Konser batal, pendapatan dari digital belum menggantikan yang hilang. Kru produksi kehilangan penghasilan. Solusi untuk industri musik masih jauh dari benderang. Efek domino menerjang industri musik global, tak terkecuali di Indonesia.
BAGI pekerja musik, pandemi Covid-19 berarti konser batal, panggung offair susut bahkan hilang, dan jalur digital belum dapat menambal pemasukan yang hilang. Ada efek domino pandemi ke industri musik.
Sudah lewat setahun pandemi Covid-19 melanda di Indonesia, terhitung sejak kasus pertama positif Covid-19 diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020, dan belum menunjukkan gelagat usai.
Protokol kesehatan yang meminta masyarakat untuk tak berkerumun membuat banyak konser ditunda bahkan batal. Kalaupun tetap ingin digelar, konser harus mencari alternatif cara dan format.
Baca juga: Industri Musik Mengulik Titik Balik
Itu juga tak sederhana. Hingga hari ini, industri musik masih berjibaku mencari celah untuk memastikan nada-nada tetap berdenting.
"Pendapatan terbesar musisi itu dari konser offline," ungkap pengamat musik sekaligus Program Director M Bloc Space, Wendi Putranto, dalam pembicaraan telepon dengan Kompas.com, Senin (1/3/2021).
Dia menyebut pendapatan musisi dari manggung bisa mencapai 50 persen. Selebihnya barulah dari pemutaran musik digital, endorsement produk, dan sumber lain.
“50 persen itu pendapatan utamanya, (itu) yang kena. Jadi (ekonomi para musisi dan pekerja musik) masih terpukul sih sebenarnya,” ucap Wendi.
Faktanya, sampai hari ini panggung-panggung konser belum bisa dibikin lagi. Keramaian apalagi kerumunan masih jadi persoalan di tengah pandemi yang tak kunjung reda.
"Belum tahu kapan kita bisa mulai bikin acara lagi," ujar dia.
Konser virtual yang sempat menjadi solusi sementara di tengah pandemi kini pun susut intensitasnya. Setali tiga uang, konser drive-in juga tak menjamur.
Yang sempat berjalan pun tak semuanya semulus harapan. Ini terutama menyangkut pendapatan yang tetap tak mampu menggantikan yang hilang dari ketiadaan panggung offair.
"(Konser) virtual secara bisnis tidak menguntungkan. Konser virtual ini hanya mitigasi sifatnya, sementara,” kata Wendi.
Meski protokol kesehatan sudah dibuat dan disimulasikan, konser offair dengan penonton terbatas seperti drive-in pun susah mendapatkan izin.
“Jadi sebenarnya problem utamanya di perizinan, sekarang. Sampai hari ini, teman-teman EO dan promotor belum bisa bikin konser offline walaupun menggunakan protokol ketat dan penonton terbatas jumlahnya,” tutur Wendi.
Konser drive-in berskala lumayan besar sempat digelar di Jakarta pada Agustus 2020. Saat itu tampil Kahitna, Gigi, dan Afgan.
Baca juga: Konser Drive-in Pertama Sukses Digelar, Armand Maulana Optimistis Industri Musik Bangkit Lagi
Namun, rencana konser serupa pada Desember 2020 yang sedianya menampilkan Tulus, Noah, dan Rizky Febrian batal digelar, terganjal perizinan.
Seperti apa cerita lengkap dari efek domino pandemi Covid-19 ke industri musik Indonesia ini?
PANDEMI virus corona Covid-19 telah memukul industri musik di seluruh dunia.
Seperti dilansir NME pada Maret 2020, para musisi Inggris rugi sekitar 13,9 juta euro atau sekitar Rp 200 miliar akibat penyebaran pandemi virus dalam hitungan hari pada saat itu.
The Musicians Union melakukan survei terhadap 4.100 dari 32.000 anggota yang mereka miliki. Hasilnya, 90 persen responden mengatakan virus corona berpengaruh terhadap pendapatan mereka.
NME pada September 2020 merilis pula bahwa sepertiga musisi bisa keluar dari industri musik akibat terdampak pandemi. Sebelumnya, pada Mei 2020, angkanya masih di kisaran 19 persen.
Kurangnya dukungan pemerintah selama pandemi jadi alasan mereka yang memilih keluar dari industri musik, merujuk pula pada hasil survei Music Union.
Bagaimana dengan Indonesia?
Menurut Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi) Candra Darusman, sekitar 200 acara musik di Indonesia mulai dari konser hingga festival harus berantakan karena pandemi. Itu data baru sampai Juni 2020.
Ini yang Candra sebut sebagai efek domino, karena mau tak mau memang pasti akan terdampak. Jangankan industri musik, industri lain pun demikian.
“Tadinya federasi kami ini fokusnya ke pelatihan pelayanan BPJS kemudian pelayanan konsultasi umum. Itu rencana sebelum pandemi. Begitu pandemi, kami beralih ke bantuan yang terdampak Covid-19, seperti musisi yang kena PHK, penyanyi yang selama tiga bulan ini enggak ada job,” ungkap Candra, Rabu (24/6/2020).
Fesmi juga melakukan survei yang disebarkan secara daring melalui media sosial dan aplikasi chat kepada musisi, baik individu maupun kelompok. Terhitung hingga 24 Juni 2020, 1.366 musisi sudah mengisi survei dari sebagian besar wilayah Indonesia.
Dari hasil itu, didapat bahwa sebanyak 43 persen musisi kehilangan pekerjaan karena acara yang telah dijadwalkan batal.
Lalu, 38,4 persen menunggu konfirmasi dan melihat situasi ke depan, 14,7 persen menunda aktivitas, dan 3,4 persen mengaku tidak mendapat kabar atau kejelasan acara.
Dari survei yang sama, didapati pula bahwa frekuensi acara yang dibatalkan atau ditunda oleh klien atau penyelenggara acara terhitung cukup banyak.
Data yang terkumpul mendapati, minimal 16 acara batal atau tertunda mencapai 22,2 persen, kisaran 4-6 kegiatan tercatat 19,6 persen,
Yakni sebanyak 16 kali ke atas 22,2 persen, 4-6 kali 19,6 persen, 7-10 kali 18,7 persen, 3-4 kali 16,7 persen, 3-4 kali 16,7 persen, 10-15 kali 12,3 persen, dan 1-2 kali 10,5 persen.
Sekali lagi, itu baru data hasil survei hingga Juni 2020.
Survei yang disajikan oleh Fesmi juga beririsan dengan apa yang disampaikan oleh CEO Rajawali Indonesia Communication Anas Syahrul Alimi sebagai salah satu promotor ternama di Indonesia.
“Mau tidak mau kami harus mengikuti kejadian yang ada risikonya, sehingga semua bisnis menjadi lumpuh,” ucap Anas Syahrul Alimi kepada Kompas.com, Kamis (11/6/2020).
Pukulan pandemi Covid-19 sudah tentu membuat berbagai acara konser musik dan semacamnya berantakan.
Pada saat ditemui itu saja, Anas sudah menyebut belasan acara musik yang seharusnya ia selenggarakan telah terdampak Covid-19.
Di antara yang terdampak itu adalah konser Dream Theater, Prambanan Jazz Festival, Borobudur Symphony, Batik Musik Festival, Mocosik Festival, serta 15 event gathering yang melibatkan artis musik.
Konser band metal progresif Dream Theater asal Amerika, misalnya, semula dijadwalkan digelar pada 16 April 2020. Pandemi sudah membuat jadwal konser ini dimundurkan ke 8 November 2020. Ujung-ujungnya, konser tersebut batal juga.
Lalu, Prambanan Jazz. Semula ajang ini dijadwalkan pada 3, 4, dan 5 Juli 2020. Pandemi memastikan jadwal awal gagal.
Muncul jadwal baru untuk Prambanan Jazz, yaitu menjadi 30 Oktober 2020 sampai 1 November 2020. Itu pun digelar secara virtual saja.
Acara ini gagal mengantongi izin mendatangkan penonton sekalipun dalam jumlah terbatas untuk format hybrid antara offline dan online.
Promotor lain juga mengalami hal serupa dengan Anas. Sebut saja festival musik cadas Hammersonic.
Konser yang seharusnya digelar pada 27-28 Maret 2020, diundur menjadi tanggal 15 hingga 17 Januari 2021. Batal juga akhirnya.
Pada 28 Desember 2020, Ravel Entertainment mengumumkan jadwal baru itu pun batal. Namun, mereka mengupayakan Hammersonic hadir pada 26-27 Maret 2022. Setahun lagi dari sekarang.
Hammersonic digadang bakal meriah karena sedianya akan menampilkan band metal fenomenal asal Amerika, Slipknot.
Para penggemar Slipknot dari berbagai daerah di Indonesia pun kecewa, tetapi tak bisa berbuat banyak karena pandemi.
Harga tiket konser mungkin masih ditarik lagi. Namun, ada biaya lain yang hilang begitu saja karena batalnya panggung yang dinanti itu.
Salah satu penggemar Slipknot di Samarinda, Muhammad Zulfikli Nurdin (26), mengaku sudah keluar uang lebih dari Rp 4 juta untuk Hammersonic yang batal pada Maret 2020 itu.
"Itu buat tiket konser, tiket pesawat pulang-pergi, dan penginapan di Jakarta," kata dia saat berjumpa Kompas.com di Samarinda pada Sabtu (7/3/2020).
Zulkifli merugi di pembelian hotel karena tak bisa di-refund ataupun dijadwal ulang.
Konser lain yang batal karena terhadang pandemi adalah festival musik Head In The Cloud (HITC). Penyelenggaranya, 88 Rising, mengumumkan penundaan festival HITC yang semula dijadwalkan pada 7 Maret 2020 itu lewat akun media sosial.
Baca juga: Konser Head in The Cloud di Jakarta Ditunda karena Virus Corona
Sejauh ini belum ada jadwal baru untuk festival HITC. Dalam pengumuman penundaan konser hanya dinyatakan bahwa tiket yang terlanjur dibeli akan bisa langsung dipakai bila kelak ada jadwal baru konser HITC.
Masih banyak pula deretan konser besar lain di Indonesia yang terpaksa diundur karena pandemi. Sebut saja Konser Khalid "Khalid Free Spirit World Tour 2020" yang seharusnya digelar di Istora Senayan pada 28 Maret 2020.
Boyband AB6IX juga terpaksa menunda tur dunia mereka termasuk di Indonesia. Tur yang seharusnya digelar pada 11 April 2020 tersebut belum diketahui kapan akan kembali digelar.
Lalu, Duo B.O.Y asal Korea Selatan juga membatalkan rencana konser mereka yang seharusnya digelar pada 4 April 2020 di Tennis Indoor Senayan.
Selain itu masih banyak acara musik lainnya yang terpaksa batal dan diundur untuk mewanti-wanti penyebaran virus corona.
Tak hanya konser yang banyak ditunda, sejumlah musisi pun menunda merilis karya terbarunya.
Penyanyi Afgansyah Reza atau Afgan terpaksa menunda perilisan album barunya akibat pandemi virus corona. Afgan sebenarnya dijadwalkan merilis album baru pada Juni 2020.
"Jadi ada project yang sudah saya siapkan, tapi harus saya tunggu sampai akhir tahun atau tahun depan baru mungkin bisa (dirilis)," kata Afgan saat dihubungi Kompas.com, Senin (22/6/2020).
Pada akhirnya, Afghan merilis single Tunjukkan pada pengujung 2020 dan pada 5 Februari 2021 merilis pula single Say I'm Sorry.
Baca juga: Lirik Lagu Say I'm Sorry dari Afgan
Grup band Geisha juga ada di deretan pemusik yang terpaksa menunda perilisan album baru mereka karena pandemi virus corona.
Geisha mengungkapkan, seharusnya saat ini mereka sudah masuk dapur rekaman untuk mengerjakan album baru. Pandemi membuat proses perekaman tak berlangsung sesuai harapan.
"Ada album yang harus dimundurin karena enggak bisa take, enggak bisa kumpul, enggak bisa recording. Banyak banget kegiatan yang harus dijalani, tetapi akhirnya dibatalkan," kata Personel Geisha, Robby, kepada Kompas.com, Minggu (3/5/2020).
Tak hanya itu saja, dampak penyebaran virus corona juga memengaruhi jadwal manggung Geisha. Regina Poetiray dkk terakhir kali tampil pada pertengahan Maret 2020 sebelum pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Baca juga: Upaya Geisha Bertahan di Industri Musik, Jawab Kritik, hingga Punya Rencana Hebat
BANYAKNYA acara musik yang terdampak pandemi virus corona tentu saja juga memberi pukulan pada para pelaku industri musik, baik itu promotor, artis musik, hingga kru yang biasa bekerja untuk penyelenggaraan acara musik.
Dalam industri musik, ada banyak pekerjaan dengan kru freelance alias pekerja harian lepas. Mereka inilah yang paling terpukul dengan ketiadaan konser dan pertunjukan offair. Nol, pendapatan mereka.
Baca juga: Industri Musik Mengulik Titik Balik
Sebagai salah satu promotor yang tahu betul kondisi di lapangan, Anas Syahrul Alimi pun menggalang bantuan untuk para kru. Lelang gitar milik Dave Mustaine, gitaris Megadeth, jadi di antara upayanya. Anas pernah jadi promotor konser Megadeth di Indonesia.
Dari lelang tersebut Anas mengumpulkan donasi sebesar Rp 100 juta, yang kemudian kontribusinya dikerjasamakan dengan komunitas sosial Jogja Lawan Corona.
Semua hasil penjualan tiket Prambanan Jazz selama bulan Maret 2020 juga Anas sumbangkan untuk membantu para pekerja kreatif yang terdampak pandemi.
Namun, Anas sadar bantuan itu tak bisa membantu dalam waktu lama. Ia berharap industri musik bisa kembali bergeliat.
“Benar-benar, ya, kami berharap semua segera pulih, sehingga kami ada event dan mereka bisa segera dapat job kan,” ujar Anas.
Sementara menurut Candra Darusman, persentase musisi yang membutuhkan bantuan ekonomi selama pandemi cukup besar.
Berdasarkan survei Fesmi, dalam skala 1 sampai 10 untuk level makin tinggi berarti semakin terdampak pademi, didapati bahwa 26,5 persen responden berada di skala 10.
Jangankan kru freelance, penyanyi Danilla Riyadi saja merasakan betul imbas pandemi dari hilangnya jadwal manggung. Sebelum pandemi, dia bisa mengisi delapan hingga 10 acara dalam sebulan.
Tak mau industri yang mereka geluti mati suri, para pelaku industri musik berinovasi dan improvisasi atas kondisi yang ada.
Mereka tak mau berpangku tangan menghadapi pandemi. Bagaimanapun, the show must go on. Tinggal pilihan cara yang harus tak seperti biasa.
Danilla Riyadi, misalnya, tak berhenti dengan menyatakan keprihatinan atas nasib tim dan kru yang kehilangan penghasilan dari ketiadaan konser.
Beruntung, tim manajemen Danilla memiliki strategi keuangan yang sehat jauh sebelum pandemi menerjang.
Selama ini, Danilla mengaku selalu menyisihkan hasil menggung menjadi uang kas. Tak disangka, upaya itu kini sangat berguna untuk tetap dapat menggaji dan menghidupi tim produksinya.
Tak hanya itu, Danilla juga tetap menjual merchandise secara online demi membantu keuangan tim. Uang dari penjualan merchandise ini menjadi dana cadangan bila uang kas dari penyisihan hasil manggung dulu sudah menipis atau malah habis.
“Uang merchandise itu ada dan diputar supaya, amit-amit, (kalau-kalau) uang kas ini butuh tambahan. Ini hanya backup seandainya si uang kas ini, amit-amit, habis,” kata Danilla.
Strategi lain yang digunakan oleh pelantun album Telisik ini adalah menggunakan uang dari konser atau acara online yang mengundangnya.
Uang tersebut ia masukkan ke dalam uang kas demi tetap menghidupi orang-orang di dalam timnya yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri.
Sementara itu, promotor Anas Syahrul Alimi bersyukur hingga saat ini keuangan perusahaannya masih mampu untuk menggaji karyawan tanpa harus melakukan PHK.
Akan tetapi, kebijakan ini ada batasnya, tak bisa terus menerus. Waktu itu dia berhitung napas perusahaan akan bertahan hingga akhir tahun tetapi butuh asupan baru untuk kebutuhan setelah itu.
Untuk mempertahankan kesehatan keuangan perusahaan dan jumlah karyawan, Anas melakukan beberapa restrategi. Di antaranya, menunda belanja artis dan melakukan penyederhanaan dalam berbagai acara musik yang diundur.
Anas mencontohkan, panggung Prambanan Jazz yang biasanya memiliki dua panggung besar maka pada 2020 hanya menggunakan satu panggung. Ini untuk efisiensi.
Sumber-sumber pemasukan lain bagi perusahaannya selama pandemi menurut Anas datang dari jalur digital dan online.
Jauh sebelum pandemi, kata Anas, perusahaannya sudah launching program semacam konser virtual, hanya saja berbayar. Dia menyebutnya sebagai e-concert.
Ternyata, ketika terjadi pandemi, program e-concert ini sangat membantu untuk menambah pemasukan di saat konser-konser fisik tak bisa diselenggarakan.
“Itu sebelumnya pertama kali gelar e-concert, Yura Yunita, itu punya kami yang satu-satunya berbayar, Rp 15.000 per bulan. Ini strategi sangat membantu dengan kondisi ini,” ucap Anas.
Adapun Fesmi sebagai organisasi juga melakukan berbagai agenda untuk menjaga napas industri musik, yang kesemuanya digelar secara virtual.
Namun, ini dirasa tak akan cukup tanpa dorongan nyata pula dari pemerintah seperti insentif yang didapatkan industri lain.
"Kalau bantuan itu ada kami bisa buat dua paket. Satu paket bantuan tunai langsung atau bantuan berupa modul,” ucap Candra Darusman.
Menurut Candra, Fesmi telah berupaya pula membekali pekerja industri musik dengan modul-modul untuk memulai usaha selama pandemi.
"Dalam dua hari sudah bisa mendapatkan modul itu untuk membuka usaha berdagang lewat internet,” sebut Candra memberikan contoh.
Hingga saat ini, wacana ini sudah terlaksana dengan persentase sebesar 75 persen. Selebihnya, Candra mengaku tinggal menunggu kucuran dana turun dari pemerintah.
Dengan begitu, Candra mengatakan, para musisi bisa mencari penghasilan dari bidang lain untuk sementara sembari menunggu geliat industri musik sudah benar-benar membaik.
Agar tetap bisa produktif selama pandemi, tetapi kondisi ekonomi juga stabil, banyak musisi yang mencari penghasilan tambahan dari usaha lain. Ini dilakukan karena pendapatan dari acara musik sedang tak bisa diharapkan.
Survei yang dilakukan Fesmi kepada 1.366 musisi sebagai responden menemukan fakta-fakta unik sekaligus miris.
Salah satu pertanyaan yang ada di dalam survei Fesmi adalah, “Apa yang dilakukan untuk menjaga produktivitas dan menyambung ekonomi oleh para musisi pengisi survei?”
Apa yang dikatakan oleh Candra Darusman juga diiyakan Anas Syahrul Alimi. Anas ingin pemerintah juga turun tangan memperhatikan industri musik dalam menghadapi pandemi.
Salah satu langkah paling ideal menurut Anas, pemerintah juga harus memberi insentif kepada para pelaku industri kreatif, mulai dari musik, film, dan lainnya.
Anas berpendapat, industri musik juga perlu dapat perhatian, tak hanya industri manufaktur dan semacamnya.
Misalnya, kata Anas, bisa memberlakukan subsidi tiket bagi anak-anak sekolah, pekerja medis, dan sebagainya. Kedua, menghilangkan pajak porporasi. Ketiga, pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN).
“Makanya saya bilang pemerintah harus kasih insentif kan. Ini kan bagian dari pariwisata kan, bisa lewat Ekraf (Kementerian Pariswisata dan Ekonomi Kreatif). Pemerintah harus cawe-cawe,” ujar Anas.
Anas mengangkat contoh dari penundaan konser Dream Theater. Kendala saat ini, kata dia, bukan lagi artis mau datang atau tidak tetapi kebutuhan jumlah penonton untuk mentutup biaya produksi.
Dalam kontrak dengan Dream Theater, Anas dan perusahaannya tidak boleh menjual lebih dari 10.000 tiket. Hitungan 10.000 tiket itu diharapkan bisa menutup biaya produksi dan margin keuntungan.
Belakangan, protokol kesehatan hanya mengizinkan penggunakan maksimal separuh kapasitas. Dari kasus ini, berarti hanya ada ruang untuk 5.000 penonton.
“Kalau segitu, 5.000 orang, kami rugi banyak banget, miliaran. Kalau kami mau teruskan kan rugi,” tambah Anas.
Oleh sebab itu, Anas berpendapat bahwa pemerintah melalui lembaga terkait harus membantu memberikan solusi.
Sadar akan semua fakta dan data tersebut, Muhammad Soufan atau karib disapa Muna selaku Managing Director of Sony Music Entertainment Indonesia mengaku, Sony Music secara global tak mau hanya meratapi pandemi.
Sony Group pusat telah mengucurkan dana sekitar 1 juta dollar AS atau setara Rp 1,6 triliun. Kucuran dana itu untuk membangun ekosistem entertainment business, mulai dari showbiz sampai musik agar tetap berjalan selama pandemi.
Adapun Sony Music Indonesia berinisiasi terlibat dalam kampanye Sony Music di enam negara di South East Asia atau Asia Tenggara.
Kampanye ini digerakkan para artis yang dinaungi oleh Sony Music untuk berdonasi ke microsite NGO yang hasilnya disumbangkan ke pihak-pihak yang terdampak Covid-19.
Selain itu, Sony Music Entertainment Indonesia juga menggerakkan artis naungannya untuk membuat konten video setiap hari, baik musik maupun non-musik, agar tetap bisa menghibur masyarakat.
Cara penyampaiannya pun kini sepenuhnya memanfaatkan digital, mulai dari media sosial hingga live streaming.
DUNIA perkonseran memang meredup selama pandemi, begitu juga dengan berbagai acara musik offair yang bisa dinikmati secara langsung.
Namun, ada juga bagian industri musik yang justru menangguk peruntungan dari pandemi. Ini adalah industri musik dengan basis digital. Sebut saja, platform musik digital yang meraup tambahan pendengar dan pelanggan dalam jumlah signifikan.
Global Web Index (GWI) memotret pertumbuhan layanan music streaming melejit sepanjang 2020. Mereka mendapati tujuh dari 10 responden mengaku menggunakan layanan ini.
Dalam Entertainment Report 2021, GWI menyebut pula bahwa satu dari responden utama mereka menggunakan aplikasi untuk menemukan suguhan musik baru.
Track populer juga sangat dipengaruhi bagaimana para creator-nya menyuguhkannya sembari mengungkap value di balik karya itu. Ini membuka peluang bagi audiens untuk punya andil menyebarluaskan track tersebut sebagai bagian dari tren yang bertumbuh.
Rata-rata waktu yang dihabiskan responden GWI untuk mendengarkan music streaming pada 2020 adalah satu jam 32 menit. Khusus di Indonesia, rata-rata waktu mendengarkan layanan ini adalah satu jam 30 menit.
Bandingkan dengan mendengarkan radio yang rata-rata waktu secara global adalah satu jam. Di Indonesia, GWI menyebut waktu mendengarkan radio malah hanya di kisaran 32 menit. Angka-angka ini bertambah cukup signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Dengan data itu, tak pelak layanan musik seperti Spotify dan Joox menangguk durian runtuh selama pandemi. Tantangannya, GWI menyebut, hanya seperempat responden yang mengaku menggunakan layanan berbayar.
Pada Q1 atau kuartal pertama 2019, total pengguna aktif Spotify tercatat sebanyak 217 juta. Pada 2020, terlepas dari adanya pandemi virus corona atau tidak, Spotify sudah melaporkan jumlah pengguna aktif bulanan globalnya mencapai 286 juta.
“Sesuai dengan laporan Q1 kami, pengguna aktif bulanan global kami (bukan pelanggan total) tercatat sebanyak 286 juta, dengan pengguna berbayar (premium) sebanyak 130 juta dan pengguna aktif yang didukung iklan di angka 163 juta,” kata pihak Spotify kepada Kompas.com, Sabtu (20/6/2020).
Data GWI mendukung dengan temuan bahwa secara global pun Spotify mencatatkan 58 persen pengguna tidak memakai layanan berbayar.
Tantangan bagi Spotify disebut GWI makin bertambah seturut kehadiran YouTube Music pada 2018 yang mencatatkan lonjakan engagement hingga 500 persen sejak 2019.
Meski demikian, Spotify disebut masih memimpin dengan menguasai 21 dari 42 pasar layanan streaming yang dipantau GWI.
Data terkini, dalam laporannya untuk data hingga 31 Desember 2020, Spotify mencatatkan pengguna aktif bulanan sebanyak 345 juta, dengan 155 juta di antaranya menggunakan layanan berbayar (premium). Angka-angka itu meningkat 27 persen dan 24 persen dibanding setahun sebelumnya.
Hasilnya, dengan layanan di 93 negara, Spotify menangguk pendapatan 7.880 juta euro di sepanjang 2020, naik dibanding 6.764 juta euro pada 2019 dan 5.259 juta euro pada 2018.
Uniknya, sebagaimana tertera dalam laporan pernyataan keuangannya, Spotify masih mencatatkan kerugian bersih 581 juta euro pada 2020, yang naik pula dibanding 186 juta euro pada 2019 dan 78 juta euro pada 2018.
Paradoks ini karena komposisi pelanggan—sekalipun bertambah banyak—yang masih didominasi non-premium, sementara iklan yang masuk di layanan Spotify pun susut terutama selama pandemi Covid-19.
Ditambah lagi, kontestasi juga makin menyengat di antara layanan-layanan streaming baik yang gratis berbasis iklan maupun yang berbayar.
Spotify dan Joox, di antara layanan streaming musik yang ada saat ini, sama-sama mengerahkan strategi terbaik untuk menggaet pelanggan baru dengan aneka promo selama pandemi.
Kedua platform layanan streaming musik ini juga menyediakan berbagai playlist baru untuk menemani para pelanggannya sembari tetap berada dan beraktivitas di rumah.
Joox, misalnya, menyiapkan berbagai playlist musik lokal dan internasional yang dapat menemani berbagai kegiatan saat di rumah saja, disesuaikan dengan genre dan mood.
“Playlist-playlist tersebut dikurasi secara lokal dan selalu mengalami pembaruan setiap minggu agar pengguna Joox memiliki banyak pilihan yang berganti-ganti,” kata Joox kepada Kompas.com, Senin (29/6/2020).
Data menarik ditunjukkan oleh para pengguna aplikasi layanan streaming Spotify. Selama pandemi ini, setidaknya menurut data hingga Juni 2020, masyarakat terlihat cenderung lebih suka mendengarkan musik-musik yang memiliki vibe lebih santai ke dalam playlist yang mereka buat.
Spotify juga mencatat adanya peningkatan akses streaming konten untuk anak dan keluarga. Bahkan, merujuk data hingga Juni 2020, peningkatan playlist bertema home-school mencapai 1.000 persen.
Ada juga peningkatan dalam playlist bertema cleaning kit atau bersih-bersih. Playlist ini biasanya diputar untuk menemani para pelanggan mengerjakan tugas bersih-bersih di rumah.
“Playlist cleaning kit di Spotify pun telah mengalami peningkatan streaming sebesar 30 persen. Sementara jumlah streaming keseluruhan telah meningkat lebih dari 65 persen,” kata pihak Spotify, Sabtu (20/6/2020).
Perbedaan mencolok dari Spotify dan Joox terletak pada konser online atau virtual demi menemani masyarakat.
Jika Spotify sangat bergantung pada kekuatan playlist dan podcast-nya, Joox punya rutinitas menggelar konser online donasi bersama artis.
Pada April 2020, misalnya, Joox menggelar konser online untuk menggalang dana antara lain bersama Rossa, Siti Badriah, Vidi Aldiano, dan Giring.
Bekerja sama dengan kitabisa.com, Joox mendonasikan total Rp 250 juta untuk para petugas medis yang bertugas menangani Covid-19.
“Selain itu Joox juga menayangkan langsung konser One World Together at Home yang diadakan oleh global citizen dan support oleh WHO," imbuh Joox.
Konser tersebut menghadirkan puluhan artis internasional seperti Lady Gaga, Rita Ora, Adam Lambert, Charlie Puth, dan John Legend.
Lain halnya dengan Joox, cara Spotify dalam membantu meringankan para korban terdampak Covid-19 adalah dengan meluncurkan inisatif baru, yakni Artist Fundraising Pick.
Para artis bisa memberitahukan tujuan penggalangan dana di profil mereka untuk kemudian disumbangkan ke dalam proyek Spotify Covid-19 Music Relief.
Para artis yang sudah berpartisipasi dalam proyek ini di antaranya adalah Andmesh, Amigdala, AVIWKILA, dan Eclat Story.
Melalui situs resminya, Spotify akan merekomendasikan sejumlah organisasi terverifikasi yang menawarkan bantuan finansial kepada mereka yang tergabung dalam komunitas musik yang membutuhkan.
Muhammad Soufan atau karib disapa Muna, Managing Director of Sony Music Entertainment Indonesia, buka suara pula ihwal atmosfer bisnis label musik di tengah pandemi.
Secara lanskap bisnis, Muna menyebut label lebih beruntung dibanding sendi lain di industri musik. Sebabnya, label pun sudah fokus ke digital.
“Aku enggak kebayang kalau (pandemi) ini di era CD, kelar," kata Muna kepada Kompas.com, Rabu (1/7/2020).
Dia pun bertutur alur produksi dan penjualan saat musik masih berada di era compact disk itu bila sampai kejadian pandemi seperti sekarang.
"Kami bikin CD saja sudah repot. Terus dikirim dari pabrik ke Jakarta sudah ribet, belum wrap up di kantor terus kirim pakai truk, sedangkan transportasi dibatasi. Belum, kirim ke mal tapi (mal) tutup. Makanya thanks God bahwa digital ini benar-benar sebagai way out,” ungkap dia.
Meski begitu, Muna menyebut sektor digital belum bisa juga diandalkan sepenuhnya, sekalipun sudah punya ekosistem dan menjadi ladang penghasilan bagi label. Ini karena penetrasi digital belum tinggi.
“Apakah label yang mempunyai income digital atau showbiz itu rugi? Sudah pasti. Karena income digital belum bisa menutupi kekurangan dari showbiz atau offair,” ucap Muna.
Namun, Muna pada saat wawancara tersebut belum dapat mengungkap angka pasti kerugian yang dialami labelnya akibat pandemi ini.
Terlebih lagi, tidak semua acara musik yang mereka jadwalkan benar-benar batal. Acara yang dijadwal ulang tetap memberikan pemasukan ke pembukuan keuangan dari uang muka.
“Setidaknya kalaupun rugi mungkin 20 persen total dari itu," ujar Muna.
Buat gambaran, Muna memberikan contoh bahwa acara seperti ulang tahun masuk kategori yang tak bisa pindah hari atau dijadwal ulang. Sebaliknya, acara-acara lain seperti serah terima jabatan atau malah pentas seni masih mungkin dijadwal ulang.
Dari situ, tinggal dihitung berapa acara dan artis yang terlibat. Katakanlah satu artis dari labelnya mendapat fee Rp 50 juta untuk mengisi satu acara dan dalam sebulan semula dijadwalkan manggung dua kali, angka-angkanya bisa ditakar.
“Cuma kalau kami bukukan itu jumlahnya masih kecil lah ya belum sampai Rp 1 miliar, kalau ratusan juta ada," sebut Muna pada saat itu.
Perjalanan masih panjang bagi kebangkitan industri musik setelah diterjang pandemi Covid-19. Namun, menyerah dan patah tentu bukan pilihan.
Laiknya lirik lagu Adaptasi dari Tulus, "Bila ini belum kan reda, tetap kita saling menjaga. Hari depan tak ada yang tahu, hadirmu sangat berharga..."