“Dalam konteks politik, saya tidak percaya pada harapan. Saya percaya pada dinamika politik yang terjadi, ekosistem yang dibangun, dan kita belajar dari sejarah masa lalu.” - Savic Ali, aktivis 1998.
KELOMPOK masyarakat sipil dan pegiat hak asasi manusia (HAM) menolak rencana pembentukan pasukan Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa. Wacana pengaktifan lagi Pam Swakarsa muncul kembali seiring pergantian pucuk pimpinan Polri.
Trauma atas kekerasan yang terjadi pada 1998 menjadi alasan penolakan tersebut. Saat itu, Pam Swakarsa bentukan pemerintah dibenturkan dengan gelombang protes mahasiswa.
Keluarga korban kasus pelanggaran HAM seakan kembali diingatkan dengan memori kelam masa lalu. Memori yang sarat akan kekerasan, kepedihan, dan ketidakadilan. Sebuah tragedi.
Kendati demikian, Polri dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyebut, Pam Swakarsa yang akan dibentuk kali ini berbeda dengan saat itu. Bedanya, yang sekarang memiliki dasar hukum.
Namun, adakah jaminan bahwa Pam Swakarsa yang akan diaktifkan kali ini tidak memiliki karakter serupa dengan kelompok sipil bersenjata bambu runcing pada 1998?
Apakah ada jaminan aksi kekerasan dan konflik horizontal tidak akan terulang kembali? Adakah jaminan ini juga tidak menjadi praktik saling memata-matai di tengah masyarakat?
KAPOLRI Jenderal Listyo Sigit Prabowo berencana mengaktifkan Pam Swakarsa untuk mewujudkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Rencana itu ia ungkap dalam uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, Rabu (20/1/2021), sebelum menjadi Kapolri.
Sigit menyebut, Pam Swakarsa akan diintegrasikan dengan perkembangan teknologi informasi dan fasilitas-fasilitas yang ada di Polri.
Baca: Listyo Sigit Prabowo, Kapolri Pilihan Jokowi
Ketentuan mengenai Pam Swakarsa diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kemudian, Polri membuat aturan turunannya, yakni Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa. Peraturan ini diteken oleh Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis di tahun pengujung masa tugas.
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Polri 4/2020 menyatakan, Pengamanan Swakarsa terdiri dari satuan pengamanan (satpam) dan satuan keamanan lingkungan (satkamling).
Selain itu, pengamanan swakarsa juga dapat berasal dari struktur kearifan lokal atau pranata sosial. Misalnya, pecalang di Bali, kelompok sadar keamanan dan ketertiban masyarakat, atau siswa dan mahasiswa Bhayangkara.
Baca juga: Mengenal Pam Swakarsa yang Ingin Dihidupkan Kembali oleh Listyo Sigit
Peraturan Polri juga mengatur proses pembentukan hingga pengukuhan anggota Pam Swakarsa.
Selain dari keluaran Polri, aturan turunan juga ada berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2012.
PP yang terbit di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini mengatur soal koordinasi, pembinaan dan pengawasan yang dilakukan Polri terhadap Pam Swakarsa.
Merujuk PP 43/2012, Polri melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan bersama pimpinan lembaga pemerintah atau non-pemerintah yang memiliki Pam Swakarsa dan semua bentuk pengamanan swakarsa oleh masyarakat.
Pengawasan Pam Swakarsa pada instansi hingga lembaga non-pemerintah disebut antara lain berbentuk pemberian kartu tanda anggota dan penggunaan seragam satpam, pendataan senjata api, amunisi, dan kelengkapannya, serta izin operasional badan usaha di bidang jasa pengamanan.
Baca juga: Kapolri Listyo Sigit Ungkap Alasan Ingin Aktifkan Kembali Pam Swakarsa
Sementara itu, pengawasan terhadap Pam Swakarsa yang dilakukan masyarakat misalnya berupa penerapan sistem pengamanan lingkungan dan penggunaan peralatan pengamanan lingkungan.
Dalam hal pembinaan terhadap Pam Swakarsa, dilakukan melalui pendidikan dan latihan, pelatihan keterampilan penggunaan peralatan khusus pengamanan, dan penyuluhan kesadaran hukum masyarakat.
Seusai pertemuan dengan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, di Jakarta, Jumat (29/1/2021), Sigit mengatakan, Pam Swakarsa yang ia ingin aktifkan berbeda dengan 1998.
Satuan pengamanan itu diharapkan bisa melakukan respons cepat, bekerja sama dengan satuan-satuan sadar kamtibmas di masing-masing wilayah.
“Bukan Pam Swakarsa seperti yang dimaksud di tahun 1998, itu jauh sekali,” kata Sigit.
Menurut Sigit, Pam Swakarsa yang ia maksud adalah pemolisian masyarakat. Artinya, masyarakat berperan aktif menjaga lingkungan dari gangguan keamanan, bersama-sama dengan kepolisian.
POLEMIK pembentukan kembali Pam Swakarsa menjadi salah satu topik diskusi di forum Satu Meja di Kompas TV, Rabu (27/1/2021).
Di situ, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Rusdi Hartono menjelaskan, pengelolaan Pam Swakarsa akan dilakukan secara terstruktur.
Sebab, Polri memiliki bagian-bagian yang bisa mengawasi dan mengoordinasikan Pam Swakarsa. Ia meyakini, kekhawatiran munculnya kembali Pam Swakarsa 1998 tidak akan terjadi.
“Sangat beda. Saya yakin tidak akan terjadi lagi seperti itu,” ucap Rusdi.
Namun, aktivis 1998 sekaligus salah satu inisiator Forum Kota (Forkot) Savic Ali mempertanyakan urgensi pengaktifan Pam Swakarsa. Ia juga menilai konsep rencana yang dilontarkan Kapolri belum jelas.
“Di mana urgensinya? Apakah fungsinya ini sosial atau lebih politis seperti fungsi intelijen, kontrol politik dan stabilitas?” ujar Savic, dalam forum yang sama.
Savic tidak heran dengan munculnya penolakan terhadap rencana Kapolri. Sebab, hal itu menghidupkan pengalaman traumatis bagi banyak orang, terutama yang mengalami transisi menuju masa reformasi.
Kemudian, lanjut Savic, ketidakjelasan konsep Pam Swakarsa ini dikhawatirkan akan berujung pada abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.
Ia khawatir, kelompok masyarakat sipil yang berada di bawah kontrol kekuasaan akan difungsikan dalam konteks politik.
“Dalam konteks politik, saya tidak percaya pada harapan. Saya percaya pada dinamika politik yang terjadi, ekosistem yang dibangun, dan kita belajar dari sejarah masa lalu,” kata Savic.
Persoalan lain yang juga mungkin saja muncul yakni konflik horizontal.
Keberadaan kelompok-kelompok yang merasa punya wewenang seperti Polri, menurut Savic berpotensi menciptakan konflik dan polarisasi makin tajam.
Baca juga: Wacana Komjen Listyo Sigit Bentu Pam Swakarsa Dikhawatirkan Akan Mempersenjatai Sipil
Ia pun mempertanyakan mekanisme perekrutan yang digunakan Polri. Pasalnya, tidak mudah untuk melatih sekelompok orang untuk taat kepada hukum saat melakukan tugas pengamanan.
Selain itu, Polri juga diminta memperjelas batas kewenangan Pam Swakarsa.
“Kalau wewenang tidak jelas, begitu mereka merasa, ibaratnya, mengantongi stempel polisi, kesannya boleh menindak, itu akan menimbulkan masalah baru,” tutur Savic.
Kekhawatiran akan terciptanya konflik horizontal juga diungkapkan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti.
Rencana ini juga menandakan negara belum bisa lepas dari bayang-bayang otoritarianisme.
Ia menilai, pengaktifan Pam Swakarsa akan memberikan ruang bagi kelompok tertentu melakukan kekerasan atas nama menjaga ketertiban umum.
Hal itu semakin diperparah dengan tidak adanya sistem pengawasan dan evaluasi Pam Swakarsa.
"Yang ditakutkan ke depan, Pam Swakarsa membuat rasa takut yang lebih luas lagi kepada masyarakat, menimbulkan konflik horizontal," ujar Fatia.
Di samping itu, kata dia, rencana ini juga menandakan negara belum bisa lepas dari bayang-bayang otoritarianisme, sebagaimana iklim kekerasan yang masif terjadi di era Orde Baru.
Budaya kekerasan dan penanganan ketertiban masyarakat selalu didekatkan dengan semangat menghukum.
Rencana ini juga, menurut Fatia menjadi tanda negara tidak mempunyai semangat memajukan nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).
"Ini hanyalah sebuah terobosan yang justru mengembalikan Indonesia ke semangat otoritarianisme dan mengkhianati nilai reformasi," ucap Fatia.
Baca juga: Wacana Hidupkan Pam Swakarsa Picu Kekhawatiran, Ini Penjelasan Polri
PADA masa pergerakan reformasi, 1998, Pam Swakarsa merupakan kelompok sipil bersenjata bambu runcing yang dibentuk untuk membendung aksi mahasiswa sekaligus mendukung Sidang Istimewa (SI) MPR 1998. SI MPR digelar pada 10-13 November 1998.
Mahasiswa menolak SI MPR yang dikhawatirkan melegitimasi kekuasaan rezim Orde Baru melalui pengangkatan kembali Habibie sebagai presiden.
Mereka juga menuntut penghapusan dwi-fungsi ABRI sebagai salah satu bentuk campur tangan politik dari kalangan militer.
Selama SI MPR, Pam Swakarsa berkali-kali terlibat bentrokan dengan para pengunjuk rasa yang menentang SI MPR. Mereka yang mengklaim diri sebagai kelompok pengamanan sipil itu juga terlibat bentrokan dengan masyarakat yang resah dengan kehadiran Pam Swakarsa.
Berdasarkan buku Premanisme Politik (ISAI, Maret 2000), bentrokan mahasiswa dan Pam Swakarsa terjadi di kawasan Semanggi, Jakarta.
Ketika itu, puluhan ribu mahasiwa dari Salemba dan Cawang bergerak menuju Senayan. Sejumlah truk Pam Swakarsa yang muncul dilempari massa sampai berbalik meninggalkan tempat itu. Konsentrasi massa makin tinggi di Jembatan Semanggi.
Pada akhirnya, puluhan ribu mahasiswa dihadapi dengan kekerasan oleh aparat keamanan dan korban jiwa pun berjatuhan. Tragedi kemanusiaan tersebut kemudian dikenal sebagai Peristiwa Semanggi I, 13 November 1998.
Baca juga: Jumat Kelam Tragedi Semanggi 1998, Perjalanan Mencekam Bertemu Wawan...
Mahasiswa yang berunjuk rasa menolak SI MPR diadang aparat di depan Kampus Atma Jaya. Ketika itu, aparat melepaskan tembakan ke arah mahasiswa yang berbaur dengan masyarakat. Beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal .
Mereka adalah Teddy Wardhani Kusuma (Institut Teknologi Indonesia), Bernardus Realino Norma Irmawan atau Wawan (Universitas Atma Jaya), Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), dan Muzammil Joko (Universitas Indonesia).
Selain di Semanggi, bentrokan juga terjadi di Tugu Proklamasi dan jembatan Cawang. Namun, konflik fisik di Tugu Proklamasi terjadi antara Pam Swakarsa dan warga sekitar. Warga tampaknya tidak suka dengan kelompok sipil bersenjata tajam yang telah berada di kawasan itu sejak seminggu sebelumnya.
Di Cawang, pertikaian terjadi karena Pam Swakarsa mengadang kelompok mahasiswa yang tengah berarak menuju gedung DPR/MPR Senayan.
Pengalaman pahit itu masih membekas di ingatan anggota Komisi III DPR Taufik Basari. Dia ada di barisan gerakan mahasiswa pada saat itu.
Dalam beberapa kali aksi unjuk rasa, mahasiswa berhadapan dengan Pam Swakarsa. Bentrokan sudah terjadi sejak sebelum pecah Tragedi Semanggi I.
Begitu juga dengan kejadian di Tugu Proklamasi. “Itu menjelang Tragedi Semanggi I,” tutur Tobas, panggilan Taufik di sejumlah kalangan pada suatu masa.
Menurut Taufik, ketika mahasiswa mulai bergerak ke Gedung DPR/MPR sebagai pusat aksi unjuk rasa, terjadi bentrokan dengan aparat, baik militer maupun kepolisian.
Baca juga: Utang yang Tak Kunjung Lunas: Pelanggaran HAM Berat pada Masa Lalu
Dengan bantuan Pam Swakarsa, aparat berusaha mengadang mahasiswa agar tidak mendekat ke Gedung Parlemen.
“Di waktu bersamaan, tentara dan polisi (mengadang mahasiswa) dibantu oleh Pam Swakarsa,” ujar dia.
Polri perlu menjawab keraguan dan kekhawatiran masyarakat.
Meski peristiwa itu sudah terjadi sekitar 22 tahun yang lalu, istilah Pam Swakarsa masih sangat sensitif. Taufik pun memahami hal itu.
“Waktu itu (Pam Swakarsa) memang dibentuk sengaja untuk dibenturkan dengan aksi mahasiswa, supaya sipil bertemu dengan sipil,” kata dia.
Ia berpandangan, rencana Kapolri tidak menjadi persoalan jika mengacu pada peraturan perundang-undangan.
Namun, Taufik menilai saat ini Polri perlu menjawab keraguan dan kekhawatiran masyarakat. Misalnya dengan mengubah istilah dan merevisi seluruh peraturan mengenai Pam Swakarsa.
“Ditambahkan beberapa klausul yang dapat menjamin atau menjawab keraguan masyarakat, bahwa tidak akan terjadi hal-hal yang dikhawatirkan publik,” kata politisi dari Partai Nasdem itu.
Anggota DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu mengatakan, rencana pengaktifan Pam Swakarsa harus dijelaskan secara gamblang oleh Kapolri, terutama terkait pengelolaan dan penggunaannya.
Baca juga: Pam Swakarsa dan Transformasi Polri
Mantan aktivis gerakan mahasiswa 1998 itu menilai, istilah Pam Swakarsa lekat dengan peristiwa kekerasan pada era Reformasi.
"Kalau konsep Pam Swakarsa sama seperti tahun 1998, ada baiknya ide dan rencana tersebut dihentikan. Pam Swakarsa yang dibentuk tahun 1998 tak ubahnya konsep divide et impera—mengadu domba antarmasyarakat—, serta pelegalan kekerasan di tengah masyarakat," kata Masinton, saat dihubungi, Rabu (27/1/2021).
Masinton menuturkan, kala itu Pam Swakarsa tak ubahnya milisi sipil yang tidak jelas perekrutannya. Pam Swakarsa dihadapkan dengan gerakan mahasiswa yang memperjuangan reformasi dan demokrasi.
Masinton pun memandang wajar jika hari ini koalisi masyarakat sipil khawatir pengaktifan kembali Pam Swakarsa akan menimbulkan konflik horizontal.
"Karena memang faktanya pembentukan Pam Swakarsa tahun 1998 adalah untuk mengadang gerakan protes mahasiswa yang memperjuangkan reformasi dan demokrasi," tutur dia.
Masinton menegaskan, Kapolri harus mampu menjelaskan secara lengkap kepada publik soal rencana pengaktifan Pam Swakarsa. Sumber rekrutmen, pengelolaan, dan penggunaan Pam Swakarsa juga harus dipaparkan secara detail.
"Masyarakat berhak tahu," kata Masinton.
PEMBENTUKAN Pam Swakarsa pada 1998 tidak bisa dilepaskan dari sosok Kivlan Zen dan Wiranto.
Kivlan adalah mantan Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat (Kas Kostrad) dengan pangkat terakhir Mayjen TNI. Namun, dia tak sedang memegang jabatan tertentu pada 1998.
Adapun Wiranto adalah Panglima ABRI—sebutan sebelum berubah menjadi TNI—sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) di era Presiden Bacharudin Jusuf Habibie.
Seusai karier militer, Wiranto melanjutkan kiprah di ranah politik, salah satunya menjadi pendiri Partai Hanura. Posisi terakhir Wiranto adalah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan di Kabinet Kerja.
Pada Agustus 2019, Kivlan menggugat Wianto terkait pembentukan Pam Swakarsa pada 1998, yang dia sebut sebagai perintah Wiranto.
Pada 2004, Kivlan Zen juga pernah mengungkap polemik mengenai Wiranto dan perintah pembentukan Pam Swakarsa.
Menurut Kivlan, perintah pembentukan Pam Swakarsa diberikan Wiranto pada 4 November 1998. Perintah disebut bersifat rahasia.
Dilansir harian Kompas edisi 29 Juni 2004, Kivlan bahkan menyatakan siap membuktikan klaim itu di pengadilan.
Sebaliknya, antara lain lewat buku Bersaksi di Tengah Badai (2003), Wiranto menyebut bahwa Pam Swakarsa terbentuk atas inisiatif masyarakat.
Penasihat hukum Wiranto saat itu, Yan Juanda Saputra, membantah pernyataan Kivlan. Bahkan, Yan Juanda ketika itu mengaitkan tudingan dengan kampanye Pemilu 2004.
Dalam Pemilu 2004, Wiranto maju sebagai calon presiden, berpasangan dengan Salahuddin Wahid.
"(Topik ini) dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kampanye negatif. Kenapa baru sekarang dikembangkan? Kenapa dulu tidak dipersoalkan ya?" tutur Yan Juanda, dikutip dari harian Kompas.