JEO - Insight

Mereka yang Mati Sebelum Diadili...

Jumat, 18 Maret 2022 | 07:29 WIB

ANI (23) tak akan pernah bisa melupakan peristiwa yang terjadi, Rabu, 2 Desember 2020.

Sekitar pukul 21.00 Wita, tiga pria tak dikenal tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya yang terletak di Kecamatan Balikpapan Utara, Kalimantan Timur. Mereka berteriak galak, “di mana Herman?”

Dihinggapi ketakutan yang teramat sangat, Ani terbata-bata menjawab pertanyaan tentang keberadaan sepupunya itu.

Sejurus kemudian, pintu sebuah kamar terbuka. Herman muncul dari dalam. Ia bertelanjang dada, dan hanya mengenakan celana pendek hitam.

Salah satu orang tak dikenal itu seketika memitingnya. Herman hanya bergeming.

Pria yang melipatkan lengan ke leher Herman kemudian berteriak, “mana bajunya?”

Ani bergegas ke kamar Herman, mengambil kaus sekenanya. Tetapi, ketika keluar kamar, ia mendapati ketiga orang beserta Herman sudah tidak ada.

Ani berlari ke halaman rumah. Ia melihat ketiga pria itu memasukkan Herman ke sebuah mobil, lalu melaju.

Ilustrasi penangkapan
Think Stock
Ilustrasi penangkapan

Ani ketakutan setengah mati. Ia lalu menelepon istri Herman dan dua kerabatnya yang kebetulan sedang keluar rumah.

Setelah berkumpul, mereka menduga kuat para lelaki tak dikenal tadi adalah polisi. Mereka kemudian mengecek ke Polresta Balikpapan.

Benar saja. Salah seorang personel menginformasikan Herman sedang diperiksa atas kasus dugaan pencurian telepon genggam. Dua barang bukti yang dipegang polisi mengarah ke sosok Herman sebagai pelaku.

Sayangnya, polisi tidak memperkenankan keluarga bertemu Herman. Alasannya, sedang diperiksa secara intensif.

 

 Meninggal dunia 

Sehari kemudian, tepatnya pada malam hari, telepon genggam adik Herman berdering. Seseorang yang mengaku sebagai personel polisi Polresta Balikpapan menginformasikan, Herman telah meninggal dunia.

Keluarga mengecek ke Polresta Balikpapan, tetapi rupanya jasad Herman sudah dibawa ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, petugas tak memperbolehkan keluarga untuk melihat Herman. Alasannya, tidak ada dokter yang berjaga karena waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam.

Salah seorang polisi mengatakan, jasad Herman akan diurus polisi hingga pemakaman.

Pihak keluarga bersikukuh untuk bisa melihat, menshalatkan dan mengebumikan jasad Herman. Sempat terjadi perdebatan alot hingga akhirnya dicapai kesepakatan Herman dipulangkan ke rumah duka pada Jumat (4/12/2020) pukul 08.00 Wita.

Usai jenazah Herman sampai di rumah, kain kafannya dibuka. Betapa terkejutnya pihak keluarga karena mendapati banyak luka dan lebam di beberapa bagian tubuh Herman. Keluarga pun histeris.

Hingga kegiatan doa memperingati 40 hari meninggalnya Herman, setidaknya tiga kali polisi berkunjung ke rumah duka. Kunjungan pertama dan kedua, polisi menyerahkan uang dengan total Rp 5 juta.

Pada kunjungan terakhir, polisi membawa amplop coklat berisi Rp 30 juta. Keluarga menerima pemberian yang disebut sebagai sumbangan itu.

Di samping itu, Polresta Balikpapan berjanji akan mengusut perkara ini. Pihak keluarga awalnya percaya. Tetapi, proses pengusutan berjalan lamban.

Karena tak pernah lagi mendapatkan kejelasan, keluarga resmi melaporkan peristiwa itu ke Polda Kaltim pada Kamis (4/2/2021).

 

 Enam tersangka 

Peristiwa itu viral di media massa dan media sosial. Publik mendorong agar penyebab kematian Herman diungkap seterang-terangnya.

Ujungnya, enam personel polisi dicopot dari jabatannya dan ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan hingga tewasnya Herman. Mereka masing-masing berinisial AG, AS, RS, GR, RH, dan KKA.

Dalam putusan Pengadilan Negeri Balikpapan, lima orang terbukti menyiksa Herman.

Kronologis Kasus Herman

Extra Judicial Killing

Herman adalah satu dari sederet contoh penghilangan nyawa seseorang oleh aparat negara di luar hukum. Istilah umumnya, extra judicial killing.

Jurnal Supremasi Hukum karya Zainal Muhtar (2014) menggariskan definisi yang lebih lugas tentang extra judicial killing.

Praktik extra judicial killing merupakan pelanggaran terhadap hak hidup yang dijamin oleh konstitusi. 

Selain sebagaimana yang telah ditulis paragraf awal, seseorang yang dihilangkan nyawanya oleh aparat negara ini tidak dalam keadaan membela diri atau melaksanakan perintah undang-undang.

Praktik extra judicial killing merupakan pelanggaran terhadap hak hidup yang dijamin oleh konstitusi pada Pasal 28A UUD 1945, dan Pasal 9 UU Nomor 9/1999 tentang HAM.

Selain itu, praktik extra judicial killing diatur pula di dalam Pasal 6 Konvensi Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

Dalam perspektif serangkaian aturan itu, hak hidup seseorang sejatinya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Bahkan, dalam situasi konflik bersenjata dan keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa, termasuk dalam situasi pandemi.

 

 Ada pengecualian 

Meski demikian, dalam konteks cara bertindak, aparat penegak hukum memiliki wewenang khusus dalam penanganan situasi darurat/situasi apabila membahayakan hak hidup orang banyak dan dirinya sendiri. 

Kepolisian seringkali menyebutnya sebagai 'tindakan yang tegas dan terukur'. 

Beleid pertama yang mengatur tentang hal itu, yakni Prosedur Tetap (Protap) Kepala Polri 1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki, tepatnya pada Nomor 5 huruf e.

Bunyinya, tindakan tegas dan terukur adalah serangkaian tindakan kepolisian yang dilakukan oleh anggota Polri, baik perseorangan maupun dalam ikatan kesatuan secara profesional, proporsional dan tanpa ragu-ragu, serta sesuai peraturan perundangan yang berlaku

Meski prinsipnya melumpuhkan, tetapi tak jarang berujung pada penghilangan nyawa di luar proses hukum.

Kedua, Peraturan Kepala Polri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian juga memuat klausul tentang tindakan tegas dan terukur personel kepolisian. Hanya saja, diksinya berbeda.

Bunyinya, tindakan kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah, menghambat atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam keselamatan atau membahayakan jiwa raga, harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat.

Ketiga, Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Ketiga beleid ini pada dasarnya berorientasi sama. Apabila upaya hukum terakhir sudah dilakukan tetapi ancaman tidak reda, aparat diberikan wewenang oleh hukum melakukan upaya terakhir untuk menghilangkan potensi bahaya.

Meski prinsipnya melumpuhkan, tetapi tak jarang berujung pada penghilangan nyawa di luar proses hukum.

Baca juga: Menelaah Tindakan Tegas dan Terukur Polisi

Praktik-praktik inilah yang mesti diuji secara hukum, apakah seorang aparat menggunakan hak diskresinya itu dengan baik dan benar atau sebaliknya. 

Potret Extra Judicial Killing di Indonesia

Di Indonesia yang sejatinya merupakan negara hukum, praktik extra judicial killing terjadi setiap tahun.

Dari tahun 2018 hingga 2020 misalnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat telah terjadi 241 kasus dugaan extra judicial killing dengan jumlah korban jiwa 305 orang.

Dari keseluruhan kasus itu, sebagian besar pembunuhan oleh aparat di luar proses hukum terjadi pada momentum kebebasan berekspresi.

“Sejak 2019 menunjukan kecendrungan extra judicial killing menunjukan korelasi kuat dengan pembatasan kebebasan berpendapat, berkumpul dan berekspresi,” ujar Ketua YLBHI M. Isnur kepada Kompas.com, awal Maret 2022.

“Meskipun pada 2020 tidak ditemukan kasus serupa, namun hal ini sangat mungkin disebabkan terbatasnya gerak akibat pandemi Covid-19,” lanjut dia.

Peradilan (kasus extra judicial killing) bukan karena profesionalitas (aparat  hukum), tetapi ditentukan seberapa kuat tekanan publik

-M. Isnur-

Ironisnya, lebih dari 80 persen kasus extra judicial killing menguap begitu saja. Hanya sekitar 25 kasus yang masuk ke pengadilan. Sisanya, tidak ada kejelasan.

Hal yang jauh lebih ironis lagi, kasus-kasus yang masuk peradilan adalah kasus-kasus yang didorong oleh tekanan publik.

“Peradilan bukan karena profesionalitas (aparat penegak hukum), tetapi ditentukan oleh seberapa kuat tekanan publik. Bukan karena profesionalitas, tetapi resistensi masa di wilayah kesatuan pelaku,” papar Isnur.

Bahkan, ada kasus di mana polisi tidak kunjung menetapkan tersangka atas tewasnya seseorang. Tetapi, setelah muncul gelombang masa, dalam waktu tiga hari polisi menetapkan seorang oknum anggotanya sebagai tersangka.

Lantas, bagaimana nasib kasus-kasus yang tidak masuk ke pengadilan?

Isnur memaparkan, kasus-kasus dugaan extra judicial killing itu cenderung ditutup-tutupi oleh aparat.

Baca juga: 3 Prajurit TNI AD Terlibat Kematian Handi-Salsabila, Panglima TNI: Penjara Seumur Hidup

Berdasarkan laporan, ada beberapa jenis alasan polisi tentang kasus tewasnya seseorang di luar proses hukum yang berujung tidak masuk ke pengadilan.

Misalnya, seseorang itu menjadi korban kerusuhan sehingga sulit mencari pelaku, seseorang itu biang kerusuhan sehingga pantas untuk dilumpuhkan, pelaku melawan petugas, pelaku adalah residivis atau yang lebih mencurigakannya lagi, yakni tewas akibat sakit atau gantung diri di tahanan.

Potret Extra Judicial Killing

Persoalan tidak sampai di situ. YLBHI menemukan pula adanya intervensi hukum aparat (obstruction of justice) terhadap kasus-kasus extra judicial killing.

Contohnya, menghalangi akses keluarga melihat korban, membuat perdamaian baik atas kesepakatan atau paksaan, mengancam saksi/keluarga korban, menghilangkan barang bukti, memperlambat proses penanganan kasus, dan menolak laporan keluarga serta menyatakan kasus itu sebagai ranah Propam Polri.

“Bahkan, ada juga yang sampai polisi tidak mau memfasilitasi visum atau autopsi, melemahkan pasal bagi oknum aparat pelaku, dan tidak memberikan sanksi disiplin apapun bagi pelaku,” ujar Isnur.

 

 Polisi aktor utama 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam Laporan Tahunan 2019 mencatat keprihatinan yang sama.

Di dalam laporan tahunan itu, memang tidak ada laporan spesifik tentang extra judicial killing. Komnas HAM hanya melaporkan dugaan pelanggaran HAM secara umum.

Tetapi, fenomena dugaan penghilangan nyawa orang di luar hukum oleh aparat, tersirat di dalamnya.

Berdasarkan pemantauan sepanjang 2019, terdapat 945 kasus/aduan dugaan pelanggaran HAM.

Dalam konteks pelaporan, polisi adalah entitas yang paling banyak diadukan atas dugaan pelanggaran HAM. Begitu pula dalam konteks penanganan.

Dari seluruh kasus itu, sebanyak 586 kasus ditangani Komnas HAM. Kasus/aduan yang ditangani ini terdiri dari 214 kasus yang diterima sepanjang 2019, dan 372 kasus diterima sebelum 2019 tetapi masih dalam proses penanganan.

Sebanyak 4,77 persen atau 28 kasus di antaranya merupakan dugaan pelanggaran hak untuk hidup.

Kasus lain yang paling banyak diadukan, yakni dugaan pelanggaran hak untuk mendapatkan keadilan sebesar 262 kasus atau 44,63 persen.

Atas seluruh kasus/aduan yang ditangani Komnas HAM itu, pihak yang paling banyak diadukan adalah institusi kepolisian, yakni 240 kasus (40,89 persen). Sisanya, ada korporasi, pemerintah daerah, pemerintah pusat hingga lembaga peradilan.

Baca juga: Komnas HAM Sebut Polisi Jadi Instansi yang Paling Sering Diadukan Tahun 2021

Bergeser ke data penanganan dugaan pelanggaran HAM, Komnas HAM rupanya juga menemukan fenomena serupa.

Tercatat, kepolisian adalah institusi yang paling banyak melakukan pelanggaran HAM. Jumlah kasusnya mencapai 239 kasus (40,78 persen).

Kategori dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan kepolisian, antara lain, proses hukum tak sesuai prosedur, lambannya penanganan kasus, kekerasaan dan penyiksaan, ketidakprofesionalan penyidik berupa sewenang-wenang dalam penetapan tersangka, dan kriminalisasi.

Catatan Komnas HAM

Polisi Berbasis HAM, Cukup?

Sebagai aktor utama praktik extra judicial killing, kepolisian dituntut mengedepankan prinsip HAM yang akuntabel. 

Polisi Berbasis HAM adalah salah satu upaya yang pernah dicanangkan kepolisian melalui kerjasama dengan Komnas HAM. 

Program itu dimulai pada tanggal 16 Maret 2017 usai penandatanganan nota kesepahaman antara Ketua Komnas HAM saat itu Imdadun Rahmat dengan Kepala Polri saat itu Jenderal Tito Karnavian di Jakarta. 

Melalui seremoni sederhana, kedua belah pihak sepakat mendorong polisi yang berbasis HAM di tingkat nasional. Upaya preventif ini ditujukan untuk mengurangi potensi pelanggaran HAM, baik oleh individu maupun institusi.

Sebab, sebagaimana yang sudah disampaikan pada bab sebelumnya, Polri adalah institusi yang paling banyak melakukan dugaan pelanggaran HAM. 

Pelatihan sejumlah personel polisi agar memedomani HAM pun telah dilakukan. Antara lain: 

Kepala Bidang Humas Polda Kalimantan Barat (Kalbar) Kombes Pol Donny Charles Go mengatakan, sejauh ini, Densus 88 Antiteror Mabes Polri telah menangkap 3 orang terduga teroris di Kalbar. Donny merincikan, adapun terduga teroris berinsial RE (28) diamankan di Kota Pontianak, M (20) di Kota Singkawang dan MR (27) di Kabupaten Kubu Raya.
dok Polda Kalbar
Kepala Bidang Humas Polda Kalimantan Barat (Kalbar) Kombes Pol Donny Charles Go mengatakan, sejauh ini, Densus 88 Antiteror Mabes Polri telah menangkap 3 orang terduga teroris di Kalbar. Donny merincikan, adapun terduga teroris berinsial RE (28) diamankan di Kota Pontianak, M (20) di Kota Singkawang dan MR (27) di Kabupaten Kubu Raya.

Baca juga: Komnas HAM Sebut Akan Tingkatkan Pendidikan HAM untuk Polri

Agar program tepat sasaran, Komnas HAM tidak hanya memosisikan diri sebagai pemberi materi, melainkan juga mengevaluasi dan monitoring pelaksanaannya. 

"(Hasil monitoring) menyimpulkan bahwa pembenahan berkelanjutan perlu dilaksanakan, di antaranya bagaimana membudayakan HAM di tubuh Polri dan bagaimana program ini bisa mencapai berbagai level di Polri serta berbagai daerah di Indonesia," tulis Komnas HAM dalam Laporan Tahunan 2019. 

Kini, dalam kepemimpinan di tubuh Polri dipegang Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Komnas HAM dan Polri memperbaharui nota kesepahaman tersebut pada 21 April 2021. 

Salah satu poin kesepakatan yang dianggap sebagai langkah maju, yakni Polri dan Komnas HAM berkomitmen memberikan informasi tentang dugaan pelanggaran HAM melalui pertemuan reguler, insidental, maupun laporan bersama. 

Kedua belah pihak juga berkomitmen berkoordinasi dalam rangka pelaksanaan, pemantauan, dan penyelidikan serta mediadi kasus dugaan pelanggaran HAM. 

 

 Belum cukup 

Meski demikian, peneliti Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Iftithasari menilai, upaya itu saja belum cukup untuk menjamin hengkangnya praktik extra judicial killing dari tubuh kepolisian. 

Menurut Tita, panggilan akrabnya, kasus dugaan extra judicial killing nyatanya masih terjadi hingga kini.

"Terakhir, ya kasus penembakan dokter Sunardi di Sukoharjo itu," ujar Tita ketika berbincang dengan JEO Kompas.com, Kamis (17/3/2022).

Tita mengatakan, meskipun Polri mengeklaim telah bertindak sesuai prosedur dalam kasus tewasnya Sunardi di tangan Densus 88, tetapi klaim itu seharusnya tidak datang dari internal Polri.

Baca juga: Kepada Komnas HAM, Densus 88 Ungkap Video Dokter Tersangka Teroris di Sukoharjo yang Coba Melarikan Diri

Ujungnya memang harusnya mengarah ke revisi KUHAP. Harus ada pengawasan yang independen terhadap upaya hukum polisi, khususnya ketika melakukan upaya paksa. Misalnya dari yudisial, dari hakim

-Ifthitasari-

Tak hanya dalam kasus Sunardi, tetapi juga dalam kasus serupa lainnya, keputusan apakah polisi sudah bertindak sesuai prosedur atau tidak, semestinya keluar dari lembaga independen. 

Tetapi persoalannya, hukum acara pidana di Indonesia tidak mengakomodasi tata cara tersebut. 

Oleh sebab itu, ICJR berpendapat, di samping membudayakan prinsip HAM di tubuh Polri, hukum acara pidana (KUHAP) juga mesti direvisi. Di dalamnya, harus mengakomodasi bentuk pengawasan independen terhadap cara bertindak kepolisian. 

"Ujungnya memang harusnya mengarah ke revisi KUHAP. Harus ada pengawasan independenterhadap upaya hukum polisi, khususnya ketika melakukan upaya paksa. Misalnya dari yudisial, dari hakim," ujar Tita. 

Selama cara bertindak polisi hanya diaudit oleh internal sendiri (Divisi Propam Polri), kasus pembunuhan atau kekerasan di luar hukum akan berulang kembali. 

"Memang sih, ada beberapa kasus penyiksaan atau pembunuhan tersangka di mana oknum polisinya ditindak secara hukum pidana. Jadi, enggak cuma dirotasi atau cuma diberikan hukuman disiplin," ujar Tita. 

"Tapi yang seperti itu tidak umum, tidak merata. Karena apa? Ya karena kita enggak memiliki instrumen pengawasan yang independen tadi, yang bisa secara konsisten dan berjalan otomatis," lanjut dia. 

Ketua YLBHI M. Isnur menambahkan, mengingat revisi KUHAP membutuhkan waktu yang tak sebentar, ada baiknya Polri mulai memperbaiki kualitas pengawasan internal sebagai solusi jangka pendek. 

"Secara sistemik, Polri harus melakukan evaluasi penggunaan kekuatannya di samping Kapolri juga harus menuntaskan kasus-kasus extra judicial killing demi mengembalikan wibawa penegakan hukum dan memberikan keadilan bagi korban," ujar Isnur. 

Ilustrasi
KOMPAS/DIDIE SW
Ilustrasi


Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan.

-Pramoedya Ananta Toer-