JEO - Insight

Polemik
RUU Cipta Kerja:
Nasib Pekerja
di Tangan Penguasa dan Pengusaha

Jumat, 1 Mei 2020 | 17:09 WIB

Bahkan di tengah pandemi Covid-19, RUU Cipta Kerja dibahas di DPR. Terkait tenaga kerja, draf aturan baru tak lebih baik dari UU Ketenagakerjaan yang sekarang ada.

Update 5 Oktober 2020

DPR dan Pemerintah, Senin (5/10/2020), sepakat menyetujui pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. 

Baca juga: DPR Sahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja

Dari semula draf semula terdiri atas 174 pasal dalam 15 bab, UU ini rampung dibahas di rapat pembahasan tingkat pertama DPR dan pemerintah pada Sabtu (3/10/2020), menjadi 184 pasal dalam 15 bab.

UU ini mencakup 11 klaster. Dalam pembahasannya, ada tujuh UU dikeluarkan dari materi pembahasan, sebaliknya ada tambahan 4 UU.

Dalam rapat pengambilan keputusan, Senin, Fraksi Partai Demokrat melakukan aksi walk out setelah permintaan interupsinya ditolak pimpinan sidang, Azis Syamsuddin.

Baca juga: Fraksi Demokrat Walk Out dari Rapat Paripurna Pengesahan RUU Cipta Kerja

Dalam pandangan fraksi, baik yang dibacakan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas maupun perwakilan fraksi di dalam sidang paripurna DPR, enam fraksi menyatakan menyetujui penuh, satu fraksi menyetujui dengan catatan, dan dua fraksi menolak.

Enam fraksi yang menyetujui adalah FPDI-P, FPG, FPKB, FGerindra, FPPP, dan F-Nasdem. Satu partai yang setuju dengan catatan adalah FPAN. Adapun yang menolak adalah Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. 

Update 3 Oktober 2020:

Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah, Sabtu (3/10/2020), menyepakati besaran pesangon ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah maksimal 25 kali upah.

Rincian pesangon maksimal yang disepakati dalam pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja itu adalah 19 kali upah ditambah enam kali jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).

Dalam UU 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan yang saat ini masih berlaku, pesangon PHK maksimal 32 kali gaji.

Baca juga: Dalam RUU Cipta Kerja, Pesangon PHK Turun Jadi 25 Kali Upah

DESAKAN masyarakat agar pemerintah dan DPR menunda pembahasan omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja tidak menampakkan hasil yang begitu menggembirakan.

Pembahasan RUU sapu jagat itu tetap berjalan, bahkan di tengah wabah virus corona. Pemerintah dan DPR dianggap tak memiliki empati. 

Lalu, muncul kekhawatiran atas minimnya akses dan partisipasi publik dalam pembahasan. Ruang gerak serba terbatas imbas dari pandemi Covid-19. 

Akademisi dan praktisi mengkritisi proses penyusunan draf RUU Cipta Kerja yang terkesan tertutup dan tidak melibatkan kelompok masyarakat yang terdampak, seperti kelompok pekerja atau buruh.

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Peribahasa ini mungkin bisa menggambarkan situasi pekerja saat ini.

Ketika ekonomi tengah terpuruk, kelompok pekerja masih dihadapkan dengan ancaman aturan perundang-undangan yang tak berpihak.

Sejumlah pasal dalam klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja ini dinilai merugikan pekerja dan cenderung menguntungkan korporasi.

Padahal, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengakui kedudukan dan peran pekerja dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Dengan ini, buruh pun punya hak dan jaminan untuk mewujudkan kesejahteraan.

Keputusan Presiden Joko Widodo untuk menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan pun tetap dinilai tidak tepat. 

Elemen masyarakat sipil meminta pemerintah menarik draf RUU Cipta Kerja yang mulai dibahas di DPR kemudian menyusun ulang draf dengan mengedepankan prinsip keterbukaan.

 

M E N U:

 

 

 

.... Draf dari RUU Cipta Kerja dapat dibaca di sini

KILAS BALIK
RUU CIPTA KERJA

GAGASAN omnibus law kali pertama dilontarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato kenegaraan seusai dilantik sebagai Presiden Indonesia periode 2019-2024, pada 20 Oktober 2019.

Kala itu, Jokowi ingin membuat dua undang-undang besar untuk menyederhanakan regulasi. 

“Pemerintah akan mengajak DPR menerbitkan dua undang-undang besar,” kata Jokowi di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019).

Baca lagi: Naskah Lengkap Pidato Presiden Joko Widodo dalam Pelantikan Periode 2019-2024

Ia menyebutkan dua undang-undang besar yang dimaksud yakni, UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM.

Jokowi menjelaskan dua undang-undang besar sebagai omnibus law yang bersifat lintas sektor atau kerap disebut “undang-undang sapu jagat".

“Masing-masing undang-undang akan menjadi omnibus law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang bahkan puluhan undang-undang," imbuh Jokowi.

Dari sini, wacana dan polemik tentang omnibus law pun bergulir. Pemerintah mulai menyusun draf omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja yang belakangan berganti nama menjadi RUU Cipta Kerja.

Baca: Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Ganti Nama Menjadi...

Di saat bersamaan, pemerintah juga menyusun draf omnibus law Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.

Jokowi, dalam kesempatan lain, menegaskan bahwa “obesitas” regulasi menjadi alasan pemerintah ingin menerbitkan omnibus law.

Ia menilai, banyak aturan yang tidak efisien sehingga menghambat daya saing Indonesia di kancah global.

"Kita harus menyederhanakan, wajib memangkas kerumitan-kerumitan agar kita menjadi bangsa yang memiliki daya saing, kompetitif di tingkat dunia," kata Jokowi saat menghadiri sidang pleno khusus Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Selasa (28/1/2020).

Baca: Di Sidang Khusus MK, Jokowi Kembali Singgung Obesitas Regulasi

Draf dan surat presiden (surpres) omnibus law RUU Cipta Kerja akhirnya diserahkan pemerintah kepada DPR pada 12 Februari 2020. Penyerahannya bersamaan dengan draf omnibus law RUU Perpajakan.

Penyerahan Surat Presiden dan Naskah RUU Cipta Karya ke DPR, Rabu (12/2/2020) - (KOMPAS/ALIF ICHWAN)

Kedua draf omnibus law itu secara simbolis diserahkan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kepada Ketua DPR Puan Maharani.

"Dalam kesempatan ini, Pak Menko dan para menteri menyampaikan bahwa omnibus law Cipta Kerja akan terdiri dari 79 UU, 15 bab, dengan 174 pasal yang akan dibahas di DPR," kata Puan di kompleks parlemen, Senayan, Rabu (12/2/2020).

Baca: DPR Terima Draf dan Surpres RUU Omnibus Law Cipta Kerja 

Meski Presiden menargetkan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja selesai dalam 100 hari, proses di DPR sempat alot. Hujan kritik menyambut draf regulasi sapu jagat ini, khususnya terkait klaster ketenagakerjaan.

Setelah melewati beberapa kali Sidang Paripurna DPR, draf dan surpres RUU Cipta Kerja akhirnya dibacakan pada 2 April 2020.

Rapat paripurna yang diselenggarakan di tengah pandemi Covid-19 itu menetapkan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja dilakukan Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Baca: Supres Dibacakan, Draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja Segera Dibahas Baleg DPR 

Dalam rapat kerja perdana antara DPR dan pemerintah, Airlangga yang ditugaskan presiden membahas RUU Cipta Kerja mengutarakan tujuan dari perlunya RUU ini hadir. 

"... arahnya adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD melalui upaya pemenuhan hak warga negara atas hak pekerjaan dan penghidupan layak melalui (RUU) Cipta Kerja," kata Airlangga di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/4/2020).

Melalui RUU Cipta Kerja, ujar dia, akan tercipta lapangan kerja yang luas dan merata.

 

.... Draf dari RUU Cipta Kerja dapat dibaca di sini


Kembali ke awal....

PASAL-PASAL KONTROVERSIAL

DRAF omnibus law RUU Cipta Kerja memiliki 15 bab dan 174 pasal yang terdiri atas 11 klaster pembahasan.

Sebelas klaster pembahasan dalam RUU Cipta Kerja yaitu tentang ketenagakerjaan, penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, serta kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM dan perkoperasian.

Kemudian, tentang dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengadaan lahan, investasi dan proyek strategis nasional, kawasan ekonomi, dan pengenaan sanksi.

Tanpa mengenyampingkan kontroversi pada klaster lain, klaster ketenagakerjaan paling banyak disoroti publik. Masalah ketenagakerjaan dibahas secara khusus pada Bab IV.

Bab tentang ketenagakerjaan ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru atas beberapa ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Ilustrasi RUU Cipta Kerja dan Perubahan yang Diakibatkannya pada Regulasi Ketenagakerjaan - (KOMPAS/DIDIE SW)

Pengubahan, penghapusan, atau penetapan aturan baru itu dikatakan dalam draf RUU Cipta Kerja sebagai, “dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi.”

Catatan Kompas.com, pasal-pasal tentang ketenagakerjaan ramai dikritisi publik, khususnya serikat buruh atau pekerja, karena dianggap merugikan pekerja dan menguntungkan pemodal atau pengusaha.

Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), misalnya, mengkritisi pengaturan tenaga kerja asing, status kerja, pekerja alih daya, jam kerja termasuk istirahat dan cuti, dan pengupahan.

Mereka juga menyoroti aturan mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pesangon, sanksi dan pelanggaran, hak pekerja perempuan, dan jaminan sosial untuk pekerja.

Libur berkurang

Mengenai waktu istirahat, misalnya, RUU Cipta Kerja menghapus libur mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja. RUU ini menghapus pula cuti panjang dua bulan per enam tahun.

Pada Pasal 79 ayat (2) poin b RUU itu disebutkan bahwa istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.

Adapun pengaturan mengenai cuti panjang dalam RUU Cipta Kerja termaktub dalam Pasal 79 ayat (5). Cuti panjang disebut akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Formula upah berubah

Kemudian, RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan pengupahan yang melindungi pekerja atau buruh. Artinya, semangat perhitungan upah untuk pencapaian kebutuhan hidup layak menjadi hilang.

Ketentuan pengupahan dalam RUU Cipta Kerja diatur dalam pasal 88A yang menyebutkan, buruh atau pekerja diupah berdasarkan kesepakatan atau perundang-undangan. Penetapan upah dalam pasal 88B didasarkan pada satuan waktu dan hasil.

Formula perhitungan upah minimum diubah dari sebelumnya memperhitungkan pertumbuhan ekonomi nasional dan tingkat inflasi, menjadi pertumbuhan ekonomi daerah (provinsi) dan menghilangkan tingkat inflasi.

Formula perhitungan upah minimum yang kemudian diatur dalam Pasal 88D berlaku untuk pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun, tetapi tidak untuk industri padat karya.

Pasal 88E ayat (1) menyebutkan pekerja/buruh industri padat karya pada industri padat karya ditetapkan upah minimum tersendiri.

Kemudian, Pasal 88E ayat (2) mengatakan bahwa upah minimum industri padat karya ditetapkan oleh gubernur dan dikatakan di Pasal 88E ayat (3) bahwa pengaturan itu akan menggunakan formula tertentu.

Menurut Sindikasi, aturan-aturan tersebut melahirkan potensi upah minimum tidak naik, bahkan turun, bagi daerah yang pertumbuhan ekonominya stagnan atau minus.

Kondisi ini akan sangat merugikan bagi pekerja di provinsi yang pertumbuhan ekonominya rendah.

Soal pekerja kontrak 

RUU Cipta Kerja mengubah pula ketentuan jangka waktu untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

Melalui Pasal 56 ayat (3), RUU Cipta Kerja mengatur bahwa jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.

RUU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang mengatur pembatasan jenis pekerjaan dan jangka waktu yang bisa diikat dengan kontrak kerja.

Kemudian, RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 61 yang salah satunya mengatur bahwa perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Klausul ini sebelumnya tidak dimuat dalam UU Ketenagakerjaan.

RUU Cipta Kerja, lewat Pasal 61A, menambahkan ketentuan pengusaha wajib memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir karena berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja dan selesainya pekerjaan.

Aturan tentang perjanjian kerja dalam RUU Cipta Kerja ini dinilai akan merugikan pekerja karena relasi kuasa yang timpang dalam pembuatan kesepakatan.

Jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang bahkan bisa membuat status kontrak menjadi abadi.

Ketentuan mengenai perjanjian kerja PKWT dapat berakhir saat pekerjaan selesai juga membuat pekerja rentan di-PHK, karena pengusaha dapat menentukan sepihak pekerjaan berakhir.

Pengusaha dapat sewaktu-waktu mem-PHK pekerja kontrak asalkan memberi kompensasi sesuai ketentuan tambahan dalam pasal 61A, yang tidak ada dalam UU Ketenagakerjaan.

 

.... Draf dari RUU Cipta Kerja dapat dibaca di sini

Kembali ke awal....

PERBUDAKAN MODERN

SEKJEN Sindikasi Ikhsan Raharjo mengatakan, pasal-pasal kontroversial dalam Bab Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja akan menciptakan perbudakan modern jika draf ini sampai disahkan.

Salah satunya, sebut dia, terkait situasi ketidakpastian yang harus dihadapi pekerja karena status hubungan kerja kontrak tidak dibatasi.

"Semangat perbudakan modern itu sangat kuat terasa dalam draf yang kita semua bisa baca hari ini," kata Ikhsan di Jakarta, Kamis (5/3/2020).

Dalam kesempatan yang sama, peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura menilai, RUU Cipta Kerja hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi.

Ilustrasi yang akan diuntungkan oleh RUU Cipta Kerja - (KOMPAS/DIDIE SW)

Menurut Charles, tidak ada pertimbangan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam rancangan undang-undang tersebut.

"Bagian penjelasannya sangat ekonomisentris, bukan kesejahteraan. Jadi hanya bicara pertumbuhan ekonomi tanpa bicara keadilan sosial dan kesejahteraan," tutur Charles.

Charles mengatakan, kemudahan dalam aspek ekonomi yang diatur dalam RUU Cipta Kerja diberikan kepada pengusaha atau pemilik modal. Kepentingan rakyat, dalam hal ini pekerja, justru terpinggirkan.

"Kemudahannya bukan bagi warga negara yang minim akses terhadap sumber daya alam atau sumber daya ekonomi. Kemudahan diberikan justru kepada pemilik modal, kepada asing, dalam rangka mengundang investor lebih banyak. Jadi bukan kita mudah mencari kerja," ungkap Charles.

 

.... Draf dari RUU Cipta Kerja dapat dibaca di sini

 

Kembali ke awal....

DRAFTING TAK LIBATKAN
BURUH ATAU PEKERJA

DALAM proses penyusunan draf (drafting) RUU Cipta Kerja, pemerintah membentuk Tim Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Tim ini dipimpin Rosan Roeslani, didampingi Shinta Widjaja Kamdani sebagai wakil.

Rosan merupakan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), sementara Shinta adalah Wakil Ketua Umum Kadin. Kadin merupakan organisasi yang mewadahi pengusaha dan asosiasi dunia usaha di Indonesia.

Satgas bertugas melakukan sosialisasi, menginventarisasi masalah, dan memberikan masukan terkait RUU Cipta Kerja.

Namun, Serikat pekerja dan buruh mengajukan protes. Mereka merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan draf omnibus law RUU Cipta Kerja. 

Ketika beraudiensi dengan DPR, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gena Nena Wea menyampaikan keberatannya.

Andi menyatakan, dia baru dilibatkan dalam tim ketika pemerintah mendengar kabar bahwa KSPSI akan menggelar aksi unjuk rasa terkait RUU Cipta Kerja.

"Niat baik pemerintah ini kami sambut baik, tapi terlambat. Karena, (pelibatan itu terjadi) ketika semua sudah menjadi masalah dan terjadi penolakan di mana-mana," ujar Andi, Rabu (12/2/2020).

Andi mengatakan, sebelumnya ia sudah mengirimkan surat kepada Jokowi dan Airlangga agar KSPSI dilibatkan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Namun, surat tidak kunjung mendapatkan balasan.

"Saya kirim lagi (surat) kepada Pak Menko dan Presiden untuk mengingatkan masih akan terjadi gejolak di buruh Indonesia karena dari awal seperti ada yang disembunyikan," kata Andi.

Dia pun mengaku dihujani banyak pertanyaan dari sesama aktivis pekerja. 

"Seluruh konfederasi buruh bertanya kepada saya, Anda konfederasi buruh pendukung Presiden kok enggak punya draf? Akhirnya (kami) bertanya-tanya ada apa dengan rancangan ini?" lanjut dia.

Hal senada diungkapkan Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos.

Dia mengaku, organisasinya tak pernah diikutsertakan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja.  

"Saya menyatakan (sebagai) konfederasi KASBI, itu (pelibatan pembahasan RUU Cipta Kerja) adalah hal yang diklaim oleh pihak pemerintah," kata Nining, Kamis (9/4/2020).

Nining mengatakan, pemerintah memang pernah mengundang KASBI untuk membahas draf RUU. Kendati demikian, undangan tersebut datang mendadak yaitu pada malam sebelum pertemuan yang dijadwalkan keesokan harinya.

Kemudian, lanjut Nining, ada pula undangan dari Kementerian Koordinator Perekonomian. Namun, saat itu draf RUU Cipta Kerja sudah rampung 90 persen.

Ia pun mempertanyakan keseriusan pemerintah melibatkan pekerja dan buruh.

"Kami menyampaikan sikap tegas kami. Kalau memang mau melibatkan partisipasi publik, (itu semestinya) sebelum adanya naskah akademik," ujar Nining.

Bahkan, lanjut Nining, mestinya diskusi dilakukan jauh lebih awal lagi, yaitu sebelum ada draf RUU. 

"Seharusnya jauh lebih awal, kita sudah berdiskusi kita sudah membicarakan apa yang kemudian menjadi problem mendasar rakyat hari ini. Itu tidak ada," tegas Nining.

 

.... Draf dari RUU Cipta Kerja dapat dibaca di sini


Kembali ke awal....

PEMBAHASAN KLASTER KETENAGAKERJAAN DITUNDA

SETELAH mendapat tekanan dari kelompok serikat buruh, Presiden Jokowi akhirnya menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam draf RUU Cipta Kerja.

"Kemarin pemerintah telah menyampaikan kepada DPR dan saya juga mendengar Ketua DPR sudah menyampaikan kepada masyarakat bahwa klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja ini pembahasannya ditunda, sesuai dengan keinginan pemerintah," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (24/4/2020).

Presiden Joko Widodo (duduk) dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Gambar diambil pada Rabu (12/2/2020) - (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Dengan penundaan tersebut, Jokowi mengatakan pemerintah bersama DPR memiliki waktu lebih banyak untuk mendalami substansi dari pasal-pasal yang berkaitan.

"Hal ini juga untuk memberikan kesempatan kepada kita untuk mendalami lagi substansi dari pasal-pasal yang terkait dan juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan," kata Jokowi.

Wakil Ketua Panita Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja Achmad Baidowi mengatakan, permintaan penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan oleh presiden sudah sesuai dengan keinginan panja di Baleg DPR.

Menurut Awi, panggilan akrab Baidowi, saat pembahasan nanti segala kemungkinan bisa terjadi. Ia mengatakan, klaster ketenagakerjaan bisa saja dihapus atau tetap menjadi bagian RUU Cipta Kerja dengan perbaikan.

"Apakah nantinya tetap menjadi bagian, di-drop, atau skemanya seperti apa, semuanya ditentukan di akhir. Hal ini untuk memberikan kesempatan kepada para stakeholder mencari simulasi dan solusi terbaik terkait masalah ketenagakerjaan," kata Awi, Jumat (24/4/2020).

 

.... Draf dari RUU Cipta Kerja dapat dibaca di sini

 

Kembali ke awal....

PRESIDEN DIMINTA
SUSUN ULANG
RUU CIPTA KERJA

KEPUTUSAN pemerintah menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dianggap bukan jalan keluar terbaik bagi penyelesaian omnibus law RUU Cipta Kerja.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia mendesak Jokowi menarik kembali draf omnibus law RUU Cipta Kerja.

Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK Fajri Nursyamsi memandang klaster ketenagakerjaan bukan satu-satunya pangkal persoalan dari RUU ini.

“Menunda pembahasan hanya akan menunda masalah, karena yang perlu diperbaiki itu substansinya, bukan hanya momentum pembahasannya,” kata Fajri, Minggu (26/4/2020).

Ia meminta presiden menyusun ulang RUU Cipta Kerja dengan pelibatan publik penuh. Menurut Fajri, DPR pun semestinya merespons keresahan publik dengan mengembalikan draf kepada pemerintah.

“Kami mendesak agar DPR mendorong presiden untuk menarik RUU Cipta Kerja, melakukan perbaikan dengan pelaksanaan pelibatan publik, sehingga perlu menunda pembahasan secara keseluruhan. Penarikan RUU langkah yang lebih tegas dan legal sesuai tata tertib DPR,” ungkap Fajri.

Terlebih lagi, kata Fajri, sikap fraksi-fraksi di DPR pun belum bulat. Selain itu, ia menilai ada pelanggaran tata tertib DPR dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Pembentukan undang-undang, lanjut dia, harus sesuai dengan prosedur.

"Pembahasan sudah masuk dalam tahap panitia kerja adalah melanggar tata tertib DPR sendiri, karena belum ada pembahasan RUU di tingkat rapat kerja, bahkan DIM dari seluruh fraksi belum ada saat ini,” ujar Fajri.

Belum lagi, situasi saat ini adalah di tengah pandemi Covid-19 yang berpotensi meminimalisasi pelibatan pulik secara demokratis.

 

.... Draf dari RUU Cipta Kerja dapat dibaca di sini

 

Kembali ke awal....

SIKAP FRAKSI DI DPR
ATAS RUU CIPTA KERJA

SEJAK pembahasan RUU Cipta Kerja diputuskan dalam Rapat Paripurna, Kamis (2/4/2020), DPR memastikan pembahasan tersebut dilanjutkan selama masa pandemi Covid-19. Badan Legislasi (Baleg) DPR ditunjuk untuk membahas RUU Cipta Kerja.

Namun, di balik keputusan tersebut, sikap sembilan fraksi di DPR belum satu suara terkait kelanjutan pembahasan RUU sapu jagat tersebut di tengah situasi yang tidak mudah ini.

 

Partai-partai di luar koalisi pendukung pemerintah paling getol menolak pembahasan dilakukan selama pandemi.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sejak awal tidak sepakat. Bahkan, Fraksi PKS tidak mengirimkan nama anggota ke Baleg untuk menjadi perwakilan di Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja.

"Sesuai sikap F-PKS, kami tidak mengirimkan nama ketika pembahasan dilakukan saat ini," kata Wakil Ketua Fraksi PKS bidang Polhukam Sukamta saat dihubungi, Senin (20/4/2020).

Menurut Sukamta, Fraksi PKS siap membahas RUU Cipta kerja setelah pandemi Covid-19 berakhir.

Sukamta mengatakan, sudah sewajarnya di masa pandemi ini penanganan Covid-19 lebih diprioritaskan. Terlebih lagi, Presiden Joko Widodo sudah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional.

"Nanti ketika pandemi sudah dinyatakan selesai oleh presiden, Fraksi PKS siap untuk berpartisipasi penuh dalam semua proses pembahasan," ucapnya.

Sikap yang sama juga disampaikan Fraksi Partai Demokrat, bahwa saat ini akan lebih baik DPR menjalankan fungsi terkait penanganan wabah Covid-19.

"Saya kira perhatian dan energi kita baiknya kita tumpahkan soal menghadapi pandemi dulu, bukan membahas RUU ini," kata Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hinca Panjaitan, di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (14/4/2020).

Partai Demokrat juga menarik seluruh anggotanya dari Panja RUU Cipta Kerja, setelah Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas menginstruksikan fraksinya tidak akan membahas RUU yang tidak berkaitan dengan penanganan Covid-19.

Beda sikap fraksi pendukung 

Fraksi yang berada dalam koalisi pendukung pemerintah pun masih menunjukkan sikap yang berbeda-beda. 

Fraksi PDI-P mengusulkan agar klaster ketenagakerjaan dicabut dari pembahasan RUU Cipta Kerja.

Wakil Ketua Baleg dari Fraksi PDI-P Rieke Diah Pitaloka menyarankan, pembahasan RUU tersebut lebih fokus pada pembahasan kemudahan investasi dan perizinan.

"Klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari draf RUU Cipta Kerja, sehingga jelas duduk persoalan bahwa RUU yang dikehendaki adalah RUU Kemudahan Investasi dan Perizinan," kata Rieke dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (20/4/2020).

Rieke juga mengingatkan pemerintah bahwa  tujuan dibuatnya RUU Cipta Kerja adalah untuk mengatasi regulasi yang berbelit-belit, sehingga pembahasan pun tidak boleh melampaui sistem hukum dan ketatanegaraan.

"Jangan sampai melampaui sistem hukum dan ketatanegaraan RI, yang justru akan melahirkan chaos hukum fatal, yang keluar dari amanat Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945," ujar Rieke.

Senada dengan PDI-P, Fraksi Nasdem juga meminta klaster ketenagakerjaan dicabut dari pembahasan RUU Cipta Kerja.

"Dalam hemat Nasdem, mencabut klaster ketenagakerjaan dari RUU Ciptaker akan lebih konklusif," kata Ketua Fraksi Nasdem Ahmad Ali dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Sabtu (25/4/2020).

Ali menjelaskan, klaster ketenagakerjaan tidak relevan dengan tujuan yang ingin dicapai dari pembentukan RUU tersebut, yaitu menyederhanakan regulasi.

Fraksi Nasdem, kata Ali, mengusulkan agar klaster ketenagakerjaan dibahas terpisah di kanal yang lebih relevan.

"Meski ada keterkaitan antara soal ketenagakerjaan dengan RUU Ciptaker, pembahasan mengenai hal tersebut akan membuatnya melenceng dan tidak fokus dari maksud utama dicetuskannya RUU tersebut," ujar dia.

Alasan mendukung agar klaster ketenagakerjaan dihapus dari RUU Cipta Kerja juga disampaikan Fraksi Partai Gerindra.

Anggota Badan Legislasi DPR Fraksi Partai Gerindra Obon Tabroni mengatakan, RUU Cipta Kerja terutama klaster ketenagakerjaan disesuaikan dengan situasi pandemi Covid-19.

Sebab, tatanan dan struktur ekonomi global pasti akan berubah setelah wabah tersebut berakhir.

"Jangan sampai ketika RUU Cipta Kerja disahkan ternyata tidak bisa menjawab tantangan ke depan," kata Obon dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (23/4/2020).

Obon yang juga anggota Panja RUU Cipta Kerja ini mengatakan, pembahasan RUU Cipta tersebut akan berdampak pada lebih dari 50 juta pekerja formal.

Untuk itu, penyusunan dan pembahasannya tidak boleh mengesampingkan pelibatan publik.

"Saya rasa perlu kajian yang lebih mendalam, termasuk dengan melibatkan partisipasi dari elemen terkait yang lebih luas sejak dari penyusunan draf," ujarnya.

Adapun Ketua Baleg dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas juga menyampaikan, sikap Fraksi Gerindra setuju agar pembahasan klaster ketenagakerjaan ditunda.

Alasannya, penolakan dari kelompok buruh atas klaster tersebut. Supratman mengaku pernah menerima puluhan ribu pesan singkat dari para buruh agar DPR tak membahas klaster ketenagakerjaan.

"Mereka (kelompok buruh) mau ada waktu untuk lebih panjang dalam rangka memberi masukan. Pada prinsipnya, kami setuju penundaan pembahasan klaster tenaga kerja sampai situasi memungkinkan," ujar Supratman,  Kamis (23/4/2020).

Aksi buruh menolak RUU Cipta Kerja pada Senin (20/1/2020). - (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Berbeda dari PDI-P dan Nasdem, Fraksi PKB tak mengisyaratkan klaster ketenagakerjaan dihapus dari RUU Cipta Kerja.

Sikap Fraksi PKB hanya sepakat untuk menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan sampai kondisi yang memungkinkan untuk kembali membahas substansinya.

"Kami yang meminta lebih dulu (penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan). Jadi, klaster ketenagakerjaan memang enggak dibahas dulu sebelum clear semua," ujar anggota Komisi VI dari Fraksi PKB Mohamad Toha ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (24/4/2020).

Toha juga mengatakan, Fraksi PKB meminta agar klaster UMKM dan klaster lain yang tak menjadi polemik di masyarakat untuk dibahas terlebih dahulu. 

Sementara itu, Fraksi PPP mendukung pembahasan RUU Cipta Kerja tetap dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Dalihnya, fungsi legislasi yang tetap harus berjalan.

"DPR itu fungsinya ada tiga, (yaitu) legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tugas legislasi tidak mengganggu tugas-tugas lainnya," kata Sekretaris Fraksi PPP sekaligus Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi, atau akrab disapa Awi, saat dihubungi wartawan, Senin (20/4/2020).

Awi menganggap wajar adanya pro dan kontra pembahasan RUU Cipta Kerja.

"Pro-kontra hal yang lumrah dalam demokrasi. Kalau semuanya setuju itu namanya paduan suara," ujar Awi.

Adapun Fraksi Partai Golkar sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan.  Anggota Baleg dari Fraksi Partai Golkar Firman Soebagyo mengatakan, pembahasan klaster yang menuai polemik itu dapat dibahas pada momentum yang lebih tepat.

"Kami kan kesepakatannya memang begitu, klaster ketenagakerjaan kami tunda, nanti pembahasannya itu menunggu momen yang tepat, karena kami harus dapat masukan-masukan juga," kata Firman ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (24/4/2020).

Kendati demikian, Fraksi Partai Golkar meminta pembahasan klaster lainnya harus tetap berjalan guna mempersiapkan kebijkan pemerintah pasca-pandemi Covid-19.

Lalu, Fraksi PAN condong menunda pembahasan RUU Cipta Kerja, terutama klaster ketenagakerjaan yang jadi polemik publik, selama masa pandemi Covid-19. 

"RUU Cipta kerja ditunda dulu pembahasannya, apalagi klaster mengenai ketenagakerjaan yang menjadi polemik dalam RUU Cipta Kerja," kata Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN Guspardi Gaus dalam keterangan tertulis, Jumat (24/4/2020).

Guspardi mengatakan, di tengah wabah Covid-19, sebaiknya pemerintah fokus dalam penanganan Covid-19. Selain itu, ia meminta ruang diskusi publik dibuka agar masukan dan saran dapat membantu DPR menyelesaikan RUU yang lingkupnya cukup besar tersebut.

"Kalau masih mau dibahas, kami bagaikan tak punya empati di tengah keadaan krisis dalam penanganan wabah virus covid -19," kata Guspardi. 

 

 

 

.... Draf dari RUU Cipta Kerja dapat dibaca di sini

 

Kembali ke awal....

PENOLAKAN BURUH

BURUH merupakan salah satu elemen utama yang menolak omnibus law RUU Cipta Kerja.

Kelompok pekerja ini getol menolak klaster ketenagakerjaan yang menjadi satu dari 11 klaster RUU Cipta Kerja. 

Buruh, bahkan sempat mengancam akan turun ke jalan untuk berunjuk rasa jika pemerintah dan DPR tetap membahas RUU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan.

Rencana unjuk rasa ini bisa jadi masalah karena digelar saat Covid-19 mewabah di Indonesia.

Jakarta sedang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang mengharuskan setiap orang menjaga jarak. PSBB juga melarang kerumunan.

Baca juga: Mengapa Jaga Jarak sampai Karantina Penting untuk Cegah Penyebaran Corona?

Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, setidaknya ada sembilan alasan buruh menolak klaster ketenagakerjaan.

Said menuturkan, kesembilan alasan itu berangkat dari tiga prinsip buruh yang dianggap KSPI tidak terdapat dalam omnibus law RUU Cipta Kerja.

Ketiga hal itu adalah job security atau perlindungan kerja, income security atau perlindungan terhadap pendapatan, serta social security atau jaminan sosial terhadap pekerjaan.

Adapun kesembilan alasan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Hilangnya upah minimum

    Dalam RUU Cipta Kerja, ada istilah yang disebut upah per satuan waktu dan per satuan hasil. Upah per satuan waktu adalah per jam yang otomatis menghilangkan upah minimum.

    Tidak hanya itu, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum provinsi (UMP) hanya berlaku di wilayah DKI Jakarta dan DIY.

    Selama ini, pengubahan buruh menerapkan metode upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kerja (UMSK). Namun dalam RUU Cipta Kerja, UMK dan UMSK dihapus dan digantikan UMP.

    Selain itu, perumusan kenaikan upah minimum juga hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi, tidak ditambahkan inflasi seperti halnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

    Ini termasuk juga munculnya istilah upah padat karya yang dinilai sebagai upah minimum yang berada di bawah upah minimum.
  2. Hilangnya pesangon

    RUU Cipta Kerja membuka keran hilangnya pesangon karena mereka yang pekerja outsourcing dan karyawan memiliki kontrak bebas. Sehingga mereka tak perlu pesangon.

  3. Penggunaan outsourcing yang bebas

    Semua jenis pekerjaan dan waktu yang tak terbatas.

    Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat lima jenis pekerjaan yang bisa menggunakan outsourcing, yakni securitycleaning service, transportasi, katering, dan pemborongan pertambangan.

    "Dalam RUU Cipta Kerja, agen (outsourcing) diakomodasi, dilindungi secara hukum, boleh menjual manusia," kata Said Iqbal.

  4. Jam kerja eksploitatif

    Said Iqbal mengatakan RUU Cipta Kerja juga menyebabkan terjadinya eksploitatif jam kerja bagi buruh.

    "(Jam kerja) 40 jam seminggu. Kerja per hari 14 jam jadi boleh. Kalau di UU 13, 7-8 jam," kata dia.

  5. Penggunaan karyawan kontrak yang tidak terbatas

    Berlaku untuk semua jenis pekerjaan, bisa seumur hidup lamanya.

  6. Penggunaan tenaga kerja asing (TKA) unskilled workers

    Ketentuan ini berpotensi menimbulkan penggunaan buruh kasar secara bebas karena tak perlu izin tertulis dari menteri.

    "Ada izin tertulis menteri saja banyak, kalau dihapus makin mudah. Industri startup dan lembaga pendidikan TKA bebas bekerja," kata dia.

  7. PHK yang dipermudah

    Dengan banyak outsourcing dan karyawan kontrak bebas yang tak ada batas waktu, PHK pun dinilai akan menjadi mudah.

    "Dalam seumur hidup boleh dikontrak dan di-outsourcing. Dalam RUU Cipta Kerja, agen outsourcing resmi diberi ruang oleh negara," kata dia.

  8. Hilangnya jaminan sosial bagi pekerja buruh, khususnya untuk kesehatan dan pensiun

    Dalam RUU tersebut, tak ada jaminan sosial pensiun bagi karyawan kontrak dan outsourcing. Selain itu, pekerja yang haid dan sakit dipotong gaji.

  9. Sanksi pidana yang dihilangkan

    Ketiadaan sanksi bagi pengusaha yang tak membayar upah juga menjadi alasan penolakan.

    "Tidak ada larangan dan sanksi jika pengusaha membayar di bawah upah minimum karena Pasal 90 UU 13 dihapus. Jadi tidak bayar pun boleh," kata dia.

 

.... Draf dari RUU Cipta Kerja dapat dibaca di sini

 

Kembali ke awal....

DESAKAN BURUH

PRESIDEN Jokowi mengumumkan pembahasan klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja ditunda, Jumat (24/4/2020). Pernyataan itu keluar setelah Jokowi bertemu pimpinan konfederasi buruh pada Rabu (22/4/2020).

Mereka adalah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban, dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea.

Usai pernyataan Jokowi itu, buruh juga membatalkan rencana aksi turun ke jalan yang semula mereka rencanakan digelar pada Kamis (30/4/2020).

"Maka dengan demikian, serikat buruh termasuk KSPI dengan ini menyatakan batal atau tidak jadi aksi pada tanggal 30 April di DPR RI dan Kemenko Perekonomian," kata Said.

Said mengatakan, KSPI dan MPBI mengapresiasi langkah Jokowi yang dianggap telah mendengarkan pandangan semua pihak, termasuk masukan dari serikat buruh demi kebaikan seluruh bangsa dan rakyat indonesia.

Aksi buruh pada Rabu (12/2/2020), menolak RUU Cipta Karya - (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Menurut Said, keputusan Jokowi menjadi momentum bagi kaum buruh untuk menjaga persatuan Indonesia dalam melawan Covid-19.

"Serta (momentum untuk) mengatur strategi bersama mencegah darurat PHK pasca-pandemi corona," tegas Said.

Dia mengatakan, Jokowi berjanji akan sungguh-sungguh mempertimbangkan membahas ulang klaster ketenagakerjaan dengan melibatkan serikat pekerja atau serikat buruh.

"Harus ada pembahasan ulang RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Pembahasan tersebut dilakukan setelah pandemi corona selesai," tegas dia.

Namun, Sekretararis Jenderal KSBSI Dedi Hardianto menilai langkah pemerintah tersebut belum memenuhi keinginan buruh secara keseluruhan, yakni menghapus klaster ketenagakerjaan dari omnibus law RUU Cipta Kerja.

Meski begitu, kata Dedi, penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan itu setidaknya bisa membuat pemerintah berkonsentrasi menangani pandemi Covid-19.

Sementara itu, Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea meyakini komitmen Jokowi terkait penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan ini, juga untuk pelibatan buruh saat pembahasan ulang draf di wilayah eksekutif. 

Dia ingin keterlibatan buruh dalam pembahasan ulang tersebut sebagai upaya menjalani asas tripartit.

"Jadi buruh bukan sekadar stempel tapi benar-benar ikut meramu," kata Andi kepada Kompas.com, Senin (27/4/2020).

Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih menilai penundaan pembahasan tidak serta-merta menjamin klaster ketenagakerjaan dibatalkan. Padahal, kata dia, penghapusan klaster ketenagakerjaan menjadi keinginan buruh.

"Kami bukannya tidak mengapresiasi pemerintah, tapi tidak ada jaminan bahwa klaster ini dibatalkan, tidak ada jaminan bahwa omnibus law ini tidak dilanjutkan pembahasannya," ujar Jumisih, Minggu (26/4/2020).

Jumisih mengaku khawatir langkah Jokowi menunda klaster ketenagakerjaan hanya sebagai angin segar supaya buruh tak menggelar demo besar-besaran.

Sebab, keputusan penundaan tersebut bukan serta-merta isyarat klaster ketenagakerjaan benar-benar dibatalkan.

Sebaliknya, ia menaruh curiga bahwa penundaan tersebut akan dimanfaatkan kalangan pengusaha untuk mendompleng situasi buruh yang tengah mereda.

"Sebenarnya (ini) siasat licik dari pengusaha pada saat kita mereda akan dilanjutkan lagi kemudian disahkan, secara diam-diam di tengah pandemi," katanya.

Jumisih mengaku tak puas atas penundaan tersebut dan tak ingin terlena dengan pengumuman Jokowi soal penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan. 

"Kami enggak bangga (dengan penundaan pembahasan), kami maunya stop pembahasan," kata dia.

Spanduk penolakan RUU Cipta Kerja. Gambar diambil pada Senin (13/4/2020) - (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Penundaan tersebut, ujar Jumisih, tetap tidak melunturkan sikap penolakan buruh terhadap RUU Cipta Kerja, terutama klaster ketenagakerjaan.

"Kami tidak mau 'sogok-sogokan' kecil seperti itu karena enggak ngefek. Kami mau Presiden tegas menyampaikan cabut omnibus law RUU Cipta Kerja, sudah," tegas dia.

Karena itu, Jumisih menyatakan organisasinya akan tetap mengampanyekan pembatalan omnibus law RUU Cipta, terutama klaster ketenagakerjaan.

"Kami akan tetap melakukan kampanye kepada pemerintah dan masyarakat bahwa yang kami minta bukan dipisahkan klaster ketenagakerjaannya, tapi batalkan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja," ungkap Jumisih.

Jumisih mengatakan kampanye pembatalan RUU Cipta Kerja akan digaungkan hingga pasca-peringatan Hari Buruh atau May Day, 1 Mei.

Menurut Jumisih, kampanye tersebut sebagai salah satu strategi supaya pemerintah segera mengambil sikap yang tidak hanya menunda klaster ketenagakerjaan.

"Kampanye ini akan digaungkan secara nasional," tegas dia.

Selain itu, Jumisih mengatakan penolakan RUU Cipta Kerja juga merupakan upaya mendorong pemerintah agar fokus menangani pandemi Covid-19.

Pemerintah, kata dia, secara gamblang meminta masyarakat bekerja sama menghadapi pandemi Covid-19 ini. Ketika masyarakat menyanggupi permintaan tersebut, seharusnya pemerintah pun berkomitmen dengan tak membahas RUU Cipta Kerja. 

"Kami berharap pemerintah itu fokus saja menghentikan pandemi ini," ungkap dia.

 

.... Draf dari RUU Cipta Kerja dapat dibaca di sini

 

Kembali ke awal....

 

== Keterangan:

Draf yang dirujuk dalam tulisan ini adalah naskah RUU Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah kepada DPR pada 12 Februari 2020.