sosial, baik sekadar mengambil gambar statis maupun bergerak. Tentu, gaya berbusana merekalah yang dikedepankan.

Maka, tercetuslah julukan “Citayam Fashion Week” dari warganet untuk fenomena aktivitas Generasi Z itu.

Citayam Fashion Week. Lima remaja di Sudirman, Jakarta Pusat, Senin (11/6/2022).
KOMPAS.com/CYNTHIA LOVA
Citayam Fashion Week. Lima remaja di Sudirman, Jakarta Pusat, Senin (11/6/2022).

 Limbah fashion 

Ya, relasi Generasi Z dengan fashion memang cukup erat dan kompleks. Tak hanya sekadar untuk kebutuhan primer, fashion bagi generasi yang lahir pada rentang tahun 1995-2010 itu sekaligus menjadi sarana identitas, ekspresi serta aktualisasi diri.

Maka, tak heran bila banyak di antara mereka yang membeli pakaian bukan didasarkan pada kebutuhan esensial, melainkan dilandasi emosional atau kebutuhan acara semata.

Tanpa disadari, fenomena ini pun menimbulkan persoalan lingkungan hidup cukup serius. Di tengah kegemerlapan konsumsi fashion yang dilakukan Generasi Z, mereka dihadapkan pada masalah limbah fashion alias fashion waste yang mengancam bumi.

Temuan Changing Markets Foundation yang dirilis 2021 lalu menunjukkan, industri tekstil bertanggung jawab atas lebih dari 20 persen polusi air di dunia. Laporan dari International Union for Conservation of Nature tahun 2017 menunjukkan, bahan tekstil menjadi sumber polusi mikroplastik laut terbesar di dunia.

Informasi yang tak kalah mengkhawatirkan lagi, lebih dari 50 persen pakaian hasil produksi fashion massal dilaporkan dibuang dalam waktu satu tahun pembuatan.

Baca juga: Kurangi Limbah Tekstil, Bappenas Ajak Industri Terapkan Konsep Fashion Sirkular 

Di sisi lain, data Bappenas menunjukkan, industri fashion Indonesia memproduksi 2,3 juta ton limbah tekstil pada tahun 2021. Dari angka itu, hanya 0,3 juta ton yang bisa didaur ulang.

Sisa bahan tekstil yang sulit diurai itu mengendap di lemari, atau terdampar di tempat pembuangan sampah, danau, sungai, dan laut. Tak jarang, tersangkut di tubuh makhluk hidup yang tinggal di sana.

Tentu, tidak seluruh limbah tekstil itu merupakan ulah dari Generasi Z. Tetapi, apabila bisa mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan dalam hal fashion, Generasi Z sebagai konsumen fashion terbesar di dunia akan menjadi salah satu pionir gerakan untuk meminimalisasi kerusakan bumi. 

Foto dirilis Minggu (16/2/2020), memperlihatkan manekin diletakkan dekat tumpukan limbah tekstil di Jakarta. Laporan dari Ellen McArthur Foundation mengatakan, industri tekstil saat ini masih menggunakan cara usang yaitu model ekonomi linier (buat-gunakan-buang) yang menghasilkan timbunan limbah dan polusi dari bisnis busana sedunia.
ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Foto dirilis Minggu (16/2/2020), memperlihatkan manekin diletakkan dekat tumpukan limbah tekstil di Jakarta. Laporan dari Ellen McArthur Foundation mengatakan, industri tekstil saat ini masih menggunakan cara usang yaitu model ekonomi linier (buat-gunakan-buang) yang menghasilkan timbunan limbah dan polusi dari bisnis busana sedunia.

 Gap perilaku 

Sebenarnya, Generasi Z bukanlah generasi yang tak memahami isu lingkungan hidup. Justru, salah satu karakteristik yang membedakan antara Generasi Z dengan generasi pendahulu adalah perhatiannya terhadap isu tersebut.

Sebagai bukti, riset dengan topik “Gen Z's Lifestyle and Consumption Habits 2021" yang digelar Universitas Multimedia Nusantara Consulting (UMN Consulting) menunjukkan, 24,53 persen responden Generasi Z di Indonesia menempatkan isu pemanasan global sebagai hal yang paling mereka khawatirkan.

Dalam riset terbaru yang mengangkat topik "Adoption of Eco-conscious Lifestyles by Gen Z 2021", sebanyak 78 persen responden juga mengklaim tahu isu-isu lingkungan hidup. Riset ini sendiri melibatkan 1.047 responden Generasi Z.  

Para responden yang menjawab hal itu beralasan, mereka terlahir dalam kondisi lingkungan hidup yang memburuk. Masa depan mereka ditentukan stabilitas lingkungan yang hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda positif.

Peneliti UMN Consulting Putu Yani Pratiwi mengungkapkan, Generasi Z terlahir dalam kungkungan nilai self-value benevolence dan universalism. Sederhananya, mereka hidup di zaman sulit sehingga tingkat kepekaan terhadap lingkungan atau orang-orang di sekeliling mereka menjadi lebih tinggi.

“Gen Z memahami isu-isu lingkungan dan kepedulian terhadap orang lain. Sifat altruistic mereka tinggi. Mereka juga banyak menonton film-film bertema lingkungan,” ujar Putu kepada tim JEO Kompas.com, Jumat (8/7/2022).

Pengetahuan Gen Z tentang Lingkungan

Meski demikian, tingginya perhatian Generasi Z terhadap isu lingkungan rupanya tidak berbanding linear dengan tindakan. Mereka berhenti pada tahap aware saja, tetapi belum sampai ke tahap action alias tindakan.

Hal itu tercermin pula di penelitian UMN Consulting. Ketika ditanya apakah tahu soal klasifikasi sampah dan sudah mempraktikkannya, hanya 20,06 persen responden yang mengaku telah memilah sampah rumah tangga. Gambaran serupa ditemui ketika mereka ditanya apakah tahu soal bank sampah dan menggunakan fasilitasnya, hanya 20,73 persen yang sudah mengerjakannya.

“Persoalan Generasi Z untuk zero waste ini memang di attitude dan behavior gap. Attitude-nya baik dan ramah lingkungan. Namun ketika menjadi action, ada gap,” papar Putu.

Baca juga: Menilik Gaya Gen Z Berbelanja

Alasannya, praktik cinta lingkungan menuai daya dan upaya yang dinilai tidak sedikit. Dalam hal 3R (reuse, reduce, recycle) contohnya. Generasi Z hanya menerapkan tindakan yang mudah bagi mereka. Tak heran bila tingkat penerapan reuse dan reduce lebih tinggi dibandingkan recycle.

“Karena ada effort lebih yang harus mereka lakukan (dalam melakukan recycle). Misalkan beli composter sendiri, lalu belajar cara compose-nya seperti apa. Jadi ada pengetahuan tambahan yang harus mereka cari dulu untuk bisa melakukan recycle,” papar Putu.

“Nah, sementara reduce dan reuse hanya tinggal mengurangi. Misalnya tidak memakai sedotan plastik, membawa botol minum sendiri. Inilah kenapa reduce dan reuse lebih mudah mereka kerjakan dibandingkan recycle,” lanjut dia.

Sikap no action talk only dijumpai pula dalam pola konsumsi pakaian. Generasi Z tampak kurang memperdulikan faktor ramah lingkungan dalam membeli produk fashion. Sebanyak 98,85 persen responden lebih mempertimbangkan faktor desain dan 97,52 persen pada faktor harga. Sementara, faktor ramah lingkungan ada di urutan keempat dengan angka 38,87 persen.

Gambaran ini, menurut Putu, menjadi pekerjaan rumah bukan hanya bagi Generasi Z sendiri, melainkan juga sejumlah pihak, mulai dari pemerintah, pegiat lingkungan hidup, hingga brand. Edukasi cinta akan lingkungan harus lebih digiatkan kembali agar Generasi Z tidak hanya aware, tetapi juga action.

Gen Z dan Konsumsi Fashion

 Fast fashion biang kerok 

Project Manager Gen Z Setali Indonesia, Caine Aurilla mengatakan, dalam riset kolaborasinya dengan UMN Consulting, ditemukan ada yang salah dalam pengelolaan industri pakaian sekaligus pola konsumsinya. Fast fashion menjadi biang kerok utama atas persoalan ini.

Fast fashion adalah pakaian yang diproduksi dalam jumlah besar, memiliki harga murah, namun rendah secara kualitas dan belum tentu mudah didaur ulang.

Zara merupakan salah satu brand yang masuk ke dalam kategori ini. Dalam setahun, mereka disebut menghasilkan 840 juta produk fashion untuk 6.000 gerainya di seluruh dunia. Celakanya, tipe fashion inilah yang banyak dikonsumsi Generasi Z.

“Cara kita mengkonsumsi pakaian selama ini salah. Kalau limbah pakaian ini membeludak, terus dampaknya apa? Tanpa kita sadari, pakaian-pakaian itu mengandung plastik dan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai,” ujar Caine. 

Setali Indonesia sendiri telah memerangi limbah tekstil sejak 2018. Sebagai organisasi profit-social oriented, mereka menerima donasi  pakaian untuk dikelola. Ada yang dijual kembali dalam bentuk utuh (secondhand), ada pula yang diolah kembali menjadi bentuk baru atau upcycling dan recycling.

Salah satu bentuk upcycling adalah kerja sama Setali Indonesia dengan brand ternama seperti Exsport dan Modena. Limbah sampah yang dihasilkan brand-brand itu dikumpulkan lalu ‘disulap’ menjadi sejumlah produk yang memiliki nilai ekonomi.

Kerja sama lainnya adalah dengan Modena, salah satu merk yang niche. Dalam kerja sama itu Setali menerima lebih dari 1 ton pakaian bekas dalam tiga bulan melalui lima titik dropbox di Jakarta. Pakaian itu kemudian di-upcycling menjadi tas ransel, tas kecil, atau tempat pensil yang dibagikan kepada masyarakat secara gratis.

Baca juga: Solusi untuk Atasi Limbah Pakaian, Ini Bedanya Upcycle dan Recycle

Caine menambahkan, demi meminimalisasi limbah fashion, Generasi Z dapat mengaplikasikan slow fashion dalam kehidupan sehari-hari. Slow fashion, yaitu memakai produksi tekstil yang bersifat timeless secara desain, berkualitas premium, serta ramah lingkungan.

Hanya saja, tantangan dari strategi ini bagi Generasi Z adalah soal kualitas premium yang artinya berdampak pada tingginya harga. Di sisi lain, tidak banyak Generasi Z yang memahami tipe fashion ini. Bahkan, penelitian UMN Consulting mengungkap, sebanyak 86,34 persen responden Generasi Z tidak mengetahui brand fashion mana yang ramah lingkungan.

“Tantangan dari sustainable brand adalah kita perlu mengedukasi masyarakat untuk mengerti nilai-nilai yang ada di dalamnya. Salah satu purchase decission dari masyarakat adalah harga pakaian, itu betul. Nah bagaimana caranya orang-orang merasa itu menjadi sepadan,” ujar Caine. 

Sejumlah warga di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, berjubel memilih pakaian import Cakar alias cap karung di pasar Padduppa yang terkenal sebagai surga belanja pakaian murah, Minggu, (13/10/2013).
KOMPAS.com/ ABDUL HAQ
Sejumlah warga di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, berjubel memilih pakaian import Cakar alias cap karung di pasar Padduppa yang terkenal sebagai surga belanja pakaian murah, Minggu, (13/10/2013).

 Tantangan bagi brand 

Peneliti UMN Consulting Putu Yani Pratiwi menambahkan, tantangan ini harus dijawab oleh brand fashion yang mengedepankan sustainability. Mereka harus bisa menunjukkan nilai dan mutu dari produk yang dihasilkan. Apabila tidak demikian, akan selalu tertinggal dan tidak menjadi pilihan Generasi Z.

“Salah satu masalah dari sustainable brand itu produksinya tidak semasif fast fashion brand. Mereka mungkin ingin memanfaatkan semua bagian dari kain, sebisa mungkin cuma sedikit yang jadi limbah. Jadi desainnya beda-beda, prosesnya tidak bisa massal. Mereka tidak bisa secepat fashion mainstream seperti Zara, Uniqlo, H&M,” papar Putu. 

Untuk memulainya, Putu merekomendasikan model bisnis pakaian sewa. Hal itu diyakini bisa mengurangi ketergantungan membeli pakaian secara terus menerus dan menambah limbah tekstil.

Peluang bisnis ini didukung oleh hasil penelitian UMN Consulting yang menunjukkan, terdapat tiga alasan utama Generasi Z membeli pakaian, yakni 69,25 persen untuk keperluan acara tertentu, 52,72 persen karena pakaian lama rusak, dan 51,58 persen karena diskon. Di sisi lain, 81,95 persen tidak tahu bahwa telah tersedia aplikasi layanan sewa pakaian.

Brand fashion bisa mencoba model bisnis seperti menyewakan pakaian untuk acara tertentu atau menyediakan jasa upcycling. Jadi enggak cuma bentuk sales saja. Sekarang rental pakaian juga banyak digunakan karena rata-rata orang hanya butuh pakaian untuk keperluan tertentu,” ujar Putu.

Baca juga: Benarkah Tren Thrift Shop dan Vintage Fashion Lebih Ramah Lingkungan? 

Ia menambahkan, thrift shop juga bisa menjadi alternatif di mana Generasi Z bisa membeli pakaian yang tak lagi digunakan namun masih dalam kondisi layak pakai. Mayoritas dari mereka banyak yang telah mengetahuinya.

Hal yang menjadi persoalan, banyak yang ragu untuk membeli baju bekas sehingga edukasi tetap perlu digencarkan.

Alasan Gen Z Membeli Pakaian Baru

Populasi Generasi Z saat ini merupakan yang terbanyak di dunia. Jumlah mereka mencapai 2,5 miliar pada tahun 2020. Hal serupa juga terjadi di Indonesia.

Status sebagai ‘penguasa dunia’ otomatis membuat Generasi Z harus diperhitungkan untuk kelanjutan kehidupan manusia di bumi. 

Oleh sebab itu, kesadaran berperilaku ramah lingkungan harus tetap terus dipupuk di tengah-tengah mereka hingga pengetahuan mampu bertransformasi menjadi sebuah tindakan nyata.