JEO - Insight

Lewat
Setengah Abad
dalam Ancaman
Demam Berdarah
Dengue

Selasa, 7 Desember 2021 | 23:43 WIB

Demam berdarah dengue (DBD) sudah menjadi persoalan di Indonesia selama lebih dari 50 tahun, sejak kasus pertama ditemukan pada 1968.

MUSIM hujan seolah menjadi pertanda sekaligus waktu untuk lebih waspada terhadap ancaman nyamuk demam berdarah.

Hingga hari ini, penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menghantui Indonesia, bahkan setelah 50 tahun berlalu sejak kasus pertama ditemukan di Indonesia pada 1968. 

Data Tren Kasus DBD hingga 3 Desember 2020 - (DOK KEMENTERIAN KESEHATAN)

DBD diketahui muncul kali pertama di Jakarta dan Surabaya. Minimnya pengetahuan dan fasilitas perawatan terkait penyakit tersebut, selewat lima dekade setelahnya, prevalensi kematian karena demam berdarah dengue pun terhitung tinggi.

"Dulu kasusnya (DBD) masih sedikit, sampai sekarang kasusnya sangat meningkat," Tedjo Sasmono, ketua kelompok Unit Penelitian Demam Berdarah Dengue di PRBM Eijkman of Molecular Biologi, Kamis (6/2/2020).

Pada 1968, kata Tedjo, prevalensi pasien DBD adalah 0,05 per 100.000 jiwa. Namun pada 2016, prevalensi ini meningkat menjadi 86 per 100.000 jiwa.

Baca juga: Kasus DBD Merebak di Jakarta Selatan, 424 Warga Terjangkit hingga November 2021

Kini, Indonesia dan dunia tengah dihadapkan pada situasi pandemi Covid-19. Namun, DBD tidak bisa ditepikan juga, karena kematian pun menjadi ancaman dari tahun ke tahun tersebab  penyakit ini.

Data terkini dari Kementerian Kesehatan, pada 2020 angka prevalensi berada di posisi 49 per 100.000 jiwa. 

Kasus terus berulang

Meski setengah abad sudah lewat, kasus DBD di Indonesia bisa dibilang belum tertanggulangi. Bahkan, secara berkala terjadi kejadian luar biasa (KLB) DBD. 

"Secara nasional, KLB terjadi lima tahun sekali. Namun (dari) data Kementerian Kesehatan, kami bisa melihat puncak dari KLB biasanya terjadi selang enam sampai delapan tahun," ungkap Tedjo.

Sebagai negara kepulauan dengan masyarakat yang beragam, Indonesia juga punya tantangan tambahan dalam penanggulangan DBD. Tiap daerah, kata Tedjo, memiliki epidemi DBD yang berbeda dengan karakteristik masing-masing.

"Indonesia bagian barat, tengah dan timur, pada tahun yang sama memiliki karakteristik epidemi demam berdarah yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh jenis virus, kekebalan komunitas, juga vektor nyamuk," ungkap Tedjo.

DBD, kata Tedjo, tidak sama dengan malaria yang virus pada satu daerah bisa dieliminasi dan sudah ada obatnya. Adapun DBD, lanjut dia, punya banyak faktor yang turut berpengaruh. Inilah yang menyebabkan DBD selalu ada di setiap tahun dan berulang. 

Baca juga: Dinkes Tangsel Andalkan Kader Jumantik buat Tekan Kasus DBD

Faktor yang mempengaruhi itu, sebut Tedjo, salah satunya adalah kekebalan populasi. Ketika setidaknya 50 persen populasi sudah kebal terhadap dengue, kemungkinan terjadinya wabah dan KLB di populasi itu akan rendah. Kekebalan ini terjadi setelah terinfeksi DBD sebelumnya. 

"(Sebaliknya), ketika kekebalan populasinya rendah, besar kemungkinan satu atau dua tahun setelahnya akan terjadi outbreak (wabah)," ujar Tedjo.

Sebagai contoh, Tedjo menyebutkan pada 2014 terpantau kekebalan populasi terhadap DBD rendah. Pada tahun berikutnya, outbreak DBD terjadi di wilayah itu. 

Kendati demikian, setelah outbreak terjadi, kekebalan populasi akan meningkat dan peluang terjadi outbreak dalam waktu dekat menurun karenanya. Itu pun, bukan berarti outbreak sama sekali tidak mungkin terulang lagi di sana.

"Jangan lupa, di setiap daerah pasti ada bayi yang baru lahir. Populasi yang naif, kami menyebutnya. Saat ada populasi naif dan rentan seperti ini, virus dengue masuk maka (populasi mungkin) akan terkena lagi. Itulah mengapa DBD terus-menerus berulang di Indonesia," papar Tedjo.

Jakarta Pusat pernah bebas DBD

Jakarta dan Surabaya adalah dua kota yang menjadi lokasi pertama temuan kasus DBD di Indonesia. Namun, pakar parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Saleha Sungkar, mengatakan Jakarta Pusat pernah juga bebas kasus DBD. 

Salehe bertutur, Jakarta Pusat bebas DBD saat itu DKI Jakarta dipimpin Fauzi Bowo dan Wali Kota Jakarta Pusat adalah Sylviana Murni. Sebelumnya, DKI Jakarta secara keseluruhan pada kurun waktu tersebut justru sedang menjadi lokasi dengan kasus DBD terbanyak sedunia. 

Pemerintah pun berupaya melakukan pemberantasan penyakit yang dibawa nyamuk Aedes aegypti tersebut, tetapi tidak ada yang berhasil. Strategi yang lalu diambil, DKI menetapkan  jumlah pasien DBD sebagai tolok ukur kinerja pemerintah daerah, dari tingkat lurah, camat sampai wali kota.

Dari strategi itulah Jakarta Pusat lalu muncul sebagai wilayah yang bebas DBD yang dicapai dalam waktu satu semester sejak penggunaan angka kasus tersebut dijadikan tolok ukur kinerja.

Baca juga: Pernah Ada Masanya Jakarta Pusat Bebas dari DBD, Ini Ceritanya

DBD dan pandemi Covid-19

Pandemi virus corona di dunia telah menjadi beban berat bagi bangsa ini. Upaya pengendalian penularan Covid-19 terus digiatkan.

Namun, wabah lain yang sama berbahayanya dan telah berlangsung puluhan tahun yakni penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menghantui dan mengancam kesehatan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia.

Menurut laporan Kementerian Kesehatan, data sebaran kasus DBD di Indonesia pada bulan-bulan pertama pandemi Covid-19 pada 2020 tercatat 49.931 kasus. Namun, itu baru untuk periode Januari hingga 30 April 2020 dari seluruh wilayah di Indonesia.

Baca juga: Perbedaan Gejala Demam Berdarah (DBD) dan Covid-19

Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, di tengah pandemi Covid-19, angka kasus DBD di Indonesia terus bertambah.

Angka kematian karena penyakit demam berdarah dengue ini pun mencapai 314 orang.

"Sampai saat ini, masih bisa ditangani (pasien DBD), hanya perlu kewaspadaan kita bersama juga masyarakat, apalagi saat ini warga banyak di rumah," pesan Nadia, Jumat (30/4/2020). 

Terpisah, Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Nasional Covid-19, Reisa Broto Asmoro, pada Jumat (3/7/2020), menyebut wilayah dengan banyak kasus DBD juga merupakan wilayah dengan kasus Covid-19 yang tinggi, seperti Jawa Barat, Lampung, NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. 

“Fenomena ini memungkinkan seseorang yang terinfeksi Covid-19 juga berisiko terinfeksi DBD. Pada prinsipnya sama. Pada prinsipnya, upaya untuk mencegahnya adalah menghindari infeksi, dan untuk DBD (ditambah dengan menghindari) gigitan nyamuk,” ujarnya.

Ia meminta masyarakat untuk bersama-sama membasmi DBD sembari terus melawan Covid-19.

“Mari lindungi diri kita, lindungi keluarga, mulai dari rumah untuk melawan Covid-19 dan mencegah DBD. Tetap sehat, tetap semangat,” tutup dr. Reisa.

 

 

 

A-Z
DEMAM BERDARAH
DENGUE

Ilustrasi nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah, zika, chikungunya. Nyamuk ini, khususnya nyamuk betina menjadi vektor virus arbovirus, yakni virus penyebab penyakit-penyakit tersebut.
SHUTTERSTOCK/TACIO PHILIP SANSONOVSKI
Ilustrasi nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah, zika, chikungunya. Nyamuk ini, khususnya nyamuk betina menjadi vektor virus arbovirus, yakni virus penyebab penyakit-penyakit tersebut.

DEMAM berdarah dengue (DBD) sudah menjadi persoalan di Indonesia selama lebih dari 50 tahun, sejak kasus pertama ditemukan pada 1968.

Pandemi Covid-19 pun memperburuk situasi, dengan hipotesis angka kasus DBD pun meningkat seturut merebaknya wabah virus corona.

Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Nasional Covid-19, Reisa Broto Asmoro, pada Jumat (3/7/2020) menyebutkan bahwa gejala DBD tidak langsung muncul.

Seseorang baru merasakan gejala pada 4-10 hari setelah digigit nyamuk bervirus dengue. Gejala paling umum adalah demam tinggi hingga 40 derajat celcius. 

Baca juga: 3 Perbedaan Gejala Demam Berdarah (DBD) dan Tipes

Gejala lain yang jamak muncul adalah sakit kepala, nyeri tulang, nyeri otot, mual, muncul bintik merah di kulit, serta pendarahan pada hidung dan gusi. 

“Bintik-bintik merah yang muncul di permukaan kulit merupakan tanda terjadinya pendarahan pada kulit akibat penurunan trombosit," kata Reisa.

Reisa pun menggarisbawahi bahwa DBD bisa berkembang menjadi kondisi berat dan merupakan kegawatan.

"(Kegawatan ini) disebut dengan dengue shock, atau DSS (yaitu kependekan dari) dengue shock syndrome,” ujar Reisa.

Baca juga: Dengue Shock Syndrome, Komplikasi DBD yang Bisa Menyebabkan Kematian

Ia menambahkan, gejalanya berupa muntah, nyeri perut, perubahan suhu tubuh dari demam menjadi dingin atau hipotermia, dan melambatnya denyut jantung. DBD menyebabkan kematian ketika penderitanya mengalami syok karena perdarahan. 

Hingga saat ini, tegas Reisa, belum ada obat spesifik untuk melawan DBD. Pemberian obat hanya ditujukan untuk mengurangi gejala seperti demam dan nyeri serta mencegah komplikasi.

Selama menderita DBD, pasien dianjurkan untuk banyak istirahat dan cukup minum agar tidak mengalami dehidrasi. 

Baca juga: 5 Cara Mengatasi Demam Berdarah (DBD)

Penyebab

DBD disebabkan oleh infeksi virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Dalam beberapa kasus, virus dengue juga ditularkan oleh nyamuk Ae.albopictus yang menjadi nyamuk pembawa penyakit cikungunya dan Zika.

"Dari hasil penelitian, Indonesia adalah negara kedua dengan penderita DBD terbanyak di dunia, setelah Brasil," ungkap Tedjo.

Ancaman virus dengue penyebab DBD tak hanya mengancam Indonesia. Setidaknya sekitar 3,9 miliar orang di 128 negara di dunia sampai saat ini berisiko terinfeksi virus dengue.  Diperkirakan hampir 390 juta kasus DBD terjadi setiap tahunnya di dunia.

 

Mekanisme penularan

Demam berdarah dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang sejauh ini ditularkan oleh gigitan nyamuk.

Di musim hujan seperti saat inilah, jentik nyamuk mudah cepat berkembang, sehingga tak mengherankan jika seringkali kasus penyakit DBD melonjak di musim ini. Terutama di wilayah tropis, seperti Indonesia.

Dokter Spesialis Penyakit Dalam dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Leonard Nainggolan, mengatakan ada dua jenis nyamuk perantara infeksi virus dengue pada manusia, yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus.

"Kedua nyamuk ini dipercaya sebagai vektor atau perantara untuk menularkan virus dengue, penyebab penyakit DBD," kata Leo.

Saat seseorang terkena DBD, kata Leo, di dalam pembuluh darahnya terdapat virus dengue. Ketika nyamuk vektor DBD menggigitnya, virus dengue akan ikut dan berada di dalam sistem peredaran darah nyamuk.

Virus ini akan terbawa pula dan masuk ke aliran darah orang berikutnya yang digigit si nyamuk. Dari proses itulah terjadi penularan virus dengue penyebab demam berdarah. Catatannya, seekor nyamuk pembawa virus DBD bisa menularkan virus dengue ke lebih dari satu orang. 

"Jadi menggigit beberapa kali, menggigit orang yang sakit (DBD) dulu, ketika nyamuk itu lapar, dia menggigit orang yang sehat dan virus dengue pindah ke orang sehat tadi," jelas Leo.

Fase infeksi

Infeksi virus dengue yang menyerang tubuh seseorang, akan menyebabkan imunitas atau sistem kekebalan tubuh terus berusaha melawan dan membunuh virus tersebut.

Namun, pada saat sistem kekebalan tubuh gagal melawan, yang terjadi adalah gejala-gejala DBD yang dapat muncul pada tubuh orang yang terinfeksi.

Mewaspadai infeksi penyakit DBD yang masih saja menghantui ini, terutama di masa pandemi dan musim penghujan saat ini, maka penting untuk mengenali fase infeksi DBD.

Leo menjelaskan ada tiga fase yang akan dialami pasien yang tertular penyakit demam berdarah dengue, yakni sebagai berikut.

  1. Fase Demam


    Biasanya terjadi pada hari pertama hingga hari ketiga seseorang terinfeksi virus dengue. Pada fase ini, kunci gejala utama berupa demam tinggi yang tiba-tiba dialami pasien, disertai dua atau tiga gejala penyerta seperti pegal, sakit kepala dan lainnya.

  2. Fase Kritis


    Pada fase ini, biasanya terjadi pada hari keempat hingga hari keenam setelah pasien terinfeksi virus dengue.

    "Bukan berarti fasenya kritis, tetapi di situlah biasanya terjadi yang namanya kebocoran plasma," kata Leo seperti diberitakan Kompas.com, 19 Februari 2020.

    Leo menjelaskan kebocoran plasma ini terjadi akibat virus dengue berada di pembuluh darah, sehingga pembuluh darah ini melebar, melonggar dan terdapat celah antara sel pembuluh darah.

    "Sel pembuluh darang yang satu dengan yang lain harusnya nempel dekat, karena adanya virus dengue jadi melebar, sehingga terjadilah bocor," imbuhnya.

    Dalam fase ini, apabila kebocoran plasma tidak dikendalikan, dapat membuat pasien mengalami gejala yang lebih berat atau shock.

    Di dalam plasma, sebanyak 91 persen terdiri dari air atau cairan. Apabila celah antar sel pembuluh darah terbuka, maka cairan tubuh akan menjadi yang paling banyak keluar.

    Gangguan cairan tubuh dalam pembuluh darah dapat menyebabkan hipopolemik dan memicu shock, serta kondisi yang lebih buruk.

    Oleh karena itu, kunci utama pada DBD adalah melihat tanda-tanda adanya kebocoran plasma. Hal ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan hematokrit, pemeriksaan USG dan pemeriksaan albumin oleh tim medis.

    Leo menambahkan, apabila fase ini lewat dari enam hari, maka ada dua kemungkinan, pasien DBD dapat sembuh atau meninggal dunia.

  3. Fase penyembuhan (konvalesen)


    Ini adalah fase perbaikan atau penyembukan, yang artinya pasien sudah mengalami peningkatan kesehatan.

    Gejala-gejala DBD mulai mereda, meningkatnya nafsu makan dan organ tubuh kembali berfungsi normal.

    Pada kondisi ini juga, jumlah trombosit dan cairan tubuh perlahan kembali normal, serta tidak terjadi kepekatan pada sel pembuluh darah.

Pencegahan

Pada 2014, Kementerian Kesehatan pernah membuat video tentang DBD ini, termasuk soal gejala dan pencegahannya.

Yang menarik di video ini, prinsip 3M untuk mencegah DBD tidak lagi menutup, menguras, dan mengubur, tetapi menjadi menutup, menguras, dan mendaur ulang barang bekas yang berpotensi menjadi sarang nyamuk penyebar virus DBD. Ada langkah plus-nya lagi. 

Di tengah pandemi, prinsip 3M plus yang disarankan dalam video produksi 2014 tersebut menjadi relevan lagi.

Ini setidaknya bisa kita simpulkan saat menyimak langkah pencegahan DBD selama pandemi yang dijabarkan oleh Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Nasional, Reisa Broto Asmoro, pada Jumat (3/7/2020).

Reisa meminta masyarakat secara berkala, setidaknya satu bulan sekali, memastikan kebersihan lingkungan.

"Perhatikan saluran air, tempat nyamuk bertelur, dan tempat-tempat dengan reservoir air," kata dia. 

Nyamuk aedes aegypti lebih senang bersarang di air yang bersih yang dibiarkan tergenang. Dokter Reisa menyampaikah langkah pencegahan dengan melakukan 3M.

Reisa merinci, 3M yang dia maksudkan adalah menguras penampungan air bersih atau mengeringkan genangan air, menutup kolam atau wadah penampungan air, serta mengubur barang bekas atau mendaur ulang limbah bekas agar tidak menjadi sarang nyamuk. 

Selain itu, lanjut Reisa, jangan menggantung pakaian bekas pakai yang berpotensi menjadi tempat bersembunyi nyamuk DBD di dalam rumah. 

“Nah, kebiasaan baru yang mengharuskan kita untuk membersihkan diri setelah sampai di rumah, sekaligus memastikan pakaian yang kita pakai setelah aktivitas langsung dicuci," ungkap Reisa. 

Vaksin demam berdarah

Penyakit baru Covid-19 yang masih mewabah hingga hari ini dengan cepat telah melahirkan senjata yang setidaknya dapat memberikan perlindungan dari infeksi mematikan virus corona, yakni vaksin Covid-19.

Baca juga: Mimpi Vaksin Covid-19 Segera

Namun, bagi demam berdarah dengue, vaksin yang diharapkan harus melewati penantian teramat panjang. Sudah lewat setengah abad menjadi ancaman bagi orang Indonesia, DBD hingga sekarang belum memiliki vaksin penangkal.

Petugas kesehatan melakukan pengasapan untuk memberantas nyamuk penyebab demam berdarah dengue (DBD) di wilayah Kecamatan Margadana, Kota Tegal, Jawa Tengah, Kamis (20/5/2021)
KOMPAS.com/TRESNO SETIADI
Petugas kesehatan melakukan pengasapan untuk memberantas nyamuk penyebab demam berdarah dengue (DBD) di wilayah Kecamatan Margadana, Kota Tegal, Jawa Tengah, Kamis (20/5/2021)

Puluhan tahun berjibaku dengan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, yang setiap tahunnya angka kasusnya selalu naik, namun upaya yang telah susah payah dilakukan tak kunjung berhasil mengendalikan penyakit DBD.

"Mengapa demam berdarah di Indonesia sulit sekai dibasmi, karena banyak sekali pengaruhnya. Mulai dari iklim, vektor nyamuk dan populasinya, kekebalan komunitasnya. Maka dari itu pencegahan kasus DBD harus dilakukan multi-sektor," kata Tedjo. 

Selama ini, upaya pencegahan terus digalakkan dengan program 3M Plus, yakni Menguras, Menutup dan Menyingkirkan, plus cara lain untuk mencegah DBD seperti dengan menabur bubuk abate dan menaruh ikan di kolam.

Kendati demikian, salah satu cara pencegahan DBD yang dinilai paling ampuh sebenarnya adalah dengan pemberian vaksin. Namun, vaksin DBD tidak mudah untuk dikembangkan. 

"Vaksin dengue memang agak rumit, karena virus dengue di Indonesia terdiri dari empat jenis. Tidak saling menetralisir," tutur Tedjo.

Pengembangan vaksin dengue tak hanya di Indonesia tetapi juga dilakukan para peneliti dan sejumlah instansi di luar negeri. Sayang, belum ada hasil yang benar-benar efektif hingga saat ini. 

Apabila vaksin dengue telah ditemukan, Tedjo meyakini bahwa angka kasus DBD akan mengalami penurunan sekalipun tidak akan hilang 100 persen.