JEO - Cerita Data

Citra Polri Setelah Rekayasa Sambo Terbongkar...

Jumat, 12 Agustus 2022 | 10:29 WIB

KEPERCAYAAN publik terhadap institusi Polri, akhir-akhir ini, diprediksi semakin terjerembap. Penyebabnya tidak lain karena mencuatnya perkara pembunuhan Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, awal Juli 2022.

Sejak kasus itu muncul ke permukaan, intuisi publik sebenarnya sudah mengarah ke dugaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Nyatanya, asumsi itu benar. Sekitar satu bulan proses penyidikan berjalan, ditemukan fakta bahwa kematian Brigadir J bukanlah akibat baku tembak sebagaimana yang dirilis ke publik pertama kali.

Brigadir J tewas akibat siksaan serta terjangan peluru yang dilesakkan oleh rekannya sesama polisi, yakni Bharada Richard Eliezer Pudihang alias Bharada E, Brigadir Kepala Ricky Rizal alias Bripka RR, dan seorang sipil bernama Kuat Ma’ruf alias KM.

Ironisnya, serangkaian  peristiwa keji itu diotaki  oleh jenderal bintang dua, atasan korban sendiri, yakni Inspektur Jenderal Ferdy Sambo.

Baca juga: Motif Sambo Bunuh Brigadir J, Marah dan Emosi Martabat Keluarganya Dilukai

Proses penyidikan juga mengungkap bahwa Ferdy Sambo diduga kuat ingin menyembunyikan rapat-rapat kejahatan yang dilakukan. Ia “merusak” tempat kejadian perkara. Sejumlah barang bukti lenyap. Disusun skenario bahwa Brigadir J tewas dalam sebuah baku tembak, bukan eksekusi sebagaimana yang terjadi.

Temuan mengejutkan selanjutnya, rupanya terdapat puluhan personel Polri  yang bergotong royong membantu Sambo menjalankan skenario jahatnya. Serangkaian fakta itu membuat kepercayaan publik terhadap institusi berbaju cokelat, benar-benar luntur.

 

 Tren penurunan 

Dalam empat tahun terakhir, kepercayaan publik terhadap korps Bhayangkara memang tengah dilanda tren penurunan. Demikian diungkapkan peneliti Litbang Kompas Rangga Eka Sakti.

Pada Maret 2019, sebanyak 68,6 persen responden menilai, citra Polri baik. Sebagian besar sisanya menjawab, citra Polri buruk. Pada Oktober 2019, jumlah responden yang menilai citra Polri baik turun menjadi 66,8 persen. Artinya, persentase responden yang menilai citra poliri buruk, meningkat.

“Tahun 2019, titik terendah kepercayaan publik terhadap Polri terjadi di Oktober 2019,” ujar Rangga kepada JEO Kompas.com, Senin (8/8/2022).

Rekam jejak citra Polri

Melintasi tahun 2020, Litbang Kompas tidak menggelar jajak pendapat atas alasan pandemi Covid-19. Perekaman citra lembaga Polri digelar kembali pada April 2021. Pada momen itu, kepercayaan publik terhadap Polri meningkat menjadi 78,7 persen.

Sekadar pengingat, pelaksanaan jajak pendapat digelar sekitar tiga bulan setelah Presiden Joko Widodo melantik Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi Kepala Polri menggantikan Jenderal Idham Azis.

Kemudian, pada Oktober 2021, angkanya kembali turun menjadi 77,5 persen.

Memasuki tahun 2022, citra Polri tidak kunjung membaik. Sebaliknya, justru semakin anjlok. Dalam jajak pendapat yang digelar Januari 2022, jumlah responden yang menilai citra Polri baik yakni berada di sekitar angka 74,8 persen. Sebagian besar sisanya berpendapat citra Polri memburuk.

Baca juga: Pakar Unair: Tagar Percuma Lapor Polisi Bisa Picu Main Hakim Sendiri

Dalam jajak pendapat terakhir, yakni pada Juni 2022 (sebelum mencuatnya kasus pembunuhan Brigadir J), citra positif Polri terjerembap di angka 65,7 persen.

“Memang mayoritas responden masih menilai Polri secara institusi bercitra baik. Tapi sejak 2019 hingga 2022, saat ini adalah tingkat kepercayaan publik paling rendah,” papar Rangga.

Semakin turunnya citra Polri di mata publik ini, lanjut Rangga, sejalan dengan temuan lain dalam jajak pendapat terakhir itu. Dalam aspek penuntasan kasus hukum, jumlah responden yang puas dengan kerja Polri 60 persen, turun 12 persen dibandingkan jajak pendapat sebelumnya.

“Jadi penurunan citra ini sejalan dengan pengalaman masyarakat yang merasakan kinerja Polri,” timpal Rangga.

Menariknya, dalam jajak pendapat terakhir, publik sekaligus menyampaikan keyakinannya dalam hal perbaikan kinerja Polri di masa depan.

Ketika diajukan pertanyaan, yakin/tidakkah anda jika Polri mampu menunjukkan kinerja yang semakin baik di masa mendatang, sebanyak 80,2 persen responden mengungkapkan keyakinannya. Hanya 16,5 persen responden yang meragukannya.

 

 Usai mencuatnya kasus Sambo 

Di tengah tingginya ketidakpercayaan publik terhadap Polri sebagaimana diuraikan di atas, tiba-tiba mencuatlah kasus pembunuhan Brigadir J yang diotaki Irjen Ferdy Sambo. Peristiwa pembunuhan itu sendiri terjadi 8 Juli 2022, tetapi kepolisian baru membukanya tiga hari kemudian. 

Memang belum ada jajak pendapat yang memotret kepercayaan publik terhadap Polri usai perkara itu mengemuka. Namun, Drone Emprit berhasil menggambarkan reaksi negatif publik terhadap Polri melalui tangkapan percakapan di media sosial. 

Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi memaparkan, pihaknya mengklasifikasi arah percakapan di media sosial dalam kasus pembunuhan Brigadir J ke dalam dua termin. Pertama, sebelum penyidik menetapkan Sambo sebagai tersangka, yakni 11 Juli hingga 9 Agustus. Kedua, setelah momen itu. 

Pada periode sebelum Sambo menjadi tersangka, jumlah unggahan bernada negatif di media sosial sangat tinggi, yakni 122.444 unggahan. 

"Sebelum penetapan FS sebagai tersangka, ruang percakapan warganet maupun media massa cenderung diisi keraguan atas berbagai dan kemungkinan adanya skenario palsu pada kasus ini," ujar Ismail, Kamis (11/8/2022). 

Baca juga: Bripda Djani Dikambinghitamkan...

Pernyataan-pernyataan kuasa hukum keluarga Brigadir J juga turut mengobarkan spekulasi yang beredar di publik. 

Keraguan publik antara lain berupa kecurigaan bahwa personel Polri yang terlibat dalam penyidikan awal, menyembunyikan sesuatu. Selain itu, banyak yang mempercayai bahwa personel Polri yang terlibat pembunuhan dan berkerjasama menutup-nutupi kasus ini berjumlah banyak. Keraguan juga menyasar soal penyidik yang dinilai tidak akan bisa menyelesaikan kasus ini secara tuntas. 

Potret Media Sosial Terkait Kasus Brigadir J

Namun, keadaan berubah drastis setelah Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menetapkan Ferdy Sambo beserta tiga anak buahnya sebagai tersangka. Sentimen negatif terhadap Polri di media sosial menurun berganti sentimen positif. 

"Seiring dengan ekspose penetapan tersangka FS, kepercayaan publik juga ikut meningkat. Kini, warganet menuntut adanya keterbukaan soal motif pembunuhan Brigadir J," lanjur Ismail. 

Tren sentimen positif terhadap Polri diprediksi akan semakin meningkat apabila pejabat berwenang membeberkan motif pembunuhan Brigadir J secara terang benderang. 

 

 Mutlak butuh perbaikan 

Peneliti Populi Center Nurul Fatin Afifah mengungkapkan, setelah mengungkap rekayasa kasus pembunuhan Brigadir J, institusi Polri wajib berbenah diri. Kepercayaan publik harus diraih kembali agar segala kebijakan yang ditelurkan nantinya berjalan lancar.

“Kepercayaan publik adalah variabel penting dalam mewujudkan good governance dan menjadi modal sosial sebuah institusi dalam menjalankan tugas serta fungsinya,” ujar Nurul saat berbincang dengan JEO Kompas.com, Senin (8/8/2022).

Baca juga: Jokowi Minta Kematian Brigadir J Diusut Tuntas, Jangan Turunkan Kepercayaan Publik Terhadap Polri

Akar persoalan ketidakpercayaan publik terhadap Polri, menurut Nurul, tidak sebatas pada kasus pembunuhan Brigadir J saja, melainkan yang utama yakni kinerja dan relasi personel kepolisian dengan masyarakat.

Polri dinilai perlu meningkatkan kinerja melalui terobosan-terobosan dalam pelayanan publik. Inovasi dan perbaikan integritas diyakini Nurul akan menjawab ekspektasi masyarakat.

Hal senada juga diungkapkan pengamat kepolisian Bambang Rukminto. Menurut dia, penuntasan kasus pembunuhan Brigadir J tidak serta merta mengembalikan kepercayaan publik yang sebagaimana diuraikan sebelumnya sedang mengalami tren penurunan.

“Bila kasus itu dituntaskan dengan menyeret pelaku utama dan otak pembunuhan ke pengadilan, bisa jadi itu hanya akan menjadi obat pereda nyeri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat kepada Polri,” ujar Bambang.

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyampaikan keterangan pers terkait penyidikan kasus penembakan Brigadir J di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/8/2022). Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyatakan melalui Tim Inspektorat Khusus (Irsus) telah melakukan pemeriksaan terhadap 25 personel polri terkait dugaan pelanggaran kode etik dalam perkara penembakan Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam nonaktif Irjen Pol Ferdy Sambo. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.
ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyampaikan keterangan pers terkait penyidikan kasus penembakan Brigadir J di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/8/2022). Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyatakan melalui Tim Inspektorat Khusus (Irsus) telah melakukan pemeriksaan terhadap 25 personel polri terkait dugaan pelanggaran kode etik dalam perkara penembakan Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam nonaktif Irjen Pol Ferdy Sambo. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

Masyarakat melihat problem di tubuh Polri bukan semata pada tingkah laku oknum, melainkan sistem yang belum bisa berdampak positif bagi kinerja, integritas, independensi, serta kultur personel.

Berkaca pada kasus pembunuhan Brigadir J, terbukti sistem yang ada di tubuh Polri tidak mampu mengantisipasi munculnya kelompok oknum yang merekayasa kasus. Bambang mengungkapkan, uraian yang disampaikan Kapolri menunjukkan bahwa kelompok ini mengakar secara sistemik, terstruktur dan masif.

Kapolri sampai harus menurunkan personel Brimob dalam setiap proses penyidikan kasus ini. Meski nyatanya kelompok oknum ini kalah, tetapi hal itu menunjukkan ada persoalan serius di tubuh Polri yang mesti dibenahi.

Baca juga: Mahfud MD Sebut Negara Hancur Jika Kasus Pembunuhan Brigadir J Tak Dibuka

Oleh sebab itu, Bambang menilai, Kapolri harus konsisten memanfaatkan momen kasus ini untuk bersih-bersih di dalam institusi sekaligus mewujudkan sistem yang lebih baik. 

“Kapolri harus konsisten menggunakan kasus ini sebagai momentum untuk membersihkan kelompok-kelompok yang sudah jelas-jelas mengusik rasa keadilan masyarakat dengan menyampaikan kejanggalan-kejanggalan yang dianggap sebagai upaya untuk menutupi kejahatan yang dilakukan personel kepolisian,” ujar Bambang.

“Tanpa ada konsistensi untuk membuktikan komitemen untuk membenahi internal secara transparan dan akuntabel, sepertinya masih berat bagi Polri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat,” lanjut dia.  

Bahkan, bisa jadi akan muncul trauma publik bila kelompok jahat di tubuh institusi ini tidak dibersihkan secara tuntas.