JEO - Insight



Demo,Perppu,
atau Judicial Review untuk Sikapi
UU Cipta Kerja?

Rabu, 14 Oktober 2020 | 12:08 WIB

UU Cipta Kerja menuai demonstrasi besar-besaran sejak Senin (5/10/2020). Kritik, kecaman, dan penolakan terus datang dari beragam lini dan kalangan.

Selain demonstrasi, ada setidaknya dua pililhan lain, yaitu mendesak presiden menerbitkan Perppu atau pengajuan judicial review di MK.

Ini ulasan ringkas tentang pilihan-pilihan tersebut. Kami sajikan juga wawancara khusus dengan pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie dalam format tanya jawab, seputar polemik UU Cipta Kerja. 

Poin penting, Jimly menyebut ada peluang penggunaan uji formil untuk merespons UU Cipta Kerja. 

Simak selengkapnya di sini.

OMNIBUS law UU Cipta Kerja terus menuai polemik. Sejak wacana, pembahasan, hingga ketok palu persetujuan bersama pemerintah dan DPR, kritik terus datang.

Demonstrasi berskala besar dan meluas pun terus terjadi sejak Senin (5/10/2020), bertepatan dengan rapat paripurna DPR yang mengagendakan pengambilan keputusan atas RUU Cipta Kerja. 

Namun, sebagian kalangan berpendapat, tetap perlu upaya konstitusional juga untuk merespons UU Cipta Kerja. Bagaimanapun, ini adalah produk hukum.

Pilihannya, mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atau menempuh jalur judicial review ke Mahkamah Konstitusi. 

Baca juga: Lacak Jejak Draf RUU Cipta Kerja

Masing-masing kalangan punya argumentasi untuk saran yang dimunculkan. Ada juga yang menggunakan gabungan pilihan cara untuk merespons UU Cipta Kerja.

Zainal Arifin Mochtar dari UGM, misalnya, berpendapat perppu sebaiknya jadi pilihan saat ini. 

"Jangan salah, perppu tidak selalu berarti membatalkan (UU). Perppu bisa menunda pelaksananaan UU, misal dua tahun, untuk perbaikan substantif atau memikirkan ulang," kata Zainal saat dihubungi Kompas.com melalui telepon, Selasa (13/10/2020). 

Menurut Zainal, judicial review di MK sebaiknya menjadi pilihan terakhir. 

Yang terpenting, kata Zainal, situasi saat ini harus direspons segera oleh pemerintah dan DPR dengan transparansi dan akuntabilitas. Ada terlalu banyak persoalan dengan UU Cipta Kerja, dari prosedur sampai substansi.

"Tak cukup situasi ini dihadapi dengan mistifikasi, menyatakan diri sudah bekerja dengan baik dan (UU ini) bertujuan baik lalu kill the messenger dengan menyebut ini hoaks itu hoaks," tegas Zainal.

Terlebih untuk pemerintah, ungkap Zainal, harus ada penjelasan detail. Jawab polemik saat ini dengan cara partisipasi—pelibatan publik—, transparansi, dan akuntabilitas. 

Baca juga: UU Cipta Kerja: Kertas Kosong yang Disahkan Rapat Paripurna

Namun, ada juga pendapat yang menyatakan piilhan yang lebih baik tetaplah menggunakan jalur konstitusional melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kalau proses pembentukan UU dianggap melanggar UUD dan UU yang dibentuk untuk menjabarkan itu melangggar prinsip konstitusi, MK berwenang juga menyatakan proses pembentukan bertentangan dengan konstitusi sehingga UU tidak berlaku untuk seluruhnya," ungkap Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara yang juga adalah pionir dan Ketua pertama MK, Selasa (13/10/2020).

Jimly menerangkan, judicial review ada dua jenis, yaitu uji materi dan uji formil. Selama ini, kata dia, yang lebih sering bahkan hampir selalu diajukan adalah uji materi.

Baca juga: Naskah UU Cipta Kerja dan Bab Ketenagakerjaan Versi 812 Halaman

Adapun uji formil, lanjut Jimly, pernah juga dimintakan ke MK dan MA—untuk peraturan perundangan di bawah UU—tetapi belum ada satu pun yang dikabulkan.

Dalam kasus UU Cipta Kerja, Jimly melihat ada peluang untuk pengajuan baik uji formil maupun uji materi. Bahkan, dia melihat ada kesempatan bagi MK untuk pertama kali bisa membuat preseden putusan uji formil melalui judicial review UU Cipta Kerja.

Buruh yang selama sepekan terakhir menggelar demonstrasi pun mulai mempertimbangkan langkah judicial review. Presiden Joko Widodo telah pula mempersilakan siapa pun yang menolak UU Cipta Kerja menempuh judicial review.

Baca juga: Jokowi Persilakan Penolak UU Cipta Kerja Gugat ke MK

Hingga Senin (12/10/2020), sudah ada dua uji materi diajukan atas UU Cipta Kerja. Kedua pengujian mempersoalkan klausul di UU Cipta Kerja yang mengatur perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Untuk lebih gamblang mengupas judicial review, tidak hanya tentang uji materi tetapi juga uji formil, pada bagian berikut kami sajikan hasil wawancara khusus dengan Jimly Asshiddiqie dalam format tanya jawab. 

 WAWANCARA KHUSUS 

JIMLY ASSHIDDIQIE

Jimly Asshiddiqie. Gambar diambil pada 9 Juli 2015 - (DOK KOMPAS/ANTONY LEE)

KALAU PROSES YANG DIPERSOALKAN:
AJUKAN UJI FORMIL

DALAM perbincangan melalui telepon selama kurang lebih satu jam, Selasa (13/10/2020), Jimly Asshiddiqie mengupas soal judicial review, termasuk salah paham publik tentang sejumlah hal dalam mekanisme pengujian konstitusionalitas UU. 

Topik lain terkait polemik UU Cipta Kerja mau tidak mau turut terbahas, karena berkaitan dengan mekanisme pengujian UU lewat Mahkamah Konstitusi (MK). Keprihatinan soal penanganan demonstrasi pun tak luput dari perhatian Jimly. 

Berikut ini adalah kutipan perbincangan tersebut yang kami sajikan dalam format tanya jawab. 

Perppu atau judicial review yang lebih tepat untuk merespons UU Cipta Kerja yang dinilai bermasalah?

Kalau perppu (jadi saran respons), itu seperti ngenyek (meledek) Presiden. Perppu itu dari presiden. Ini kan pemerintah yang terobsesi membuat UU, sampai dipidatokan (presiden) pada 20 Oktober 2019 dan 14 Agustus 2020, terus diminta dibuatkan perppu?

Atau, (kalau perppu jadi pilihan solusi) seolah dimaksudkan bilang ini bukan presiden yang salah tapi inisiatif menteri (yang membuat  proses dan isi UU Cipta Kerja bermasalah).

(Yang mana pun) itu tidak masuk akal. Setelah semua itu (obsesi dan pidato), masa di ujung hari presiden sendiri yang lalu terbitkan perppu? Apalagi alasan yang diungkap selama ini adalah ini ada kebutuhan untuk bikin (UU Cipta Kerja).

Bukankah pernah ada perppu yang membatalkan klausul yang bahkan belum dipakai?

Pernah, tentang UU Pilkada. (Waktu itu ada klausul) mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD, terus ribut. Dicabut (pakai perppu). Tapi iya, (UU itu) inisiatornya adalah pemerintah dan DPR. Kalau yang ini (UU Cipta Kerja) akan jadi lucu kalau pakai perppu.

Terlebih lagi, ada mekanisme hukum di MK. MK itu didirikan untuk itu, mengawal konstitusional UU. Karenanya, (sebaiknya yang ditempuh adalah pilihan) lewat MK. 

Ada yang tidak yakin MK bisa membatalkan UU Cipta Kerja. Apakah memang benar begitu?

Pengujian (judicial review) ada dua, yaitu uji materi dan uji formil. Selama ini baru satu yang dipraktikkan, yang satu pernah (dipraktikkan) tetapi belum pernah dikabulkan.

Yang biasa dipraktikkan itu uji materi, hanya materi tertentu di dalam UU yang akan dinyatakan tidak mengikat lagi secara hukum ketika permohonan dikabulkan. Case by case. Bahkan, ayat ini dari pasal ini yang UU-nya pun mungkin sudah produk 20 tahun lalu.

Pengujian (judicial review) ada dua, yaitu uji materi dan uji formil.

Kalau uji formil, tidak hanya soal materi tertentu di dalam UU yang bisa dinyatakan tidak mengikat, ketika permohonan dikabulkan. Uji formil itu menyangkut format, bentuk, dan proses pembentukan UU.

Kalau proses pembentukan UU dianggap melanggar UUD dan UU yang dibentuk untuk menjabarkan prinsip keadilan, MK berwenang menyatakan proses pembentukan bertentangan dengan konstitusi sehingga UU tidak berlaku untuk sepenuhnya.

Jangan belum-belum tidak percaya ke MK. Meski tiga hakim dipilih oleh presiden, prosedur konstitusional di MK sudah dibangun sejak 2003. Ini sudah 17 tahun tapi banyak yang belum mengerti juga. 

Putusan MK dianggap tak akan segera mendapat tindak lanjut kalaupun permohonan dikabulkan. Alasannya, ada pasal di UU MK yang dihapus sehingga mengurangi kewenangan MK. Apakah benar begitu?

Ini juga salah paham.

Pasal (59 ayat (2)) di UU MK yang dicabut itu menyatakan, "Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi...."

Begini, putusan MK dalam hal pengujian UU—bukan pengujian hasil pemilu ya—, objek perkara itu norma, bukan orang, lembaga, atau kasus.

Putusan MK ketika mengabulkan judicial review itu mengubah norma.

Ini beda dengan putusan pengadilan di cakupan MA (di luar judicial review untuk peraturan di bawah UU), pengadilan agama, atau TUN.

Putusan pengadilan dalam kasus konkret, itu butuh eksekusi. Kalau putusan MK tidak ada eksekusi tetapi (yang ada adalah) implementasi. Karena, putusan MK ketika mengabulkan judicial review itu mengubah norma.

Begitu diketok palu di sidang terakhir, langsung norma itu berubah, tidak berlaku lagi (yang sebelumnya). (Putusan MK) tidak memerlukan eksekusi. Tidak perlu tindak lanjut DPR dan pemerintah.

(Karena, norma yang diajukan dan dikabulkan judicial review-nya) berubah secara otomatis, implementasi langsung, (putusan MK) sama dengan UU. Barang siapa tidak melaksanakan putusan MK sama dengan melanggar UU.

Jadi, putusan MK tidak perlu eksekusi tetapi implementasi. 

Pasal MK yang (mengatur bahwa putusan MK) butuh tindak lanjut malah bisa timbulkan salah paham seolah baru berlaku kalau ada tindak lanjut. Pencoretan (pasal itu) sudah benar. Jangan salah dipahami.

Keharusan implementasi ini dinyatakan eksplisit di putusan MK atau tidak perlu?

Selama ini disebut dalam amar putusan. Tapi kalaupun tidak disebut, otomatis kembali ke UU yang sebelumnya ada.

Contoh, UU Ketenagalistrikan. Itu dinyatakan tidak berlaku. Untuk mengisi kekosongan hukum, dinyatakan bahwa UU lama yang dicabut oleh UU yang dibatalkan MK berlaku lagi sampai ada UU baru yang menggantikannya. 

Dinyatakan eksplisit biar tidak salah paham. 

Kembali ke soal uji materi dan uji formil, apa yang bisa diuji dan bagaimana pengujiannya?

Misal ada 100 pasal dalam suatu UU dianggap bertentangan dengan konstitusi, lalu judicial review dikabulkan, yang 100 pasal itu saja tidak berlaku. Ini kalau yang dilakukan adalah uji materi.

Kalau yang diajukan uji formil, itu misal untuk pengujian yang dapat membuktikan bahwa saat UU disahkan belum ada naskah UU atau naskah tersebut masih diedit, UU tersebut bisa dinyatakan tidak berlaku. 

Pengesahan UU menurut UUD itu ada dua tahap, ada pengesahan materil dan pengesahan formil.

Pengesahan UU menurut UUD itu ada dua tahap, ada pengesahan materil dan pengesahan formil. Yang pengesahan formil itu yang dilakukan presiden. Ini sesuai Pasal 20 ayat (5) UUD 1945.

Pengesahan formil oleh presiden itu pun tidak mutlak. Kalau 30 hari sejak persetujuan bersama pemerintah dan DPR ternyata presiden tidak tanda tangan, otomatis secara materil UU itu sudah final atau selesai. 

Pengesahan formil hanya administratif, formalitas. Tidak boleh lagi mengubah materi.

Jangan dikira sesudah disahkan secara materi masih boleh ada tambahan kata-kata. Tidak bisa. Pengesahan materi sudah selesai begitu DPR dan pemerintah bersama-sama menyetujui rancangan undang-undang untuk disahkan menjadi UU. Di rapat paripurna itu pengesahan materil, materi sudah final, tidak boleh berubah lagi.

Jadi, memang seharusnya tak boleh ada perubahan sama sekali dari naskah RUU setelah keputusan bersama di sidang paripurna DPR, meski belum diproses untuk tanda tangan presiden dan atau diundangkan ke lembaran negara?

Tidak bisa. Pengesahan materiil sudah selesai, persetujuan bersama itu tanda sah sebagai RUU, pengesahan materiil, materi sudah final, tidak boleh berubah lagi.

Pengesahan formil oleh presiden itu hanya administratif yang lalu diundangkan. Termasuk kalau presiden tidak tanda tangan dan otomatis diundangkan  oleh menteri yang menangani perundang-undangan.

Jadi, kapan sebuah RUU masih boleh diubah?

Waktu ubah adalah sebelum pengesahan materiil. (Sesudah pengesahan materiil), boleh berubah kalau terkait clerical error, soal titik dan koma, tapi bukan substansi. Substansi sudah final. 

Perubahan karena clerical error pun harus ada pengaturannya. Itu bisa di peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan lain-lain. Misal kita tahu seharusnya kata yang dipakai adalah "tepat" tetapi tertulis "tetap", itu clerical error.

Yang jelas, secara substansi (RUU) harus sudah final saat pengambilan keputusan persetujuan bersama oleh pemerintah dan DPR di rapat paripurna. Sudah final.

Sah secara materiil itu sejak persetujuan bersama pemerintah dan DPR.

Maka, begitu disahkan di situ, RUU sudah sah secara materiil telah menjadi UU meski belum ada pengesahan formil. 

Bukankah UU berlaku barulah sejak diundangkan kecuali ada ketentuan lain yang diatur di ketentuan penutup UU?

Sah secara materiil itu sejak persetujuan bersama pemerintah dan DPR itu. Itu mengapa juga ada yang disebut futurologist interpretation.

Meski UU belum berlaku (karena belum diundangkan), tetapi pembuatan kontrak dan peraturan perundang-undangan (turunan) sudah harus mempertimbangkan apa yang disetujui bersama oleh pemerintah dan DPR di rapat paripurna DPR. Sah juga untuk mulai dilakukan kajian, perbandingan, komparasi, atas muatan UU itu.

Sekarang kan yang dipersoalkan dari UU Cipta Kerja adalah draf mana yang sebenarnya disahkan di rapat paripurna. Bagaimana pembuktiannya naskah sudah ada atau belum ketika diajukan uji formil?

Terserah sembilan hakim MK menghadapi perkara ini. Juga tergantung bagaimana para pemohon berargumentasi di forum persidangan.

Lalu yang terkait, DPR dan pemerintah juga harus bersiap membuat pembelaan. DPR dan pemerintah bukanlah pihak (tidak punya legal standing dalam perkara yang diuji) melainkan narasumber.

Dalam hal pembuatan UU (kontemporer), pemerintah dan DPR bisa menjadi pihak karena mereka yang membuat. Bisa jadi pihak yang boleh membela karena mereka yang bikin. Kalau UU bikinan Belanda (yang diuji), ini engga perlu dibela (pemerintah dan DPR) karena bukan mereka juga yang bikin sehingga bisa bela.

Untuk pemohon, ini problem sendiri untuk bisa membuktikan naskah mana yang sebenarnya disahkan di rapat paripurna

Untuk UU yang dibikin bersama oleh DPR dan pemerintah, diperlukan keterangan mereka yang serasional-rasionalnya untuk proses jawab-jinawab di persidangan. Harus transparan, ada pro dan kontra. Serasional mungkin sehingga bisa beri keyakinan kepada sembilan hakim MK. 

Untuk pemohon, ini problem sendiri untuk bisa membuktikan naskah mana yang sebenarnya disahkan di rapat paripurna. Kalau yang diajukan itu dianggap palsu (oleh pemerintah dan DPR) dan dianggap hoaks itu masalah. Harus hati-hati. Harus ajukan dokumen yang benar, yang tepat. 

Kalau soal jumlah halaman, itu memang bisa tergantung (jenis dan ukuran) font, (ukuran) kertas. Kalau sampai hari ini belum ada (saat wawancara berlangsung), berarti memang belum ada naskah itu (saat rapat paripurna). (Tapi, pemohon) harus pandai-pandai untuk memastikan dan mengajukan naskah ini.

Bagaimana cara memastikan naskah RUU yang tepat, karena itu ada di wilayah pemerintah dan DPR?

Harus pandai-pandai. Misal, minta resmi ke pemerintah dan DPR. Itu info publik, menurut UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Ada prosedurnya.

Kalau sudah diminta dengan benar sesuai UU KIP, hak publik untuk tahu. Bahkan, pejabat yang tak memberikan informasi itu dalam waktu tertentu sesuai prosedur ada ancaman penjara satu tahun.

Yang memutuskan (soal informasi publik ini adalah) Komisi Informasi, dengan mekanisme banding di pengadilan negeri. Ini soal serius. 

(Bicara RUU), itu semua dokumen termasuk risalah, catatan rapat, hingga rancangan akhir, itu dokumen publik. Harus transparan.

Menyusun 812 halaman (RUU Cipta Kerja) bukan pekerjaan mudah, bisa dimaklumi. Namun, hal-hal teknis tidak menghilangkan prinsip bahwa itu milik publik. 

Itu karenanya tidak boleh pembahasan RUU dilakukan di sidang tertutup, kecuali untuk hal-hal tertentu yang disepakati tertutup, seperti soal anggaran pertahanan. Untuk semua yang harus digelar terbuka, orang berhak tahu, termasuk draf RUU. Wakil rakyat harus buka ke publik.

Wakil Ketua DPR dalam konferensi pers pada Selasa (13/10/2020) menyatakan bahwa naskah RUU Cipta Kerja yang jadi dokumen publik barulah yang dikirim ke presiden. Betulkah?

Tidak begitu. Kecuali untuk informasi yang dikecualikan yang diatur dalam UU KIP. 

Jadi ada kewajiban DPR dan pemerintah memberikan draf yang disahkan di rapat paripurna?

Iya. Itu juga yang nanti harus dibela DPR dan pemerintah, yang dikasih itu.

Kalau tidak dikasih? Atau yang dikasih bukan yang sebenarnya ada saat rapat paripurna? Ini sudah bisa jadi dalil untuk pengajuan uji formil?

Pengacara (dari pemohon) harus kreatif. Dikaitkan. Misal, kalau sudah diminta resmi tapi enggak dikasih juga, bisa berarti naskahnya memang belum ada (ketika rapat paripurna).

Kalau belum ada (naskah), yang disahkan itu tidak sah. Itu bisa menambah kekuatan dalil pemohon.

Saat ini belum ada uji formil yang dikabulkan di MK dan di MA, ada banyak kemungkinan sebab

Tapi ini semua secara teori ya. Tidak boleh kita mempengaruhi proses pengujian konstitusionalitas UU di MK.

Yang jelas, kita 17 tahun punya MK, dari 2003. Ada juga pengujian di MA untuk peraturan perundang-undangan di bawah UU.

Bahwa hingga saat ini belum ada uji formil yang dikabulkan di MK dan di MA, ada banyak kemungkinan sebab. Salah satunya, belum banyak perhatian pengujian ke proses pembentukan UU (dan atau peraturan perundang-undangan).

Bahkan, nama perkara pengujian peraturan perundang-undangan di MA adalah "uji materiil", jadi nomenklatur untuk nama perkara di MA meski yang dimintakan adalah uji formil, "perkara hak uji materiil" seolah tak ada uji formil.

Ini memang minim sekali pengajuan uji formil, kalaupun ada. Belum ada yang dikabulkan juga mungkin karena argumentasi belum terlalu akurat.

Best practices uji formil ini seperti apa?

Dalam kenyataan praktik di dunia, pengujian formil di MK jauh lebih penting di praktik negara hukum dibanding uji materil.

Proses pembentukan UU itu langsung bersifat mengawal demokrasi. MK bisa kontrol dengan judicial review formil. Kalau uji materi itu kebanyakan ya case by case.

Uji formil itu terkait langsung terkait dengan demokrasi. Judicial review formil harus ditonjolkan untuk mengawal demokrasi. 

UU Cipta Kerja berpeluang membuat sejarah uji formil?

Saya melihat, ini peluang MK membuat preseden untuk pengadilan mengawal prinsip-prinsip berintegritas di legislasi. 

Due process law, itu tidak hanya soal law enforcing, tetapi juga soal pembentukan hukum atau law making.

Dalam teori due process law, itu tidak hanya soal penegakan hukum atau law enforcing, tetapi juga soal pembentukan hukum atau law making.

Uji formil semestinya bisa dilakukan di MK untuk UU Minerba, UU KPK, dan sekarang UU Cipta Kerja. 

Kalau soal demonstrasi, penanganan oleh aparat, dan respons pemerintah , Bapak melihatnya bagaimana?

Demonstrasi itu bagus, tapi jangan kelamaan. Tidak perlu terus-menerus demo. Sekarang juga ada risiko besar. 

Tindakan hukum itu haruslah ultimum remedium, tindakan terakhir.

Selain Covid-19, ada risiko besar juga dari faktor emosi. Ada dua untuk soal emosi ini. Emosi karena demonstran emosi, juga ada free rider yang memanas-manasi. Siapa yang bisa tahu?

Imbauan saya kepada pejabat, pemerintah, penegak hukum, jangan sekadar tegakkan aturan. Tapi, tegakkan keadilan, dengan kearifan, ayomi rakyat.

Kalau (rakyat) ditangkapi, dipukuli, orang tidak akan percaya lagi.

Harus arif. Tindakan hukum itu haruslah ultimum remedium, tindakan terakhir. Penjara juga sudah penuh, overcapacity, jangan terlalu royal dengan pendekatan hukum.

(Kalau sedikit-sedikit ditangkapi), kebebasan dan aspirasi rakyat tidak mendapat saluran. Kalau sampai tak mendapat saluran, mereka bisa bikin kanalisasi sendiri yang tak akan bisa dikendalikan.

 Bacaan atau referensi lebih lanjut: 

 

 PROFIL RINGKAS