JEO - Insight

Industri Musik
Mengulik Titik Balik

Rabu, 10 Maret 2021 | 11:04 WIB

Kenyataan pandemi Covid-19 dan teknologi sebagai alternatif solusi adalah dialektika dan dinamika saling berkelindan bagi industri musik yang terhimpit efek domino wabah virus corona. Mereka tak berhentik mengulik segala peluang untuk mendapat titik balik kebangkitan kembali industri musik.

SEPANJANG 2020, industri musik tak berkutik. Penghasilan terbesar mereka dari acara-acara offair tak dimungkinkan terjadi.

Sejumlah cara sudah dicoba untuk menjadi alternatif pengganti, hasilnya belum mampu menambal yang hilang.

Baca juga: Efek Domino Pandemi Covid-19 Menerjang Industri Musik Indonesia

Butuh dukungan dan upaya tambahan untuk membantu industri musik segera berdenyut lagi.

Bukan berarti pula para pekerja seni dan kreatif ini berhenti mengulik segala peluang untuk mendapati titik balik kebangkitan kembali industri musik.

Secercah harapan mulai menyeruak dari pertemuan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, dengan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo. 

“Kemarin Menparekraf sudah bertemu dengan Kapolri untuk membahas agar kalender event 2021 bisa dimulai lagi," ujar pengamat musik sekaligus Program Director M Bloc Space, Wendi Putranto, dalam pembicaraan telepon dengan Kompas.com, Senin (1/3/2021)..

Harapan Wendi, kepolisian mulai dapat mengeluarkan izin untuk acara dengan penonton terbatas dan penerapan ketat protokol kesehatan.

"Bahkan Kemenparekraf sudah bikin video sosialisasi fans,” ucap Wendi.

Meski begitu, ini barulah harapan. Kepastian belum datang karena belum kejadian. 

“Kepolisian sudah paham dengan kondisinya, sudah harus membuka. (Tinggal) kapan nih kita harus bisa bergerak lagi, itu yang belum ada kepastian,” ucap Wendi.

Baca juga: Seni Pertunjukan Bakal Kembali Digelar Berdasarkan Status Kawasan

Sebagai bagian dari upaya bersama mencari solusi, bertepatan dengan Hari Musik Nasional pada 9 Maret 2021, para pegiat industri musik juga menggelar M-Bloc Music Conference atau Konferensi Musik Blok M.

"Kayak semacam konferensi musik, namanya M-Bloc Music Conference atau Konferensi Musik Blok M. Kita ngebahas hal-hal ini. Temanya Kebangkitan Musik Nasional Pasca-pandemi,” ucap Wendi.

Berikut ini video dari kegiatan yang dilakukan secara virtual dan disiarkan langsung tersebut:

Seperti apa juga antisipasi dan atau kesiapan para pelaku industri musik menyongsong hari esok di tengah pandemi yang belum memperlihatkan gelagat usai ini? 

 

TANTANGAN
NEW NORMAL

OPTIMISME. Satu kata ini bersama harapan adalah kata yang tetap kudu dijaga. Namun, kenyataan tak lalu dinafikan dan diabaikan.

Bagaimana strategi para pelaku industri musik mengambil langkah menghadapi fase new normal alias normal baru?

Fase new normal bukan hanya sekadar beradaptasi dengan pandemi, tetapi juga ada banyak tradisi atau kebiasaan di industri musik yang berubah di dalamnya. 

Jika ditarik benang merahnya, tantangan new normal ini jelas memengaruhi pergeseran tradisi industri musik. Tetapi, uniknya, berkah teknologi juga hadir di dalamnya. 

Menjawab tantangan new normal

Meski masih banyak kalangan ragu dengan fase new normal, antusiasme tetap menyeruak dari sejumlah kalangan, termasuk dari para pelaku di industri musik. 

Platform musik digital Joox dan Spotify turut menyambut era tatanan baru atau new normal.

Joox, misalnya, akan tetap menghadirkan suguhan musik menarik agar menjalankan aktivitas di rumah dengan menyenangkan. 

“Joox telah menyiapkan playlist-playlist khusus untuk menyambut era baru dengan mengkurasi lagu-lagu yang penuh semangat dan optimisme, dan beberapa program live K-Pop seperti Idol Station dan I-Land,” kata pihak Joox.

Sementara itu Spotify berniat untuk terus fokus menghubungkan para pengguna ke lebih banyak musik dan podcast selama masa new normal. Podcaster lokal Indonesia pun digandeng untuk tujuan ini. 

Adapun CEO Rajawali Indonesia Communication Anas Syahrul Alimi menyebut tatanan baru tetap dijalani dengan penerapan ketat semua protokol kesehatan dalam konser dan pertunjukan yang akan digelar.

“Pasti akan dengan protokol  yang sangat ketat, kayak screening suhu tubuh segala macam pasti kami terapkan," tegas Anas.

Selama 2020, Anas bersama beberapa promotor dan pelaku industri musik telah bertemu dengan sejumlah otoritas. Mereka membahas protokol kesehatan untuk acara musik selama fase new normal

“Jadi sudah diketahui nanti yang akan mengeluarkan protokol event adalah gugus tugas dan Kemenkes, jadi tanpa itu izin enggak keluar,” ucap Anas. 

Faktanya, sampai hari ini panggung-panggung konser belum bisa dibikin lagi. Keramaian apalagi kerumunan masih jadi persoalan di tengah pandemi yang tak kunjung reda.

Rencana upaya Anas untuk menghadirkan format hybrid—menggabungkan offline dan online—untuk Prambanan Jazz Festival pada 2020 sebagai bagian dari fase new normal pun tak terealisasi.

Festival ini pada akhirnya hanya bisa ditonton secara virtual karena izin untuk kehadiran penonton di lokasi tak didapat.

Kehausan untuk hadirnya solusi atas dilema antara tantangan kesehatan dan mampetnya sumber penghidupan banyak orang di industri musik tak hanya dirasakan Anas.

"Belum tahu kapan kita bisa mulai bikin acara lagi," ujar pengamat musik sekaligus Program Director M Bloc Space, Wendi Putranto, dalam pembicaraan telepon dengan Kompas.com, Senin (1/3/2021).

Konser virtual yang sempat menjadi solusi sementara di tengah pandemi kini pun susut intensitasnya.

Setali tiga uang, konser drive-in juga tak menjamur. Yang sempat berjalan pun tak semuanya semulus harapan.

Ini terutama menyangkut pendapatan yang tetap tak mampu menggantikan yang hilang dari ketiadaan panggung offair.

"(Konser) virtual secara bisnis tidak menguntungkan. Konser virtual ini hanya mitigasi sifatnya, sementara,” kata Wendi.

Baca juga: Efek Domino Pandemi Covid-19 Menerjang Industri Musik Indonesia

Meski protokol kesehatan sudah dibuat dan disimulasikan, konser offair dengan penonton terbatas seperti drive-in pun susah mendapatkan izin.

“Jadi sebenarnya problem utamanya di perizinan, sekarang. Sampai hari ini, teman-teman EO dan promotor belum bisa bikin konser offline walaupun menggunakan protokol ketat dan penonton terbatas jumlahnya,” tutur Wendi.

Padahal, pendapatan musisi dari manggung bisa mencapai 50 persen. Selebihnya barulah dari pemutaran musik digital, endorsement produk, dan sumber lain.

“50 persen itu pendapatan utamanya, (itu) yang kena. Jadi (ekonomi para musisi dan pekerja musik) masih terpukul sih sebenarnya,” ucap Wendi.

Respons musisi

Menghadapi era tatanan baru atau new normal, Danilla Riyadi tidak mengumbar banyak ekspektasi.

Bagi Danilla, panggung konser virtual tetap dia anggap sebagai pilihan di tengah pandemi yang belum menampakkan ujung.

Walau hasrat untuk kembali naik ke atas panggung cukup besar, Danilla tetap mementingkan kesehatan dan keamanan bagi para penggemarnya.

Jika memang pemerintah belum mengeluarkan protokol kesehatan untuk konser, Danilla tak akan pernah mengambil tawaran manggung yang dia terima. 

“Aku tidak mau yang tadinya konser untuk senang-senang malah berbuah sesuatu yang mengeluarkan uang banyak,” kata Danilla. 

Penyanyi Afgansyah Reza atau Afgan berpendapat bahwa konser secara langsung masih terlalu riskan untuk digelar. Konser virtual masih jadi pilihan.

Afgan hanya berharap agar semuanya bisa kembali seperti sedia kala. Ia memiliki beberapa rencana yang ingin dilakukan demi memuaskan kerinduan para Afganisme.

Satu yang pasti, ketika semuanya sudah berakhir Afgan akan melepas karya terbarunya ke pasaran.

“Saya udah siapin karya baru yang mungkin sudah sangat ditunggu sama penggemar saya. Jadi, when this is all over, prioritas saya itu merilis karya baru,” tegas Afgan, saat dihubungi Kompas.com, Senin (22/6/2020).

Gara-gara pandemi ini, Afgan menunda perilisan album barunya yang sedianya dilansir pada Juni 2020.

Pada akhirnya, Afghan merilis single Tunjukkan pada pengujung 2020 dan pada 5 Februari 2021 merilis pula single Say I'm Sorry.

Pemulihan ekonomi

Adapun Muhammad Soufan atau karib disapa Muna selaku Managing Director of Sony Music Entertainment Indonesia berharap, fase new normal bisa segera memulihkan keseimbangan ekonomi nasional. 

Muna berpendapat, ketika ekonomi masyarakat belum pulih maka kegiatan industri musik juga bakal mandek. 

“Kalau enggak punya uang, orang enggak bisa apa-apa dan konsumsi jadi menurun," kata dia. 

Saat ini, Muna mengaku telah menerapkan aturan baru untuk menyesuaikan kondisi pandemi beserta protokol kesehatannya. 

“Kalau protokol showbiz, itu kita masukkan ke dalam riders artis," ungkap Muna.

Misal, sebut dia, ruangan artis hanya bisa dimasuki beberapa orang. Lalu, harus tersedia cairan disinfektan.

Penjemputan juga ditiadakan bagi para artis, alias mereka harus pakai mobil sendiri ke lokasi acara.

"Kami antisipasi, amit-amit nanti artisnya bayaran enggak seberapa tapi sakit. Jangan sampai,” ucap Muna. 

Katalis pembenahan

Sementara itu, Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi) Candra Darusman berpendapat, industri musik sebaiknya memanfaatkan fase new normal untuk berbenah segala hal yang selama ini tak tertata. Salah satunya, soal aturan main di ranah digital.

“Pertama menurut saya ini saatnya kita mengurai kembali aturan-aturan di dunia digital khususnya mengenai royalti," kata Candra, Rabu (24/6/2020).

Menurut dia, harus diurai lagi pengaturan agar musisi, pencipta, dan musisi mendapatkan manfaat yang proporsional dari platform seperti YouTube. Aturan main dari industri digital itu pun harus lebih jelas dan transparan.

“Ini saatnya untuk kita atur lagi dan Fesmi juga mencoba untuk merumuskan supaya hal ini juga bisa dirumuskan," tegas dia.

Candra pun menyebut kembali bahwa pandemi Covid-19 harus pula dilihat sebagai katalis bagi banyak hal, termasuk soal lonjakan pemanfaatan teknologi digital selama pandemi Covid-19.

"Kita harus bahas-bahas lagi aturan-aturan yang harus kita urai lagi, kita rumuskan lagi, dan ini membutuhkan bantuan-bantuan dan persepsi dari tiga pihak yaitu DJKI (Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual), polisi, dan juga Kemenkominfo untuk merumuskan hal ini,” ungkap dia.

Keberadaan solusi digital untuk sumber penghidupan termasuk di industri musik juga punya kompleksitas tersendiri. Misal, cover lagu alias menyanyikan lagu punya orang.

Diskusi soal cover lagu punya orang ini pun belakangan meluas, termasuk soal aspek hukum dan pembagian nilai keekonomiannya. 

Baca juga: Kata Via Vallen tentang Penyanyi yang Sering Cover Lagu Orang Lain

Disadari atau tidak, dunia digital butuh konsistensi konten dari waktu ke waktu untuk mendapatkan hasil yang sepadan. Ini berlaku untuk segala jenis konten yang wara-wiri di dunia maya.

Bagi musisi dan content creator Indra Aziz, cover lagu adalah cara paling mudah untuk para kreator bisa rutin menghadirkan konten menarik. Karena, tak mungkin juga seorang kreator menciptakan lagu baru dalam tenggat pendek di setiap kali untuk kebutuhan konten.

"Enggak mungkin setiap minggu kita rilis lagu. Kalaupun (itu) mungkin, hits atau enggak?" ujar dia. 

Menyanyikan lagu orang yang sedang hits pun diakui sebagai cara mudah mendongkrak personal branding, karena punya peluang lebih besar untuk ditemukan audiens. 

Baca juga: Indra Aziz Ungkap Alasan Banyak Kreator Musik Pilih Cover Lagu untuk Isi Konten

Tanpa pandemi Covid-19, tantangan-tantangan baru dari dunia digital ini bisa jadi tetap akan mengemuka. Namun, mungkin butuh waktu lebih lama.

Pandemi Covid-19 telah memaksa segala lini kehidupan menengok dunia digital sebagai sarana bahkan solusi di tengah batasan protokol kesehatan. 

Pertanyaannya, ini dibiarkan lewat begitu saja ataukah benar-benar akan dijadikan momentum untuk kenal lebih dekat, memahami lebih jeli, dan mengantisipasi hal-hal baru yang muncul darinya?

 

TRADISI PUN BERGESER

SEBUAH konsensus baru tak hanya membawa kesepakatan baru tetapi juga bisa menggeser tradisi yang ada, sebagai efeknya. 

Hal itu juga sama seperti fase new normal. Ada banyak tradisi berubah agar tetap bisa berjalan di tengah pandemi.

Cakupan itu termasuk juga pergeseran tradisi dalam industri musik, mulai dari tatanan produksi, dan proses, hingga atmosfer konser, dan festival musik.

Salah satu pergeseran tradisi adalah soal cara menonton konser. Pandemi tak memungkinkan lagi orang berdesakan di lantai festival untuk menonton musisi idolanya bermain di panggung.

Anas Syahrul Alimi mengakui pergeseran tradisi ini mulai terlihat, paling dekat dari acara musik yang ia buat.

Soal Prambanan Jazz 2020, Anas sempat berhitung, jumlah penonton akan berkurang setengahnya demi mematuhi protokol kesehatan itu. 

Lalu, karena jumlah panggung berkurang, tak ada special show di Prambanan Jazz 2020. Dengan begitu, semua artis akan tampil secara reguler di panggung yang sama.

Sementara ihwal protokol kesehatan, Anas mengatakan ada dua protokol yang disiapkan. Ini sesuai dengan pembicaraan bersama pemerintah dan para promotor. 

Diberlakukannya dua protokol ini karena untuk menjawab kebutuhan tiap acara yang berbeda-beda, termasuk konser dan festival musik. 

“Jadi protokolnya ada dua, satu dari Kemenkes, kedua dari kami," sebut Anas.

Dalam rencana itu, penonton harus bawa tempat minum sendiri. Penyelenggara juga terpikir meminta penonton membawa kursi lipat kecil sebagai alternatif panitia menyediakan kursi. Masing-masing penonton akan menempati lingkaran atau kubikel kecil yang sudah ditata. 

Sayangnya, semua upaya ini kandas. Bahkan, rencana Anas untuk menghadirkan Prambanan Jazz 2020 dalam format hybrid—gabungan online dan offline— pun tak bisa terwujud.

Festival ini akhirnya hanya bisa dinikmati secara virtual. Perizinan untuk menghadirkan penonton dalam jumlah terbatas dan penerapan protokol kesehatan teramat ketat itu tak terbit.

Menurut Anas, industri musik sejatinya tak hanya siap menyambut new normal, tetapi juga bisa menjadi bagian dalam proses penyembuhan kepada masyarakat yang secara psikis mengalami perubahan akibat pandemi.

Anas mengatakan ini karena ia melihat beberapa fakta yang ia rasakan langsung. Misalnya, antusias masyarakat yang tak surut meski banyak acara musik ditunda hingga berbulan-bulan.

Paling unik, penonton yang sudah terlanjur membeli tiket konser yang akhirnya ditunda lama pun tak mengajukan refund.

“Konser Dream Theater, itu enggak ada satu pun yang refund (tiket). Aneh kan?" ujar Anas.

Tiket Prambanan Jazz 2020 yang sebelum pandemi melanda Indonesia telah terjual 14.000 tiket juga mendapati temuan serupa.

Atas dasar itu, Anas menyampaikan ke instansi terkait dan pemerintah bahwa industri musik akan menjadi alternatif masyarakat untuk memulihkan kondisi psikis yang berubah akibat pandemi.

Tentu, pertaruhannya juga tak kecil bagi industri musik. Anas menyebutnya sebagai tak bisa main-main soal protokol kesehatan di industri musik.

Begitu ada celah longgar terkait protokol kesehatan, risiko penyebaran Covid-19 terjadi, selesai juga celah bagi industri musik menghadirkan acara yang menjadi sumber penghidupan tak hanya bagi musisi dan pekerja seni. 

"Makanya kami berharap ada kerja sama yang baik antara penonton dan promotor,” ucap Anas. 

 

DUA SISI TEKNOLOGI

LAGI-LAGI, teknologi menunjukkan kehebatannya pada manusia. Ketika banyak hal mandek selama pandemi, teknologi menjembatani.

Salah satunya seperti apa yang dirasakan industri musik pada saat ini. Konser virtual sampai platform musik digital adalah hasil nyata dari mengulik teknologi.

Meski banyak catatan yang harus dibenahi soal penggunaan teknologi, setidaknya masih ada ruang alternatif untuk kreasi dan ekspresi.

Sejauh ini, penyanyi Danilla Riyadi mengikuti tren menggelar konser virtual yang semuanya dikerjakan di rumah masing-masing.

Danilla Riyadi dalam jumpa pers syukuran 500 ribu penonton film Pretty Boys di Ecology Kemang, Jakarta Selatan, Senin (30/9/2019)
KOMPAS.com/IRA GITA
Danilla Riyadi dalam jumpa pers syukuran 500 ribu penonton film Pretty Boys di Ecology Kemang, Jakarta Selatan, Senin (30/9/2019)

Walau terlihat simpel, pada kenyataannya banyak kendala yang ia temukan selama menggelar konser dari rumah.

“Kalau (konser) di rumah tuh jadi ada rasa ingin perfect dan itu jadi kendalaku sih, karena aku perfeksionis orangnya,” ucap Danilla.

Kendala lain yang dirasakan oleh setiap musisi dalam konser online adalah kurangnya feedback dari penonton.

Padahal, feedback dari penonton, entah itu sekadar tepuk tangan atau sorak-sorai, justru bisa membakar api semangat para musisi di atas panggung.

Banyak yang terasa hilang dari ketiadaan konser dan peralihan ke panggung virtual. Terlebih lagi, internet di Indonesia bukan internet terbaik yang malah bikin konser online bisa terasa menyebalkan untuk ditonton.

Danilla pun mengalami semua itu. Urusan seperti delay karena sinyal internet pun bikin konser tak terasa menggigit, baik untuk musisi maupun penontonnya.

Sementara menurut Afgan, pilihan terbaik dan paling aman bagi musisi dan penonton masih ada di konser digital atau virtual.

Hanya saja, demi memenuhi kebutuhan ekonomi yang terdampak virus corona, Afgan juga berharap agar konser-konser virtual ini diselenggarakan dengan tiket berbayar.

“Sekarang kita semua ini yang musisi terutama yang affected banget akibat pandemi ini harus mulai shift ke digital, either mungkin konser digital tetap berbayar tapi harganya lebih murah dan ya semuanya serba platform digital sih,” kata Afgan.

Contoh pertunjukan konser digital berbayar juga sudah pernah diterapkan oleh Erwin Gutawa. Konser yang juga dimeriahkan oleh Afgan ini terbukti sukses dan berpotensi untuk dilakukan ke depannya.

Bercermin dari kondisi tersebut, Muhammad Soufan atau Muna belajar pula soal situasi dunia digital di Indonesia.

Hikmah pandemi, kata dia, semua orang selama pandemi menjadi dipaksa lebih cepat untuk menyerap digital ke dalam kehidupannya sehari-hari. 

Muna sepakat, pandemi tanpa sadar telah membuat orang lebih cepat menuju dan merealisasikan Revolusi Industri 4.0, menjadikan semua sentuhan digital menjadi hal lumrah.

Good news-nya adalah begitu (Revolusi Industri 4.0 lebih cepat), sekarang kan semua putar otak supaya barang terjual dari sisi bisnisnya, si artis juga putar otak supaya karyanya sampai ke fans. Jadi semua instrumen digital dikulik ya sama pelaku industri,” ucap Muna. 

Hanya saja, Muna melihat kebutuhan internet dalam keseharian di Indonesia untuk mempercepat Revolusi Industri 4.0 masih sulit tercapai. Akses internet serta sarana dan prasarana penunjangnya masih minim.

Buktinya bisa dilihat dari apa yang terjadi selama pandemi di Indonesia. Misal, proses belajar dari rumah dan bekerja dari rumah malah memberi kendala baru karena akses internet yang sulit dan sinyal yang tak merata. 

Melihat kondisi itu, Muna berharap pemerintah melalui lembaga terkait segera bercermin dan berbenah. Bukan hanya industri musik yang butuh sarana dan prasarana dunia digital.

“Tapi aku juga enggak mengerti kenapa apa-apa tuh susah sampai ke kampung ya, kecuali kotak suara (dalam pemilu)," ujar Muna.

Ihwal musik yang kini mendapatkan jumlah pendengar signifikan selama pandemi, Muna meyakini itu karena musik bisa menjadi hiburan alternatif untuk mengurangi rasa stres dan perubahan emosional akibat pandemi. 

“Aku saja dari rumah buka YouTube musik atau Spotify dari rumah itu memang karena mood, bukan lihat artis lagi. Yang jazz, kayak Ardhito Pramono, bukan karena artisku tapi karena kebetulan aku suka musiknya. Stress healing itu, secara kejiwaan, musik itu sangat membantu, memang benar adanya,” ucap Muna.

Saat menjalani semua ini, mungkin kita berpikir pandemi adalah bencana yang memukul setiap orang. 

Namun, pada akhirnya, dari pandemi pula kita belajar cara untuk tetap bertahan dan tetap ada, termasuk industri musik dan para pelakunya. 

Terlebih lagi, seperti apa yang dikatakan penulis dan politikus Edward Bulwer-Lytton, “Musik, sekali masuk ke dalam jiwa, akan menjadi semacam semangat, dan tidak akan pernah mati.”